Label

Jumat, 29 April 2016

Pantun, Lirik & Mantra Api Bawah Tanah


oleh Sulaiman Djaya

Disampaikan pada Diskusi Bedah Buku “Api Bawah Tanah” Karya Raudal Tanjung Banua di Aula PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 22 November 2013 yang Diselenggarakan oleh Bengkel Menulis dan Sastra (Belistra) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

“Lewat tangan daratan
yang terulur ke laut
Kami memandang tanah seberang
bangsa-bangsa, aneka suku
membayang. Juga benua jauh
dan nasib yang disisihkan.”

Seorang penyair yang telah bertahun-tahun bergelut dengan penulisan puisi dan “pengembaraan batin” serta “ziarah intelektual” tentulah memiliki fondasi dan prinsip yang didasarkan dan dilandasi oleh pilihan sadar ketika menjadikan “bentuk dan material estetika” tertentu bagi dan dalam kerja kreatif kepenulisannya. Seorang penyair memang bekerja dan berkarya berdasarkan pilihan “rasa” dan “imajinasi”, namun bukan berarti tidak ada logika dan “keteraturan” dalam karya-karya puisi yang ditulisnya.

Bila kita meminjam telaah Nietzsche tentang seni dan teater Yunani kuno, contohnya, estetika dan sastra adalah perwujudan dimensi spirit apollonian dan spirit dionissian. Yang pertama adalah keteraturan, logika, dan ciri yang tenang, sedangkan yang kedua merupakan unsur-unsur keliaran, gairah, spontanitas, dan ketakteraturan. Puisi dan seni biasanya merupakan hasil kompromi (perpaduan), bahkan konfrontasi antara keduanya (antara yang apollonian dan dionissian sebagaimana diteoritisasi Nietzsche itu).

Ada saat-saat tertentu seorang penyair menulis puisinya dengan spontan seakan ia sedang mendapatkan ilham yang deras dan membuncah. Namun, tak jarang seorang penyair menulis puisi tak ubahnya seorang pengukir yang berusaha memahat kata-kata, kalimat, dan bahasa. Kedua hal itu lazim dialami dan dilakukan seorang penyair, sehingga puisi-puisi seorang penyair biasanya lahir dan ditulis dalam dua “moment” tersebut, karena inspirasi yang kuat dan karena ketekunan (craftsmanship), atau bahkan gabungan keduanya: inspirasi dan ketekunan.

Meskipun demikian, puisi tidaklah lahir dari “kekosongan” di luar dunia. Ia lahir dan ditulis dari “sebuah dunia” yang diamati, dilihat, dan dirasakan seorang penyair, entah menyangkut pengalaman dan kenangan penyairnya atau menyangkut ikhtiar intelektualnya yang kemudian di-rekonstruksi dan di-imajinisasi dengan daya pikir dan daya rasa, yang lalu ditulis dan disuarakan dengan rima dan bahasa.

Saat mengimajinasi itulah seorang penyair berusaha “memahat” dan “mengukir” kata, kalimat, frase menjelma kiasan dan narasi. Ia bisa saja menggunakan pilihan bentuk yang sudah ada dengan berusaha memperbaharuinya secara segar berdasarkan perkembangan bahasa dan ujaran mutakhir yang tidak lagi klise dan aus. Pengalaman pembacaan dengan karya-karya sebelumnya atau yang sezamannya, intertekstualitas, atau jam terbang “ziarah”-nya atas karya-karya orang lain dan dirinya sendiri biasanya akan memperkaya dan mematangkannya.

Hal-hal tersebut, saya kira, telah ada dan dimiliki oleh Raudal Tanjung Banua, ketika puisi-puisinya berusaha melakukan penyegaran dan “penulisan ulang” pantun, lirik, dan mantra, utamanya dalam buku puisi keduanya setelah Gugusan Mata Ibu, yaitu Api Bawah Tanah, seperti ketika penyairnya berusaha melakukan parodi santun atas pesimisme lirik dan pantun Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke:

mereka yang tak berumah
tak akan membangun lagi
tapi di bantul,
mereka yang tak membangun
tentu tak akan berumah lagi.

maka dengarlah suara
bambu, bata, dan paku-paku
gergaji dan palu
pada berlagu
tentang rumah kecil papa
mengjengkal segala lupa.

Puisi yang berjudul Mereka yang Tak Berumah (tak) Akan Membangun Lagi itu adalah suatu narasi tentang masyarakat Bantul paska gempa Jogja tahun 2006. Puisi tersebut memberitahu kepada kita, para pembaca, bahwa saat kejadian gempa di Jogja itu, penyairnya teringat paragraf terakhir puisi Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke,

“Mereka yang tak berumah,
tak akan membangun lagi.
Mereka yang sendiri, akan lama menyendiri,
akan jaga, membaca, menulis surat panjang
dan akan melangkah hilir mudik di jalanan
gelisah, bila dedaunan beterbangan”

(Terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Krista Saloh-Forster).

Bila kita baca sekilas, paragraf terakhir puisi Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke dan puisi Mereka yang Tak Berumah (tak) Akan Membangun Lagi-nya Raudal Tanjung Banua tersebut seakan tidak ada perbedaan yang penting secara stilistik dan dari sudut “dunia” dan “kosmologi”-nya. Tetapi, bila kita simak secara seksama, nampaklah bahwa puisinya Raudal Tanjung Banua lebih kuat bunyi pantun-nya, sedangkan puisinya Rilke menggabungkan keseimbangan bunyi lirik dan pantun.

Tentu saja, dua puisi tersebut juga berbicara tentang konteks dan peristiwa yang berbeda: Rilke bercerita tentang seseorang, yang dalam hal ini Rilke sendiri, sebagai orang asing yang merasa kesepian, yang pada saat bersamaan ia bandingkan dengan nasib orang-orang yang terasing dan terusir, sementara Raudal Tanjung Banua berusaha menghadirkan makna dan arti rumah sebagai “ruang tinggal” atau space of staying sekaligus sebagai space of going (ruang kepergian) ketika si penyair melakukan komparasi pada dirinya sendiri sebagai seorang yang “hijrah” dari tanah kelahiran pada satu sisi, dan pada sisi lainnya tentang pentingnya rumah bagi para settler, bagi orang-orang yang telah lama “tinggal” yang menjadikan dan memaknakan rumah sebagai tempat berlindung satu-satunya yang sekaligus makna “rumah” bagi si penyair sebagai sesuatu dan ruang yang intim sekaligus asing.

Dalam puisi tersebut, penyairnya juga tampak sengaja mengaburkan makna “rumah” sebagai tempat dan ruang tinggal dan sebagai “kampung halaman”. Namun, baik puisinya Rilke dan Raudal Tanjung Banua sama-sama “mengimajinasikan” dan “menggambarkan” rumah sebagai “ruang batin”:

“kemarau dengan lebuh debu
telah berlalu di langit dukuh
bersama rumah-rumah yang dulu
tak kuasa menanggung berat derita bumi
kini semua tegak kembali
merekat yang lama dan yang baru
yang manis, retak dan kelabu.

mereka yang sendiri
mungkin akan lama menyendiri
di sudut rumah rindu minta dihuni
dan mereka yang pergi
tentu tak akan membangun lagi
karena rumah, karena rumah,
hanyalah tanda kasih, kecil-papa,
jauh di bumi.”

Teranglah kepada kita, bila kita baca sekali lagi, kita akan menemukan makna “rumah” dalam arti yang lebih luas, yaitu ekologi dan lingkungan, yang dalam sajak tersebut digambarkan sebagai “derita bumi” yang tentu saja dapat kita artikan sebagai “kerusakan ekologi” yang menyebabkan rusaknya keseimbangan dan ekosistem yang berdampak pada “bencana”.

Ternyata, dalam puisi, kata “rumah” yang selama ini hanya kita anggap sebagai “kata benda” bisa juga memiliki arti dan makna “kata keterangan” yang memancarkan ragam arti dan “pemaknaan” sesuai dengan konteks puisi dan struktur “teks” puisi itu sendiri. Karena itulah, seringkali dikatakan, sebuah puisi atau teks sastra secara umum, menciptakan “dunia”, “kosmologi”, dan “realitas” sendiri, yang bahkan acapkali lepas dari intensi dan “niat pemakanaan” yang dikehendaki oleh penyairnya.

Tepat, di sini lah, bila kita meminjam wawasan hermeneutika, teks sastra mengalami dan mendapatkan dirinya “otonom” atau terbebas dari penulisnya. Sebab, karya sastra dan “teks” yang telah dituliskan atau “fixed writing” telah memiliki kemungkinan pembacaannya sendiri, meski kita dapat saja menelusuri sejarah konteks penulisan dan latar belakang penulisnya sekedar untuk mengetahui konteks sosiologis atau politis sebuah teks sastra sebelum kita membaca teks sastra itu sendiri.

Secara umum, puisi-puisi Raudal Tanjung Banua yang terkumpul dalam buku Api Bawah Tanah masih setia mempertahankan bentuk dan bunyi pantun dan mantra, sebagaimana dalam buku pertamanya yang berjudul Gugusan Mata Ibu. Kita tahu pantun merupakan bentuk yang tertib dan dapat melahirkan sugesti dan “aura” magis bunyi mantra karena repetisi rimanya, sebuah unsur yang juga lazim ada pada seni musik. Repetisi inilah yang membuat sebuah bunyi dan narasi puisi menjelma musik yang menggunakan kata-kata dan bahasa sebagai instrument musikalnya.

Selain unsur musik, yang terkandung dalam pantun adalah juga permainan, terutama permainan bunyi dan rima yang tentu juga mensyaratkan kecerdikan dan kemahiran seorang penyair untuk menulis sebuah puisi pantun yang tidak aus alias sekedar mengulang khazanah lama tanpa melakukan upaya “penulisan” kembali yang sejalan dengan perkembangan bahasa dan ujaran kita saat ini.

Pada konteks inilah puisi-puisi Raudal Tanjung Banua berusaha “mengaktualkan” khazanah pantun dan mantra yang merupakan khazanah warisan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Melayu, yang tentu telah diakrabinya secara sangat baik sebagai seorang penyair yang lahir dari “tradisi” tersebut, sebuah tradisi yang juga telah diakrabi dan diolah para penyair Indonesia di masa lalu semisal Amir Hamzah yang puisi-puisinya juga mencerminkan kematangan “penggabungan” khazanah lirik dan pantun.

Sebagaimana dapat kita baca dalam buku Api Bawah Tanah dan Gugusan Mata Ibu, tanah kelahiran penyairnya, kampung halamannya, yang dapat kita artikan juga sebagai “tradisi” dan “khazanah hidup”, atau tentang tempat-tempat yang minimal telah dianggapnya sebagai “kampung halaman” secara bathin serta ingatan tentang itu semua menjadi bahan material dan perenungan banyak dari puisi-puisinya, meski penyairnya telah lama tinggal dan bergelut di Jogjakarta, yang sebagai perwakilannya dapat kita contohkan dengan puisinya yang berjudul Ziarah Pohon:

“Di Wangka, sepanjang Sungaiiliat dan Belinyu
dari Tanjung Penyusuk ke Tanjung Ru
aku berziarah. Bukan ke Gua Maria
bukit Moh Thian Liang, bukan ke Bakit
makam Hotaman Rasyid, bukan ke Liang San Phak
dan makam keramat Kapitan Bong
di klenteng dan sunyi Benteng Kutopanji.

Aku berziarah ke pohon-pohon masa kecilku
yang berderet mengurung
halaman kampung –kampung halaman
jauh terpencil.

Durian nangka cempedak hutan
daun-daunnya gugur di angin santer
langsat manggis duku
pucuk-rantingnya sayup di awan.
Semak rangsam di pinggir jalan
rumpun sagu di rawa selokan
cengkeh dan mete rimbun daun
di pantai ketapang mencumbu karang
bambu-pimping-paku bergoyangan di tebing
berpakis haji. Jambu-kweni-ambacang
jatuh berdebum di halaman klenteng dan surau kampung
bangunkan lelap muazin dan penggerek lonceng.
Kantong semar memerangkap serangga
dan kupu-kupu, diam-diam,
hingga mumbang jatuh kelapa jatuh
di pantai itu!

Begitulah kuziarahi pohon-pohon hayatku
yang menyatu sebagai liat tubuh ibu
bayang-bayangnya melindap
meneduhi bunga dan akar yang kurawat.”

Seperti terasa jelas kepada kita sebagai pembaca, “ziarah” yang ditawarkan puisi berjudul Ziarah Pohon tersebut adalah ziarah batin, menziarahi segala hal yang telah akrab bagi penyairnya, bukan ziarah kepada monumen-monumen dan tugu-tugu bisu yang tidak berkaitan dengan pengalaman hidup dan pengalaman batin seorang penyair, di mana seorang peziarahnya tak lain adalah seorang penyairnya sendiri. Apa saja yang diziarahinya? Bila kita mengacu kepada puisi Ziarah Pohon tersebut, si penyairnya menziarahi detil-detil tempat dan benda-benda yang pernah dijumpai, dihidupi, dan diintiminya: “tanah kelahiran” dan “kampung halaman” bathin-nya, sebelum seorang penyairnya akhirnya hijrah dan meninggalkannya, yang karena “tanah kelahiran” dan “kampung halaman” itu telah sedemikian nyatanya, minimal secara batin, membuatnya tetap nyata dan akrab meski telah ditinggalkan, menjadi ingatan dan kenangan batin, menjadi “space of staying” bathin.

Ia tidak “menziarahi” tempat-tempat, tugu-tugu, dan monumen-monumen yang tidak “berkenaan” dengan pengalaman hidup dan kenangan serta ingatan batinnya sebagai seorang penyair. Begitu pun, dalam puisi Ziarah Pohon tersebut, penyairnya hendak memberikan pemaknaan bahwa “ziarah” bukanlah semata “wisata” yang sifatnya sekedar menjumpai “eksotisme” atau “masa silam” yang tidak “menyumbangkan” kosmik subjektif bagi “historiografi personal” si penyairnya.

Kamis, 28 April 2016

Dari Sejarah Hingga Mitologi Maritim


Puisi-puisi yang termuat dalam buku ini menghadirkan keunikan masing-masing dan mendadarkan keragamaan naratif dan gaya puitiknya sendiri, acapkali dengan nuansa lokalitas yang kuat, yang datang dari segala penjuru Indonesia.

Namun, umumnya, puisi-puisi tersebut menampilkan diri dan ‘menarasikan diri’ mereka kepada kami (para kurator) seputar tema-tema dan muatan yang berkisar tentang ‘sejarah maritim’ semisal puisi yang berjudul, Bila Roboh Tembok di Malaka, Papan di Djawa Kami Tegakkan (Chairil Gibran Ramadhan) sembari berusaha menampilkan lokalitas Betawi dengan kultur dan hikayatnya sendiri, isu-isu ekologi-bahari seperti puisi yang berjudul Mengaji Kepada Ikan-Ikan, dan ‘mitologi maritim’ serta kehidupan orang-orang ‘maritim’ semisal puisi-puisi yang mengangkat dan menarasikan kehidupan para nelayan seperti puisi yang berjudul Nelayan Pesisir, tentu dengan kekhasan masing-masing sesuai konteks sosiologis, historis, dan kulturalnya.

Nuansa lokalitas tentang kehidupan maritim itu contohnya diwakili oleh sejumlah puisi yang ditulis oleh para penulis dari Pulau Garam, Madura, sebagaimana yang mengangkat isu ekologi bahari juga relatif cukup banyak, di mana sisanya adalah menarasikan kemaritiman dalam konteks dan sudut pandang mitologi dan lokalitas yang dapat kami contohkan dengan puisinya Ni Wayan Eka Pranita Dewi yang berjudul Sarasvati.

Di luar itu, ada cukup banyak puisi-puisi yang berkisah tentang laut atau lanskap maritim dalam keterkaitannya dengan sentimentalitas dan pengalaman subjektif para penulisnya yang bersifat romantis dan bernuansa liris. Yang juga terhitung cukup banyak adalah puisi-puisi yang berusaha menggambarkan dan menarasikan kehidupan dan realitas para nelayan serta orang-orang bahari, seperti tampak dalam puisi yang berjudul Rokat Laut dan puisi yang berjudul Kidung Nelayan Kecil.

Dapat dikatakan, puisi-puisi yang masuk dan yang kemudian terseleksi memang umumnya menkontekskan diri mereka dengan lanskap dan konteks-dunia kemaritiman dan mengait-ngaitkan ikhtiar naratifnya dengan isu-isu yang bersentuhan dan memiliki keterkaitan dengan dunia bahari atau dengan dunia dan kehidupan maritim, meski memang berusaha melihat dan menampilkannya dari sudut pandang atau perspektif serta isu dan tema yang tidak sama, sesuai dengan selera dan kekhasan-nya masing-masing para penulisnya, kendati kami dapati dari ratusan puisi yang masuk tersebut, mayoritas memang memberi judul puisi-nya dengan menyisipkan kata ‘Laut’ dan banyak yang menggunakan ‘Laut’ itu sendiri sebagai judul, yang seakan-akan agar ‘sah’ atau dapat dianggap ‘sah’ dalam rangka memenuhi tema besar yang diinginkan pihak Dewan Kesenian Banten (DKB).

Dari segi stilistika dan bentuk naratif, puisi-puisi lirik cukup dominan, seperti puisi yang berjudul Jacht Verleden (Dino Umahuk) dan puisi yang berjudul Pendatang dari Laut (Herwan FR), meski ada sejumlah puisi berbentuk epik (epos dan hikayat) seperti puisi yang berjudul Lemuria (Doddy Achmad Fawzi).

Perlu juga dikatakan di sini, ada banyak puisi-puisi yang kuat dan memiliki aura yang mempesona yang ditulis para penulis muda, seperti para penulis dari Madura, di saat puisi-puisi yang kuat secara stilistik dan tematik masih dihadirkan oleh para penulis yang telah memiliki jam terbang lama alias para penyair kawakan, seperti Pranita Dewi, Wayan Jengki Sunarta, Marhalim Zaini, El Trip Ummiuki, Doddy Achmad Fawzi, Herwan FR, Dino Umahuk, Sindu Putra, Chairil Gibran Ramadhan, Isbedy Stiawan ZS, Dahta Gautama, Bambang Widiatmoko, Deddy Tri Riyadi, Husnul Khuluqi, Mahwi Air Tawar, Sofyan RH. Zaid, Dian Hartati, Mugya Syahreza Santosa, Alex R. Nainggolan dan yang lainnya.

Di sisi lain, bisa dibilang kami juga cukup berbangga dengan banyaknya para penulis dan atau penyair muda dan juga dengan kehadiran nama-nama baru (nama-nama yang setidak-tidaknya terbilang 'baru' dalam gelanggang perpuisian Indonesia) saat ini yang mampu memproduksi puisi-puisi yang segar dan memberikan harapan bagi kemajuan dan perkembangan sastra Indonesia, utamanya bagi perkembangan perpuisian Indonesia, seperti puisi-puisi yang ditampilkan oleh Marsten L. Tarigan, Zulkifli Songyanan, A’yat Kholili, A.Warits Zafa, Abdillah Mubarak Nurin, Ardian Je, Irwan Sofwan, Fajar Timur, Nita Nurhayati, Edward Maulana, dan yang lainnya, meski haruslah kami katakan bahwa puisi-puisi mereka belum dapat kami bilang sebagai karya-karya yang telah berhasil bersaing dengan para penyair yang lebih senior dari mereka.

Tetapi, bagi kami tidaklah cukup ruang untuk mengulas satu persatu puisi-puisi yang lolos seleksi, terlebih ulasan itu sudah dihadirkan oleh Bapak Maman S. Mahayana. Namun dapatlah kami katakan kekhasan puisi-puisi yang terpilih dalam Antologi Gelombang Puisi Maritim ini rupa-rupanya menghadirkan keragaman khazanah yang datang dari aneka konteks sosial-kultural Indonesia, seperti puisi-puisi pantun Melayu, baik yang liris maupun yang mendadarkan ‘permainan bahasa’ semisal puisi-puisi yang datang dari jazirah Sumatra, yang berusaha ‘memutakhirkan’ bentuk dan bunyi naratifnya dengan perkembangan sastra Indonesia saat ini, semisal puisinya Marhalim Zaini. Atau puisi-puisi yang datang dari Indonesia Timur yang berusaha mengangkat dan menarasikan mitologi dan hikayat yang bernuansa historis, seperti puisi yang berjudul Pelayaran yang Pernah Diwasiatkan Arung Matoa Wajo ke La Maddukelleng dan puisi yang berjudul Lontarak I Babad La Lagaligo.

Selebihnya, selain puisi-puisi yang menyuarakan dan menarasikan seputar sejarah maritim, ekologi bahari, kehidupan para nelayan atau orang-orang laut dan mitologi maritim, entah yang bergaya epik atau bernuansa liris, adalah puisi-puisi ‘lirik romantik’ yang ditulis dan disenandungkan dengan gaya naratif aku lirik yang berkisah menyangkut pengalaman-pengalaman penyair dengan laut, pantai, dan lanskap maritim, acapkali bernada sentimentil.

Dewan Kurator:
Toto ST Radik
Sulaiman Djaya
Wahyu Arya
M. R. Rinaldi

Jumat, 22 April 2016

Lagu-Lagu Perlawanan Irlandia Utara


oleh Riezky Andhika Pradana

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh....Hevenu Shalom Aleichem!

KALI ini kita coba bahas ‘Irish Rebel Music’, yang di antaranya termasuk Celtic Punk, Irish Folk-Rock, dan berbagai musik hasil ‘cross over’ sejenisnya. Tanah Irlandia memang tidak lepas dengan aroma pemberontakan, dan perang saudara yang berlangsung puluhan tahun. Fenomena yang biasa disebut dengan paddybeat ini sendiri telah berkembang makin luas. Tak cuma populer di Irlandia saja, isunya tak hanya menyangkut bangsa Irlandia semata, Skotlandia juga terpengaruh oleh gejala ini.

Selain itu kantong-kantong imigran Irlandia (Irish diaspora) dan komunitas Skotlandia yang tersebar di Inggris (London), Australia (Sydney dan Australia Selatan), Amerika Serikat (Boston, Chicago, Philadelphia, dan Los Angeles), Kanada (Vancouver dan Newfoundland), dan sebagainya, tampak berperan besar juga mendongkrak kemasyhuran genre ini.

Irish Rebel Music adalah sebuah sub-genre dari musik folk Irlandia dengan instrumentasi yang banyak kesamaan, dan lirik yang sebagian besar bersangkutan dengan Nasionalisme Kaum Republikan Irlandia. Banyak para tahanan politik dari Partai Republik yang menggunakan musik sebagai bentuk protes selama kekacauan di Irlandia Utara. Tradisi musik ‘para pemberontak’ di Irlandia ini berjalan selama berabad-abad.

Tema yang diusung adalah yang berurusan dengan peristiwa sejarah seperti, pemberontakan, jeritan sulitnya hidup di bawah kekuasaan yang menindas, namun energi yang terasa adalah perasaan solidaritas yang kuat, loyalitas, tekad, serta puji-pujian kepada para pahlawan mereka yang gagah berani.

Materi lagu-lagu ‘Irish Rebel’ ini tidak hanya terbatas pada sejarah Irlandia, termasuk juga di dalamnya eksplorasi dari Pasukan Brigade Irlandia yang berjuang untuk Prancis dan Spanyol, dan juga mereka yang berjuang selama Perang Saudara di Amerika. Selama bertahun-tahun, sejumlah band telah melakukan "crossover" jenis musik, yaitu, lirik ‘pemberontakan’ Irlandia, instrumentasi dicampur dengan lainnya, gaya lebih pop, bahkan dengan irama politikal hip hop seperti yang diusung Beltaine's Fire.

Yang khas dari aliran musik yang kemudian menjelma menjadi Celtic Punk ini adalah temanya yang dominan berkisah tentang teritori Irlandia, wilayah Skotlandia, perjuangan kemerdekaan Irlandia serta Skotlandia, I.R.A. (Irish Republican Army), Irish diaspora, dan juga kebanggaan sebagai kelas pekerja (working class pride).

Para musisi Celtic Punk umumnya memasukkan instrumen tradisional seperti, akordion, banjo, mandolin, bagpipes, fiddle tin, dan lain lain. Kelompok yang dianggap paling bertanggungjawab memperkenalkan genre ini adalah The Pogues dengan vokalis eksentrik yang memainkan syair-syair lagu nan puitis bernama Shane MacGowan.

Musik yang dimainkan Shane dibantu oleh Spider Stacy dianggap berjasa menjadi figur awal yang memadukan unsur Celtic Folk dengan attitude Punk Rock. Selain itu, band-band era sekarang yang memainkan musik ini adalah The Tossers, Flogging Molly, dan Dropkick Murphys.

Baiklah, jauh sebelum The Pogues, Irlandia punya grup musik yang dengan lantang meneriakkan suara kelas pekerja dan kebanggaan pada Nasionalisme. Kelompok musik yang didirikan penyanyi dan gitaris Ronnie Drew pada 1962 dan memainkan musik folk (rakyat) Irlandia, ini bernama The Dubliners. Sebelumnya mereka bernama Ronnie Drew Group. The Dubliners kemudian disandang untuk menghormati karya prosa penulis Irlandia, James Joyce.

The Dubliners sangat terkenal dengan syair nada balada jalanan nan tradisional, dan instrumental yang sangat mengesankan. Perlu diketahui, kelompok ini masih eksis setelah melewati lebih dari empat dekade. Musik mereka terpengaruh musisi Amerika macam Bob Dylan dan Roy Orbison.

Tahun 1987, The Dubliners bekerja sama dengan The Pogues dan mencetak beberapa hits di Inggris. Vokalis The Dubliner, Jim McCann didiagnosa terserang kanker tenggorokan dan terpaksa harus undur diri dari band ini saat tur reuni 40th Anniversary mereka tahun 2002 silam. Sedangkan Ronnie Drew, pendiri kelompok ini meninggal dunia 16 Agustus 2008, saat usianya 73 tahun. Lagu The Dubliners favorit saya di antaranya A Nation Once Again, Dirty Old Town, Whiskey In The Jar, Wild Rover, dan banyak lainnya.

Spirit mereka kemudian ditularkan kepada The Pogues, yang dibentuk tahun 1982, dan dimotori oleh Shane MacGowan, vokalis bergigi ompong nan bersahaja penuh kharisma. Band ini mencapai kesuksesan di era 1980 hingga awal 1990-an.  Sang motor, MacGowan sempat meninggalkan The Pogues tahun 1991 karena masalah kecanduan alkohol, namun band ini terus berjalan dengan pengisi vokal Joe Strummer (The Clash), dan kemudian Spider Stacy.

Tahun 2001 The Pogues mengalami reformasi dan rutin bermain sejak saat itu, terutama di perayaan St Patrick Day, di seluruh Inggris dan Irlandia setiap Desember. The Pogues yang berarti ‘Cium Pantat Gue’ ini berdiri di London Utara. Mereka juga memainkan instrumen tradisional Irlandia seperti tin whistle (pluit), banjo, cittern, mandolin dan akordeon. Lagu-lagu favorit saya adalah A Rainy Night In Soho, Fairytale In New York, Sunnyside Of The Street dan banyak lagi.

Baiklah, biar keren dan buat nambah-nambah wawasan, sekarang kita simak sedikit tentang pemberontakan dan perjuangan IRA (Irish Republican Army) yang tergolong cukup panjang. IRA berdiri sejak 1919, dan menggantikan gerakan Sukarelawan Irlandia (suatu organisasi nasionalis militan yang lahir enam tahun sebelumnya). Tujuan IRA awalnya untuk memerdekakan Irlandia dari Inggris dengan aksi bersenjata. IRA juga membantu perjuangan politik bagi tercapainya suatu negara Irlandia yang merdeka.
               
Pada perjuangannya, IRA menggunakan taktik gerilya semasa perang kemerdekaan (1919-1921). Waktu itu pasukannya bergerak dalam kelompok kecil yang terdiri dari 15 sampai 30 orang. Mereka melakukan berbagai aksi sabotase di sana-sini. Dengan ini, aksi mereka ternyata berhasil memaksa Inggris mencari penyelesaian politik.

Pada Januari 1922, terbentuklah Negara Irlandia Merdeka (Irish Free State) yang berstatus dominion. Namun dari 32 wilayah di Irlandia, hanya 26 yang mau bergabung dengan negara baru itu. Selebihnya, yaitu yang berada di Ulster (Irlandia Utara), dan tetap terpisah. Kenyataan ini tak bisa diterima oleh sebagian anggota IRA. Maka terjadi perpecahan, sebagian mendukung penyelesaian damai, sedang yang lain menolak. Kelompok pertama langsung menjadi inti Tentara Negara Irlandia Merdeka, sedang lainnya dikenal sebagai Irregulars.

Kelompok Irregulars ini kemudian malah membentuk pasukan bersenjata melawan pemerintah yang baru merdeka itu.

Pada masa berikutnya (1922-23) kedua pihak ini terlibat dalam konflik yang tajam. Akhirnya kelompok Irregulars menyerah, tapi dengan nama IRA muncul kembali dan mulai merekrut anggotanya secara illegal. Tujuannya jelas untuk memasukkan sisa enam wilayah di Irlandia Utara yang masih dikuasai Inggris ke dalam negara baru itu, dan tetap istiqomah dengan jalan kekerasan. Akibat tindakannya itu IRA dinyatakan sebagai organisasi terlarang pada 1931. 

Kurang lebih IRA adalah organisasi yang menuntut kemerdekaan dari Negara penjajah dengan cara perjuangan bersenjata. Perjuangan IRA akhirnya berhenti dengan perdamaian dan pelucutan senjata IRA di tahun 2000. Konflik dan aksi Pemberontakan IRA memang sudah menjadi sejarah. Irlandia kini adalah wilayah yang aman dan damai. Namun, lirik-lirik tentang nasionalisme dan kisah kelas pekerja tentu saja tak lekang oleh waktu.

jika ingin merasakan getaran ‘Pemberontakan’ dari Irlandia silakan hunting lagu-lagu seperti, Belfast Brigade, Come All You Warriors, Come Out Ye Black And Tans, Fighting Men from Crossmaglen, Join the British Army, Give Ireland Back To The Irish, Go On Home British Soldier, God Save Ireland, Green, White and Gold, Irish Citizen Army, Johnston's Motor Car, Let the People Sing, The Eyes Of The IRA, You'll Never Beat the Irish…dan masih banyak lagi.