(Foto: Baduy-Kanekes, Banten oleh Andre Arment)
Syahdan, sebagaimana telah diceritakan
banyak orang di Tatar Banten dan Kerajaan Sunda yang mulanya beribukota di
Banten Girang dan kemudian pindah ke Pakuan, sejak Sanghyang sampai ribuan
tahun ke belakang, waktu itu ada seorang Sanghyang yang bernama Sanghyang Sakti
yang mempunyai seorang anak laki-laki. Namun rupa anak ini sangat jelek alias
buruk sekali, badannya hitam dan perutnya buncit. Oleh ayahnya anak ini
diturukan ke bumi, disuruh bertapa dan mengelilingi dunia. Demikianlah si anak
buncit itu turun ke bumi. Kala itu ia sampai pusat kota Cipaitan, yaitu desa
Cihandam yang telah lama ditinggalkan, dan ia terus bertapa di Gunung Kujang.
Saat ia sedang bertapa, ia pun ditemukan oleh Daleum Sangkan sedang telentang
bertapa di atas sebuah batu yang besar. Persis ketika itulah, oleh Daleum
Sangkan ia dibawa pulang dan diambil sebagai anak, serta diurus dengan baik
sekali dan disayangi sampai besar kira-kira teguh samping (berumur delapan atau
sepuluh tahun, menurut perhitungan sekarang).
Apakah yang menjadi menjadi kesukaan
anak buncit ini? Tak lain memasang bubu setiap hari. Dan lama-kelamaan istri
Daleum Sangkan membenci anak buncit ini karena parasnya yang jelek hitam,
perutnya makin lama makin buncit dan matanya besar membelalak. Hanya saja Nyi
Sangkan tidak berani mengusirnya karena takut terhadap Daleum Sangkan. Pada
suatu hari, waktu itu, Daleum Sangkan mengajak si anak buncit untuk memasang
bubu di sungai, tetapi tidak diperkenankan memasangnya di tempat yang baik dan
dalam, ia harus memasangnya di tempat yang jelek dan diangkat saja, agar tidak
mendapat ikannya. Ketika itu Nyi Sangkan berkata: “Kalau tempat yang baik
adalah untukku memasang bubu, jangan oleh kamu”. Lalu mereka masing-masing
menempatkan bubunya.
Diceritakan, si anak buncit itu memasang
bubunya di tempat-tempat yang telah ditunjukan oleh Nyi Sangkan, yaitu di
tempat-tempat yang jelek dengan arus airnya yang deras. Sedangkan Nyi Sangkan
menempatkannya di tempat-tempat yang baik dengan airnya yang tenang. Waktu
keesokan harinya, saat mereka sama-sama melihat, bubunya Nyi Sangkan tidak
berisi ikan sama sekali, meski dipasang di tempat yang baik. Sementara ketika
bubunya si buncit diangkat, ternyata banyak ikan di dalamnya, bahkan ada seekor
ikan yang besar yang disebut ikan lubang, lalu ikannya dibawalah pulang. Dengan
kejadian itu, Nyi Sangkan bertambah benci terhadap anak buncit itu. Ikan yang
besar tadi, tidaklah diberikan kepada Nyi Sangkan oleh anak itu, bahkan ia
pelihara dan dismpan dalam tong yang terbuat dari batang pohon kawung. Nyi
Sangkan menjadi sangat marah, lalu memaki-maki, tetapi si anak buncit ini
tidaklah menghiraukannya.
Tak lama kemudian, Nyi Sangkan mengajak
menanam talas di humanya. Tetapi seperti biasa saja, yaitu Nyi Sangkan menanam
talasnya di tempat yang tanahnya bagus, sedangkan si buncit disuruh menanamnya
ditempat yang jelek yang tanahnya merah bercampur pasir. Lalu mereka menanam
talas. Nyi Sangkan berkata kepada anak buncit: “Wah, kamu menanam talas juga
tak akan ada umbinya, sebab tanahnya jelek, berwarna merah dan bercampur pasir
pula, walau pun nantinya ada juga berumbi, paling besar juga hanya sebesar
kelentitku”. “Kalau tanamanku sudah pasti bagusnya dan banyak umbinya, sebab
tanahnya bagus.” Anak buncit tidak menjawab apa-apa, hanya dalam hatinya ia
berkata, barangkali saja nanti umbinya banyak. Setelah lama, di saat talas
mereka sudah masanya berumbi, mereka pun menengok dan mencabut talas mereka
masing-masing.saat itulah, ternyata, tanaman talas Nyi Sangkan tidak ada
umbinya. Sementara ketika si anak buncit mencabut talasnya, umbinya besar
sekali, meski hanya sebuah, di mana besar umbinya itu sebesar tempayan tempat
beras. Si anak buncit itu pun berbicara kepada Nyi Sangkan sambil
memperlihatkan talasnya dengan diayun-ayunkan: “Ini lihatlah, Uwa, tanaman
talasku ada umbinya sampai sebesar burut Uwa.” Setelah itu, dengan mendadak
terbukti terkena oleh sapaan, alat kelamin Nyi Sangkan menjadi burut sebesar
talas si anak buncit, sama dengan tempayan beras. Nyi Sangkan menjadi kalang
kabut, hatinya makin marah kepada si anak buncit itu, yang karena ia terkena
sapaannya si anak buncit itu menjadi burut alat kelaminnya, hingga ia susah
berjalan, hampir-hampir tak dapat pulang ke rumah.
Sejak saat itu, Nyi Sangkan terus
menangis, dan tentu saja, makin lama makin membenci anak buncit itu. Karena Nyi
Sangkan merasa malu, maka ia pun bermaksud untuk membunuh si buncit, hanya
saja, lagi-lagi, ia merasa takut oleh suaminya, Daleum Sangkan. Pada suatu
waktu, di sebuah hari yang mungkin biasa, ketika si buncit sedang bepergian,
ketika itulah ikan lubang kesayangan si buncit dicuri oleh Nyi Sangkan dari
tong kawung, dibawa ke rumah Nyi Sangkan dan dimasak layaknya ikan, sementara
kepala ikan tersebut tidak dimasaknya, melainkan dimasukkan ke dalam mangkuk dan
disimpan di rak piring dengan ditutup oleh periuk. Tidak lama kemudian si
buncit datang sambil membawa makanan ikan, terus ia mencari ikannya untuk
diberi makan. Ketika dilihat ternyata ikannya sudah tidak ada lagi, si buncit
terus menanyakan, dan berkata: “Ua, ikan saya di mana gerangan ikan
kesayanganku? Jika ia tidak ada di tempatnya, sudah tentu dicuri olehmu.”
Namun, ketika si buncit tengah berbicara
itu, ayam jantan tiba-tiba berkokok: “Kiplip-kiplip (suara tiruan tepukan
sayap, sebelum ayam berkokok) Kongkorongok (suara kokok ayam) // Kepala lubang
disembuyikan, // ditutup oleh periuk, // ditempatkan di dalam mangkuk, //
disimpan di rak piring, // cepat-cepat, // segera harus dicari, // jangan
percaya kepada Nyi Sangkan, // sebab dia buruk hati, // dan ia bermaksud
membunuhmu.” Setelah mendengar kokok ayam yang demikian bunyinya tersebut, maka
si buncit segera mencarinya ke rak piring. Dan ketika ditengoknya, ternyata
kepala lubang itu memang ada seperti dikatakan si ayam jalu yang cerdas itu,
persis ditutup oleh periuk. Sejak itu si buncit tidak bicara lagi, dan ia terus
melarikan diri karena marahnya dan benci yang teramat sangat kepada Nyi
Sangkan. Ia pun langsung pergi ke Negara Pakuan Barat dan bertempat tinggal di
sana sebagai pertapa di pegunungannya, di sekitar Gunung Halimun dan Gunung
Salak. (Disadur Oleh Sulaiman Djaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar