MEMASAK
NASI GORENG TANPA NASI: Antologi Esai Pemenang Sayembara
Kritik Sastra DKJ 2014. Penulis:
Martin Suryajaya dan lain-lain. Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta. Tebal:
240 Halaman. Genre: Kritik Sastra
Kajian terhadap sastra
Indonesia selama satu dekade terakhir terasa sangat menyedihkan. Tak hanya
karena kritik dan kajian sastra mendapatkan sedikit ruang, tapi juga banyak
kritikus sastra terjebak pada dikotomi “haters” dan “nyinyir” ketika melakukan
kritik.
Padahal, di masa lalu,
kritik sastra menjadi satu tolok ukur sebuah karya bermutu atau tidak.
Nama-nama seperti HB Jassin, A Teeuw, dan Ajip Rosidi adalah kritikus yang
membawa karya sastra Indonesia menjadi dibanggakan.
Linda Christanty menyebut
ketiadaan kritik sastra yang baik dan bertanggung jawab membuat sastra
Nusantara menanggung musibah. Para pendidik atau guru di sekolah mengenalkan
buku-buku kepada siswa tanpa mengetahui dengan tepat dan jelas macam apa
buku-buku tersebut. Hasilnya, selera baca murid memburuk dan pengetahuan
khazanah sastra sangat terbatas.
Kita mengenal HB Jassin,
Paus Sastra Indonesia, yang rajin sekali mencari, mempromosikan, dan
mengkritik para penyair muda untuk kemudian diperkenalkan. Jassin tidak
sembarangan memperkenalkan, tentu dengan catatan dan juga penjabaran yang
serius mengapa seorang penyair wajib dikenal.
Kritikus dalam hal ini
tidak melulu mencari cela dan salah dari orang lain untuk kemudian diutarakan
dalam kata-kata pedas. Kritikus juga berperan memperkenalkan orang, komunitas,
atau sebuah karya untuk diapresasi lebih luas sebagai karya sastra yang agung.
Namun, tentu kritikus juga
bisa menjadi praktisi. Ingat bagaimana Subagio Sastrowardoyo menulis buku
kritik sastra Sosok Pribadi dalam Sajak atau Goenawan Mohamad dalam Di Sekitar
Sajak, menulis tentang penyair dan puisi-puisinya.
Juga bagaimana Afrizal
Malna dalam Sesuatu Indonesia: Personifikasi Pembaca yang Tak Bersih
menjelaskan rona zaman melalui esai-esai tentang puisi karya cpendahulunya.
Namun, apakah kita akan melulu hanya dicekoki mereka? Penulis yang hanya
mengglorifikasi dan menasbihkan kelompok sendiri sebagai kelompok sastra
terbaik.
Dalam buku baru terbitan
Dewan Kesenian Jakarta, Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang
Sayembara Kritik Sastra DKJ 2014, kita menemukan harapan sastra Indonesia belum
mati. Setidaknya ia memberikan harapan bahwa ruang apresiasi, kritik, dan
perdebatan sastra masih ada dan terbuka lebar.
Buku ini mencatat beberapa
penulis yang memang konsisten melakukan kritik dan apresiasi sastra. Seperti
Bandung Mawardi, Sunlie Thomas Alexander, Sulaiman Djaya, Martin Suryajaya,
Endiq Anang P, Ita Siregar, dan M Irfan Zamzani. Mereka menulis dan melakukan
apresiasi terhadap karya sastra dengan serius. Melalui pembacaan mendalam dan
analisis yang tajam.
Pemenang kritik sastra
tahun lalu, Martin Suryajaya, melakukan telaah serius terhadap buku Bilangan Fu
karya Ayu Utami. Ia mengoreksi hampir keseluruhan ide dan pemikiran filsafat
dalam buku itu yang dianggapnya kurang tepat dan memiliki banyak kejanggalan.
Martin menyebut buku Ayu sebagai “novel-diktat”, novel yang narasi puitiknya
berulang kali dipotong oleh paparan ala diktat kuliah dan terbebani oleh
teori-teori.
Endiq Anang membedah buku
puisi Nirwan Dewanto Buli-buli Lima Kaki. Endiq berusaha membedah habitus,
kapital, dan field dalam paradigma strukturalisme Bourdieu. Menurutnya, ada
usaha mikikri puisi-puisi itu dengan epos Yunani. Ia membandingkan sosok
penyair Nirwan dengan Minotaur, Theseus, yang ada dalam khazanah Yunani klasik.
Munculnya buku ini adalah
upaya membawa pembacaan sastra menjadi satu hal serius. Ketika kritik sastra
bukan sekadar memuji “bagus” atau “keren”.
Masih banyak kritik yang
indah, lugas, jernih, dan bernas dalam buku ini. Namun satu narasi yang bisa
dipetik adalah usaha untuk mendekatkan sastra kepada pembaca. Sastra seharusnya
bukan barang mewah yang hanya bisa dinikmati segelintir orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar