Label

Jumat, 07 Desember 2012

Soneta-soneta Pablo Neruda



XLVIII

Sepasang kekasih yang bahagia membuat sebuah roti,
satu rembulan gugur di rerumputan
Ketika berjalan, mereka melemparkan sepasang bebayang yang mengalir bersama;
ketika bangun, mereka meninggalkan satu surya yang suwung di ranjangnya.

Dari segala kebenaran yang mungkin, mereka memilih hari itu;
mereka menggenggamnya, bukan dengan tali tapi dengan satu aroma.
Mereka tidak merobek kedamaian, tidak pula meremukkan kata-kata
kebahagiaan mereka adalah menara yang tembus pandang

Udara dan anggur menemani sepasang kekasih yang bahagia itu.
Malam memberi kesenangan dengan kelopak-kelopaknya yang riang.
Mereka punya hak atas semua bunga anyelir.

Sepasang kekasih yang bahagia, tanpa suatu akhir, tanpa kematian,
mereka lahir, mereka mati, berkali-kali selagi mereka hidup:
mereka memiliki kekekalan hidup yang alamiah.

 
XC

Aku pikir aku sedang sekarat, aku rasakan hawa dingin mendekat
dan tahu bahwa dari seluruh hidupku cuma kau yang kutinggalkan:
siang dan malamku yang fana adalah mulutmu,
kulitmu adalah kerajaan yang didirikan oleh ciuman-ciumanku.

Pada saat itu buku-buku berhenti,
juga persahabatan, kekayaan menumpuk dengan gelisah,
rumah transparan yang kau dan aku bangun:
segala sesuatu berguguran, kecuali matamu.

Sebab sementara kehidupan mengusik kita, cinta hanyalah
gelombang yang lebih tinggi ketimbang gelombang-gelombang lainnya:
tapi oh, kala maut datang mengetuk pintu gerbang,

di sana hanya tatapanmu yang melawan begitu banyak kekosongan,
hanya cahayamu yang melawan kepunahan,
hanya cintamu yang mengusir bebayang


XVII

Aku tak mencintaimu seakan kau mawar-bergaram, atau manikam
atau panah bunga-bunga anyelir yang diluncurkan nyala api
Aku mencintaimu bak benda-benda gelap tertentu yang dicintai
dalam rahasia, di antara bebayang dan jiwa.

Aku mencintaimu bagaikan tanaman yang tak pernah berbunga
namun membawa sinar dari bunga-bunga tersembunyi dalam dirinya;
terima kasih pada cintamu atas harumnya yang penuh
yang bangkit dari bumi, mukim dalam gelap di tubuhku

Aku mencintaimu tanpa tahu bagaimana, atau kapan, atau dari mana
Aku mencintaimu dengan lugas, tanpa banyak soal atau rasa bangga;
begitulah aku mencintaimu sebab aku tak tahu jalan lain

selain itu: di mana aku tak ada, kau juga tak ada
begitu dekat sehingga tanganmu yang di dadaku tak lain tanganku,
begitu dekat sehingga ketika aku tidur seolah matamulah yang terpejam.


XXIX

Engkau datang dari kemiskinan, dari rumah-rumah di Selatan
dari lanskap-lanskap yang dingin dan berlindu
yang menawarkan pada kita – setelah dewa-dewa itu terjungkal
ke dalam kematian – hikmah hidup, yang terbentuk di lempung

Kau adalah kuda kecil dari lempung hitam, sebuah ciuman
dari lumpur gelap, Kekasihku, sekuntum popy lempung,
merpati senja yang terbang sepanjang jejalan,
tabungan airmata dari masa kecil kita yang melarat

Gadis kecilku, jantung kemiskinan telah ada dalam dirimu
kakimu terbiasa mengasah batu-batu
mulutmu tak selalu punya roti, atau gula-gula

Kau datang dari Selatan yang miskin, di mana jiwaku bermula
di ketinggian langit itu ibumu masih mencuci pakaian
dengan ibuku. Karena itulah aku memilihmu, mempelaiku.


XCI

Usia merangkumi kita bagai gerimis
waktu tak berkesudahan dan sedih
bulu garam menyentuh parasmu
tetesannya merusak bajuku

Waktu tak terbedakan di antara tanganku
dan sekerumun jeruk dalam dirimu
dengan salju dan hidup terbaik yang meluruh
dalam hidupmu, yang juga hidupku

Hidupku, yang kuberikan padamu, terisi
dengan tahun-tahun bak sekelompok buah yang mengembang
Anggur-anggur akan kembali ke bumi

Dan bahkan waktu turun di sana
terus-menerus, menunggu, menghujan
ke atas debu, berhasrat menghapuskan bahkan ketakhadiran


XLIV

Kau mesti tahu bahwa aku tak mencintaimu dan bahwa aku mencintaimu
sebab segala sesuatu yang hidup mempunyai dua sisi
sepatah kata adalah satu sayap dari keheningan
api mempunyai separuh dingin

Aku mencintaimu untuk mulai mencintaimu
untuk memulai ketakterbatasan kembali
dan tak pernah berhenti mencintaimu:
sebab itulah mengapa aku tak mencintaimu

Aku mencintaimu dan tak mencintaimu, seolah kugenggam
kunci-kunci di tanganku; untuk masa depan kegembiraan –
nasib malang yang kacau balau —

Cintaku mempunyai dua kehidupan, untuk mencintaimu;
sebab itulah aku mencintaimu ketika aku tak mencintaimu
dan pula mengapa aku mencintaimu ketika aku mencintaimu


Pablo Neruda Lahir di kota Parral, Chili, pada 12 Juli 1904. nama lengkapnya Ricardo Eliecer Naftali Reyes Basoalto. Dalam tahun 1920, dia memakai nama pena Pablo Neruda, terinspirasi dari seorang penyair Ceko, Jan Neruda. Pada 1927, karena putus asa, Neruda menerima jabatan sebagai konsul kehormatan di Rangoon, Burma, seraya kerja serabutan di Kolombo, Srilangka, Batavia dan Singapura. Di Jawa ia menikahi isterinya yang pertama, seorang wanita Belanda pegawai bank, bernama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang. Menerima International Peace Prize (1950) dan The Nobel Prize for Literature (1971). Buku-bukunya yang terbit: Crepusculario (Senja, 1923), Veinte Poemas de amor y una cancion desesperada (1924), sehimpun sajak cintanya yang paling terkenal dan paling banyak diterjemahkan. Kemudian espana en el corazon (Spanyol di kalbuku) paska perang saudara di Spanyol, sebuah situasi yang mengubahnya dari seorang individualis menjadi aktivis dan membuatnya sangat terlibat dalam politik, Alturas de Macchu Picchu (1945), sebuah puisi yang tebalnya satu buku, ditulis dalam 12 bagian. Canto General de Chile (1950), menghimpun 250 sajak Neruda yang dicipta saat masa-masa sulit, menjadi seorang eksil di negeri sendiri. Kemudian Cien Sonetos de amor (1960), buku ini, terbit di Boenos Aires. Neruda, meninggal di Klinik Santa Maria, Santiago, pada malam 23 September 1973 terpapar Leukimia. Konon, beberapa saat sebelum ia wafat, tentara-tentara Pinochet (Jenderal yang memimpin Kudeta militer pada 11 september 1973), menggeledah rumah Neruda di Isla Negra. Ucapan Neruda kala itu: “Carilah – hanya ada satu benda yang berbahaya untuk kalian di sini – puisi”. 

Sumber:
Judul               : Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta
Penulis             : Pablo Neruda
Cetakan           : I, 2009
Penerbit           : Penerbit Madah, Yogyakarta kerjasama dengan Parikesit Institute dan Interlude
Tebal               : vi + 128 halaman (100 judul puisi)
ISBN               : 978-979-19797-0-2
Judul asal        : Cien Soetos de Amor, yang kemudian diterjemahkan dari bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris oleh Stephen Tapscott menjadi 100 Love Sonnets
Penerjemah ke Bahasa Indonesia : Tia Setiadi
Editor : Agus Manaji dan Sukandar

Senin, 03 Desember 2012

Puisi-puisi Pablo Neruda


Tersesat di Hutan

Tersesat di hutan, kupatahkan reranting gelap dahan
yang meruapkan bisikan-bisikan di bibirku yang dahaga.
Mungkin itu suara tangisan hujan,
pecah genta atau hati yang terajam kelam.

Sesuatu yang terindera berasal dari langkah yang jauh
dalam dan rahasia, tersembunyi di dalam bumi
seperti teriakan yang teredam oleh gunungan musim gugur
oleh lembab dan kibas setengah terbuka kegelapan dedaun
terbangun dari mimpi hutan disana, kabut
bernyanyi di bawah lidahku, menghanyut wewangian
meruyap naik di alam bawah sadarku 

Saat telah kutinggalkan di belakang, tiba-tiba akar-akar
menangis padaku, tanah yang telah hilang bersama masa kanak-kanakku
dan aku berhenti, terluka oleh harum pengembaraan.


Sewaktu Bersandar Pada Senja

Sewaktu bersandar pada senja, kutebarkan jala dukaku
ke lautan matamu.

Di sana, kesepianku membesar dan membakar dalam marak api maha tinggi
tangannya menggapai bagai orang lemas.

Kukirim isyarat merah ke arah matamu yang hampa
yang menampar lembut seperti laut di pantai rumah api.

Kau jaga hanya kegelapan, perempuanku yang jauh
pantai ketakutan kadang-kadang muncul dari renunganmu.

Sewaktu bersandar pada senja, kucampakkan jala dukaku
ke laut yang mengocak lautan matamu.

Burung-burung malam mematuk pada bintang-bintang pertama
yang mengerdip seperti kalbuku ketika menyintaimu.

Malam menunggang kuda bayangan
sambil menyelerakkan tangkai-tangkai gandum biru di padang-padang. 


Puisi-puisi Rabindranath Tagore


Doa

Memberkati hati kecil ini, jiwa putih ini
telah memenangkan ciuman surga bagi bumi kita.
Dia mencintai cahaya matahari, dia mencintai
dan melihatnya wajah ibu.
Dia tidak belajar untuk membenci debu,
dan berminat setelah emas.
Genggam dia untuk jantungmu
dan memberkatinya.
Dia telah datang ke negeri ini
menempuh seratus jalan lintas.
Aku tidak tahu bagaimana dia memilihmu
dari orang-orang yang datang ke pintumu,
dan memegang tanganmu
demi meminta jalan.

Ia akan mengikutimu, tertawa dan berbicara,
dan tak ada keraguan dalam hatinya.
Jauhkan kepercayaannya, memimpin lurus
dan memberkatinya. Meletakkan tangannya
di kepalanya, dan berdoa
bahwa meskipun gelombang di bawah mengancam,
namun napas dari atas dapat datang
dan mengisi layar, dan menghembusnya
ke surga perdamaian. Lupakan dia jika kau tidak tergesa,
dan biarkan dia datang ke hati
dan memberkati.


Izinkan

Izinkan aku berdoa bukan agar terhindar
dari bahaya, melainkan agar aku
tiada takut menghadapinya.
Izinkan aku memohon bukan agar
penderitaanku hilang melainkan agar hatiku
teguh menghadapinya,
Izinkan aku tidak mencari sekutu
dalam medan perjuangan hidupku
melainkan memperoleh kekuatanku sendiri.
Izinkan aku tidak mengidamkan
dalam ketakutan dan kegelisahan
untuk diselamatkan, melainkan harapan
dan kesabaran untuk memenangkan
kebebasanku.  Berkati aku, sehingga aku
tidak menjadi pengecut
dengan merasakan kemurahan-Mu
dalam keberhasilanku semata,
melainkan biarkan aku menemukan
genggaman tangan-Mu dalam kegagalanku.