Ratapan
Maut
dan kelelapan, rajawali muram itu,
Semalaman mendengungi kepala:
Agar citra kencana manusia
Ditelan gigil banjir
Sang keabadian. Porandalah
Tubuh ungu ini di seram karang.
Dan gelap suara
Meratap di atas lautan.
Wahai, dinda kemurungan membadai
Lihatlah, sampan cemas tengah tenggelam
Di bawah gemintang,
Wajah bisu sang malam.
Semalaman mendengungi kepala:
Agar citra kencana manusia
Ditelan gigil banjir
Sang keabadian. Porandalah
Tubuh ungu ini di seram karang.
Dan gelap suara
Meratap di atas lautan.
Wahai, dinda kemurungan membadai
Lihatlah, sampan cemas tengah tenggelam
Di bawah gemintang,
Wajah bisu sang malam.
Kepada Si Pemuda
Elis
Elis,
jika amsel memanggil di rimba gelap,
Tibalah
keruntuhanmu.
Bibirmu
mereguk kesejukan perigi biru.
Jika
dahimu lirih berdarah, tinggalkan
Dongeng
legenda purbakala
Dan
isyarat gelap burung-burung di angkasa.
Namun,
kau melangkah lembut ke lubuk malam
Yang
rimbun oleh anggur ungu,
Dan
kian gemilang kau ayunkan lengan dalam biru.
Semak
berduri bersenandung
Di
tempat matamu membulan.
O,
engkau mati, Elis, betapa lama silam.
Tubuhmu
setangkai bunga bakung,
Ke
dalamnya biarawan celupkan jemari lilinnya.
Goa
hitamlah kebisuan kita.
Kadang,
dari goa itu keluar hewan lembut
mengatupkan
perlahan kelopaknya yang berat.
Pelipismu
ditetesi embun hitam,
Emas
penghabisan dari runtuhan gemintang.
Elis: Nama
pemuda yang muncul dalam berbagai puisi Trakl. Menurut para peneliti perpuisian
Trakl, nama ini berkaitan dengan buruh tambang Swedia bernama Elis Fröbom yang
hidup pada abad ke-17. Konon, Elis Fröbom mengalami kecelakaan di tambang pada
hari pernikahannya dan meninggal. Jenazahnya baru ditemukan puluhan tahun
kemudian dalam keadaan utuh (terkonservasi), jenazah seorang pemuda belia.
Sedangkan mempelainya telah menjadi seorang perempuan tua.
Amsel: burung
pengicau, kecil berbulu hitam (Turdus merula).
Diterjemahkan oleh
Agus R. Sarjono dan Berthold Damshäuser.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar