Label

Rabu, 01 April 2015

Galeri Buku Kritik Sastra


MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2014. Penulis: Martin Suryajaya dan lain-lain. Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta. Tebal: 240 Halaman. Genre: Kritik Sastra

Kajian terhadap sastra Indonesia selama satu dekade terakhir terasa sangat menyedihkan. Tak hanya karena kritik dan kajian sastra mendapat­kan sedikit ruang, tapi juga banyak kritikus sastra terjebak pada dikotomi “haters” dan “nyinyir” ketika melakukan kritik.

Padahal, di masa lalu, kritik sastra men­jadi satu tolok ukur sebuah karya bermutu atau tidak. Nama-nama seperti HB Jassin, A Teeuw, dan Ajip Rosidi adalah kritikus yang membawa karya sastra Indonesia menjadi dibanggakan.

Linda Christanty menyebut ketiadaan kritik sastra yang baik dan bertanggung jawab membuat sastra Nusantara menanggung musibah. Para pendidik atau guru di sekolah mengenalkan buku-buku kepada siswa tanpa mengetahui dengan tepat dan jelas macam apa buku-buku tersebut. Hasilnya, selera baca murid memburuk dan pengetahuan khazanah sastra sangat terbatas.

Kita mengenal HB Jassin, Paus Sastra Indonesia, yang rajin sekali mencari, mem­promosikan, dan mengkritik para penyair muda untuk kemudian diperkenalkan. Jassin tidak sembarangan memperkenalkan, tentu dengan catatan dan juga penjabaran yang serius mengapa seorang penyair wajib dikenal.

Kritikus dalam hal ini tidak melulu men­cari cela dan salah dari orang lain untuk kemudian diutarakan dalam kata-kata pedas. Kritikus juga berperan memperke­nalkan orang, komunitas, atau sebuah karya untuk diapresasi lebih luas sebagai karya sastra yang agung.

Namun, tentu kritikus juga bisa menjadi praktisi. Ingat bagaimana Subagio Sastro­wardoyo menulis buku kritik sastra Sosok Pribadi dalam Sajak atau Goenawan Mo­hamad dalam Di Sekitar Sajak, menulis tentang penyair dan puisi-puisinya.

Juga bagaimana Afrizal Malna dalam Sesuatu Indonesia: Personifikasi Pembaca yang Tak Bersih menjelaskan rona zaman melalui esai-esai tentang puisi karya cpenda­hulunya. Namun, apakah kita akan melulu hanya dicekoki mereka? Penulis yang hanya mengglorifikasi dan menasbihkan kelompok sendiri sebagai kelompok sastra terbaik.

Dalam buku baru terbitan Dewan Kesenian Jakarta, Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2014, kita menemukan harapan sastra Indonesia belum mati. Setidaknya ia memberikan harapan bahwa ruang apresiasi, kritik, dan perdebatan sastra masih ada dan terbuka lebar.

Buku ini mencatat beberapa penulis yang memang konsisten melakukan kritik dan apresiasi sastra. Seperti Bandung Mawardi, Sunlie Thomas Alexander, Sulaiman Djaya, Martin Suryajaya, Endiq Anang P, Ita Siregar, dan M Irfan Zamzani. Mereka menulis dan melakukan apresiasi terhadap karya sastra dengan serius. Melalui pembacaan menda­lam dan analisis yang tajam.

Pemenang kritik sastra tahun lalu, Martin Suryajaya, melakukan telaah serius terhadap buku Bilangan Fu karya Ayu Utami. Ia mengoreksi hampir keseluruhan ide dan pemikiran filsafat dalam buku itu yang dianggapnya kurang tepat dan memi­liki banyak kejanggalan. Martin menyebut buku Ayu sebagai “novel-diktat”, novel yang narasi puitiknya berulang kali dipotong oleh paparan ala diktat kuliah dan terbebani oleh teori-teori.

Endiq Anang membedah buku puisi Nirwan Dewanto Buli-buli Lima Kaki. Endiq berusaha membedah habitus, kapital, dan field dalam paradigma strukturalisme Bourdieu. Menurutnya, ada usaha mikikri puisi-puisi itu dengan epos Yunani. Ia mem­bandingkan sosok penyair Nirwan dengan Minotaur, Theseus, yang ada dalam khazanah Yunani klasik.

Munculnya buku ini adalah upaya memba­wa pembacaan sastra menjadi satu hal serius. Ketika kritik sastra bukan sekadar memuji “bagus” atau “keren”.

Masih banyak kritik yang indah, lugas, jernih, dan bernas dalam buku ini. Namun satu narasi yang bisa dipetik adalah usaha untuk mendekatkan sastra kepada pembaca. Sastra seharusnya bukan barang mewah yang hanya bisa dinikmati segelintir orang.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar