Label

Sabtu, 27 Desember 2014

Puisi Thomas Hardy




Aku bersandar di gerbang kayu
Ketika salju kelabu seperti hantu
Dan sisa musim dingin membuat sendu.

Hari yang makin suram
Tangkai gandum menggapai langit
Bagaikan tali-tali harpa sumbang
Dan semua manusia di sekitarnya
Ingin berdiang di perapian rumah mereka.

Sosok tanah patah-patah tampak seperti
Jenazah century terbujur
Liang lahatnya tudung langit
Angin adalah ratapan kematiannya.

Relik purba benih dan tunas
Mengerus kering dan keras
Dan setiap ruh di atas bumi
Tampak layu seperti diriku.

Seketika melengking suara di antara
Ranting-ranting kering di atas kepala
Menyenandung sepenuh hati tembang
Kegembiraan tak terbatas

Seeokor burung tua, lemah, kurus
Dan kecil. Dalam bulunya yang mekar indah,
Telah memilih untuk membuang jiwanya
Ke atas kesuraman yang makin bertambah.

Sedikit alasan untuk bergembira
Mendengar lengkingan suara itu
Tersurat di atas bumi
Yang dekat atau yang jauh
Sehingga aku bisa berpikir melintasi

Udara malamnya yang bahagia
Beberapa harapan yang diberkati,
Yang diketahuinya –sementara aku tak tahu.

The Darkling Thrush, 30 Desember 1900” 


Kamis, 25 Desember 2014

Emily Dickinson dan Puisinya


Oleh Nurel Javissyarqi

Tak Pernah Kulihat Padang
Puisi Emily Dickinson

Tak pernah kulihat padang,
Tak pernah kulihat lautan,
Namun kukenal pucuk gelinggang
Dan tahu makna gelombang.

Tak pernah kusapa Tuhan,
Maupun berkunjung ke surga
Namun tempatnya kudapat pastikan,
Seakan tertera di peta.

Emily Elizabeth Dickinson (10 Des 1830 – 15 Mei 1886) dikenal Emily Dickinson, penyair Amerika berpendidikan sekolah menengah yang mengutamakan ajaran Kristen. Bapaknya bendahara sekolah menengah Amherst. Lima tahun mencampuri hidup bermasyarakat di Amherst. Di usia 23, bersama bapaknya ke Washington menghadiri sidang Kongres.

Percintaannya tidak membuahkan bahagia yang menyebabkan balik ke Amherst dan menetap di sana. Mencari hiburan dengan menggubah sajak-sajak hingga menjadi salah seorang pelopor dari penyair-penyair abad 20. Sajak-sajaknya menunjukkan sifat sederhana dalam ucapan, keluar dari menuang hati membongkar intisari peristiwa. Sampai menjulangnya terkemuka di dunia kesusastraan Amerika. Himpunan sajak-sajaknya pertama terbit tahun 1890 (dari buku Puisi Dunia, julid II, disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka 1953).

Percintaan tak berujung bahagia serupa kebocoran lapisan ozon menghisap sumber mata air bathin, mengeringkan ladang jiwa, embun pun malas membukakan mata terindah. Seperti ketinggian tanjung karang kesadaran, terik matahari menyengat, gelombang laut sampai ke kaki secepatnya menjelma garam, kepiting terbakar sebelum diserang bala pasukan semut berduyun-duyun dari idep mata Emily.

Dipilihnya hidup sederhana hingga terpantul dalam sajak-sajaknya, selepas kerontangnya sukma, putus asa lenyap tak tersisa, harapannya hanya mengeja mimpi entah dimengerti terperih. Atau padang rumput diserang musim kemarau terlupa rasanya air hujan, kaki-kaki gembalaan. Kesederhanaan seimbang menerima keadaan, menginsyafi mimpi selain dirinya merajut artian hayati, bunga berwarna-warni semerbak di hati mengikuti senyum belia tenangkan segala pedih.

Di Amherst, Emily berketetapan hati mengubah sajak-sajak kalbunya sebagai nyanyian tersisa, memaklumatkan alam rasa menyetubuhi semesta bumi, jiwanya disayat-sayat sembilu, kekasih menampik sayang cinta kesucian. Dikuburnya dalam-dalam menjelma niatan bulat; selamanya kasih tak ternoda, meski getir pilu melebihi sambaran petir merontokkan daun purba. Emily selalu melagukan dalam dendang pahit kesendirian, sunyi suwong tanpa penggali hati kayungyung.

Tatkala insan menandaskan segala sesuatu berteguh bathin melafalkan puja, hujan tak terkira datang tiba-tiba hadirkan dirinya ternama. Memperinding bulu-bulu silam, sebunga kumis kucing menusuk tebalan daging mengoyak isi jantung buyarkan teka-teki. Melantak keharuman menyengat hidung masuki tenggorokan, bibir-bibir mengering yang dulunya mencibir tanpa salam.

Kini izinkan kumulai menafsirkan puisinya, semoga berkenan dalam nafas-nafasku kadang tak teratur bergoyangan, umpama pepohonan rindang diterpa badai hujan kesiangan: Tatkala kalbu Emily berkeping-keping kecewa, menafikan segala pandang pula degup luaran. Tersebab dalamnya tengah saksikan panorama melebihi ketelanjangan, kesaksian melampaui dirasakan. Atau bukan menampik tetapi keunggulan menolaknya, semisal lubernya air dalam gelas penuh terisi menerus.

Luapan rasa membuntu telinga, selain yang bergemuruh menggejolak dalam jiwa. Serasa bahasa alam betapa mengesankan tak mampu mewakili, sentuhan melebihi pucuk gelombang tajamnya ombak, sebilah karang meruncing kelembutan pusaran. Ada keleluasaan santun mencipta pelangi di mata, deburan mengganas memantul ribuan makna. Tiada yang hendak diraih pun dipasang, ketika kehendak berdamai setelah tanak peperangan. Sudah jenak pilu, tiada sejenak pun menuruti selain kalbu dalam kesatuan setubuh.

Kefahaman Emily menantang yang pernah dirasai, perasaan bertumpuk-tumpuk setandan pisang matang. Barang siapa mengupas kehati-hatian peroleh kegenapan, ketenangan di atas kekecewaan, kesantausaan berwajah tentram bukan dari kekalahan. Pula betapa misteriusnya tuhan tak membuat penasaran; hati tertekan menelisik menyusup seperti akar-akar menujah tanah kedalaman, menghisap air mata air sumber kehidupan. Betapa lembut perasaan Emily mengkilat sebenang sutra dari ulat tak sempat muksa menjelma kekupu.

Namun benang-benangnya bercahaya memancarkan sinar terang, ditarik laba-laba yang bertapa dalam goa renungan. Meskipun rapuh, senandungnya terngiang-ngiang di telinga mereka.

Serupa tafsiran ini, mempurna bathin terjajah atau ketenangan dari penindasan suara-suara membising petaka. Saat gelisah, jangan bertanya pula membuka lembaran peta, sebab itu tiada guna. Olehnya tenangkan dulu sebelum melangkah menyapa. Emily, ketabahan mempererat ruh kata-kata tak membeletat sia-sia pun berbelok arah tiada makna. Kesabaran mendiami sunyi sebatu kelang ditetesi air, lama-lama cekung pantulkan bunyi mengalung, bertanda adanya penunggu yang memikirkan sesuatu. 


Selasa, 23 Desember 2014

Islam dan Literasi




Sebagai seorang yang pernah akrab dengan kitab kuning di dunia pesantren, saya mendapatkan hal baru ketika berjumpa literatur dan buku-buku filsafat, dari ateisme hingga Marxisme ketika beberapa tahun numpang duduk di kelas di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebuah kampus Islam di Ciputat, yang bersamaan dengan itu saya ikut aktif dalam sebuah forum studi dan kajian para mahasiswa di kawasan Semanggi-Ciputat. Kemudian segera mengenal seni atau khazanah dan produk-produk kultural yang terkait dengan Marxisme dan gerakan-gerakan kiri, semisal mengenal penyanyi yang bernama Nathalie Cardone dan Ibrahim Ferrer yang menyenandungkan lagu tentang Che Guevara: Hasta Siempre. Sejak itu, yang namanya Marxisme, ateisme, buku-buku para filsuf Syi’ah bukan lagi sebagai bacaan-bacaan yang tabu bagi saya –sembari menikmati lagu-lagunya Ibrahim Ferrer dan Nathalie Cardone.

Begitulah, ada masa-masa ketika saya mencampakkan Islam, masa-masa ketika saya bergairah mencandra filsafat Barat dan khazanah ateisme. Masa-masa itu kemudian berakhir ketika saya membaca buku-buku yang ditulis para intelektual Islam Syi’ah Iran –dan segera saya pun kembali menemukan Islam, dan tentu saja dengan pemahaman yang berbeda, bahkan merasa menemukan Islam yang memang sudah lama hilang dan disembunyikan dari narasi sejarah tradisi Islam saya sebelumnya.

Saya mengenal Islam, dan kemudian “menghidupinya”, mula-mula tentulah karena saya lahir dari keluarga muslim –yang seperti nanti akan saya paparkan, berbeda dengan ketika saya berkenalan dengan sastra secara khusus, dan kesenian secara umum. Saya dididik dalam tradisi Islam sejak kanak-kanak oleh almarhumah ibu saya sendiri –sebelum saya belajar Islam, utamanya Al-Qur’an, kepada ustad-ustad saya di kampung, dan belajar fikih, nahwu, sharaf di pesantren selepas saya lulus sekolah menengah pertama. Namun, ada persamaan mendasar: Islam dan Sastra yang saya kenali dan saya akrabi ada dan hadir dalam sebuah “tradisi”, yang pertama tradisi keagamaan dan yang kedua tradisi pendidikan sekuler.

Awalnya, saya mengenal dan mengakrabi Islam dengan anggapan bahwa Islam merupakan agama yang hanya berkenaan dengan tauhid dan ibadah ritual semata –yang kemudian anggapan itu berubah ketika saya menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi Islam di Ciputat. Di fase inilah, saya menjadi seorang yang kembali mencari Islam –setelah saya berkenalan dengan Islam yang telah saya katakan itu, yang kemudian tanpa sengaja, saat saya bergelut dengan dunia kajian mahasiswa di Ciputat, saya menjumpai Islam yang demikian luas: sebagai sebuah khazanah sekuler dan wawasan peradaban.

Dengan apa yang saya paparkan itu, dapatlah dikatakan, perkenalan saya dengan Islam, setelah perkenalan dari tradisi di kampung dan dalam keluarga sendiri, yang kemudian juga perkenalan saya dengan sastra, kemudian karena sebuah pergulatan, meski mula perjumpaannya bisa dibilang sebagai kebetulan, yang barangkali dengan bahasa lain dapat disebut karena “takdir”. Adalah juga sebuah kebetulan –yang barangkali memang takdir, saya berkenalan dengan dunia kajian di luar kuliah dan kemudian merasa nyaman dengan dunia tersebut, setelah salah-seorang teman saya, yang justru kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Diryarkara, mengajak saya untuk hadir di sebuah diskusi tentang Karl Marx.

Saya merasa perlu memaparkan hal tersebut tak lain karena perjumpaan dengan dunia dan “tradisi” yang lain itu telah memperkaya pemahaman saya tentang Islam, sebelum bersamanya pula saya berkenalan dan kemudian akrab dengan sastra –juga terjadi di Ciputat. Bila di keluarga sendiri dan di pesantren saya hanya belajar Al-Qur’an, fikih, nahwu, sharaf, di Ciputat itulah saya jadi tahu bahwa Islam juga berkenaan dengan sejarah, peradaban, pemikiran, bahkan seni, dan tentu pula kesusastraan. Itu semua merupakan hal-hal baru, juga khazanah baru –yang kemudian memancing minat saya, ditambah lagi forum kajian yang saya ikuti menyelenggarakan jadwal kajian Islamic Studies secara berkala seminggu sekali.

Andai saya tidak memilih Ciputat, mungkin ceritanya akan lain. Sekedar informasi, saya juga mendaftarkan diri saya ke IAIN Maulana Hasanuddin Banten, selain ke Ciputat, dan kebetulan diterima di kedua kampus tersebut. Namun, entah karena dorongan apa, yang saya tak ingat lagi, saya memutuskan untuk memilih Ciputat, memilih IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah di Ciputat, dan kemudian menjalani masa-masa yang bersahaja namun bergairah dalam dunia kajian mahasiswa di luar jam kuliah –mengakrabi filsafat, bahkan sempat meninggalkan tradisi ritual keagamaan saya karena terpengaruh wacana-wacana filsafat ateisme, hingga tak jarang saya melontarkan hal-hal yang “tabu” menyangkut Islam.

Tetapi waktu memang terus berjalan, dan saya diberi kesempatan menikmati rahmat terbesar saya dari Tuhan –yaitu usia, hingga saya kemudian berkenalan dengan khazanah dan diskursus pemikiran Islam, “dunia” filsafat dan pemikiran dari para penulis Islam yang bermazhab Syi’ah, semisal Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, Syahid Sayid Muhammad Baqir Sadr, dan Ali Syari’ati –yang pelan-pelan mengembalikan saya ke Islam. Demikian lah perkenalan saya berlanjut hingga membaca buku-bukunya Mohammed Arkoun, Syed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, dan yang lainnya. Dari sanalah, saya menjumpai Islam sebagai kekayaan yang lain, dalam arti bukan semata wacana fikhiyyah –dan yang tak diragukan lagi, telah membuka mata saya tentang keberadaan khazanah ilmu Islam yang sebelumnya tidak saya ketahui.

Di Ciputat itulah, saya berkenalan dengan pemikiran dan tulisan-tulisan Karl Marx dan Marxisme, yang kemudian tanpa sengaja, beberapa bulan kemudian, berkenalan dengan Marx-nya Islam, yaitu Ali Syari’ati. Sembari terus mengakrabi filsafat Barat dan kesusastraan, saya membaca tulisan-tulisan para filsuf, ulama, dan penulis Islam bermazhab Syi’ah, tentu juga khazanah Islam lainnya. Inilah fase di mana saya “kembali berjumpa” dengan Islam –setelah dalam waktu yang cukup lama saya mencampakkannya ketika asik dengan khazanah filsafat sekuler dan ateisme.

Sebab, haruslah saya akui, ketika saya asik dalam khazanah materialisme, ateisme, dan sekulerisme itulah saya mulai berani meragukan agama, dan bahkan mulai berani meninggalkan ritual Islam saya. Sementara itu, khazanah kesusastraan saya kenal lewat jurnal dan majalah berkala, semisal majalah sastra Horison dan jurnal Kalam –yang selebihnya dari lembar-lembar koran –alias harian, di setiap hari Minggu, karena kebetulan tempat kajian di mana kemudian saya tinggal, berlangganan semua terbitan itu.

Bersamaan dengan itu semua, saya mulai terbuka dengan khazanah Islam yang lain, semisal Islam mazhab Syi’ah –yah lewat pembacaan tekstual, lewat buku dan tulisan. Dengan sendirinya saya mulai memandang tinggi tradisi menulis, tak lain karena saya berjumpa dengan khazanah yang sebelumnya saya tidak ketahui tersebut dapat saya kenali, saya akrabi, saya kaji, singkatnya: saya baca, tak lain lewat buku dan tulisan.

Akhirnya, dapatlah dikatakan bahwa perjumpaan saya dengan kesusastraan dan perjumpaan kembali saya dengan Islam, tak lepas dari pembacaan, “tradisi yang lain”, pergulatan serta pencarian intelektual itu sendiri –yang memang tidak terlepas dari buku-buku, tulisan, singkatnya dengan “teks”, setelah sebelumnya saya juga menjumpainya, yang dalam hal ini sisi keagamaan saya, dalam “tradisi”, dalam sebuah dunia yang tidak terlepas dari “situasi epistemiknya” serta wawasan dan khazanahnya. Dalam hal ini, “pembacaan” dan “penulisan” merupakan sebuah ikhtiar dalam rangka “menghidupkan” sekaligus merawat, dan tentu juga dalam rangka menghindari “kemalasan intelektual” sejauh menyangkut keduanya.

Sulaiman Djaya