Label

Minggu, 23 Maret 2014

Pendekatan Determinasi dalam Puisi


Oleh Shafwan Hadi Umry

MENURUT teori otonomi semantik perbedaan makna tidak dapat diatasi, karena makna bukanlah apa yang dikatakan penyair, tetapi 'apa makna puisi itu bagi berbagai pembaca yang peka'. Sebuah tafsiran dapat dipandang bahwa yang satu sama tepatnya dengan tafsiran yang lain, sepanjang tafsiran itu 'peka' atau 'masuk akal'. 
Penafsiran atas puisi menimbulkan dua kutub yang berdiri pada posisi yang berbeda. Jika makna terbaik bukan milik pengarang, maka makna itu pastilah milik kritikus, dan dalam hal ini sang kritikus adalah 'penyair makna terbaik'. Bilamana makna dikaitkan pada serangkaian kata-kata maka kita tidak mungkin melepaskan diri dari penyair sebagai pemilik puisi. 

Perdebatan ini selalu muncul ketika kritikus/pengamat sedang membahas puisi-puisi sang penyair. Selalu timbul ketegangan, konflik dan kepentingan yakni kepentingan pengamat sebagai kritikus dan kepentingan penyair sebagai pemilik puisi. 

Inilah 'kekacauan' dalam teori yang kita alami sekarang ini. Oleh karena itu sering pengamat atau kritikus gamang untuk memasuki dunia otonom penyair yang menulis karya puisi. Kritikus dihadapkan pada persoalan makna tafsiran atas puisi.

Hirsh sang kritikus menawarkan apa yang disebut prinsip determinacy (Heraty, Hidup Matinya Seorang Pengarang, 2000:64).

Prinsip ini adalah kemampuan untuk memaknakan ulang yang memungkinkan kita, membuat penafsiran. Jika makna tidak dapat diulang kembali, maka ia tidak dapat diaktualkan orang lain dan karenanya tidak dapat dipahami atau ditafsirkan.

Determinacy adalah sifat dwi-makna yang diperlukan agar ada sesuatu yang dapat diwujudkan kembali. Ia mutlak diperlukan agar sesuatu makna dapat diteruskan pada orang lain. Memang, sebagian besar makna kata tidak persis dan kabur. Ia memiliki daerah perbatasan antara keambiguan (makna ganda) dan ketunggalan. 

Makna kata memiliki identitas diri pada kurun waktu yang berkaitan dengan sejarah atau waktu.

Dalam pembicaraan ini kita menampilkan beberapa puisi penyair (menurut pilihan dan pertimbangan tertentu).

Pertama, puisi karya penyair Sulaiman Djaya dari Banten (Mazmur Musim Sunyi, 2013). Simaklah kata-kata di bawah ini:

Bacalah dengan nama piring, gelas, sendok, dan buku-buku, juga sepotong kue bolu di antara baris-baris angka dan kalender tua. Di bawah Maret yang agak coklat dan sudut-sudut yang tak saling menyapa, benda-benda saling sibuk menghitung apa yang tak sempat kaubaca dalam diam mereka yang dungu dan bisu, bagai lembar-lembar sebuah fiksi kesukaanmu.

Kudengar gerimis berjingkat-jingkatan di sudut matamu, dan senja tiba-tiba telah berubah menjadi rumah-rumah yang tak satupun memiliki jendela.

Namun, kau masih sempat memandang beberapa ekor burung dan unggas yang melintas. juga tiang-tiang biru sebuah istana yang pernah kauceritakan.


Puisi penyair di atas benar-benar memadukan dunia realitas dan dunia mimpinya. Dunia keseharian seorang penyair yang bertemu dengan kebutuhan fisikal manusia yakni makan, minum bermain menikmati alam dan membaca. Bagi sang penyair alam dan kebiasaan adalah teman manusia setiap hari. Sesekali ia memimpikan sebuah istana suatu gambaran dunia kekuasaan.

Pada puisi yang berjudul 'Monolog" ia mengakui dirinya untuk belajar menyimak berita yang tidak semuanya sesuai dengan fakta. Penyair menulis;

Saya tahu seorang penyair harus belajar
Menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku
Tapi di luar kalimat tak pernah terjadi apa-apa,
Di luar kalimat segalanya berubah kapan saja
Seperti cuaca.Namun tidak juga
Saya mesti menyimak semua berita
Yang semakin tak membuktikan apa-apa.


Pada puisi "Mantra dari Negeri Para Sultan" penyair melakukan referensi ke masa lalu. Kata-kata yang dipakai untuk membangun semacam 'the time tunnel' sebuah lorong waktu masa lalu yang dicurahkan ke masa kini. Simaklah puisi yang di anggap terindah dalam kumpulan puisi ini.

Misalkan kau Bandar di kota tua, aku adalah seorang kapiten muda yang mencari sirih dan lada dari Banten dan kapur dari Barus. di atas bentangan layarku , langit menyisir rambutnya yang perawan. saat itu aku adalah Diogo de Couto yang berangkat dari Coromandel dan Calcutta. Sedangkan kau seorang putri Ong Tien dari Tiongkok yang terdampar di Teluk Karangantu saat hendak ke Tuban dan Aros Baya.

Pada puisi 'Cello Serenade" penyair memahami puisi dengan cara berpuisi.

Biarkan puisi mencari takdirnya sendiri
Karena puisi tak cuma nukilan kata-kata
Bahkan bahasaku seumpama
Bulu-bulu yang lepas dari sayap


Penyair kedua adalah Raudah Jambak asal kota Medan. Ada dua puisi yang sempat terekam dalam lembaran Budaya Analisa (18 Mei 2008).

Puisi 'Pada Kalender-kalender yang Tak Lagi Terbaca' penyair menuliskan kecemasan dan keresahannya tentang perpisahan masa lalu yang dimetaforakan pada kalender yang setiap bulan berganti dan akhirnya tertinggal dan mungkin terkoyak bersama kenangan. Kita baca ulang kembali puisi tersebut.

Pada kalender-kalender yang tak lagi
Terbaca, aku susun catatan-catatan kita
Angin mengelus dingin ubun-ubunku
Bersama genangan airmata

Stasiun ini pun telah lama tak lagi
menunggu janji setia, yang tertinggal
Hanya serpihan hati dari gores tangan
Berwarna derita

Pada kalender-kalender yang tak lagi
Terbaca, rindu dendam telah lama buram
Mengenangmu, entah di mana berimba.

Stasiun sebagai terminal selalu menjadi inspirasi beberapa penyair untuk menangkap lanskap 'terminal' suatu simbol perhentian sementara, suatu yang menawar janji untuk tidak setia.

Secara paradoks setiap waktu trem dan kereta api mengangkut manusia tetapi belum tentu mengangkut diri penyair, stasiun tetaplah sebuah penantian sementara kereta yang ditunggu tetap hadir mengangkut penumpang tetapi belum tentu kita penumpangnya.

Pada puisi 'Tentang hujan daun dan kau' penyair ini berkata;

Sederas deru nyanyian hujan kau tetap bertahan
Baris-baris debu, menyembur mantra beraroma dupa
Karam di kornea mata menghapus jejak perjalanan

Di setiap titik peron-peron lengang
Baris-baris takdir menghadirkan bau amis
Meranting sepanjang jalanan bercabang
Dan daun-daun yang melayang rebah

Sekelam bayang-bayang malam kau hadirkan geram
Langkah-langkah kata pun perlahan terhenti menderas
Sepenuh tangis memeluk risau
Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan…

Ada tiga simbol yang dipakai penyair yakni hujan, daun dan kau. Simbol, hujan untuk menampilkan kedatangan rahmat Tuhan karena itu orang yang sadar tentang rahmat Tuhan akan bertahan penuh kesabaran.

Namun, tidak dengan daun, lambang takdir yang 'meranting selama perjalanan hidup seseorang manusia' dan akhirnya gugur layu menunaikan takdirnya.

Suatu simbol awal kehidupan dan akhir kematian. Kemudian 'kau' dipakai sebagai media dialog antara penyair dengan seseorang mungkin anak istri, murid atau teman-teman yang dianggap akrab dengan kehidupan penyair.

Beberapa puisi yang ditulis oleh dua penyair pilihan bulan ini membuktikan bahwa pendekatan determinacy sebagai alternatif memahami dan menafsir puisi menurut kita adalah suatu makna dapat diteruskan pada orang lain.

Semua ini berdasarkan identitas diri kepenyairan. Oleh karena tanpa identitas diri komunikasi maupun ketepatan dalam tafsir tidak akan mungkin terjadi.

Kamis, 20 Maret 2014

Catatan Harian Mantan Bandit




1971, aku sudah siap memerkosa dan menjarah Asia. Usiaku duapuluh enam tahun, dan merasa diperdaya oleh kehidupan. Aku ingin membalas dendam.  Jika direnungkan kembali, kini aku yakin, kemarahanlah yang membuat aku mendapat pekerjaan itu. NSA (Nasional Security Agency), Organisasi spionase rahasia bangsa ini telah mengidentifikasi diriku sebagai seorang yang berpotensi menjadi Bandit Ekonomi. Chas. T.Main – pimpinan sebuah firma konsultan internasional (MAIN) yang melakukan pekerjaan korpo-ratokrasi kotor – memperkerjakanku sebagai kandidat ideal penjarah dunia ketiga (hal. 3).

“Ketika aku tiba di Indonesia pada 1971, tujuan kebijakan asing sudah jelas, yaitu menghentikan komunisme dan mendukung sang presiden. Kami berharap Soeharto melayani Washington seperti halnya Shah Iran. Kedua orang itu serupa : tamak, angkuh dan bengis. Selain mendambakan minyaknya, kami ingin menjadikan Indonesia sebagai contoh bagi negara-negara Asia lainnya, juga dunia Islam, khususnya Timur Tengah” (hal. 6).

Perusahaanku, MAIN, bertugas mengembangkan sistem kelistrikan yang memungkinkan Soeharto dan kroni-kroninya menggerakan Industrialisasi, menambah kekayaan, dan memastikan dominasi Amerika dalam jangka panjang. Sedangkan tugasku adalah melakukan kajian perekonomian yang diperlukan untuk mendapatkan pendanaan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) (hal.6).

Mendulang Emas dari Tsunami

Kebanyakan warga AS tidak tahu bahwa bencana nasional bisa disamakan dengan perang. Bencana sangat menguntungkan pebisnis besar. Banyak uang untuk pembangunan kembali pasca bencana mengalir ke firma pembangunan AS dan korporasi multinasional. Berbagai program “pemulihan pasca bencana” justru memberi satu kendaraan lagi untuk menyalurkan uang kepada para pembangun imperium (hal.50).

Duapuluh enam Desember 2004 adalah hari yang kelam. Bukan hanya bagi korban langsung tsunami yang mengerikan, tetapi juga bagi kita semua yang percaya pada kasih sayang, kemuliaan dan amal baik kepada sesama penghuni bumi (hal.51).

Pemerintah Bush tidak menyia-nyiakan waktu. Sebulan setelah Tsunami, tepatnya Januari 2005, Washington membalik kebijakan Clinton 1999 yang memutuskan hubungan dengan militer Indonesia yang refresif. Gedung Putih mengirimkan peralatan militer senilai 1 juta dolar ke Jakarta. Pada 7 Februari 2005, The New York Times melaporkan ” Washington menyabet kesempatan yang muncul pasca-Tsunami … Menlu Condoleeze Rice mengambil langkah dengan memperkuat pelatihan Amerika terhadap pejabat Indonesia secara signifikan…. (hal. 53).

Sebuah contoh meyakinkan yang menunjukan betapa korporatokrasi mengeksploitasi bencana alam bisa dilihat di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh. Selama tiga dasa warsa warga setempat melakukan perlawanan untuk mencegah masuknya perusahaan kayu dan minyak ke salah satu kawasan terkaya di dunia ini. Namun setelah GAM ditumpas, kawasan ini terbuka untuk dieksploitasi kembali (hal.54). Hubungan antara elit pemerintah Indonesia, pemerintah AS, dan korporasi Internasional, mengindikasikan metode yang digunakan korporatokrasi di seluruh dunia selama era pasca perang dunia II. Sebagian besar pembangunan imperium dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi.

Ekonomi Dualistik Setelah Reformasi

Oleh Meuthia Ganie-Rochman

Pada tahun 1953, Boeke menulis karakateristik ekonomi yang bersifat dualistik di negara-negara bekas jajahan, termasuk Indonesia. Dualisme ekonomi adalah keberadaan dua mode perekonomian dimana yang satu sudah mengikuti jaringan kapitalisme dunia, sedangkan yang satu pertukarannya digerakan oleh logika kultur lokal.

Tujuh puluh tahun setelah Boeke menerbitkan buku tersebut, perekonomian Indonesia sekarang hampir tidak ada yang luput dari kapitalisme dunia. Atau, jika konsep kapitalisme terlalu problematik, cukup dikatakan bahwa hampir seluruh perekonomian Indonesia dikoordinasi oleh lembaga perekonomian modern seperti perbankan dan pajak oleh negara. Namun tanpa kita sadari terjadi dualisme lain melanda logika ekonomi Indonesia yaitu ekonomi legal dan ilegal. Ini bukan persoalan kategori saja, melainkan tentang berlangsungnya dua logika dan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi arah pembangunan Indonesia.

Perekonomian legal terekam oleh indikator statistik yang jelas seperti sumbangan pada PDB  dan pajak. Ekonomi legal memungkinkan negara membuat rancangan yang realsitis tentang pembangunan. Ekonomi legal juga memudahkan isu akuntabilitas yang dituntut dari negara, atu antara pihak-pihak yang bekerja sama. Ekonomi ilegal sebaliknya: sukar diprediksi arus mengalirnya, dan para aktornya sukar dijangkau isu akuntabilitas. Ekonomi ilegal bisa saja memberi pendapatan pada sejumlah anggota masyarakat, namun publik tidak punya aturan main di dalamnya.

Kegiatan ekonomi ilegal meliputi semua transaksi yang tidak patut menurut hukum, seperti korupsi, penambangan ilegal, penyelundupan, perjudian gelap, atau pengerahan massa demonstrasi.  Dari kasus yang ditangani KPK, didapat indikasi sangat besarnya uang yang terlibat dalam transaksi ilegal ini dari korupsi saja. Para pihak yang terlibat mengetahui bahwa transaksi ini melanggar hukum dan karena itu mereka tidak dapat memunculkannya melalui saluran formal.

Ekonomi ilegal dari korupsi bukan masalah kategori penyimpangan dan  bahkan bukan sekedar masalah uang yang hilang, misalnya dari pajak negara.  Selama ini penegak hukum dan publik hanya menilai dari kerugian finansial negara.  Padahal korupsi mempunyai dampak lebih luas dari itu baik secara ekonomi maupun institusi masyarakat.  Uang hasil korupsi tidak hanya dibelanjakan oleh pelaku seperti dibelikan barang-barang konsumsi.

Sebagian dari para koruptor menginginkan uang itu diputar kembali agar berkesinambungan.  Untuk “naik ke permukaan” uang itu harus dimasukkan dalam kegiatan ekonomi legal seperti pembelian saham atau diputar dalam bisnis tertentu.  Namun berbeda dengan unit usaha lain, uang perusahaan dari hasil korupsi tidak mempunyai basis strukturalnya. Uang ekonomi legal merupakan hasil perputaran dalam struktur ekonomi. Ia merupakan hasil dari logika pasar normal yang menentukan berapa nilai ekonomi dari sejumlah uang terhadap barang nyata.

Bayangkan jika berbagai kegiatan ekonomi yang berasal dari uang ‘mudah’ ini memasuki pasar persaingan dengan pelaku ekonomi lain. Usaha-usaha ekonomi yang dicari dengan proses dan kerja keras akan kalah bersaing dengan uang mudah ini.  Usaha yang didirikan dari hasil korupsi akan tidak segan membeli infrastruktur yang lebih baik atau menggaji orang pintar dengan lebih baik. Sebaliknya, unit usaha hasil korupsi sering serampangan dalam perhitungan bisnis. Jika ini cukup banyak, maka akan merusak etika bisnis, menurunkan standar kompetensi dalam pasar, merusak prinsip kehati-hatian, atau mendistorsi harga.

Sebagai contoh, bayangkan jika uang hasil korupsi masuk ke dalam sektor properti. Pada awalnya, harga tanah akan terdistorsi. Pemborongan lahan dengan uang mudah ini akan meningkatkan harga tanah. Anggota masyarakat biasa yang mendapatkan uangnya dengan kerja keras dan membutuhkan tanah harus membeli tanah yang semakin membumbung.

Korupsi juga banyak merusak sistem politik, lebih dari persoalan legitimasi yang jatuh terhadap pemerintah dan para politisi. Masyarakat dengan sistem politik formal yang sudah demokratis akan enggan mengikuti partisipasi politik. Seperti yang terjadi di Indonesia, partisipasi dalam pemilu(kada) terus menurun secara jelas. Jika tidak terjadi sesuatu perubahan yang meyakinkan, penulis meramalkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif akan turun hingga di bawah 50 persen.

Uang korupsi yang sistematis memudahkan muncunya kronisme dan politik dinasti. Mereka memanfaatkan dana publik untuk menduduki posisi penting di daerah dan nasional. Pada tingkat nasional akumulasi kekayaan dan pengaruh mengambil bentuk lebih canggih yaitu masuk ke unit dan organisasi ekonomi yang sudah mapan. Di tingkat daerah, wujudnya lebih kasar dan primitif seperti pemanfaatan fasilitas publik, memaksa para investor memberikan upeti atau kedudukan famili dalam perusahaan, atau para famili yang mendirikan usaha tanpa penglaman sebelumnya.

Korupsi jelas telah menghasilkan ketidakstabilan politik di daerah-daerah. Protes dan pembangkangan telah terjadi di sejumlah daerah. Pembangunan stagnan dan pemerintah daerah tidak mampu responsif dengan kebutuhan rakyat. Para calon terpilih terikat pada utang budi dan beban biaya sebelumnya.

Pengembangan kultur dan sistem politik dibunuh oleh distorsi sumber daya oleh para koruptor dalam partai politik. Bahkan membunuh sistem partainya sendiri. Sistem demokrasi, apalagi yang baru seperti Indonesia, masih harus diperbaiki terus menerus. Misalnya, partai harus memerbaiki komunikasi politik dan penyerapan kebutuhan pemilih. Pada tingkat yang lebih tinggi, partai harus mampu melakukan negosiasi antara kepentingan pemilihnya dengan kepentingan yang lebih luas. Semua itu membutuhkan pembangunan instrumen partai. Rakyat yang apatis akan menjadi tidak demokratis secara terpaksa (desperately undemocratic) dengan memilih calon semata dari daerahnya.

Pembangunan demokrasi harus disertai politik masyarakat sipil yang baik. Artinya, sistem politik bukan soal perwakilan tapi juga memperkuat kehidupan organisasi masyarakat sipil agar mampu menangani persoalan publik dan kemasyarakat. Di Indonesia, parlemen telah mengesyahkan UU Ormas yang akan menggerogoti energi organisasi masyarakat. Parlemen sendiri merupakan cermin dari partai politik yang gagal menjalankan fungsi sistem demokrasi. Korupsi telah merusak organisasi ini.

Meuthia Ganie-Rochman, sosiolog organisasi, mengajar di Universitas Indonesia. 


Senin, 17 Maret 2014

Mundo Nuevo, Jejak CCF di Amerika Latin


Oleh Ronny Agustinus
 

Belakangan ini, para budayawan sepuh Indonesia sedang ramai dimintai pertanggungjawaban sejarah oleh generasi muda mengenai “peran” mereka dalam tragedi 1965. “Peran” yang dimaksud di sini secara khusus merujuk pada keterlibatan mereka dalam proyek-proyek kebudayaan antikomunis yang disokong oleh Congress for Cultural Freedom (CCF), sebuah operasi terselubung (covert action) Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat. CCF adalah tangan penggerak operasi global AS di bidang kebudayaan untuk meluaskan dominasi ekonomi-politik liberal mereka.

Bahwa CCF adalah operasi CIA bukanlah isapan jempol belaka. Fakta ini sudah dibongkar jauh-jauh hari sejak April 1966; pertama oleh reportase Tom Wicker di New York Times, dan kedua oleh reportase majalah Ramparts melalui redakturnya, Warren Hinckle. Barangsiapa menyangsikan “kualitas” reportase-reportase tersebut, perlu dicatat bahwa Ramparts dianugerahi George Polk Memorial Award for Excellence in Journalism atas kerja investigatifnya itu. Berpuluh tahun kemudian, dengan meneliti arsip-arsip yang telah dideklasifikasi, Frances Stonor Saunders merinci keterkaitan CIA-CCF dalam buku Who Paid the Piper? CIA and the Cultural Cold War (1999).

Mengutip kalimat pembukaan Saunders dalam bukunya: “Selama puncak Perang Dingin, pemerintah AS menyediakan sumber daya yang sangat besar untuk program rahasia propaganda kebudayaan [...] Program ini dikelola dengan sangat rahasia oleh tangan spionase Amerika, CIA. Di pusat aksi ini terdapat Congress for Cultural Freedom yang dijalankan oleh agen CIA Michael Josselson [...] Semasa puncaknya, Congress for Cultural Freedom punya kantor di 35 negara, mempekerjakan lusinan personil, menerbitkan lebih dari 20 majalah bergengsi, menggelar pameran-pameran seni rupa, memiliki layanan kantor berita, menyelenggarakan konferensi-konferensi internasional papan atas, dan menganugerahi para musisi dan seniman dengan penghargaan-penghargaan dan pertunjukan publik.” Tujuannya: “Menjauhkan kaum intelegensia dari Marxisme menuju pandangan yang lebih akomodatif terhadap ‘cara Amerika’.”[1][1]

Fakta-fakta inilah, yang meskipun sudah diketahui umum, rupanya tetap tak hendak diakui oleh para penulis dan intelektual Indonesia yang terlibat. Operator CCF untuk Asia, Ivan Kats, yang menjalin hubungan dekat dengan para intelektual Indonesia untuk menggarap kerja CCF di sini, dibela oleh Goenawan Mohamad dengan dibilang “tak tahu” soal hubungan CCF dengan CIA dan “terkejut” saat membaca laporan New York Times karena “tak menyangka”.[2][2] Almarhum Mochtar Lubis menyangkal keras kaitan itu, sementara Taufiq Ismail mengaku “tertegun” setelah mengetahuinya.[3][3]

Para pembela mereka juga kerap mengungkapkan dalih yang kira-kira berbunyi demikian, "CIA kan bukan intel Melayu. Kerjanya sangat rapi. Operasinya saja covert action. Maka sangat wajar dan bisa dimaklumi kalau orang-orang CCF maupun para penulis yang bekerjasama dengan mereka tidak tahu menahu bahwa mereka bekerjasama dengan CIA."

Argumen itu mungkin betul. Tapi yang jadi masalah di sini: adakah tindakan etis yang dilakukan oleh para penulis  dan budayawan itu setelah fakta keterkaitan CCF-CIA dibongkar oleh reportase New York Times dan Ramparts pada 1966? Kita bisa menengok ke Amerika Latin untuk mencari pembandingnya.

Jelas, di mata AS saat itu, Amerika Latin sebagaimana Asia Tenggara adalah wilayah prioritas yang harus disterilkan dari pengaruh komunis. AS punya banyak alasan untuk merasa waswas. Tahun Baru 1959 dibuka dengan kaburnya diktator boneka AS dari Kuba, Fulgencio Batista, akibat ditumbangkan oleh pasukan gerilya Fidel Castro. Revolusi Kuba dan kemenangan Castro punya dampak luar biasa pada kesadaran geo-politik subbenua itu. Negara-negara Amerika Selatan mulai melihat dirinya sebagai satu kesatuan politik yang mengalami rute historis serupa dan tumbuhlah rasa sebagai “satu Amerika Latin.” Dari pengalaman gerilya itu pula Che Guevara menuliskan teorinya yang terkenal, teori foco, yaitu bahwa garda depan pasukan bersenjata bisa menyulut gerakan-gerakan revolusioner sejenis di sepenjuru Amerika Latin.

Untuk menangkal pengaruh Revolusi Kuba (dan dengan demikian ide-ide Marxis) di bidang pemikiran dan kebudayaan, sekretariat CCF di Paris merasa perlu menerbitkan sebuah majalah baru untuk menggantikan majalah CCF di Amerika Latin sebelumnya, Cuadernos del Congreso por la Libertad de la Cultura (disingkat Cuadernos). Cuadernos terbit triwulanan sejak Maret 1953 dan sukses membangun jaringan di beberapa negara dari Cile hingga Uruguay.[4][4] Namun pasca Revolusi Kuba 1959, Cuadernos dirasa sudah terlampau kuno. Kalangan pembacanya terpusat pada generasi yang menggelorakan semangat Republikan dalam Perang Saudara Spanyol, dan tidak mampu masuk ke segmen pembaca lebih muda yang menjadikan Revolusi Kuba sebagai kiblatnya. Pada 1963 Cuadernos disudahi, dan dari kantor CCF yang sama di Paris digodok sebuah majalah baru bernama Mundo Nuevo (Dunia Baru).

Di bawah keredaksian Emir Rodríguez Monegal, kritikus sastra asal Uruguay yang bisa kita sebut sebagai “Ivan Katsnya Amerika Latin”, Mundo Nuevo dibuat menjadi lebih “sastrawi” dibanding Cuadernos. Dengan semboyan “una revista de diálogo” (atau “majalah dialog”), ia juga menyatakan diri “apolitis” atau tidak memihak satu pandangan politik tertentu. Klaim ketidakberpihakan ini terasa janggal menurut kritikus Jean Franco, karena jelas-jelas “Mundo Nuevo dimaksudkan untuk menandingi pengaruh Revolusi Kuba pada imajinasi para penulis muda serta pengaruh jurnal kebudayaan Kuba Casa de las Américas [yang] merayakan perjuangan pembebasan negara-negara Dunia Ketiga, gerakan Black Power di AS, perjuangan gerilya, dan tradisi anti-imperialisme Amerika Latin.”[5][5]

Di sini kita bisa melihat jelas perbedaan ideologis Mundo Nuevo di bawah Rodríguez Monegal dengan Casa de las Américas di bawah kepemimpinan Haydée Santamaría. Apabila Casa de las Américas berusaha membentuk “geografi kultural baru” dengan menempatkan Amerika Latin dalam konteks perjuangan pembebasan nasional negara-negara Dunia Ketiga, Mundo Nuevo berusaha menempatkan Amerika Latin ke dalam “akar universal”-nya di Eropa. Mirip sekali dengan proyek “humanisme universal” di Indonesia dengan klaim universalisme dan ketidakberpihakannya. Apabila Haydée Santamaría mengkritik para penulis Amerika Latin yang tinggal di Eropa, Rodríguez Monegal justru mengklaim bahwa para penulis besar Amerika Latin adalah yang tinggal di luar negeri. Perbedaan cara pandang ini juga kentara jelas saat dua jurnal yang mereka kelola membahas topik yang sama, misalnya peringatan 100 tahun kelahiran penyair Nikaragua Ruben Darío. Apabila Mundo Nuevo menempatkan pencapaian Darío dalam jajaran modernisme tinggi, setara dengan para penyair Eropa seperti Stéphane Mallarmé atau Rainer Maria Rilke, Casa de las Américas melihat Darío sebagai prototipe gerilyawan Kuba yang siap menghadapi imperialisme AS.[6][6]

Atas prinsip itu jugalah (“menempatkan kebudayaan Amerika Latin dalam konteks yang internasional sekaligus aktual,” sebagaimana disebutkan dalam editorial edisi perdananya), Mundo Nuevo memilih berkantor pusat di Paris. Tentunya ada juga kebutuhan praktis terkait pembiayaan dari CCF yang bermarkas di kota yang sama[7][7] serta koordinasi dengan jurnal-jurnal lain terbitan CCF. Mundo Nuevo dicetak 5.000-6.000 eks dan diedarkan di seluruh negara Amerika Latin serta sedikit di AS dan Eropa. Tak pelak lagi ia adalah bagian dari apa yang oleh Sekretaris Eksekutif CCF sekaligus agen CIA Michael Josselson disebut sebagai “grande famille (keluarga besar) majalah-majalah antikomunis.” Artikel-artikel Mundo Nuevo diterjemahkan dan dimuat di pelbagai jurnal terbitan CCF lainnya, sebagaimana Mundo Nuevo juga berhak menerbitkan terjemahan artikel-artikel dari “keluarga besar majalah antikomunis” lainnya yang dibiayai CCF.[8][8]

Dengan misinya yang kosmopolit dan kontemporer, serta peluang untuk diterjemahkan ke bahasa-bahasa selain Spanyol, Rodríguez Monegal berhasil menarik banyak penulis Amerika Latin dari pelbagai kecondongan politik untuk bekerja sama atau mengirimkan karyanya ke Mundo Nuevo. Tersebutlah nama-nama yang sedang naik daun seperti Carlos Fuentes, José Donoso, Augusto Roa Bastos, Guillermo Cabrera Infante, Octavio Paz, Gustavo Sainz, Gabriel García Márquez, Mario Vargas Llosa, dan Julio Cortázar—nama-nama yang nantinya menjadi nama-nama besar dan mendunia dalam apa yang disebut sebagai “boom” sastra Amerika Latin. Maka dalam satu hal, Mundo Nuevo punya peran “mempromosikan” terlebih dahulu para penulis ini kepada pembaca Eropa sebelum “boom” sastra sungguh-sungguh terjadi.[9][9] Petikan karya-karya yang kini menjadi “kanon” sastra Amerika Latin era boom terlebih dulu terbit di Mundo Nuevo sebelum terbit utuh sebagai novel (misalnya potongan Cien años de soledad karya García Márquez, Cambio de piel karya Carlos Fuentes, dan Tres tristes tigres karya Guillermo Cabrera Infante). Rodríguez Monegal bahkan mengajak García Márquez menjadi kontributor tetap Mundo Nuevo dengan tawaran upah AS$400 sebulan.



Sebelum García Márquez sempat memberi jawaban atas tawaran itu, kehebohan keburu pecah akibat terbitnya reportase The New York Times dan Ramparts. Artikel-artikel di kedua media itu diterjemahkan ke bahasa Spanyol dan dicetak ulang di koran Uruguay Marcha serta Casa de las Américas, musuh bebuyutan Mundo Nuevo. Sebagian di antara para penulis di atas mengambil sikap melancarkan kecaman terbuka atas akal-akalan Mundo Nuevo. Perlu dicatat di sini bahwa Mario Vargas Llosa dan Julio Cortázar sejak awal bersikap skeptis terhadap proyek ini dan paling enggan berkontribusi. Sedangkan Cabrera Infrante tak merasa bermasalah dengan afiliasi CIA karena ia sendiri bentrok dengan rezim Castro dan memutuskan eksil dari Kuba. Sementara bagi para penulis yang secara jelas menyatakan haluan politik kirinya, seperti García Márquez yang berteman karib dengan Fidel Castro, dikuaknya fakta ini benar-benar membuatnya merasa “dikadali” (“cornudos”). Ia dan Roa Bastos menyesali kontribusinya dan menyatakan takkan pernah berhubungan lagi dengan Mundo Nuevo, sebagaimana terbaca dari suratnya kepada Rodríguez Monegal:

“Percayalah bahwa saya tidak punya syak wasangka terhadap mata-mata di dunia nyata. Saat Anda mengajak saya bekerja di Mundo Nuevo, banyak kawan yang selera humor politiknya lebih rendah dari saya mengingatkan tentang kecurigaan umum bahwa CCF menjalin hubungan luar nikah dengan CIA Amerika Serikat [...] Singkat kata, saya yakin cerita soal mata-mata ini tak terlukiskan selama kita semua dengan jujur tahu permainan apa yang tengah kita mainkan. Tapi sekarang sepertinya CCF sendiri tidak tahu permainan mereka, dan dengan keterlaluan ini sudah melewati batas-batas humor dan memasuki ranah sastra fantasi yang tak terduga dan menggelincirkan. Atas situasi ini, Tuan Direktur, tentu tidak mengejutkan apabila Anda yang paling pertama paham bahwa saya tidak akan bekerjasama lagi dengan Mundo Nuevo, yang telah menutup-nutupi kaitannya dengan organisasi yang telah membawa saya dan banyak kawan lain ke dalam situasi dikadali ini.”[7][10]

Rodríguez Monegal sendiri membantah kaitan dengan CIA tersebut dan tetap bersikeras menyatakan Mundo Nuevo independen. Dalam penjelasannya kepada pembaca di edisi Mei 1967, ia tekankan bahwa Mundo Nuevo “bukanlah organ pemerintahan atau partai manapun, kelompok atau sekte apapun, kecondongan religius atau politik apapun, melainkan sebuah jurnal yang disunting semata-mata seturut keputusan redakturnya yang merupakan satu-satunya pihak yang bertanggungjawab dalam memilih materi yang diterbitkan.”[7][11]

Mungkinkah Rodríguez Monegal sebenarnya juga tidak tahu kaitan CCF-CIA sebagaimana Ivan Kats dibilang tidak tahu? Beberapa bukti menyatakan sebaliknya, terutama surat-surat Rodríguez Monegal sendiri ke para petinggi CCF termasuk Michael Josselson, Pierre Emmanuel, dan Shepard Stone pasca pecahnya skandal. Dalam surat-suratnya ke Josselson dan Stone, Rodríguez Monegal mendesak agar skema pembiayaan Mundo Nuevo diambil alih oleh Ford Foundation dan agar Ford Foundation menyebarluaskan pernyataan pers bahwa Mundo Nuevo memang telah didanainya sejak awal.[7][12] Rodríguez Monegal berharap pernyataan pers ini bisa membantah kaitan antara jurnalnya dengan CCF-CIA. Ia berharap bisa mengubah karangan ini menjadi kenyataan! “Il faudra convertir cette fiction en réalité,” demikian tulisnya dalam surat kepada Pierre Emmanuel di CCF (Emmanuel ini seorang penyair Perancis dan pengurus CCF yang –kebetulan—sempat diperkenalkan kepada Goenawan Mohamad oleh Ivan Kats di kantor CCF, Paris, meski konon tak lebih dari 30 menit).[7][13]

Permohonan Rodríguez Monegal dikabulkan: Ford Fundation mengambil alih skema pembiayaan Mundo Nuevo, tapi tanpa pernyataan pers yang diharap-harapkannya itu. Pada 1968 Rodríguez Monegal mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi Mundo Nuevo dan hingga wafatnya terus bersikeras bahwa jurnalnya hanya pernah didanai oleh Ford Foundation dan tak pernah oleh CCF. Kantor Mundo Nuevo dipindah ke Buenos Aires dan arah jurnal itu bergeser lebih ke ilmu sosial daripada sastra. Kualitasnya secara umum jauh menurun akibat sedikitnya penulis yang masih mau menjadi kontributornya. Ford Foundation memberi tenggat pembiayaan sampai tahun 1971 dan mengharapkan Mundo Nuevo bisa mandiri secara finansial sesudahnya. Karena tidak sanggup, akhirnya majalah itu pun tutup pada tahun tersebut.

Dari sini kita bisa melihat, para budayawan sepuh Indonesia ternyata juga memilih cara Rodríguez Monegal untuk terus membantah kaitan antara CCF-CIA dengan proyek-proyek kebudayaan yang mereka lakukan sekitar 1965 dan sesudahnya, sekalipun bukti-bukti menyatakan sebaliknya. Pasca skandal terkuak, agen-agen CIA di dalam CCF mundur. CCF dibubarkan dan berganti nama menjadi International Association for Cultural Freedom (ICAF), tapi proyek ICAF berjalan terus. Tak satu pun dari budayawan tadi yang melakukan kecaman publik atas kerja CCF di Indonesia, tapi juga tak ada satu pun yang berani berterus terang menyatakan persetujuan –sebagaimana Cabrera Infante—atas keterlibatan CIA dalam ketegangan politik di Indonesia masa-masa itu. Yang ada hanya penyangkalan. Dan ini lagi-lagi menguatkan sinyalemen Frances Stonor Saunders bahwa kerja propaganda budaya ini memang harus menyangkal keberadaannya sendiri (“a central feature of this programme was to advance the claim that it did not exist.”)[7][14] Maka janganlah terlalu berharap akan adanya pertanggungjawaban sejarah dalam waktu dekat, karena memang sepertinya sudah menjadi “tugas” sang budayawan untuk terus menyangkalnya.



[7][1] Francis Stonor Saunders, Who Paid the Piper? CIA and the Cultural Cold War (London: Granta, 1999), hlm. 1.
[7][2] Goenawan Mohamad, “Jawaban untuk Martin: Bagian Pertama,” 10 Desember 2013.
[7][3] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2013), hlm. 92.
[7][5] Jean Franco, The Decline and Fall of the Lettered City: Latin America in the Cold War (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2002), hlm. 45. Buku yang mengupas secara mendalam Mundo Nuevo sebagai kepanjangan tangan politik kebudayaan CCF dan imperialisme AS adalah karya María Eugenia Mudrovcic, Mundo Nuevo: Cultura y Guerra Fría en la década del 60 (Buenos Aires: Beatriz Viterbo, 1997).
[7][6] Lihat Russell St. Clair Cobb, “Our Men in Paris? Mundo Nuevo, the Cuban Revolution, and the Politics of Cultural Freedom,” disertasi di University of Texas, Austin, Agustus 2007, hlm. 3-4.
[7][7] Mundo Nuevo dikelola di bawah manajemen Instituto Latinoamericano de Relaciones Internacionales (ILARI), yang juga menerbitkan tiga majalah lainnya yakni Aportes, Cadernos Brasileiros, dan Temas. Pada 1966 ILARI menerima dana AS$260.000 dari CCF, dan anggaran terbesarnya (sejumlah AS$80.000) diperuntukkan buat Mundo Nuevo. ILARI sendiri didirikan langsung oleh Michael Josselson sebagai organisasi proxy dengan akta legal organisasi di Swiss. ILARI kemudian mewarisi semua kantor, peralatan, dan personalia CCF di Argentina, Brasil, Cile, Peru, Uruguay, membuka kantor-kantor baru di Paraguay dan Bolivia, serta menutup kantor yang sudah ada di Meksiko dan Kolombia. Lihat Mudrovcic, op.cit., hlm. 25.
[7][8] Cobb, op. cit., hlm. 28.
[7][9] Dalam memoarnya mengenai masa-masa ini, José Donoso menyebut Mundo Nuevo-lah yang paling bertanggungjawab atas “boom” sastra Amerika Latin (“boom” di sini berarti lonjakan karya sastra Amerika Latin yang diterjemahkan dan diterbitkan di luar negeri). Lihat José Donoso, Historia personal del “boom” (Barcelona: Editorial Anagrama, 1972).