Label

Rabu, 22 Agustus 2012

Jabra Ibrahim Jabra


Di Gurun-gurun Pengasingan


Musim semi demi musim semi,
di gurun-gurun pengasingan ini,
mau apa kami dengan cinta kami,
bila mata penuh debu dan udara beku begini?

Tanah kami yang hijau, Palestina kami,
bunga-bunganya seakan sulaman pada gaun wanita kami,
bulan Maret menghiasi bukit-bukitnya
dengan bunga narsis dan kembang piun seindah permata,
bulan April mekar di padang-padang terbuka
dengan kembang dan bunga-bunga bagai pengantin jelita,
bulan Mei adalah nyanyian pedesaan kami
yang kami nyanyikan selalu
di tengah hari di bawah bayang-bayang biru
pohon-pohon zaitun di lembah-lembah kami,
sementara di ladang-ladang yang bermasakan
kami menunggu janji bulan Juli
dan tarian riang di tengah panenan.

O, tanah kami di mana masa kanak kami
berlalu bagai mimpi
di bawah lindap kebun jeruk,
di antara pohonan badam di lembah kami,
kenanglah kami kini
yang mengelana di tengah-tengah duri-duri di gurun yang gersang,
yang mengelana di gunung-gunung karang,
kenanglah kami kini,
yang berada di tengah gebalau kota-kota
di seberang gurun-gurun dan laut-laut raya
dengan mata penuh debu dalam pengembaraan yang tak ada habis-habisnya.
Mereka merusak bunga-bunga di bukit-bukit sekeliling kami,
menghancurkan rumah-rumah yang melindungi kami,
menghamburkan koyak-moyak sisa tubuh kami,
kemudian membentangkan gurun di muka kami dengan lembah-lembah
yang menggeliat-geliat dalam kelaparan
dan bayang-bayang biru yang sirna menjadi duri-duri merah
menaungi mayat-mayat yang ditinggalkan
sebagai mangsa gagak dan elang.

Tidakkah dari bukit-bukitmu
para malaikat menyanyi pada gembala-gembala
tentang damai di bumi dan persahabatan antar manusia?
Hanya maut yang akan ketawa
bila di antara isi perut hewan-hewan dilihatnya
tulang-tulang rusuk manusia.
Dan lewat peluru-peluru yang terbahak ketawa,
ia tampil menarikan tarian gembira
di atas kepala-kepala para wanita yang meratap duka.

Tanah kami zamrud berkilauan,
tetapi di gurun-gurun pengasingan,
musim semi demi musim semi,
hanya debu yang bersiut di wajah kami.
Maka mau apa lagi dengan cinta kami
bila mata dan mulut kami penuh debu dan udara beku begini? 




Jabra Ibrahim Jabra dilahirkan di Betlehem, Palestina pada tahun 1919. Puisi ini diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaya