1971,
aku sudah siap memerkosa dan menjarah Asia. Usiaku duapuluh enam tahun, dan
merasa diperdaya oleh kehidupan. Aku ingin membalas dendam. Jika direnungkan kembali, kini aku yakin,
kemarahanlah yang membuat aku mendapat pekerjaan itu. NSA (Nasional
Security Agency), Organisasi spionase rahasia bangsa ini telah
mengidentifikasi diriku sebagai seorang yang berpotensi menjadi Bandit Ekonomi.
Chas. T.Main – pimpinan sebuah firma konsultan internasional (MAIN) yang
melakukan pekerjaan korpo-ratokrasi kotor – memperkerjakanku sebagai kandidat
ideal penjarah dunia ketiga (hal. 3).
“Ketika
aku tiba di Indonesia pada 1971, tujuan kebijakan asing sudah jelas, yaitu
menghentikan komunisme dan mendukung sang presiden. Kami berharap Soeharto
melayani Washington seperti halnya Shah Iran. Kedua orang itu serupa : tamak,
angkuh dan bengis. Selain mendambakan minyaknya, kami ingin menjadikan
Indonesia sebagai contoh bagi negara-negara Asia lainnya, juga dunia Islam,
khususnya Timur Tengah” (hal. 6).
Perusahaanku,
MAIN, bertugas mengembangkan sistem kelistrikan yang memungkinkan Soeharto dan
kroni-kroninya menggerakan Industrialisasi, menambah kekayaan, dan memastikan
dominasi Amerika dalam jangka panjang. Sedangkan tugasku adalah melakukan
kajian perekonomian yang diperlukan untuk mendapatkan pendanaan Bank Dunia,
Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID)
(hal.6).
Mendulang Emas dari Tsunami
Kebanyakan warga AS tidak tahu bahwa
bencana nasional bisa disamakan dengan perang. Bencana sangat menguntungkan
pebisnis besar. Banyak uang untuk pembangunan kembali pasca bencana mengalir ke
firma pembangunan AS dan korporasi multinasional. Berbagai program “pemulihan
pasca bencana” justru memberi satu kendaraan lagi untuk menyalurkan uang kepada
para pembangun imperium (hal.50).
Duapuluh enam Desember 2004 adalah
hari yang kelam. Bukan hanya bagi korban langsung tsunami yang mengerikan,
tetapi juga bagi kita semua yang percaya pada kasih sayang, kemuliaan dan amal
baik kepada sesama penghuni bumi (hal.51).
Pemerintah Bush tidak menyia-nyiakan
waktu. Sebulan setelah Tsunami, tepatnya Januari 2005, Washington membalik
kebijakan Clinton 1999 yang memutuskan hubungan dengan militer Indonesia yang
refresif. Gedung Putih mengirimkan peralatan militer senilai 1 juta dolar ke
Jakarta. Pada 7 Februari 2005, The New York Times melaporkan ” Washington
menyabet kesempatan yang muncul pasca-Tsunami … Menlu Condoleeze Rice mengambil
langkah dengan memperkuat pelatihan Amerika terhadap pejabat Indonesia secara
signifikan…. (hal. 53).
Sebuah contoh meyakinkan yang
menunjukan betapa korporatokrasi mengeksploitasi bencana alam bisa dilihat di
Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh. Selama tiga dasa warsa warga setempat
melakukan perlawanan untuk mencegah masuknya perusahaan kayu dan minyak ke
salah satu kawasan terkaya di dunia ini. Namun setelah GAM ditumpas, kawasan
ini terbuka untuk dieksploitasi kembali (hal.54). Hubungan antara elit
pemerintah Indonesia, pemerintah AS, dan korporasi Internasional, mengindikasikan
metode yang digunakan korporatokrasi di seluruh dunia selama era pasca perang
dunia II. Sebagian besar pembangunan imperium dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar