Label

Senin, 30 Juni 2014

Ihwal Dada Tuhan



Sekedar Interupsi

Oleh Sulaiman Djaya*

Sebelum saya sekedar membincang secara singkat dan santai seputar beberapa sajak yang ada dalam antologi berjudul Dada Tuhan ini, saya terlebih dahulu menghadirkan sebuah ilustrasi singkat, katakanlah semacam khazanah, yang dengannya menjadi teman saya membaca.

Suatu ketika Heidegger terkagum-kagum ketika membaca puisi-puisinya Friedrich Holderlin, yang kala itu, sebagaimana dalam bahasa Heidegger sendiri yang bila saya bikin longgar, telah menyadarkan kita tentang “seni melihat” yang selama ini dilupakan para pemikir dan filsuf yang telah terjebak oleh paradigma cartesianisme. “Seni melihat”, yang menurut saya, cukup berdekatan dalam artian yang diperkenalkan Louis Massignon yang adalah juga mahagurunya Ali Syari’ati dan seorang peneliti-pengulas sang sufi kontroversial yang legendaris, Mansoor al Hallaj. 

Bisa jadi Heidegger memang agak berlebihan, mungkin karena terlampau antusias, tetapi setidak-tidaknya sebagaimana didaku Heidegger, seni dan sastra lah, dan utamanya puisi, yang justru mengafirmasi dan mampu melihat kehadiran dan keberadaan “Ada” di saat para pemikir yang terjebak paradigma saintisme atau pun cartesianisme sibuk memikirkannya, tetapi malah melupakan kehadiran “Ada” itu sendiri. 

Sebenarnya, selain karena peristiwa kebetulan perjumpaannya dengan sajak-sajaknya Friedrich Holderlin, Heidegger juga mendapatkan pencerahan filsafatnya dari tulisan-tulisannya Nietzsche yang berhasil menyingkapkan basis hasrat manusiawi (orphan) yang sebelum Nietzsche mewartakan pandangannya tidak diakui sebagai entitas yang juga menjadi pemain utama gerak dan gairah hidup manusia. Seperti kita tahu, para filsuf postmodern, hampir merupakan para filsuf yang memiliki minat pada soal-soal literer dan mendapatkan inspirasinya dari Nietzsche dan karya-karya kesusasteraan, semisal Jacques Derrida, sang pengulas Mallarme itu. 

Sementara itu, sastra, utamanya puisi, yang bagi Heidegger didaku sebagai “berpikir dengan cara lain” itu, bisa juga kita andaikan sebagai sebuah ikhtiar untuk membuka sejumlah cakrawala dan horison baru bagi pemikiran, yang karena itu merupakan antitesis terhadap dogma dan dogmatisme. Bila demikian, puisi lebih merupakan sebuah upaya untuk “menolak betah”, justru karena ia senantiasa bersikap kritis dan terbuka pada setiap pengecualian dan kebetulan. Hal itu tentu saja berbeda dengan ilmu yang akan dipertanyakan bila ia tidak mampu memberikan objektivitas dan validitas. Tetapi, tidak demikian dengan sastra, dan utamanya puisi, yang senantiasa bergelut dengan pencarian akan yang sublim dan yang mitis. 

Hasrat puisi, bila kita mengafirmasi wawasannya Hildegard Von Bingen, Nietzsche, dan Heidegger, selalu berkait dengan pencarian memori dan hasrat purba manusiawi yang terlupakan (the primitive orphan). Puisi, karena ia bukan ilmu atau pun metodologi yang hendak mencapai objektivitas, hanya berkepentingan untuk selalu membuka kemungkinan. Sebuah makna puisi tercipta bukan karena sebuah puisi menghadirkan dirinya sebagai sains eksplanasi, tetapi karena ia mampu dan sanggup memberikan wawasan dan cakrawala alternatif yang diabaikan ilmu. Sebutlah sebagai contohnya, ketika sebuah puisi berbicara tentang hasrat (keinginan), penderitaan, atau harapan. Atau ketika ia hanya menggambarkan wawasan mitis tentang kerinduan manusiawi akan makna hidup dan hasrat keindahan.            

Keindahan puisi itu, tentu juga, dapat dijelmakan sebagai sebuah meditasi atau pun permainan. Hanya saja, kategori yang kedua, yaitu permainan, kadangkala gagal memberikan keindahan dan aura dari yang sublim ketika ia meremehkan nada dan wawasan yang mampu memunculkan kuriositas yang baru. Hingga suatu ketika seorang filsuf dan penyair Renaissance, Francesco Patrizi, pernah berujar: “Seorang penyair yang berhasil adalah ia yang mampu menciptakan keajaiban dalam puisinya”. Apa yang dimaksud Patrizi itu, tak lain adalah ketika sebuah puisi menjelma dan mewujud sebuah realitas dan dunia tersendiri bagi puisi itu sendiri. Dan bila kita karikaturkan, Heidegger adalah seorang filsuf yang menawarkan sebuah prasaran berpikir dengan modus puitis, berpikir puitis, dan berpikir bersama puisi. Wawasan puitis adalah sebuah wawasan yang terus ragu dan mencari, senantiasa mendulang kefanaan, justru karena ia selalu bergairah dalam ikhtiar untuk menemukan bentuk-bentuk ungkapan dan penggambaran keindahan itu sendiri. 

Sementara itu, wawasannya Francesco Patrizi, sang filsuf Renaissance itu, hendak memandang sebuah puisi yang bisa kita bilang tak ubahnya sebuah nomos (cakrawala mitis atau pun semesta makna) dan kosmologi dunia puitis itu sendiri. Meski demikian, keindahan dan nomos sebuah puisi tak mesti terlampau mendaku kerumitan. Sebab, seringkali ketajaman dan keindahan di satu sisi, dan kemampuan sebuah puisi untuk mencipta semesta dan nomos, lebih sering karena diolah dan dikemukakan lewat kejujuran, kepadatan, dan kesahajaan diksi, parafrase dan keseluruhan simbolisasinya yang utuh yang sekaligus mampu menciptakan bahasa bersama.  Akhirnya, selain itu semua, puisi juga bisa dikatakan sebagai pancaran dari “kosmologi bathin” yang diserap dari pengalaman akan yang fana sekaligus penyelaman perasaan akan sesuatu yang tak terpahami (tak dapat dikonsepsi), yang senantiasa mencari dan tak pernah puas dalam pengembaraannya. 

Ihwal Dada Tuhan

Demikian puisi yang saya pahami, dan dengan pemahaman tersebut saya tuliskan “perspektif singkat saya” ketika membaca beberapa puisi yang terkumpul dalam antologi Dada Tuhan ini, yang ketika membaca beberapa puisi di dalamnya, saya teringat kepada sejumlah puisi-puisinya Acep Zamzam Noor, yang bahkan dapat dibaca pada puisi pertama yang berjudul “Seperti Sungai”: tariklah aku ke sungai-Mu // menjadi rumput // yang tak henti digoyang arus. // jadikanlah aku kerikil // yang ditampar deras // dan menemu hilir”, di mana sajak tersebut mengingatkan saya pada sejumlah sajak-nya Acep Zamzam Noor yang mengambil dan menggunakan kiasan meditasinya dari alam, dari lingkungan pegunungan dan pedesaan. Di sana, puisi sebenarnya lebih merupakan upaya menghadirkan refleksi dari hal-hal yang akrab dengan lingkungan dan keseharian seorang penyair.

Berhadapan dan sekaligus “bercumbu” dengan alam tersebut, penyair tak ubahnya seorang pelukis yang sama-sama berusaha menghadirkan keindahan dan “rasa estetik”, meski dengan media dan instrument yang berbeda: kuas, kanvas, dan kata. Kedua-duanya sama berusaha menghadirkan perumpamaan hidup, seperti bagaimana Giovanni Segantini menggambar dan melukis sungai, pegunungan, senja atau perempuan desa.

Bila saya menggunakan analogi wawasan pembuka seperti yang telah saya katakan, maka hal itulah yang dikatakan sebagai “seni melihat”, mengakrabi kehadiran “Ada” dengan mata telanjang dan berusaha terlepas dari konseptualisasi dan kekerasan kategorial yang malah membuat kita tidak dapat “melihatnya” dengan “apa adanya”.

Itu hanya satu sisi saja yang dapat saya tangkap ketika membaca sejumlah puisi yang termaktub dalam antologi Dada Tuhan ini, selain sejumlah puisinya yang berbicara seputar ekstase yang sifatnya erotik, barangkali juga mistis, semisal yang berjudul Iktikaf, di mana aspek “sufisme” dihancurkan, didekonstruksi, dan “dileburkan” dengan idiom-idiom dan kosakata yang sekuler, profane, dan dengan “organ-organ dan anasir-anasir tubuh telanjang perempuan” sekaligus meminjam kiasan-kiasan dan kosakata religius. Saya tak tahu, dan karenanya saya hanya berusaha menduga, barangkali hal itu dalam rangka mengaburkan batas erotik yang “sufistik” dan yang “pornografik”. Barangkali juga hendak “meledek” sajak-sajak sufistik yang berbicara seputar “mahabbah” kepada “Sang Khalik” tak ubahnya sebagai pengalihan hasrat tubuh kita sendiri yang berusaha ditekan dan dialihkan. Karena saya tak tahu dan hanya menduga, saya persilahkan kepada para pembaca untuk berusaha menyelami dan “membacanya” sendiri, sebab itulah salah-satu kosmos puisi: menyediakan dirinya bagai ragam kemungkinan dan pembacaan.

Puisi lainnya yang membuat saya tertarik adalah yang berjudul  “Dari Catatan Harian Nadja Halilbegovich” yang gaya sajak bebas dan prosaiknya amat memukau dan menggugah, selain juga mengandung bujukan meditatif yang kuat dan dinarasikan dengan santai sekaligus lantang. Puisi tersebut juga kaya dengan kiasan yang lentur dan pada saat bersamaan menyediakan dirinya bagi ragam satir hidup yang menyangkut manusia, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, sebagai warga Negara dalam kondisi-kondisi eksistensial dan keterasingan, dalam kondisi-kondisi yang menjebak kita, yang seringkali membuat kita tersudutkan, entah pada akhirnya membuat kita menyerah atau malah membuat kita semakin bersitahan dan memiliki kekuatan untuk bernegosiasi dengan hidup atau mencampakkannya. Puisi itu menurut saya cukup instrospektif, selain telah membuktikan sebagai puisi yang panjang tapi sanggup menjaga energinya untuk tidak runtuh saat menjadi sebuah puisi yang panjang.

Demikianlah catatan singkat saya, tentu karena saya tidak ingin “menghabiskan ruang dan kemungkinan” yang akan disediakan oleh sejumlah puisi yang termaktub dalam antologi Dada Tuhan itu sendiri justru apabila saya memaparkan “tafsir saya” atas seluruh puisi-puisinya. Catatan ini hanya sekedar “pintu kecil” yang dapat saya tawarkan, tentu hal itu pun sebagai salah-satu perspektif kecil saja, yang saya serahkan kepada hadirin atau jamaah para pembaca, yang tentu saja, akan menemukan dan mendapatkan banyak hal dan banyak tafsir pembacaan ketika membaca sejumlah puisi yang termaktub dalam antologi Dada Tuhan ini. Salam dan selamat membaca!

*Penyair

Edisi cetak esai ini dapat dibaca di antologi puisi Dada Tuhan karya Bode Riswandi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar