Label

Senin, 30 Juni 2014

Ihwal Dada Tuhan



Sekedar Interupsi

Oleh Sulaiman Djaya*

Sebelum saya sekedar membincang secara singkat dan santai seputar beberapa sajak yang ada dalam antologi berjudul Dada Tuhan ini, saya terlebih dahulu menghadirkan sebuah ilustrasi singkat, katakanlah semacam khazanah, yang dengannya menjadi teman saya membaca.

Suatu ketika Heidegger terkagum-kagum ketika membaca puisi-puisinya Friedrich Holderlin, yang kala itu, sebagaimana dalam bahasa Heidegger sendiri yang bila saya bikin longgar, telah menyadarkan kita tentang “seni melihat” yang selama ini dilupakan para pemikir dan filsuf yang telah terjebak oleh paradigma cartesianisme. “Seni melihat”, yang menurut saya, cukup berdekatan dalam artian yang diperkenalkan Louis Massignon yang adalah juga mahagurunya Ali Syari’ati dan seorang peneliti-pengulas sang sufi kontroversial yang legendaris, Mansoor al Hallaj. 

Bisa jadi Heidegger memang agak berlebihan, mungkin karena terlampau antusias, tetapi setidak-tidaknya sebagaimana didaku Heidegger, seni dan sastra lah, dan utamanya puisi, yang justru mengafirmasi dan mampu melihat kehadiran dan keberadaan “Ada” di saat para pemikir yang terjebak paradigma saintisme atau pun cartesianisme sibuk memikirkannya, tetapi malah melupakan kehadiran “Ada” itu sendiri. 

Sebenarnya, selain karena peristiwa kebetulan perjumpaannya dengan sajak-sajaknya Friedrich Holderlin, Heidegger juga mendapatkan pencerahan filsafatnya dari tulisan-tulisannya Nietzsche yang berhasil menyingkapkan basis hasrat manusiawi (orphan) yang sebelum Nietzsche mewartakan pandangannya tidak diakui sebagai entitas yang juga menjadi pemain utama gerak dan gairah hidup manusia. Seperti kita tahu, para filsuf postmodern, hampir merupakan para filsuf yang memiliki minat pada soal-soal literer dan mendapatkan inspirasinya dari Nietzsche dan karya-karya kesusasteraan, semisal Jacques Derrida, sang pengulas Mallarme itu. 

Sementara itu, sastra, utamanya puisi, yang bagi Heidegger didaku sebagai “berpikir dengan cara lain” itu, bisa juga kita andaikan sebagai sebuah ikhtiar untuk membuka sejumlah cakrawala dan horison baru bagi pemikiran, yang karena itu merupakan antitesis terhadap dogma dan dogmatisme. Bila demikian, puisi lebih merupakan sebuah upaya untuk “menolak betah”, justru karena ia senantiasa bersikap kritis dan terbuka pada setiap pengecualian dan kebetulan. Hal itu tentu saja berbeda dengan ilmu yang akan dipertanyakan bila ia tidak mampu memberikan objektivitas dan validitas. Tetapi, tidak demikian dengan sastra, dan utamanya puisi, yang senantiasa bergelut dengan pencarian akan yang sublim dan yang mitis. 

Hasrat puisi, bila kita mengafirmasi wawasannya Hildegard Von Bingen, Nietzsche, dan Heidegger, selalu berkait dengan pencarian memori dan hasrat purba manusiawi yang terlupakan (the primitive orphan). Puisi, karena ia bukan ilmu atau pun metodologi yang hendak mencapai objektivitas, hanya berkepentingan untuk selalu membuka kemungkinan. Sebuah makna puisi tercipta bukan karena sebuah puisi menghadirkan dirinya sebagai sains eksplanasi, tetapi karena ia mampu dan sanggup memberikan wawasan dan cakrawala alternatif yang diabaikan ilmu. Sebutlah sebagai contohnya, ketika sebuah puisi berbicara tentang hasrat (keinginan), penderitaan, atau harapan. Atau ketika ia hanya menggambarkan wawasan mitis tentang kerinduan manusiawi akan makna hidup dan hasrat keindahan.            

Keindahan puisi itu, tentu juga, dapat dijelmakan sebagai sebuah meditasi atau pun permainan. Hanya saja, kategori yang kedua, yaitu permainan, kadangkala gagal memberikan keindahan dan aura dari yang sublim ketika ia meremehkan nada dan wawasan yang mampu memunculkan kuriositas yang baru. Hingga suatu ketika seorang filsuf dan penyair Renaissance, Francesco Patrizi, pernah berujar: “Seorang penyair yang berhasil adalah ia yang mampu menciptakan keajaiban dalam puisinya”. Apa yang dimaksud Patrizi itu, tak lain adalah ketika sebuah puisi menjelma dan mewujud sebuah realitas dan dunia tersendiri bagi puisi itu sendiri. Dan bila kita karikaturkan, Heidegger adalah seorang filsuf yang menawarkan sebuah prasaran berpikir dengan modus puitis, berpikir puitis, dan berpikir bersama puisi. Wawasan puitis adalah sebuah wawasan yang terus ragu dan mencari, senantiasa mendulang kefanaan, justru karena ia selalu bergairah dalam ikhtiar untuk menemukan bentuk-bentuk ungkapan dan penggambaran keindahan itu sendiri. 

Sementara itu, wawasannya Francesco Patrizi, sang filsuf Renaissance itu, hendak memandang sebuah puisi yang bisa kita bilang tak ubahnya sebuah nomos (cakrawala mitis atau pun semesta makna) dan kosmologi dunia puitis itu sendiri. Meski demikian, keindahan dan nomos sebuah puisi tak mesti terlampau mendaku kerumitan. Sebab, seringkali ketajaman dan keindahan di satu sisi, dan kemampuan sebuah puisi untuk mencipta semesta dan nomos, lebih sering karena diolah dan dikemukakan lewat kejujuran, kepadatan, dan kesahajaan diksi, parafrase dan keseluruhan simbolisasinya yang utuh yang sekaligus mampu menciptakan bahasa bersama.  Akhirnya, selain itu semua, puisi juga bisa dikatakan sebagai pancaran dari “kosmologi bathin” yang diserap dari pengalaman akan yang fana sekaligus penyelaman perasaan akan sesuatu yang tak terpahami (tak dapat dikonsepsi), yang senantiasa mencari dan tak pernah puas dalam pengembaraannya. 

Ihwal Dada Tuhan

Demikian puisi yang saya pahami, dan dengan pemahaman tersebut saya tuliskan “perspektif singkat saya” ketika membaca beberapa puisi yang terkumpul dalam antologi Dada Tuhan ini, yang ketika membaca beberapa puisi di dalamnya, saya teringat kepada sejumlah puisi-puisinya Acep Zamzam Noor, yang bahkan dapat dibaca pada puisi pertama yang berjudul “Seperti Sungai”: tariklah aku ke sungai-Mu // menjadi rumput // yang tak henti digoyang arus. // jadikanlah aku kerikil // yang ditampar deras // dan menemu hilir”, di mana sajak tersebut mengingatkan saya pada sejumlah sajak-nya Acep Zamzam Noor yang mengambil dan menggunakan kiasan meditasinya dari alam, dari lingkungan pegunungan dan pedesaan. Di sana, puisi sebenarnya lebih merupakan upaya menghadirkan refleksi dari hal-hal yang akrab dengan lingkungan dan keseharian seorang penyair.

Berhadapan dan sekaligus “bercumbu” dengan alam tersebut, penyair tak ubahnya seorang pelukis yang sama-sama berusaha menghadirkan keindahan dan “rasa estetik”, meski dengan media dan instrument yang berbeda: kuas, kanvas, dan kata. Kedua-duanya sama berusaha menghadirkan perumpamaan hidup, seperti bagaimana Giovanni Segantini menggambar dan melukis sungai, pegunungan, senja atau perempuan desa.

Bila saya menggunakan analogi wawasan pembuka seperti yang telah saya katakan, maka hal itulah yang dikatakan sebagai “seni melihat”, mengakrabi kehadiran “Ada” dengan mata telanjang dan berusaha terlepas dari konseptualisasi dan kekerasan kategorial yang malah membuat kita tidak dapat “melihatnya” dengan “apa adanya”.

Itu hanya satu sisi saja yang dapat saya tangkap ketika membaca sejumlah puisi yang termaktub dalam antologi Dada Tuhan ini, selain sejumlah puisinya yang berbicara seputar ekstase yang sifatnya erotik, barangkali juga mistis, semisal yang berjudul Iktikaf, di mana aspek “sufisme” dihancurkan, didekonstruksi, dan “dileburkan” dengan idiom-idiom dan kosakata yang sekuler, profane, dan dengan “organ-organ dan anasir-anasir tubuh telanjang perempuan” sekaligus meminjam kiasan-kiasan dan kosakata religius. Saya tak tahu, dan karenanya saya hanya berusaha menduga, barangkali hal itu dalam rangka mengaburkan batas erotik yang “sufistik” dan yang “pornografik”. Barangkali juga hendak “meledek” sajak-sajak sufistik yang berbicara seputar “mahabbah” kepada “Sang Khalik” tak ubahnya sebagai pengalihan hasrat tubuh kita sendiri yang berusaha ditekan dan dialihkan. Karena saya tak tahu dan hanya menduga, saya persilahkan kepada para pembaca untuk berusaha menyelami dan “membacanya” sendiri, sebab itulah salah-satu kosmos puisi: menyediakan dirinya bagai ragam kemungkinan dan pembacaan.

Puisi lainnya yang membuat saya tertarik adalah yang berjudul  “Dari Catatan Harian Nadja Halilbegovich” yang gaya sajak bebas dan prosaiknya amat memukau dan menggugah, selain juga mengandung bujukan meditatif yang kuat dan dinarasikan dengan santai sekaligus lantang. Puisi tersebut juga kaya dengan kiasan yang lentur dan pada saat bersamaan menyediakan dirinya bagi ragam satir hidup yang menyangkut manusia, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, sebagai warga Negara dalam kondisi-kondisi eksistensial dan keterasingan, dalam kondisi-kondisi yang menjebak kita, yang seringkali membuat kita tersudutkan, entah pada akhirnya membuat kita menyerah atau malah membuat kita semakin bersitahan dan memiliki kekuatan untuk bernegosiasi dengan hidup atau mencampakkannya. Puisi itu menurut saya cukup instrospektif, selain telah membuktikan sebagai puisi yang panjang tapi sanggup menjaga energinya untuk tidak runtuh saat menjadi sebuah puisi yang panjang.

Demikianlah catatan singkat saya, tentu karena saya tidak ingin “menghabiskan ruang dan kemungkinan” yang akan disediakan oleh sejumlah puisi yang termaktub dalam antologi Dada Tuhan itu sendiri justru apabila saya memaparkan “tafsir saya” atas seluruh puisi-puisinya. Catatan ini hanya sekedar “pintu kecil” yang dapat saya tawarkan, tentu hal itu pun sebagai salah-satu perspektif kecil saja, yang saya serahkan kepada hadirin atau jamaah para pembaca, yang tentu saja, akan menemukan dan mendapatkan banyak hal dan banyak tafsir pembacaan ketika membaca sejumlah puisi yang termaktub dalam antologi Dada Tuhan ini. Salam dan selamat membaca!

*Penyair

Edisi cetak esai ini dapat dibaca di antologi puisi Dada Tuhan karya Bode Riswandi

Rabu, 25 Juni 2014

Nabi Ayub dan Drama Goethe


Sumber: Radar Banten, 25 Juni 2014

Oleh Sulaiman Djaya*

“Ketika bumi terdiam karena angin selatan, dapatkah engkau bentangkan keras angkasa cermin tuangan?” (Kitab Ayub). Dalam sebuah diskusi lesehan, yang saat itu tanpa sengaja kami tiba-tiba tertarik untuk membincang soal maraknya fenomena tindakan-tindakan anarkhisme dan kekerasan yang mengatasnamakan agama, yang dalam hal ini atasnama Islam, salah-seorang teman nyeletuk bahwa tidak semua orang beragama itu religius. Tentu saja yang dimaksud salah-seorang teman itu adalah beberapa orang dan sejumlah kelompok Islam belakangan ini yang seakan-akan “pasti akan masuk surga” hanya dengan menyatakan diri sebagai seorang muslim tanpa dibarengi dengan sikap kesalehan dan sikap religius yang tidak mudah. Apa yang diceletukkan salah-seorang teman itu sebenarnya merupakan sebuah soal lama dan isu renungan klasik, semisal yang menjadi bahan renungannya Kitab Ayub dan Faust-nya pujangga Jerman: Goethe yang masyhur itu.

Seperti kita tahu, Faust, doktor yang gigih belajar itu, akhirnya tergoda bujukan Mephistopeles demi mendapatkan cinta Margareth. Tapi Mephistopeles telah mendapatkan ijin Tuhan untuk menggoda Faust yang saleh itu. Sementara, dalam prolog di langit drama-puisi karya Goethe tersebut kita tak ragu lagi bahwa gambaran dan kiasan cerita Faust memang ditimba dari Kitab Ayub. Tokoh Faust disarikan dari kisah dan penderitaan Ayub yang kaya dan saleh tapi akhirnya jatuh miskin ketika seluruh kekayaannya dirampas pasukan Seba dan Kaldea. Anak-anaknya meninggal dalam bencana kebakaran ketika sedang melaksanakan pesta perjamuan di sebuah rumah milik anak tertua Ayub. Diceritakanlah oleh si penulis kitab ini bahwa Ayub yang awalnya seorang bangsawan yang sangat kaya, tiba-tiba menjadi sebatang kara dengan penyakit lepra. Berduka di atas debu dan tanah. Setiap hari meratapi kelahirannya.

Kitab Ayub dan Drama Faust

Sementara itu tokoh Mephistopeles dalam drama Faust itu merupakan saduran dan gambaran Setan (Azazil) yang begitu tertarik dan penasaran dengan Ayub hingga meminta ijin Tuhan untuk mencederai dan menguji keimanannya. Apakah keimanan Ayub memang didasarkan atas dasar kesalehan. Atau hanya karena kecintaan pada diri sendiri semata. Ketertarikan Azazil sendiri tidak terlepas dari kesukaan Tuhan atas Ayub yang taat beribadah dan berdoa. Tetapi Azazil ragu dengan kesalehan dan ketulusan Ayub, yang menurut Azazil seringkali kesalehan seseorang kadang hanya kamuflase dan fatamorgana. Ibadah mereka kadang hanya karena kepentingan diri sendiri. Bukan karena ketulusan dan kecintaan kepada Tuhan. Lebih karena pertimbangan ekonomis dan ketakutan diri pada hukuman. Maka seringkali seorang hamba beribadah dan taat semata-mata karena ingin mendapatkan balasan surga.

Ayub memang sempat meragukan segala hal termasuk Tuhan dan kerasukan skeptisisme dalam penderitaan yang panjang tersebut. Ratapan Ayub memancing perdebatan yang intens dan mendalam dengan sahabat-sahabat yang menjenguk dan merawatnya. Para sahabatnya itu antara lain: Bildad dari Syuah, Sofar dari Naamah, dan Elifaz dari Teman. Maka tak syak lagi, Kitab Ayub merupakan naskah drama dan sandiwara tertua dalam khasanah penulisan dan penuturan ummat manusia. Sekaligus khasanah pemikiran yang memiliki daya tarik perenungan bagi siapa saja yang kembali membacanya: “Lebih cepat dari anak torak hari-hariku melintas, lenyap tanpa harapan. Maka Kau cemaskan aku dengan segala impian, dan dengan segala khayal Kau kejutkan. Apa gerangan manusia, maka Engkau mementingkannya. Sebab kita yang lahir kemarin tiada berpengetahuan” (Dialog I:6,14,17,30).

Dalam alur dan jalannya dialog, sahabat-sahabat Ayub merupakan kiasan dari corak-corak pemikiran dan pandangan keagamaan lama yang kemudian ditolak Ayub. Sahabat-sahabat Ayub memandang bahwa penderitaan adalah hukuman bagi para pendosa. Menanggapi pandangan para sahabatnya tersebut Ayub pun kemudian kembali melontarkan ironi: “Seseorang meninggal masih berdaya penuh, dengan tenteram dan tanpa derita hati, penuhlah pahanya dengan lemak dan sumsum belulangnya amat berlimpah, tetapi orang lain meninggal dalam luka-hati, dan kebahagiaan tak dinikmatinya, meski mereka sama-sama berbaring dalam debu” (Dialog II:23-26).

Modus Ironis

Penuturan dan penggambaran bersajak dalam Kitab Ayub memang seringkali menggunakan ironi. Dan ironi tak lain suatu upaya untuk memaparkan kebenaran atau pun penyingkapan dengan mengemukakan kebalikannya. Seringkali beresiko pada kegoncangan dan menjadi kekuatan oposisi terhadap kepercayaan atau pun keyakinan yang tengah dianut suatu masyarakat atau institusi dan rezim pengetahuan. Cara itu pula yang digunakan Ayub untuk membantah anggapan, prasangka, dan kepercayaan Elifaz, Bildad, Sofar, dan Elihu yang mewaikili orang-orang yang masih berpegang pada dogma lama bahwa orang-orang yang menderita adalah orang-orang yang dikutuk Allah. Dan Ayub mengalami keraguan ketika justru orang-orang yang berdosa dan menindas adalah orang-orang yang jaya dan berkuasa: “Mengapa gerangan para penjahat hidup tetap, menjadi tua dan bertambah kuat? Rumah mereka aman sentosa, cambuk Allah tak mendatangi mereka. Lembu jantan mereka menyenggama dengan gagah dan lembu betinanya tiada pernah keguguran. Anak-anak mereka riang gembira berlompatan, membunyikan rebana juga kecapi, bersukacita dengan iringan seruling. Menghabiskan hari-hari dengan bahagia. Namun kepada Allah mereka tiada menyembah bahkan berkata: enyahlah!”(Dialog II:21:8-16).

Epik Ayub menurut para penafsir kitab suci, filolog, dan kritikus digubah oleh seorang sarjana dan penyair yang hidup ratusan tahun setelah peristiwa dan kehidupan Ayub sebagai tokoh epik itu sendiri. Penggubahnya menuangkan gagasan dan pemikirannya sendiri dalam rangka membaca kembali penafsiran dan anggapan-anggapan religius yang dipercayai masyarakat ketika itu yang menurutnya rapuh dan dogmatis. Maka untuk menguatkan pendapatnya itu sang penggubah menggunakan tokoh Ayub yang memang cocok dengan konteks penderitaan dan ironi yang hendak dimunculkan dan dikemukakannya. Ajaran dan pemahaman lama yang ingin dia tentang itu ia gambarkan dengan menggunakan mulut para sahabat Ayub. Bildad sebagai kiasan kaum ekstremis. Sofar sebagai kiasan kaum moderat. Elihu sebagai kiasan kaum fanatik yang congkak. Dan Ayub sendiri sebagai kiasan seorang nabi dan pujangga yang bijak bestari.

Bila dilihat dari segi penuturan dan muatannya, teks Kitab Ayub pastilah ditulis oleh orang yang memiliki minat serius pada pemikiran dan isu-isu keagamaan. Pemikiran dalam teks-teks tersebut mengafirmasi teknik sentuhan emosi dan keindahan dengan memilih bentuk puisi. Meski muatan teks-teks tersebut masih terasa berat bagi mata dan benak orang-orang awam yang tidak biasa dengan disiplin pemikiran dan kesusasteraan berkualitas. Tetapi layaknya sebuah teori atau pun gagasan tak mesti langsung begitu saja dapat dicerna. Penyingkapan sebuah ironi membutuhkan waktu dan kesabaran. Karena hasratnya yang selalu ingin keluar dari maninstream atau commonsense itulah maka ia pun kadang mengalami nasib kesendirian dan kesunyian.

Religiusitas dan Penghayatan

Kitab Ayub adalah contoh dari sebuah suara yang menolak bungkam berhadapan dengan kepercayaan keagamaan yang seringkali berubah menjadi pemberhalaan dan menetapkan suatu batas bagi pencarian. Agama yang hanya dipahami sebagai larangan. Bukan yang dialami sebagai penghayatan dan pengalaman yang sifatnya manusiawi dan fana. Maka dalam skeptisisme-nya tersebut, Ayub-pun mengajukan sejumlah fakta dan kenyataan hidup yang justru seringkali menyalahi anggapan dogmatik yang dipercaya para sahabatnya itu. Seringkali dalam dialog yang panjang itu, Ayub mementahkan khutbah-khutbah para sahabatnya itu yang seolah-olah mengetahui apa yang dikehendaki dan dimaksudkan Tuhan di atas sana.

Mayoritas para penafsir kitab suci berpendapat bahwa isu dan muatan yang ada di dalam teks Kitab Ayub tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di dalam teks Kitab Si Pengchotbah. Sebagian mempercayai bahwa mungkin saja keduanya ditulis oleh orang atau pun mazhab pemikiran-keagamaan yang sama. Tetapi ini bukan ihwal yang perlu merepotkan saya, karena ketertarikan saya dengan kitab ini pada ajakannya untuk berdiskusi, berpikir, sekaligus merenung. Sebuah kitab suci yang justru penuh dengan tanda tanya, bukannya tanda seru. Dan sebagaimana kita mafhumi bersama, tanda tanya merupakan ciri kritisisme, investigasi, bahkan pembangkangan. Bila tanda seru adalah sebuah imperatif dan perintah, maka tanda tanya adalah sebuh “penundaan”. Tanda tanya adalah suatu ikhtiar untuk memeriksa kembali segala sesuatu yang telah menjadi dogma yang menyebabkannya mengeras dan tertutup.

Dengan menggugah, Ayub pun melontarkan sebuah kiasan tentang kerentanan dan ketakberdayaan manusia itu sendiri dalam keberhadapannya dengan waktu dan ironi dari yang temporal yang memang membutuhkan pemeriksaan yang berkelanjutan: “Ketika bumi terdiam karena angin selatan, dapatkah engkau bentangkan keras angkasa cermin tuangan? Di manakah gerangan tempat tinggal sang terang? Di manakah gerangan tempat tinggal kegelapan? Adakah hujan memiliki seorang ayah? Dan siapa gerangan melahirkan benih-benih embun? Ketika air membeku seperti batu, juga wajah tubir kala mengental. Ketika debu tertuang bagai logam, juga bingkah-bingkah berlekatan” (Dialog IV:17-19, 28, 30, 38).

Bila Ten Commandment sepenuhnya berisi tanda seru (!) dan seruan yang memuat perintah dan larangan, maka Kitab Ayub dipenuhi dengan tanda tanya (investigasi) dan pembacaan kembali dogma dan kepercayaan keagamaan. Dengan Ayub, sebuah periwayatan sabda atau pun sejarah seringkali mengandung tanda tanya di dalamnya. Maka Ayub hendak memeriksa kembali apa yang telah menyejarah dan dititipkan oleh sejarah. Meski dengan pemafhuman bahwa beban dan muatan nostalgik dan romantik dalam sejarah seringkali membuat orang tak mau beralih dan tak sanggup memandang masa depan. Suatu kemungkinan memang seringkali membuat seseorang khawatir, cemas, dan was-was. Karena itulah kadangkala orang merasa ngeri dengan kemungkinan masa depan karena ketakteramalan dan ketakpastiannya. Dan sejarah memang kata lain dari nostalgia. Dan karena ia nostalgik, maka ia perlu diperiksa dan dicurigai.

Iman Nabi Ayub

Iman-nya Ayub adalah iman yang mengingkari “Perjanjian” yang mengandaikan “Jaminan”. Iman yang mengingkari “Perjanjian” ini rentan pada tanda-tanya. Sebab pada kenyataannya “janji ekonomistik” itu sendiri pun tidak terpenuhi pada kasus yang dialaminya. Kata “Perjanjian” mengandaikan suatu transaksi-ekonomistik yang tujuan utama (telos)-nya adalah “Jaminan” atau (Security) menyangkut takdir manusia yang mereka minta dari Tuhan pada kisah “perjanjian primordial” mereka dengan Tuhan.

Begitu juga sebaliknya, ada suatu masa ketika manusia mengidap akan pencarian yang arkhaik dan asali seolah ada sesuatu yang hilang dalam kepercayaan dan keimanan mereka. Yang dengan itu mereka merasa perlu menemukan kembali keaslian suatu sabda atau firman Tuhan. Tetapi di saat yang sama mereka tidak mau membaca kembali teks dari firman-firman tersebut. Derrida menyebutnya sebagai beban nostalgik dalam sejarah dan pemikiran. Sekaligus sebentuk kecemasan untuk merengkuh masa-depan karena ketakteramalan dan ketakpastiannya. Lalu mereka mengambil jalan keluarnya dengan kembali dan melarikan diri ke masa lalu. Ikhtiar akan kepastian inilah mungkin yang membuat mereka takut untuk menjadi ragu-ragu. Karena mereka membutuhkan suatu sandaran dan pegangan eksistensial dalam kehidupan duniawi yang begitu cepat berubah, tak terkendali, dan melibas mereka yang tidak siap untuk menghadapinya. Maka dogmatisme atau pun fundamentalisme, kalau boleh saya katakan bisa dipahami sebagai “iman kecemasan” dalam pengalaman akan ketakpastian dan ketakterbatasan yang seolah mengatasi ikhtiar pencarian manusia akan suatu kepastian yang dapat diramalkan.


*Pegiat Café Ilmu Banten

Senin, 02 Juni 2014

Puisi-puisi Kahlil Gibran




Antara Malam dan Fajar Pagi

Diamlah, hatiku, sebab ruang angkasa tiada mendengarmu.
Karena suasana sarat jeritan dan keluhan berat.
Tiada suara kidungmu masih termuat.

Diam, sebab bayang bayang malam
Tiada sudi mengindahkan bisikan
Rahasiamu, tiada iring-iringan kegelapan
Sudi berhenti di hadapan mimpi-mimpi.

Dialah sukma, tunggu hingga fajar tiba
Dia sabar menanti kedatangan pagi
Bakal menjumpainya dengan pasti
Dan dia yang mencintai sinar surya, bakal dicintainya.


Pandangan Pertama

Itulah saat yang memisahkan aroma kehidupan dari kesedarannya.
Itulah percikan api pertama yang menyalakan wilayah-wilayah jiwa.

Itulah nada magis pertama yang dipetik dari dawai-dawai perak hati manusia.
Itulah saat sekilas yang menyampaikan pada telinga jiwa tentang risalah hari-hari yang telah berlalu dan mengungkapkan karya kesedaran yang dilakukan

malam, menjadikan mata jernih melihat kenikmatan di dunia dan menjadikan
misteri-misteri keabadian di dunia ini hadir.

Itulah benih yang ditaburan oleh Ishtar, dewi cinta, dari suatu tempat yang
tinggi.
Mata mereka menaburkan benih di dalam ladang hati, perasaan memeliharanya,
dan jiwa membawanya kepada buah-buahan.

Pandangan pertama kekasih adalah seperti roh yang bergerak di permukaan air
mengalir menuju syurga dan bumi. Pandangan pertama dari sahabat kehidupan
menggemakan kata-kata Tuhan, "Jadilah, maka terjadilah ia".


Aku Bicara Perihal Cinta

Apabila Cinta Memberi Isyarat Kepadamu, Ikutilah Dia,
Walau Jalannya Sukar Dan Curam.
Dan Pabila Sayapnva Memelukmu Menyerahlah Kepadanya.
Walau Pedang Tersembunyi Di Antara Ujung-Ujung Sayapnya Bisa Melukaimu.

Dan Kalau Dia Bicara Padamu Percayalah Padanya.
Walau Suaranya Bisa Membuyarkan Mimpi-Mimpimu Bagai Angin Utara Mengobrak-Abrik Taman.
Karena Sebagaimana Cinta Memahkotai Engkau, Demikian Pula Dia
Kan Menyalibmu.

Sebagaimana Dia Ada Untuk Pertumbuhanmu,
Demikian Pula Dia Ada Untuk Pemangkasanmu.
Sebagaimana Dia Mendaki Kepuncakmu,
Dan Membelai Mesra Ranting-Rantingmu Nan Paling Lembut Yang Bergetar Dalam Cahaya Matahari.

Demikian Pula Dia Akan Menghunjam Ke Akarmu,
Dan Mengguncang-Guncangnya Di Dalam Cengkeraman Mereka Kepada Kami.
Laksana Ikatan-Ikatan Dia Menghimpun Engkau Pada Dirinya Sendiri.
Dia Menebah Engkau Hingga Engkau Telanjang.
Dia Mengetam Engkau Demi Membebaskan Engkau Dari Kulit Arimu.
Dia Menggosok-Gosokkan Engkau Sampai Putih Bersih.
Dia Merembas Engkau Hingga Kau Menjadi Liar;
Dan Kemudian Dia Mengangkat Engkau Ke Api Sucinya.
Sehingga Engkau Bisa Menjadi Roti Suci Untuk Pesta Kudus Tuhan.
Semua Ini Akan Ditunaikan Padamu Oleh Sang Cinta,
Supaya Bisa Kaupahami Rahasia Hatimu,
Dan Di Dalam Pemahaman Dia Menjadi Sekeping Hati Kehidupan.

Namun Pabila Dalam Ketakutanmu,
Kau Hanya Akan Mencari Kedamaian Dan Kenikmatan Cinta.
Maka Lebih Baiklah Bagimu,
Kalau Kaututupi Ketelanjanganmu,
Dan Menyingkir Dari Lantai-Penebah Cinta.
Memasuki Dunia Tanpa Musim Tempat Kaudapat Tertawa,
Tapi Tak Seluruh Gelak Tawamu,
Dan Menangis,
Tapi Tak Sehabis Semua Airmatamu.

Cinta Tak Memberikan Apa-Apa Kecuali Dirinya Sendiri,
Dan Tiada Mengambil Apa Pun Kecuali Dari Dirinya Sendiri.
Cinta Tiada Memiliki,
Pun Tiada Ingin Dimiliki;
Karena Cinta Telah Cukup Bagi Cinta.

Pabila Kau Mencintai Kau Takkan Berkata,
Tuhan Ada Di Dalam Hatiku,
Tapi Sebaliknya, “Aku Berada Di Dalam Hati Tuhan”.
Dan Jangan Mengira Kaudapat Mengarahkan Jalannya Cinta,
Sebab Cinta,
Pabila Dia Menilaimu Memang Pantas,
Mengarahkan Jalanmu.

Cinta Tak Menginginkan Yang Lain Kecuali Memenuhi Dirinya.
Namun Pabila Kau Mencintai Dan Terpaksa Memiliki Berbagai Keinginan,
Biarlah Ini Menjadi Aneka Keinginanmu:
Meluluhkan Diri Dan Mengalir Bagaikan Kali,
Yang Menyanyikan Melodinya Bagai Sang Malam.

Mengenali Penderitaan Dari Kelembutan Yang Begitu Jauh.
Merasa Dilukai Akibat Pemahamanmu Sendiri Tenung Cinta;
Dan Meneteskan Darah Dengan Ikhlas Dan Gembira.
Terjaga Di Kala Fajar Dengan Hati Seringan Awan,
Dan Mensyukuri Hari Haru Penuh Cahaya Kasih;
Istirah Di Kala Siang Dan Merenungkan Kegembiraan Cinta Yang Meluap-Luap;
Kembali Ke Rumah Di Kala Senja Dengan Rasa Syukur;
Dan Lalu Tertidur Dengan Doa Bagi Kekasih Di Dalam Hatimu,
Dan Sebuah Gita Puji Pada Bibirmu.