Oleh
Sulaiman Djaya
Buku
kumpulan puisi Dian Hartati: Cerita Tentang Daun terbitan ASAS 2007,
pada akhirnya adalah sebentuk ungkapan keintiman pada hidup. Sebuah kehendak
untuk mencintai dan tak melukai “yang ada”. Seperti kelembutan yang
dihadirkannya dalam puisi “Remang Jendela”: dari tadi aku memandang keluar,
dengan senja yang semakin redup, dengan tiba cabang yang semakin redup, aku
lihat hilir mudik, dari balik jendela, daun dan ranting yang menjuntai, membuat
lanskap, bahwa kita ada.
Keintiman
dan kepekaan pada hidup memanglah dengan sendirinya menjadi sejenis rasa
religius dalam diri seorang penyair. Kepekaan dan keintiman tersebut kemudian
berkembang menjadi sumber kreativitas dan penulisan. Perasaan berubah pengungkapan.
Pengungkapan meminjam bahasa dan kata-kata. Pada konteks yang lain, keintiman
pada hidup tersebut salah-satunya adalah kedekatan sang penyair dengan alam.
Dalam puisi “Aku Masih Ingin Berpijak Pada Alam” Dian Hartati pun menulis: aku
ingin masih berpijak pada alam, dengan bintang dan bulan yang aku incar, pada
setiap kenang bersamamu, menggapai keinginan hanya pada alam, Tuhan dan segala
kebesarannya. Suara lembut tersebut tak lain adalah sebentuk komitmen dan
pengabdian pada hidup, pada “yang ada” dan “yang fana”.
Di
kali yang lain, keintiman dan kepekaan pada hidup tersebut menghasilkan suara
jernih sang penyair. Suara jernih Dian Hartati sendiri sebagai individu dan
pribadi. Dalam puisi “Tapal Batas”, Dian Hartati pun bersuara: dari balik
rimbun pohon, sebuah puri berdiri, menapaki tangga, menuju pilar, lonceng yang
berdentang, mengagetkan kelelawar, dari tapal batas, matahari tak lagi bersinar.
Di
kali yang lain lagi, religiusitas ini mampu menumbuhkan sekaligus merawat
harapan. Dian Hartati pun mengungkapkannya dalam puisi “Sedap Malam”: dalam
malam yang melayang, seikat sedap malam dalam genggaman, beberapa tangkai
dengan kuncup hijau, mekar dan menebar. Nada yang sama juga terungkapkan
dalam dalam “Cerita Tentang Daun”: daun-daun bercerita, saat hujan
membasahinya, saat matahari menghijaukannya, saat tangan-tangan jahil
melukainya, saat angin bosan dengannya, walau harus luruh, gugur, dan menjadi
humus.
Pengabdian
dan keintiman pada hiduplah yang mampu menjadi do’a. Sebentuk do’a yang tersusun
dari cinta. Lalu Dian Hartati pun melanjutkan ekspresi kreatif penulisannya
dengan semangat tersebut. Seperti dalam puisi “Masih Dengan Rindu Yang Sama”: masih
dengan rindu yang sama, aku sepakati segala gundah hati, kecintaan yang tak
pernah reda, gelegar kisi-kisi hati. Bermula dari rindu dan berakhir pada
rindu. Dian Hartati pun melanjutkan: Tuhan pun mendengar, ketika rindu ini
memaksa diri.
Dalam
kefanaan yang terbatas, kerinduan ini ternyata tak ingin terbatas. Lalu meminta
yang abadi. Menjangkau semesta. Mencoba menyelam dalam ketakterbatasan meski
sia-sia. Dalam puisi “Semesta Rindu”, sang penyair pun menulis: semesta
akhirnya membawamu, pada kerinduan abadi, tentang kasih yang kandas, dan tak
akan kembali. Dian Hartati adalah contoh dari suara lembut perempuan yang
menawarkan sebentuk pembacaan yang menyadari bahwa rasa religius hanya
mengalami kerjenihannya dalam puisi. Yang bersumber dari kepekaan dan keintiman
seorang penyair dengan hidup dan yang fana.
Serang,
Banten 2008.
Diunduh dari: http://sudutbumi.wordpress.com/category/apresiasi/page/4/
Diunduh dari: http://sudutbumi.wordpress.com/category/apresiasi/page/4/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar