Label

Senin, 29 Oktober 2012

Menyimak Suara Dian Hartati




Oleh Sulaiman Djaya

Buku kumpulan puisi Dian Hartati: Cerita Tentang Daun terbitan ASAS 2007, pada akhirnya adalah sebentuk ungkapan keintiman pada hidup. Sebuah kehendak untuk mencintai dan tak melukai “yang ada”. Seperti kelembutan yang dihadirkannya dalam puisi “Remang Jendela”: dari tadi aku memandang keluar, dengan senja yang semakin redup, dengan tiba cabang yang semakin redup, aku lihat hilir mudik, dari balik jendela, daun dan ranting yang menjuntai, membuat lanskap, bahwa kita ada.

Keintiman dan kepekaan pada hidup memanglah dengan sendirinya menjadi sejenis rasa religius dalam diri seorang penyair. Kepekaan dan keintiman tersebut kemudian berkembang menjadi sumber kreativitas dan penulisan. Perasaan berubah pengungkapan. Pengungkapan meminjam bahasa dan kata-kata. Pada konteks yang lain, keintiman pada hidup tersebut salah-satunya adalah kedekatan sang penyair dengan alam. Dalam puisi “Aku Masih Ingin Berpijak Pada Alam” Dian Hartati pun menulis: aku ingin masih berpijak pada alam, dengan bintang dan bulan yang aku incar, pada setiap kenang bersamamu, menggapai keinginan hanya pada alam, Tuhan dan segala kebesarannya. Suara lembut tersebut tak lain adalah sebentuk komitmen dan pengabdian pada hidup, pada “yang ada” dan “yang fana”.

Di kali yang lain, keintiman dan kepekaan pada hidup tersebut menghasilkan suara jernih sang penyair. Suara jernih Dian Hartati sendiri sebagai individu dan pribadi. Dalam puisi “Tapal Batas”, Dian Hartati pun bersuara: dari balik rimbun pohon, sebuah puri berdiri, menapaki tangga, menuju pilar, lonceng yang berdentang, mengagetkan kelelawar, dari tapal batas, matahari tak lagi bersinar.

Di kali yang lain lagi, religiusitas ini mampu menumbuhkan sekaligus merawat harapan. Dian Hartati pun mengungkapkannya dalam puisi “Sedap Malam”: dalam malam yang melayang, seikat sedap malam dalam genggaman, beberapa tangkai dengan kuncup hijau, mekar dan menebar. Nada yang sama juga terungkapkan dalam dalam “Cerita Tentang Daun”: daun-daun bercerita, saat hujan membasahinya, saat matahari menghijaukannya, saat tangan-tangan jahil melukainya, saat angin bosan dengannya, walau harus luruh, gugur, dan menjadi humus.

Pengabdian dan keintiman pada hiduplah yang mampu menjadi do’a. Sebentuk do’a yang tersusun dari cinta. Lalu Dian Hartati pun melanjutkan ekspresi kreatif penulisannya dengan semangat tersebut. Seperti dalam puisi “Masih Dengan Rindu Yang Sama”: masih dengan rindu yang sama, aku sepakati segala gundah hati, kecintaan yang tak pernah reda, gelegar kisi-kisi hati. Bermula dari rindu dan berakhir pada rindu. Dian Hartati pun melanjutkan: Tuhan pun mendengar, ketika rindu ini memaksa diri.

Dalam kefanaan yang terbatas, kerinduan ini ternyata tak ingin terbatas. Lalu meminta yang abadi. Menjangkau semesta. Mencoba menyelam dalam ketakterbatasan meski sia-sia. Dalam puisi “Semesta Rindu”, sang penyair pun menulis: semesta akhirnya membawamu, pada kerinduan abadi, tentang kasih yang kandas, dan tak akan kembali. Dian Hartati adalah contoh dari suara lembut perempuan yang menawarkan sebentuk pembacaan yang menyadari bahwa rasa religius hanya mengalami kerjenihannya dalam puisi. Yang bersumber dari kepekaan dan keintiman seorang penyair dengan hidup dan yang fana.

Serang, Banten 2008. 

Diunduh dari: http://sudutbumi.wordpress.com/category/apresiasi/page/4/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar