Label

Kamis, 20 Maret 2014

Catatan Harian Mantan Bandit




1971, aku sudah siap memerkosa dan menjarah Asia. Usiaku duapuluh enam tahun, dan merasa diperdaya oleh kehidupan. Aku ingin membalas dendam.  Jika direnungkan kembali, kini aku yakin, kemarahanlah yang membuat aku mendapat pekerjaan itu. NSA (Nasional Security Agency), Organisasi spionase rahasia bangsa ini telah mengidentifikasi diriku sebagai seorang yang berpotensi menjadi Bandit Ekonomi. Chas. T.Main – pimpinan sebuah firma konsultan internasional (MAIN) yang melakukan pekerjaan korpo-ratokrasi kotor – memperkerjakanku sebagai kandidat ideal penjarah dunia ketiga (hal. 3).

“Ketika aku tiba di Indonesia pada 1971, tujuan kebijakan asing sudah jelas, yaitu menghentikan komunisme dan mendukung sang presiden. Kami berharap Soeharto melayani Washington seperti halnya Shah Iran. Kedua orang itu serupa : tamak, angkuh dan bengis. Selain mendambakan minyaknya, kami ingin menjadikan Indonesia sebagai contoh bagi negara-negara Asia lainnya, juga dunia Islam, khususnya Timur Tengah” (hal. 6).

Perusahaanku, MAIN, bertugas mengembangkan sistem kelistrikan yang memungkinkan Soeharto dan kroni-kroninya menggerakan Industrialisasi, menambah kekayaan, dan memastikan dominasi Amerika dalam jangka panjang. Sedangkan tugasku adalah melakukan kajian perekonomian yang diperlukan untuk mendapatkan pendanaan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) (hal.6).

Mendulang Emas dari Tsunami

Kebanyakan warga AS tidak tahu bahwa bencana nasional bisa disamakan dengan perang. Bencana sangat menguntungkan pebisnis besar. Banyak uang untuk pembangunan kembali pasca bencana mengalir ke firma pembangunan AS dan korporasi multinasional. Berbagai program “pemulihan pasca bencana” justru memberi satu kendaraan lagi untuk menyalurkan uang kepada para pembangun imperium (hal.50).

Duapuluh enam Desember 2004 adalah hari yang kelam. Bukan hanya bagi korban langsung tsunami yang mengerikan, tetapi juga bagi kita semua yang percaya pada kasih sayang, kemuliaan dan amal baik kepada sesama penghuni bumi (hal.51).

Pemerintah Bush tidak menyia-nyiakan waktu. Sebulan setelah Tsunami, tepatnya Januari 2005, Washington membalik kebijakan Clinton 1999 yang memutuskan hubungan dengan militer Indonesia yang refresif. Gedung Putih mengirimkan peralatan militer senilai 1 juta dolar ke Jakarta. Pada 7 Februari 2005, The New York Times melaporkan ” Washington menyabet kesempatan yang muncul pasca-Tsunami … Menlu Condoleeze Rice mengambil langkah dengan memperkuat pelatihan Amerika terhadap pejabat Indonesia secara signifikan…. (hal. 53).

Sebuah contoh meyakinkan yang menunjukan betapa korporatokrasi mengeksploitasi bencana alam bisa dilihat di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh. Selama tiga dasa warsa warga setempat melakukan perlawanan untuk mencegah masuknya perusahaan kayu dan minyak ke salah satu kawasan terkaya di dunia ini. Namun setelah GAM ditumpas, kawasan ini terbuka untuk dieksploitasi kembali (hal.54). Hubungan antara elit pemerintah Indonesia, pemerintah AS, dan korporasi Internasional, mengindikasikan metode yang digunakan korporatokrasi di seluruh dunia selama era pasca perang dunia II. Sebagian besar pembangunan imperium dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar