Oleh Dr. Muhammad Tijani as Samawi
(ulama dan penulis Tunisia)
AKU sangat gembira.
Kususun buku-buku itu di ruangan khusus yang kunamakan perpustakaan. Beberapa
hari aku istirahat. Daftar kerja untuk awal tahun pelajaran baru telah kuterima.
Tugasku mengajar tiga hari berturut-turut dan selebihnya aku bebas. Aku mulai
membaca buku-buku itu. Kubaca buku Aqaid al-Imamiah (Aqidah Syi'ah
Imamiyah), dan Ashlus Syi'ah Wa Ushuluha. Hatiku tenang melihat akidah dan
pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Syi'ah. Kemudian kubaca kitab al-Muraja'at (Dialog
Sunni-Syi'ah) oleh Sayed Syarafuddin al-Musawi. Setelah beberapa lembar kubaca,
isinya sangat memikat sehingga tidak kutinggalkan kecuali betul-betul terdesak.
Kadang-kadang kubawa kitab itu ke sekolah. Kitab itu sangat menarik perhatianku
lantaran sikap ketegasan orang alim Syi'ah itu dan kemampuannya di dalam
menjawab setiap persoalan yang diajukan oleh seorang alim Sunni Syaikh
al-Azhar.
Kitab itu sangat mengenai
jiwaku karena ia berbeda dengan kitab-kitab lain. Biasanya penulis sebuah buku
akan menulis apa saja yang ia kehendaki tanpa ada orang yang menyangkal atau
mengkritiknya. Tetapi kitab ini adalah dialog antara dua alim dari dua mazhab
yang berbeda. Masing-masing membahas secara rinci setiap apa yang mereka
permasalahkan, kecil atau besar, dengan berpegangan kepada dua asas semua kaum
muslimin, yakni Al Quran dan Sunnah yang shahih yang disepakati.
Buku itu benar-benar
sangat memadai dalam memberikan curahan ilmu kepadaku sebagai seorang yang
tengah mencari suatu kebenaran. Itulah kenapa buku itu sangat berguna sekali
bagiku dan punya jasa besar yang tak terhingga kepadaku.
Aku sangat heran ketika si
penulis berbicara tentang ketidak-patuhan sebagian sahabat terhadap
perintah-perintah Rasul SAW. Disebutkan di situ berbagai contoh, antara lain
Tragedi Hari Kamis. Tidak terbayangkan betapa Umar bin Khattab memprotes
perintah Nabi dan mengatakan bahwa Nabi meracau. Mula-mula terpikir olehku
bahwa riwayat itu mesti dari kitab-kitab Syi'ah. Lebih mengherankan lagi ketika
kulihat bahwa orang alim Syi'ah ini meriwayatkannya dari kitab Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim.
Kukatakan kepada diriku
bahwa jika memang kujumpai ini di dalam Shahih Bukhari maka ia akan menjadi
sebuah masalah besar bagiku.
Aku berangkat ke ibu kota.
Di sana aku membeli kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal, Shahih Turmuzi, Muwaththa' Imam Malik dan kitab-kitab lain yang
terkenal. Belum sempat sampai ke rumah, sepanjang jalan ke Qafsah dengan bis
umum, aku buka lembaran-lembaran Kitab Bukhari. Kucari riwayat Tragedi Hari
Kamis, dengan harapan aku tidak akan menjumpainya di sana.
Diluar dugaan kudapati ada
di sana dan kubaca berulang kali. Teksnya sama dengan apa yang ditulis oleh
Sayed Syarafuddin. Aku berusaha untuk tidak mempercayai bahwa semua tragedi ini
benar-benar terjadi. Karena rasanya tidak mungkin Umar bin Khattab melakukan
perbuatan yang sangat "bahaya" ini terhadap Nabi SAW. Tetapi
bagaimana aku akan mendustakan riwayat yang ada di dalam kitab shahih kami
sendiri, yakni kitab shahihnya Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Bukankah kita telah
mewajibkan diri kita untuk mempercayai bahwa kitab itu adalah kitab shahih.
Meragukan atau mendustakan, hatta sebagian darinya, berakibat bahwa kita telah
mengabaikannya? Mengingat akibatnya kita akan mengabaikan seluruh kepercayaan
kita.
Seandainya orang alim
Syi'ah itu menukilnya dari kitab mereka, maka aku tidak akan mempercayainya
sama sekali. Tetapi ketika beliau nukil dari kitab shahih Sunni sendiri yang
tak ada jalan untuk mencelanya, sementara kita juga mengatakan bahwa hal itu
adalah kitab yang paling shahih setelah Al-Quran, maka perkara tersebut menjadi
lain dan menyiratkan suatu kemestian. Kalau tidak, maka hal itu akan bermakna
bahwa kita telah meragukan terhadap kesahihan kitab ini. Hal itu bermakna bahwa
kita tidak mempunyai sebarang pegangan di dalam melihat hukum-hukum Allah SWT.
Mengingat hukum-hukum yang ada di dalam Kitab Allah datang secara umum dan
tidak terinci. Dan karena jarak kita dengan zaman Risalah begitu jauh, maka
kita telah mewarisi hukum-hukum agama kita melalui leluhur kita dengan
perantara kitab shahih seperti ini. Dengan demikian maka kita tidak boleh
mengabaikan kitab-kitab seperti ini sama sekali.
Aku berjanji kepada diriku
ketika mula mengkaji masalah yang panjang dan rumit ini untuk semata-mata
berpegang kepada hadis yang shahih yang disepakati oleh Sunni dan Syi'ah. Aku
akan mengabaikan setiap hadis yang hanya dipegang oleh satu mazhab saja dan
ditolak oleh yang lain. Dengan cara yang adil seperti ini, aku akan dapat
menjauhi diriku dari segala jenis pengaruh-pengaruh emosional, sikap fanatik (ta'ashshub)
mazhab atau perselisihan kaum dan bangsa. Dalam waktu yang sama aku akan
memotong jalan keragu-raguan untuk dapat sampai ke puncak keyakinan, yakni
jalan Allah yang lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar