Label

Selasa, 28 April 2015

Puisi-Puisi Ajip Rosidi




Rindu

Kurindukan bulan di punggung
Tembang sejalanan menyuruk gang demi gang
Rumah ini tak bisa mengurung duka
Aku lebih besar daripadanya
Kamar takkan kuasa membikin aku betah
Di luar ada yang lebih benar tuk kucinta

Perempuan bergelapan dan rokoknya di tangan
Perempuan kelaparan, perempuan kedinginan
Hitam gerbong panjang rel kereta
Aku mesti pergi
Aku mesti kembali ke jalan raya

Orang-orang gelandangan lebih indah dari rumah
Orang-orang bergelapan, orang-orang kelaparan
Dengan kepala gundul muka pasi tak berdarah
Aku kan pergi
Aku kan kembali kepada mereka
Yang menggenggam hidupnya penuh di tangan


Cikini Raya

pedagang kembang yang menembang sumbang
dilarikan karet becak ke ujung malam
lampu-lampu jalan bersinar terang
                                    lari bayangan
dan malam makin lenggang

pedagang kembang mengebas ranjang
tembang riang mau pulang
                                    sama sisa malam

jalan makin rata
bening berbayang


Potret Diri

begitu ia melirik arah kota Jakarta
cintanya menyanyi sepanjang malam
dikandungnya dosa pada mata
dendamkan hari berbuahkan warna
merah menyala di sudut kanan :
geram harimau meraung di wajahnya
adalah geram kegemasan

begitu ia memandang arah kota Jakarta
malamnya melenguh kehilangan senja
dikandungnya dendam, dikandungnya dalam
wajah yang segera merebah
mendekap mangsa yang kalah: seperti tajam pedang
adalah duri-duri alisnya


Sepanjang Gunung Sahari

Kami lupakan lapar dengan perempuan
Bersusu hitam: daki dan mentari
Kami lupakan kesibukan kota
Derum mobil dan kapal terbang
Anak-anak berkejaran mengakhiri hari

Kami bicara tentang kebakaran
Ibu hangus ayah tertembak
Kampung habis dan kota kepadatan
Namun kami tak menangis
Kan menangis air mata habis

Yang siang hari perempuan kami punya
Malam milik siapa saja
Pagi-pagi datang lesu dan habis daya
Menciumi kami keras dan liat
Pandangnya mengadukan kegarangan kota
Yang merampas kesegarannya
Namun mereka tak menangis
Kan menangis air mata habis 



Kamis, 16 April 2015

Tiga Puisi Penyair Perempuan Jepang




JANGAN IKAT DAKU
Puisi Kazuo Shinkawa

Jangan ikat daku
Dengan sekeranjang makanan
Seperti sebungkus bawang bakung.
Kuminta, jangan ikat daku! Sebab aku telinga padi
Telinga padi berhektar-hektar keemasan di musim gugur
Dan buah dada bumi yang penyayang.

Jangan tempelkan daku
Seperti bangkai serangga di kertas
Seperti kartupos bergambar dari negeri dataran tinggi.
Kuminta, jangan tempelkan daku! Sebab aku lagi menjaring sayap-sayap,
Menjaring sayap-sayap gaib gemetaran
Yang terus bertiup menuju ufuk angkasa raya.

Jangan tuang aku!
Seperti susu ternoda kekesalan sehari-hari
Seperti sake hangat.
Kuminta, jangan tuang aku! Sebab aku adalah lautan
Yang pasang surutnya tak terduga
Yang mengalir tak henti-hentinya setiap malam.

Jangan cap daku
Sebagai anak gadis atau istri belaka.
Jangan biarkan daku terpaku di kursi kebiasaan
Sambil memanggilku ibu, kuminta. Sebab aku angin
Tahuku hanya kemana aku harus bertiup dan terbang
Menemukan pohon apel berbunga, menemukan musim semi.

Jangan pisahkan daku!
Seperti isi surat dengan koma atau titik
Dan sejumlah paragraf yang kalimat-kalimatnya berakhir dengan selamat tinggal!
Jangan bodohi aku, kuminta! Sebab aku
Adalah kalimat tanpa akhir, sebaris puisi
Yang mengalir bagaikan sungai
Dan terus mengalir, tak kunjung henti berhamburan, tak kunjung henti.


MARI KITA TINGGALKAN RUMAH
Puisi Ishigaki Rin

Rumah adalah bercak-bercak kudis di muka bumi
Bila anak-anak kita sudah mulai mendidih
Kerjanya hanya mengambil kudis-kudis itu.

Rumah adalah kain brokat emas dan selimut tebal
Bulu-bulu indah menciptakan burung yang indah
Pesta malam hari: kepura-puraan yang buruk.

Rumah adalah jambang-jambang bunga
Kita sirami, kita beri pupuk agar subur
Namun akar-akarnya segera pula merintangi kita.

Rumah adalah batu berat menekan
Sedikit rasa kemanusiaan, jadilah!
H betapa kecut lidahku!

Rumah adalah ruang penuh keharuan
Ke tempat itu setiap orang melarikan diri
Membawa harta rebutan.

Rumah adalah lemari besi terkunci rapat
Tiada yang berdaya
Membukanya dengan paksa.

Rumah adalah kuburan hidup sehari-hari
Namun orang berkata
Rumah bukan tempat istirah penghabisan.

Mereka pun menyayangi rumah
Karena rumah bukan tempat istirah terakhir
Mereka cinta rumah.

Cinta bagaikan kudis
Yang lengket pada kapas pembalut untuk anak-anak
Karena itu mari kota ingkari rumah.

Biar setiap orang berhamburan keluar
Bersin di lapangan luas terbuka
Seraya menolak rumah-rumah sempit mereka
Yang pintu-pintunya sengaja dibiarkan terkunci rapat.  


ANTARA
Puisi Taeko Tomioka

Ada dua kesedihan layak dibanggakan

Usai nutup pintu kamar di sebelah
Usai nutup pintu
Masuk rumah di sebelah lagi
Dan pergi ke jalan yang kelihatan lengang sebab gerimis
Ketika hari bergegas
Mana jalan yang mesti kutempuh
Apa yang mesti kulakukan
Menghadapi sesuatu yang tak mengandung harapan
Apa aku ini teman atau musuh
Siapa bisa kutanyai
Tentang soal nyata ini
Aku benci perang
Tetapi bukan pula penyinta perdamaian
Upayaku cukup dengan membiarkan mataku selalu terbuka
Hanya inilah kesedihan yang bisa kulakukan

Ada dua kesedihan layak dianggakan
Aku bersamamu
Aku tak memahamimu
Karena itu aku mengerti kau ada
Karena itu aku mengerti aku ada
Sedih karena tak memahami
Sedih karena kau adalah kau seperti adanya kau.

(Diterjemahkan oleh Abdul Hadi WM)

Rabu, 15 April 2015

Abul Fadhl Abbas Sang Syahid Agung


Dalam ragam riwayat disebutkan bahwa Abu Fadhl Abbas[1] as adalah pria yang berperawakan tinggi, tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya fisik Abul Fadhl Abbas, hingga adik Imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan ‘Purnama Bani Hasyim’ (Qamar bani Hasyim).

Dalam sejarah dan ragam nukilan riwayat, Abul Fadhl Abbas juga dikenal sebagai pemegang panji Karbala. Keberanian, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. Sebagai manusia yang tumbuh besar di tengah binaan keluarga suci dan mulia, dia memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa kepada kepemimpinan dalam untaian figur-figur utama Ahlul Bait as.

Perjuangan di Karbala telah menyematkan namanya dalam sejarah keislaman dan Ahlul Bait Rasul sebagai salah satu pahlawan yang sangat legendaris. Tentang ini Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as berkata: “Sesungguhnya di sisi Allah Abbas memiliki kedudukan (sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada hari kiamat.”[2]

Imam Assajad as dalam doanya untuk Abbas as juga berucap: “Ya Allah, rahmatilah pamanku, Abbas. Sesungguhnya dia telah mengorbankan jiwanya untuk saudaranya.”

Dalam peperangan dan perjuangan yang menyakitkan di Karbala itu, kedua tangannya telah dipotong oleh musuh sehingga Allah menggantinya dengan sepasang sayap untuk terbang dengan para malaikat di alam surga. Di sisi Allah dia memiliki kedudukan yang sangat agung sehingga membuat para sahabat cemburu melihatnya.[3]

Sang Purnama Bani Hasyim adalah pria dewasa yang perasaannya dikenal sangat peka. Perasaannya sangat tersayat menakala dia mendengar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para pahlawan Karbala. Saat itulah dia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup bila tidak dia gunakan untuk berjihad membela junjungan dan pemimpinnya, Imam Husain as.

Namun, selama terjadi peperangan yang menggugurkan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya, yang bisa dia nantikan hanyalah menanti instruksi Sang Imam. Dan saat dia mendapat instruksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harus bergelimpangan di tangannya.

Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada beliau adalah: “Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?” Pernyataan Sang Purnama ini membuat hati Sang Imam luluh sehingga menangis tersedu dan berkata: “Adikku, engkau adalah pengibar panjiku dan lambang pasukanku.”[4]

Beliau juga mengatakan: “Engkaulah pemegang panjiku, namun cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu.”[5]

Hazrat Abul Fadhl Abbas as lantas mendatangi kelompok Bani Umayyah dan mencoba menasihati mereka kendati Abul Fadhl Abbas tahu bahwa itu tidak akan mereka dengar. Setelah terbukti nasihat itu sia-sia, dia kembali menghadap Imam Husain as dan mendengar jerit tangis anak-anak kecil yang kehausan meminta dibawakan air. Hati Abbas merintih. Sambil menatap langit, bibirnya berucap:

“Tuhanku, Junjunganku, aku berharap dapat memenuhi janjiku, aku akan membawakan satu qirbah (wadah) air untuk anak-anak itu.”[6]

Abul Fadhl Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya sambil membawa qirbah (kantung air dari kulit) menuju sungai Eufrat yang seluruh tepinya dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh itu segera mengepungnya sambil memasang anak panah ke busurnya ke arah adik Imam Husain as tersebut.

Pemandangan seperti itu tak membuatnya gentar. Begitu beberapa anak panah melesat, Abul Fadhl Abbas segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh. Sekali terjang, pedang Abul Fadhl Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemana pun kuda Abul Fadhl Abbas bergerak, gerombalan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya, penjagaan sungai EuFrat yang berlapis-lapis pun jebol diterjang sang pendekar yang teguh itu.

Sambil menahan letih dan rasa haus yang mencekiknya, Abul Fadhl Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mula-mula ia berusaha cepat-cepat mengisi qirbahnya dengan air. Setelah itu ia meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh bibirnya, Abbas teringat kepada Imam Husain as dan kerabatnya yang sedang kehausan menantikan kedatangannya.

Air di telapak tangannya langsung dia tumpahkan lagi sambil berucap: “Demi Allah aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku Husain sedang kehausan.”[7]

Hazrat Abul Fadhl Abbas as kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang ditumbuhi pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam. Namun, perjalanan Abul Fadhl Abbas tetap dihadang musuh. Ia tidak diperkenankan membawa air itu kepada Ahlul Nabi tersebut.

Kali ini pasukan Umar bin Sa’ad semakin garang. Abul Fadhl Abbas dikepung lagi. Pasukan yang menghadang di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak anak panah untuk mencabik-cabik tubuhnya. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam beracun itu, dengan tangkasnya pedang Abul Fadhl Abbas menyambar musuh yang ada di depannya. Sejurus kemudian kepungan musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik sang pendekar yang perkasa itu.

Menyaksikan kehebatan dan ketangguhan Abul Fadhl Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan langsung itu, beberapa pasukan penunggang kuda ahli diperintahkan untuk bekerjasama menghabisinya dengan cara menyelinap dan bersembunyi di balik pepohonan kurma.

Saat Abul Fadhl Abbas lewat, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon segera muncul sambil menghantamkan pedangnya ke tangannya. Tanpa ampun lagi, tangan kanan Abul Fadhl Abbas pun putus dan terpisah dari tubuhnya. Tangan kirinya segera menyambar qirbah air dan pedangnya.

Dengan satu tangan dan sisa-sisa tenaga itu, ia masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tewas. Saat itu ia sempat berucap: “Demi Allah, walaupun tangan kananku telah kalian potong aku tetap akan membela agamaku, membela Imam yang jujur, penuh keyakinan, dan cucu Nabi yang suci dan terpercaya.”[8]

Hazrat Abul Fadhl Abbas as tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sambil mengayunkan pedangnya ke arah bahunya. Abul Fadhl Abbas pun tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturunan Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus.

Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini mencoba meraih kantung (qirbah) air-nya dengan menggigitnya. Tapi kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapan Abul Fadhl Abbas.

Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dadanya. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan batangan besi ke ubun-ubunnya. Abul Fadhl Abbas pun terjungkal dari atas kuda sambil mengerang kesakitan dan berteriak : “Hai kakakku, temuilah aku!” Dengan sengalan nafas yang masih tersisa Abbas as berucap lagi untuk Imam Husain as: “Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”[9]

Suara dan ratapan Abbas ini secara ajaib terdengar oleh Imam Husain as sehingga beliau pun beranjak ke arahnya sambil berteriak-teriak: “Di manakah kamu?” Imam Husain as tiba-tiba dikejutkan oleh kuda Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara ajaib kuda itu dapat berucap berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”[10]

Imam lantas melihat ke tanah dan tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di atas tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam pun tak kuasa menahan duka. Beliau menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba sejati Allah di langit dan bumi. “Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas, adiknya dari lain ibu. 

Di tengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abul Fadhl Abbas: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”[11]

Jasad Abul Fadhl Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian bersuara lirih: “Kakakku, tolong jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air kepada anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”

Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata Abul Fadhl Abbas yang mengalir beliau usap. “Mengapa engkau menangis?” Tanya Imam. “Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis saat aku melihatmu mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada seorang pun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.” 

Kata-kata Abbas itu semakin meluluhkan hati Imam Husain as sehingga beliau semakin terbawa derai isak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yang membakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggung pasukannya yang sudah tak berdaya itu lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat.

Abul Fadhl Abbas pun gugur tergeletak bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara. Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Imam yang masih tak kuasa membendung derai air mata duka segera disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sakinah. “Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia telah berjanji kepadaku untuk membawakan air, dan bukankah dia tidak mungkin ingkar janji?”

Pertanyaan Sakinah nampak sulit untuk dijawab ayahnya. Hanya isak tangis yang segera menjawabnya, sebelum kemudian beliau berkata dengan suara meratap pilu: “Puteriku, sesungguhnya paman sudah terbunuh, tetapi ketahuilah bahwa arwahnya sudah bersemayam di dalam surga.”[12]

Berita pilu ini tak urung segera disusul dengan gemuruh tangis dan ratapan pedih Sakinah, Zainab Al-Kubra, dan wanita-wanita lain di sekitarnya. “Oh Abbas!” “Oh, saudaraku!” “Habislah sudah sang penolong!” “Betapa pedihnya nanti bencana sesudah kepergianmu!”[13] Sang Imam sendiri tetap tak kuasa menahan duka lara kepergian Abbas yang telah menjadi perisai tangguh kelompoknya. “Oh Abbas, oh adikku, oh buah hatiku, kini kami benar-benar telah kehilangan dirimu. Patah sudah tulang punggungku. Lemah sudah strategiku. Punah sudah harapanku.”[14]

Catatan:

[1] Ayah Abu Fadhl Abbas adalah Ali bin Abi Thalib as. Ibunya adalah Fatimah Al-Kilabi, wanita yang lebih dikenal dengan sebutan Ummul Banin. Isterinya adalah Lababah binti Ubaidillah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Lababah mempunyiai empat orang putera bernama Ubaidillah, Fadhl, Hasan, dan Qasim, serta seorang puteri. Abu Fadhl Abbas gugur di Karbala saat masih berusia 34 tahun. (Sardar Karbala hal.341).
[2] Sardar Karbala hal.240
[3] Muntaha Al-Amaal hal.279
[4] Anwar Assyahadah hal.76
[5] Sardar Karbala hal.287
[6] Anwar Assyahadah hal.78
[7] Bihar Al-Anwar juz 45 hal.41
[8] Ramz Al-Mushibah hal.307
[9] Nadhm Azzahra hal.120
[10] Anwar Assyahadah hal.99
[11] Nasikh Attawarikh juz 2 hal.346
[12] Sugand Nameh Ali Muhammad hal.310
[13] Kibrit Al-Ahmar hal.162
[14] Muhayyij Al-Ahzan, Muthabiq Al-Waqayi’ wa Al-hawadits juz 3 hal.19

Katalog Kubah Budaya 2015




[1] Wahyu Arya, Kumpulan Esai: Sebuah Pintu yang Terbuka, Serang: Kubah Budya 2012. 
IDR: Rp. 30.000,-

[2] Wan Anwar, Kumpulan Esai: Perjumpaan dengan Banten, Serang: Kubah Budaya.  IDR: Rp. 45.000,-

[3] Encep Abdullah, Kumpulan Puisi: Tuhan dalam Tahun, Serang: Kubah Budaya 2014 
IDR: Rp. 30.000,-


[4] Niduparas Erlang, Kumpulan cerpen: La Rangku, Selasar: Surabaya 2011
IDR: Rp. 30.000,-

[5] Aksan Taqwin Embe, Kumpulan cerpen: Gadis Pingitan. Serang: Banten Muda Community. 
IDR: Rp. 47.000


[6] Suguh Kurniawan, dkk., Kumpulan Esai: Mahasiswa Penegak Hak Asasi Manusia, Serang: Belistra Untirta 2010. 
IDR: Rp. 35.000,-


[7] Eko Triono, dkk., Kumpulan Cerpen: Bulan Kebabian, Serang: Belistra 2012
IDR: Rp. 40.000,-

[8] Sulaiman Djaya, Mazmur Musim Sunyi, Serang: Kubah Budaya, Januari 2013
IDR: Rp. 35.000,-

[9] Antologi Puisi Penyair Perempuan Kubah Budaya, Musim Untuk Laida/The Season For Laida, Serang: Kubah Budaya 2014
IDR: 40.000,-

[10] Arip Senjaya, Novel: Kebahagiaan Kita Sekalian di Abad Ini, Serang: Berjaya Buku 2011
IDR: 15.000

[11] Sulfiza Ariska, dkk., Kumpulan Cerpen: Sarkofagus, Serang: Belistra 2013
IDR: 45.000

Catatan:

[1] Untuk pemesanan, silakan hubungi 089602222458 (Yudi D.)
[2] Harga belum termasuk ongkos kirim