Label

Rabu, 24 Juni 2015

Frankfurt Book Fair dan Perdagangan Orang




Oleh AS Laksana (esais dan novelis)

Kaget saya! Rupanya ada perbincangan seru di wall Facebook Linda Christanty tentang Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Saya senang membacanya. Akhirnya ada juga yang bersuara keras. Dalam percakapan-percakapan ringan, beberapa kawan saya para penulis sering “gremang-gremeng” mengungkapkan unek-unek mereka, tetapi tidak ada yang memulai buka suara sampai akhirnya Linda menuliskan pendapatnya secara terbuka dalam status tersebut—yang saya bagikan tepat di bawah status ini.

Tahun ini Indonesia menjadi Tamu Kehormatan FBF (dan mungkin hanya satu kali ini) dan kita bisa merasakan kesan bagaimana Laksmi Pamuntjak dipersiapkan sebagai bintang utama. Saya bilang kesan karena sebuah skenario, atau sesuatu yang dirancang di dalam pikiran, tidaklah mungkin diungkapkan secara eksplisit. Mustahil ada yang secara gila mengakui bahwa ia menyimpan skenario semacam itu.

Kita hanya bisa melihat bahwa berbagai ikhtiar diupayakan untuk itu. Pembicaraan tentang peristiwa 1965 diperkuat, forum-forum “pemanasan” diadakan, pemberitaan difokuskan ke arah itu, dan Laksmi menjadi figur pentingnya. Mungkin dialah yang terbanyak mendapatkan liputan media menjelang pameran buku Frankfurt dibandingkan penulis-penulis lain yang akan dihadirkan di sana—katanya akan ada 70 orang yang dibawa dan saya tidak tahu mereka itu siapa saja.

Ketika pembicaraan tentang 1965 menguat, tentu saja akan tampak masuk akal untuk mengedepankan Laksmi Pamuntjak. Ia menulis novel “Amba” yang bertema 1965.

Masuk akal? Tidak!

Tema yang diusung Indonesia sebagai tamu kehormatan adalah “17.000 Islands of Imagination”. Alih-alih memperkenalkan keberagaman tema karya sastra Indonesia atau mempromosikan imajinasi dari “17.000 pulau”, panitia Indonesia justru menyempitkan imajinasi dan menyelewengkannya ke peristiwa 1965 sebagai tema utama bayangan.

Katakanlah kita tidak berkeberatan karya bertema 1965 itu diselundupkan ke panggung utama dan dijadikan salah satu tema penting, tetapi kita juga bisa menyikapinya secara lebih kritis. Ada sejumlah penulis lain yang menulis novel dengan tema tersebut, dan beberapa dari mereka adalah korban atau keluarga korban, kenapa mereka tidak mendapatkan tempat dan tidak diperkenalkan kepada publik di Jerman? Saya tahu Ahmad Tohari dihadirkan juga, karena Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” mengangkat tema 1965, Leila S. Chudori juga menulis novel dengan tema itu dan dibicarakan, tetapi tetap Laksmi Pamuntjak yang diarak sebagai bintang utama. Leila S. Chudori hanya figuran, di samping figuran-figuran lainnya termasuk Ahmad Tohari.

Dalam hal ini, Laksmi menjadi bintang utama hanya karena ia menulis novel bertema 1965—tanpa mempertimbangkan mutu karyanya.

Sekiranya tema 1965 dianggap sebagai salah satu yang penting untuk disodorkan kepada publik di Jerman, saya pikir mestinya ada telaah yang sungguh-sungguh untuk memilih yang terbaik di antara mereka. Apakah “Amba” lebih bagus atau lebih buruk dibandingkan “Ronggeng Dukuh Paruk”? Apakah “Pulang” lebih baik atau lebih buruk dibandingkan “Blues Merbabu”? Mana dari seluruh karya bertema 1965 itu yang terbaik?

Asahan Alham, 76 tahun, yang nama aslinya Asahan Aidit, salah seorang yang termasuk penulis eksil Indonesia, dalam sebuah komentar facebooknya tentang pembicaraan ramai yang dipicu oleh status Linda menuliskan, dalam huruf kapital semua:

“Tapi tokoh besar/dedengkot tua oportunis kanan-kiri PKI (Oporkaki PKI) yang bermukim di Belanda yang juga sering ulang-alik pergi ke Indonesia memuji-muji setengah mati dua pengarang perempuan ini bersama karyanya masing-masing “Amba” dan “Pulang”, yaitu karya Laksmi Pamuntjak dan Leila S. Chudori. Padahal seorang kritikus dan Indonesianis Perancis Henri Chambert-Loir mengatakan merasa muak setelah membaca “Pulang”-nya Chudori dan juga kata Henri buku ini sebuah kejahatan.”

Saya tidak tahu mana yang terbaik dari karya-karya bertema 1965. Saya bukan orang yang tergila-gila dengan tema itu, meskipun saya menyadari bahwa tema itu akan mudah diolah menjadi barang jualan untuk ditawarkan kepada publik Barat. Sebagai penulis, saya memiliki perhatian tersendiri terhadap situasi manusia hari ini yang tidak kalah runyamnya dibandingkan dengan situasi 1965. Sejumlah penulis lain juga mungkin seperti itu atau memilih tema-tema lainnya yang relevan dengan kepedulian mereka sendiri.

Kenapa panitia tidak memilih, misalnya, karya-karya terbaik sastra Indonesia dalam 50 tahun atau 25 tahun atau 10 tahun terakhir? Itu akan lebih masuk akal untuk dijalankan dan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Panitia bisa mengumpulkan karya-karya sastra yang mendapatkan penghargaan pada tiap-tiap tahun atau mendapatkan pujian dari para kritikus yang berwibawa—kalau kritikus semacam itu ada dan terbukti memiliki ketekunan untuk mengamati karya sastra. Jika harus ada seleksi, karena tidak semua yang dibawa ke Frankfurt adalah buku sastra, maka tim seleksi bisa dibentuk untuk menentukan buku mana saja yang akan dibawa. Tetapi urusannya jelas: yang dipilih sejak awal adalah buku-buku yang mendapatkan penghargaan atau mendapatkan pujian para kritikus.

Dari sana kita akan bisa melihat keragaman tema dan mempertanggungjawabkan mutunya. Dari sana kita bisa memperkenalkan dunia sastra Indonesia dan perjalanan kepengarangan para penulis dari waktu ke waktu secara lebih utuh.

Atau kita bisa juga menyertakan karya-karya yang menjadi best-seller di dalam negeri dalam 10 tahun terakhir. Itu berguna untuk memperkenalkan kecenderungan pembaca Indonesia dan seperti apa buku-buku yang digemari. Yang jelas, ada kriteria yang bisa dijadikan pegangan dan itu akan menghindarkan kita dari perdebatan yang keruh, misalnya, tentang bekerjanya jaringan perkoncoan.

Mestinya pameran buku Frankfurt dimanfaatkan untuk memperkenalkan para penulis terbaik Indonesia. Akan sangat memalukan jika forum ini hanya digunakan untuk memperdagangkan orang-orang tertentu dan mengasongkannya ke mana-mana: “Inilah para penulis terbaik kami, yang sungguh besar jasanya dalam mendorong terjadinya perubahan di negeri kami.” Dan, entah kebetulan atau dengan kesengajaan (jika bicara desain saya tidak yakin ada kebetulan), mereka itu semua perempuan. Maka Deutsche Welle, media resmi pemerintah Jerman, pun menulis: “Yang cukup mengejutkan, kebanyakan yang memaksa Indonesia berhadapan dengan sejarah gelapnya adalah penulis perempuan.”

Saya yakin bahwa “keterkejutan” wartawan DW itu adalah produk atau dampak dari sebuah desain. Baru-baru ini saya mendapatkan informasi bahwa, demi kepentingan pameran buku Frankfurt juga, sekarang sedang disiapkan di Jerman sana buku tentang 9 pengarang perempuan Indonesia. Jika benar buku tersebut akan terbit nantinya, kita bisa dengan mudah menebak setidaknya 2 atau 3 nama yang sudah pasti masuk di dalamnya.

Untuk semua ini, paling banter kita hanya bisa berkomentar sengit, “Ya, sudah, kau makan sajalah semuanya.”

Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan ingatan yang jauh ke masa lampau. Pada tahun 1935 Balai Pustaka pernah menerbitkan roman karya Anak Agung Pandji Tisna berjudul “Ni Rawit Ceti Penjual Orang”. Saya khawatir dalam kesastraan kita hari ini sosok Ni Rawit Ceti masih bergentayangan. Kalau ia seorang lelaki, kita bisa menyebutnya “Ki Rawit Ceti Penjual Orang”.

Selasa, 23 Juni 2015

Tifa Nusantara 2


Tifa Nusantara 2 digelar oleh Dewan Kesenian Kabupaten Tangerang (DKKT) berupa “temu kangen” dan “temu karya”. Temu Kangen mempertemukan para penyair beragam usia dalam silaturahmi yang indah; bakar jagung, ngopi, pesta puisi, dan kegiatan rekreatif seperti outbond. Di celah acara ini digelar juga seni tradisi dan pameran senirupa.

Temu Karya diawali dengan peluncuran antologi Tifa Nusantara 2 bersama buku-buku karya para peserta. Dalam kegiatan ini, disamping diskusi serius digelar juga bincang ringan ihwal geliat sastra di daerah, sastra masuk sekolah, dan ihwal Tifa Nusantara 3.

Tifa Nusantara 2 yang membumi berupa tenda budaya, Insya-Allah, pada 27 s.d. 29 Agustus 2015 mengundang 161 peserta terpilih, dalam hal ini membukukan 161 dari 1.161 puisi. Surat resminya akan kami kirimkan dalam dua minggu ini.

Terima kasih kepada segenap sahabat yang telah mengirimkan karyanya. Sungguh, seluruhnya adalah karya yang adiluhung. Mohon maaf bahwa pada akhirnya kami terpaksa membatasi jumlahnya. Hal yang tentunya dimaklumi bersama.

Tifa Nusantara = temu kangen + temu karya = susastra + cinta nusantara
Alhamdulillah. Terima kasih.
Tangerang, 22 Juni 2015
Rini Intama + Ayu Cipta + eL Trip Umiuki

PESERTA TIFA NUSANTARA 2
1. A.Nabil Wibisana (Kupang)
2. Abah Yoyok (Tangerang)
3. Abimanyu Hadi Sukoro (Tangerang)
4. Achmad Dasuki (Tangerang)
5. Ade Riyan Purnama (Jakarta)
6. Adriana Tjandra Dewi (Jakarta)
7. Agus Chaerudin (Tangerang)
8. Agustinus Wahyono (Kaltim)
9. Aksan Taqwin Embe (Tangerang)
10. Ali Satri Efendi (Bekasi)
11. Ali Syamsudin Arsi (Kalsel)
12. Aloeth Pathi (Pati)
13. Aly D Musyrifa (Yogyakarta)
14. Alya Salaisha (Bekasi)
15. Andre Theriqa (Tangerang)
16. Anna Mariyana (Kalsel)
17. Anggi Putri (Surabaya)
18. Arafat Ahc (Demak)
19. Ardi Susanti (Tulungagung)
20. Arif Khilwa (Pati)
21. Arsyad Indradi (Kalsel)
22. Ary Nurdiana (Madiun)
23. Astri Anjani (Jakarta)
24. Atin Lelya Sukowati (Yogyakarta)
25. Aulia Nur Inayah (Tegal)
26. A’yat Khalili (Madura)
27. Ayid Suyitno (Bekasi)
28. Ayu Cipta (Tangerang)
29. Azizah Nur Fitriana (Medan)
30. Bambang Eka Prasetya (Magelang)
31. Bambang Widiatmoko (Bekasi)
32. Betta Anugrah Setiani (Bogor)
33. Budhi Wiryawan (Yogyakarta)
34. Budhi Setyawan (Bekasi)
35. Bustan Basir Maras (Yogyakarta)
36. Citra Sasmita (Bali)
37. Daru Maheldaswara (Yogyakarta)
38. Dedet Setiadi (Magelang)
39. Destiyandi Kurniawati (Tangerang)
40. Dharmadi (Purwokerto)
41. Dian Hartati (Bandung)
42. Dian Rusdiana (Bekasi)
43. Dianing Widya (Depok)
44. Didi Kaha (Tangerang)
45. Dimas Arika Mihardja (Jambi)
46. Dimas Indiana Senja (Yogyakarta)
47. Doddi Ahmad Fauji (Bandung)
48. Duta L. Dudikoff (Palembang)
49. Dwi Klik Santosa (Jakarta)
50. Ekohm Abiyasa (Karanganyar)
51. Eko Ragil Ar-Rahman (Riau)
52. Elisyus (Depok)
53. eL Trip Umiuki (Tangerang)
54. Emi Suy Hariyanto (Jakarta)
55. En Kurliadi Nf (Bekasi)
56. Enes (Tangerang)
57. Encep Abdullah (Serang)
58. Fahmi Wahid (Kalsel)
59. Faizy Mahmoed Haly (Demak)
60. Fajar Timur (Tangerang)
61. Fileski (Surabaya)
62. Fina Lanahdiana (Kendal)
63. Fitrah Anugerah (Bekasi)
64. Gampang Prawoto (Bojonegoro)
65. Gito Waluyo (Serang)
66. Giyanto Subagio (Jakarta)
67. Gustu Sasih (Lombok)
68. Hadi Sastra (Tangerang)
69. Hardi Rahman (Tangerang)
70. Hasan Bisri BFC (Bogor)
71. Helwatin Najwa (Kalsel)
72. Hermansyah Adnan (Banda Aceh)
73. Herwan FR (Serang)
74. Humam S. Chudori (Tangerang)
75. Husnul Khuluqi (Banyumas)
76. Iberahim (Kalsel)
77. Ibramsyah Amandit (Kalsel)
78. Ignatius Dwiana (Yogyakarta)
79. Imam Budiman (Kaltim)
80. Iman Sembada (Depok)
81. Irna Novia Damayanti (Purbalingga)
82. Juftazani (Tangerang)
83. Jumari HS (Kudus)
84. Koez Arraihan (Yogyakarta)
85. Kurnia Hidayati (Batang)
86. L. Surajiya (Yogyakarta)
87. Lailatul Kiptiyah (Mataram)
88. Lunar Nurmalam (Tangerang)
89. Mahroso Doloh (Purwokerto)
90. Majenis Panggar besi (Bengkulu)
91. Maria Roeslie (Kalsel)
92. Mirza Sastroatmodjo (Pati)
93. Moh. Ghufron Cholid (Madura)
94. Muhammad Asqalani eNeSTe (Riau)
95. Muhammad Lefand (Jember)
96. Muhammad Musyaffa (Banyumas)
97. Muhammad Rois Rinaldi (Cilegon)
98. Muhammad Subhan (Padang)
99. Mustafa Ismail (Tangerang)
100. Mustaqiem Eska (Palembang)
101. Nana Sastrawan (Tangerang)
102. Nani Karyono (Bandung)
103. Nani Tandjung (Jakarta)
104. Nastain Achmad (Lamongan)
105. Nella S.Wulan (Bandung)
106. Niam At-Majha (Pati)
107. Niduparas Erlang (Serang)
108. Niken Kinanti (Pati)
109. Nila Hapsari (Bekasi)
110. Noi Bonita (Serang)
111. Novy Noorhayati Syahfida (Tangerang)
112. Nuniek Kharisma Rosalina (Banjar)
113. Nuning Kusumaning Palupi (Semarang)
114. Nurhadi (Kendal)
115. Nuyang Jaimee (Jakarta)
116. Otto Sukatno CR (Yogyakarta)
117. Pudwianto Arisanto (Jakarta)
118. Rahmi Airin (Jakarta)
119. Ratna Ayu Budhiarti (Garut)
120. Ratna M. Rochiman (Bandung)
121. Rezqie Muhammad AlFajar Atmanegara (Kalsel)
122. Rg. Bagus Warsono (Indramayu)
123. Ria Oktavia Indrawati (Depok)
124. Rini Intama (Tangerang)
125. Ritawati Jassin (Jakarta)
126. Riyanto El Jameel (Karawang)
127. Rizkia Hasmin (Padang)
128. Salimi Ahmad (Tangerang)
129. Seruni Unie (Solo)
130. Sindu Putra (Lombok)
131. Slamet Riyadi Sabrawi (Yogyakarta)
132. Sofyan RH. Zaid (Bekasi)
133. Sokanindya Pratiwi Wening (Lhokseumawe)
134. Sri Runia Komalayani (Sukabumi)
135. Sri Wintala Achmad (Cilacap)
136. Steve Elu (Kupang)
137. Sulaiman Djaya (Serang)
138. Sulaiman Juned (Padang)
139. Sus. S. Hardjono (Sragen)
140. Suyitno Ethex (Mojokerto)
141. Syarif Hidayatullah (Kalsel)
142. Syihabul Furqon (Sumedang)
143. Tajuddin Noor Ganie (Kalsel)
144. Tawakal M. Iqbal (Bogor)
145. Thomas haryanto soekiran (Purworejo)
146. Tjahjono Widarmanto (Ngawi)
147. Tonganni Mentia (Toraja)
148. Uki Bayu Sedjati (Tangerang)
149. Umar Affiq (Rembang)
150. Varikesit ‘ra (Tasikmalaya)
151. Viddy AD Daery (Jakarta )
152. Villy J. Roesta (Tangerang)
153. Wadie Maharief (Yogyakarta)
154. Wans Sabang (Bekasi)
155. Wanto Tirta (Banyumas)
156. Weni Suryandari (Bekasi)
157. Wiluning (Tegal)
158. Windu Mandela (Sumedang)
159. Yudi Damanhuri (Serang)
160. Yuditeha (Solo)
161. Yusran Arifin (Tasikmalaya)

Frankfurt Book Fair 2015 dan Kebohongan Tentang Kepeloporan Dua Penulis Perempuan Indonesia




Oleh Linda Christanty (penulis dan jurnalis)

Saya membaca beberapa berita di situs DW Indonesia seputar Indonesia yang menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015. Salah satu berita yang ditulis wartawannya dalam Bahasa Indonesia menyatakan bahwa dua penulis perempuan Indonesia telah mempelopori pengungkapan peristiwa 1965. Ada kalimat seperti ini dalam berita itu: “Dari 13-18 Oktober Indonesia akan tampil di Frankfurt sebagai Tamu Kehormatan. Yang cukup mengejutkan, kebanyakan yang memaksa Indonesia berhadapan dengan sejarah gelapnya adalah penulis perempuan.”

Itu kebohongan yang luar biasa.

Sejumlah wartawan Jerman yang datang ke Jakarta juga sempat bertanya kepada saya tentang hal ini, seolah-olah ada gelombang atau fenomena baru tentang pengungkapan peristiwa 1965 melalui novel atau karya fiksi yang dipelopori dua penulis perempuan.

Saya mengatakan bahwa fenomena atau kecenderungan khusus itu tidak ada sama sekali. Saya hidup di Indonesia, saya penulis, dan saya mengetahui apa saja yang terjadi di sini, di negara saya sendiri.

Penulisan dan penerbitan novel atau karya fiksi yang mengisahkan peristiwa tersebut bahkan telah dimulai tidak lama setelah Suharto berkuasa, ketika Noorca M. Massardi menulis novel September, dengan perspektifnya yang kritis dan menggugat militer. Umar Khayam menulis Sri Sumarah dan Bawuk yang juga mengisahkan seputar peristiwa itu. Ahmad Tohari menulis dua novel tentang 1965 dengan tentara sebagai pahlawannya dan orang komunis yang bertobat. Mira W menulis novel berlatar peristiwa ini dalam karyanya yang dikategorikan “novel pop”. Penulis Indonesia, laki-laki maupun perempuan, mengisahkan peristiwa tersebut dalam karya-karya mereka sejak masa Suharto sampai hari ini. Bre Redana menerbitkan dua novel tentang 1965 pada tahun 2011, yakni Blues Merbabu dan 65.

Kalau harus menunjuk diri sendiri, saya juga menulis cerita-cerita pendek tentang peristiwa 1965 di antara karya lain tentang penculikan aktivis, gerakan politik melawan Suharto, masa pendudukan Jepang, transgender dan sebagainya itu. Selain saya, banyak penulis lain yang menulis peristiwa 1965 dalam karya mereka. Dengan perspektif yang beragam. Tapi dua karya terakhir yang rajin dibicarakan di Jerman itu justru tidak menawarkan perspektif baru dibandingkan karya-karya yang sudah muncul lebih dulu. Sosok-sosok yang diceritakan adalah korban-korban yang sial atau hedonistik, yang sama sekali tidak bertentangan dengan propaganda Orde Baru tentang peristiwa 1965. Karena itu, berita yang dimuat dalam DW Indonesia tersebut sangat berlebihan.

Tetapi lebih dari itu adalah tidak hanya peristiwa 1965 yang menjadi tema karya-karya fiksi di Indonesia dari dulu sampai sekarang. Tema-tema kemanusiaan dan kekerasan ketika Suharto berkuasa, konflik antarwarga, masalah agama, misteri, alam gaib, urusan rumah tangga, cinta dan seks menjadi tema karya fiksi di Indonesia hari ini. Sangat beragam, sangat kaya. Kalau Indonesia ingin mengusung slogan “17 Ribu Pulau Imajinasi”, maka keberagaman itulah yang harus ditampilkan di Frankfurt Book Fair pada bulan Oktober nanti.

Berita yang menyatakan bahwa dua penulis perempuan Indonesia ini telah menjadi pelopor bagi pengungkapan kembali peristiwa 1965 itu selain suatu kebohongan, juga penghinaan yang luar biasa terhadap semua upaya siapa pun yang tanpa kenal lelah dengan segala risikonya, baik komunitas, organisasi, para aktivis, dan anak-anak muda dalam mengungkap kebenaran yang terkait peristiwa tersebut dari masa Suharto hingga hari ini. Upaya-upaya mereka itu tidak dipicu oleh karya fiksi atau film fiksi apa pun, melainkan karena keingintahuan mereka untuk menemukan kebenaran dalam sejarah. Tidak hanya untuk peristiwa 1965, tetapi untuk berbagai peristiwa politik dan ketidakadilan yang terjadi di masa Suharto dan di masa sesudahnya.

Saya mendukung Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, tapi tidak mendukung kebohongan atau manipulasi yang berlebihan untuk tujuan perdagangan dengan alasan apa pun.

Rabu, 10 Juni 2015

Hendak Kemana Sastra Indonesia?


Oleh Korrie Layun Rampan (Pengulas Sastra Indonesia)

Apakah sastra Indonesia itu? Siapakah sastra Indonesia itu? Di manakah sastra Indonesia itu? Apakah rumah sastra Indonesia itu? Mau apa sastra Indonesia itu? Hendak ke mana sastra Indonesia itu? Saya tidak akan menjawab pertanyaan saya sendiri. Saya akan menelusuri sastra Indonesia mutakhir dalam konteks arah atau kecenderungannya pada masa akhir-akhir ini dan masa akan datang. Diakui, sastra futurisme pun juga tidak akan mungkin meramalkan kemana sesungguhnya arah sastra suatu komunitas, suatu etnik, atau sastra suatu bangsa.

Sebagaimana diketahui bersama, sastra Indonesia lahir pada tahun 1920, saat Muhammad Yamin menulis sajak “Tanah Air” di majalah lokal kebangsaan Jong Sumatera. Secara estafet sajak modern itu ditulis oleh Amir Hamzah (Pujangga Baru), Chairil Anwar (Angkatan 45), Subagio Sastrwowardoyo, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad (Angkatan 66), F. Rahardi, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Eka Budianta (Angkatan 80) dan Afrizal Malna, Seno Gumira Adjidarma, Kriapur, Ayu Utami, Dee, Ahmadun Yosi Herfanda, Nirwan Dewanto, M. Fadjroel Rachman, H.U. Mardi Luhung, Evi Idawati, Laksmi Pamuntjak (Angkatan 2000). Para sastrawan ini telah meninggalkan jejak dalam perjalanan panjang sastra modern Indonesia (1900-2015).

Jejak apakah yang telah ditinggalkan para sastrawan itu dalam sastra Indonesia? Secara sederhana dapat dirumuskan beberapa hal penting dari kehadiran para sastrawan ini dalam perjalanan panjang sastra modern Indonesia. Dimulai dari Muhammad Yamin, melahirkan genre baru dalam sastra Indonesia. Muhammad Yamin, pelahir genre sastra puisi Indonesia modern. Dengan demikian, dia telah memulai bentuk baru yang berbeda dari bentuk-bentuk puisi tradisional.

Amir Hamzah merevolusikan bahasa dengan menggunakan bahasa baru yang berbeda dari bahasa pantun, syair, gurindam, hikayat, riwayat dan berbagai jenis sastra lama. Di tangan Amir Hamzah, bahasa menjadi dinamik, bercahaya,  lentur dan baru. Dengan bahasa itu dia menulis segala persoalan kejiwaan dan hidup percintaan maupun kekhusukkan di dalam iman percaya kepada Tuhan. Sajak-sajak Amir Hamzah memerdekakan bahasanya dari determinasi ruang lama dan kuno yang membelenggu, dengan berbagai aturan yang mereduksi kreativitas.

Kehadiran Chairil Anwar, membawa bentukan puisi melampaui Pujangga Baru yang melahirkan Belenggu; membawa suasana dan situasi paling dinamik dalam sastra Indonesia modern. Chairil merupakan pembaharu sejati dan peletak dasar sastra puisi paling berkualitas. Sajak-sajaknya mencirikan perlompatannya dari puisi lisan menjadi puisi tulisan; dan dari sastra bisu dengan tendensnya yang luas ke sastra memberontak terhadap realitas indivindu, masyarakat luas, bangsa dan negara. Sajak-sajaknya sensitif, meninggalkan sastra massal ke sastra keseorang yang mengandung nilai-nilai universal. Dengan sajak-sajak yang demikian. dia muncul sebagai individu dengan individualitas yang sangat kuat; sebagai pembaharau yang memasukkan genre puisi Indonesia ke dalam rumah puisi dunia.

Idrus membawa cara baru penulisan cerpen yang bersifat sketsais. Seperti diketahui, sketsa adalah orat-oret atau lukisan yang belum selesai. Dengan demikian, fiksi-fiksi Idrus merupakan ciptaan yang memiliki sifat sketsais. Secara metafora menunjukkan perlambangan masyarakat Indonesia yang sedang berada di tengah transisi menjadi bangsa. Fiksi-fiksi itu -termasuk drama- menunjukkan arah fiksi cerpen. Memperlihatkan unsur karya yang belum menjadi, disamping jenis cerita Armijn Pane yang berunsur ilmiah dan aliran yang dibawa Hamka sebagai aliran cerpen kemasyarakatan.

Sitor Situmorang mengangkat bentuk baru dalam puisi, cerpen, dan drama pada generasi Angkatan 45. Penggunaan bahasanya yang plastis, sangat dekat dengan Amir Hamzah dan penggunaan ide-ide pikiran dalam  sintaksis yang memikir. Dia dekat dengan Chairil Anwar. Sitor menggunakan berbagai perangkat bentuk dan isi, untuk mencapai ide-ide jenial tentang bentuk, tema dan pikiran. Di antara sajaknya yang sangat individual dan merupakan tema romantisme seks paling indah dalam sastra Indonesia. Dapat dilihat dalam sajaknya “La Ronde II”, seperti dikutip berikut ini.

Sitor Situmorang

LA RONDE

II
Adakah yang lebih indah
dari bibir merekah?
Adakah yang lebih manis
dari gelap di bayang alis?
Di keningnya pelukis ragu:
Mencium atau menyelimuti bahu?
Tapi rambutnya menuntun tangan
hingga pinggulnya, penuh saran.
Lalu paha, pualam pahatan
mendukung lengkung perut
Berkisar di pusat, lalu surut
agak bawah, ke pusar segala
Hitam pekat, siap menerima
dugaan indah.
Ah, dada yang lembut menekan hati
Terimalah
kematangan mimpi lelaki!

Beberapa novel  Mochtar Lubis mengambil tema psikologi, kemasyarakatan, sosiologi dan dunia perang. Fiksi-fiksi sastrawan ini sangat kuat dan memiliki nilai kesejarahan dan nuansa politik seperti cerpen ”Nasionalis Nomor Satu” dan “Kuli Kontrak”. Cerpen-cerpen ini menjadi penanda dan bukti sejarah perjuangan bangsa dan upaya-upaya selanjutnya dalam mempertahankan kemerdekaan dan harkat bangsa.

Iwan Simatupang merupakan novelis dan cerpenis yang membawa perubahan baru dan pembaruan dalam sastra modern Indonesia. Kumpulan cerpennya Tegak Lurus dengan Langit dan novel Merahnya Merah, Ziarah dan Kering telah menampakkan pembaruan dalam hal struktur dan pemikiran. Iwan memperlihatkan fiksi modern yang berkelindan dalam interour monolog yang menekankan arus kasadaran. Tokoh-tokoh Iwan lebih berupa jelmaan manusia filsafati yang terbimbing dalam aliran eksistensialisme.

Dengan membawa tokoh-tokohnya eksis dalam ranah kehidupan tumpah darahnya sendiri. Umar Kayam, Ahmad Tohari, Linus Suryadi AG dan Korrie Layun Rampan membawa tokoh-tokoh kisah mereka ke ranah nenek-moyang yang menentukan trah dan keberhasilan di dalam lakuan perjuangan sehari-hari.

Umar Kayam memberhasilkan tokoh-tokohnya di dalam kerja keras upaya menjadi diri mereka priyayi jelata -bukan priyayi darah biru- sehingga mereka menjadi contoh yang nyata dari perjuangan kemanusiaan. Ahmad Tohari membawa tokohnya berjuang di dunia kebudayaan dengan membuka diri seluas-luasnya untuk landas tumpu budaya rakyat kecil yang menjadi gantungan kehidupan. Linus Suryadi memperlihatkan budaya bedinde (pembantu) -yang membantu luar dalam- sebagai bagian dari budaya daerah yang hidup dengan realitas yang memungkinkan masyarakatnya bereksistensi.

Dalam realitas budaya Jawa, anak dari hasil hubungan gelap - kaum bangsawan dengan gadis dari rakyat jelata, diakui sebagai anak turunan kaum bangsawan, tetapi sang Ibu tetap berada di luar garis. Korrie Layun Rampan dengan kisah-kisah esoterik dari dunia Dayak, membawa pembaca kepada realitas keisolasian masyarakat pedalaman terhadap dunia modern, dunia kemajuan. Mereka tetap saja terjelungkap di dalam dunia yang jauh tertinggal di luar lingkaran realitas dunia global yang sudah mencapai bulan.

Berbagai pikiran dan bentuk ucap dari para sastrawan yang menjalani estafet dalam angkatan sastra selanjutnya seperti yang dilakukan Iman Budhi Santosa dan Kusnin Asa. Menulis tentang sepi -dan kehidupan yang ada di dalamnya- dan Emha Ainun Nadjib yang mengestafeti keindahan  nuansa religius sufi, kemudian mencirikan sajak-sajak sufistik. Sajak-sajaknya yang mencirikan hal demikian terasa sangat indah dan menjadi bagian penting perjalanan sastra Indonesia kiwari seperti dapat dirasakan dari kutipan berikut ini.

Emha Ainun Nadjib

TIDUR HANYA PADA-MU

Tidur hanya bisa pada-Mu
Ketika larut badan tak menggoda
Sudah khatam segala tangis rindu
Tinggal jiwa kusut dan sebuah lagu
Jiwa terjajah luka
Bersujud sepanjang masa
Di peradaban yang sakit jiwa
Hanya bisa kupeluk guling rahasia
Tidur hanya bisa pada-Mu
Ya, kekasih, tidur hanya bisa pada-Mu
Kalau tak Kau eluskan tangan
Bangunku tetap saja ke dunia
Sejak semua telah kuikrarkan
Cuma Engkau sajalah yang kudambakan
Dengan sangat kumohonkan tidur abadi
Agar kumasuki bangun yang sejati
1986

Novel-novel Seno Gumira Ajidarma (Naga Bumi I-II yang sangat tebal), Ayu Utami, Dee, M. Fadjroel Rachman, Djenar Maesa Ayu, Lan Fang,  Cok Sawitri dan lain-lain memperlihatkan penjelajahan estetik yang sangat luas dengan intensitas cerita, menjangkau ke berbagai dunia baru yang spektakuler. Karya-karya ini memasuki era baru dan wilayah baru yang menjadi pertaruhan perkembangan dan pengembangan sastra modern Indonesia.

Cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi Mata; cerpen-cerpen Joni Ariadinata dalam Kastil Angin Menderu; cerpen-cerpen Lan Fang dalam Yang Liu dan lain-lain. Cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu dalam Mereka Bilang Saya Monyet, Saia dan lain-lain. Cerpen-cerpen Dee dalam Filosofi Kopi; cerpen-cerpen Khairul Jasmi dalam Ketika Jenderal Pulang. Cerpen-cerpen Rama Dira dalam Kucing Kyoko, dan lain-lain -jumlahnya puluhan- menunjukkan makin berkembangnya cerpen sebagai genre sastra, setelah Muhammad Kasim dan Suman Hs. menulis cerpen-cerpen anekdot.

Sastra modern Indonesia diperkaya oleh hadirnya penyair, dramawan, esais, cerpenis, kritikus sastra dan novelis, menunjukkan kualitas mengagumkan. Nama-nama seperti Darman Moenir, Juniarso Ridwan, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Wendoko, Tia Setiadi, Micky Hidayat, Jamal T. Suryanata, Mahmud Jauhari Ali, Burhanuddin Soebely, Gus tf, Ratih Kumala, Oka Rusmini, Isbedy Styawan ZS., Cecep Syamsul Hari, Jamal D.  Rahman, Triyanto Triwikromo, Evi Idawati, Cicilia Anggraini Oday, Agus R. Sarjono, Theresia Ratu Angin, Hermiyana, Arif B. Prasetyo, Ma’mur Saadie, Kinanthi Anggraini, Shantined, Cok Sawitri, Amien Wangsitalaja, Fakhrunnas MA Jabbar, Sulaiman Djaya, Hasan Al-Banna, Tomy Tamara, Benazir Nafilah, Wirja Taufan, Budhi Setyawan, Iverdixon Tinungki, Pitres Sombowadila, Syaifuddin Gani, Abidah El-Qalieqy, Ulfatin Ch., Nenen Lilies A., Irianto Ibrahim, Juwairiyah Mawardy, Chen Chen, M. Fauzi, Saifun Arif Kojeh, Ahmad David Khollillurrahman, Yusran Arifin, Raedu Basha, Khoer Jurzani, Fandi Kachonk, A’yat Khalili, Fitri Yani dan ratusan nama yang mengisi antologi Angkatan 2000 dalam Puisi Indonesia. Di antara mereka, berikut ini dikutip puisi Vinca Dia Kathartika Pasaribu (lahir 1996) dan Laksmi Pamuntjak (Pamuntjak, Amba: 2012: 75). Sebagai contoh bentuk ucap, imaji dan metafor puisi dan daya bayang,  pilihan kata, dan sintaksis novel Indonesia mutakhir.

Vinca Dia Kathartika Pasaribu

SETANGKAI

Aku setangkai sunyi mengamini mekar janji
Di muara kelam malam
Debu gemintang berjajar pada lusuh kerinduan
Rindu nyanyi diri
Rindu tenang hati
Rindu yang membuncah laksana mata samudera
Aku setangkai perih yang tiap malam turut berbaris
Memikul tandu-tandu luka, menghantarnya ke larut doa
Satu per satu anyir yang menganga disemayamkan dalam keranda raga
Di telapak tanganku, dupa kutuk menyala
Getir aroma kepasrahan
Pasrah terbakar diri
Pasrah tertawan hati.
20-12-2012 Horison/Kakilangit, 9/210, Th. XLVIII, September 2013

"Kau tak perlu bercerita,” bisik Samuel, “apabila kau belum siap.”

Perempuan itu memang tak hendak berbagi tentang kematian Bhisma: setidaknya bukan sekarang. Ada padanya yang ingin kembali ke awal mula: ke sebuah masa kecil di mana dunia hadir sebagai sesuatu yang tak diketahui, sebagai mulut-mulut yang belum bertutur-kisah, sebagai tubuh-tubuh yang belum mengenal haus dan lapar. Bagaimana ia bermula, bagaimana Amba dan Bhisma bermula. Surat-surat itu: ah, surat-surat itu. Surat-surat yang telah bertahun-tahun terkubur bersama darah, tanah dan air. Tanah air, tumpah darahku. Seperti apa rasanya membaca surat-surat yang ditulis untukmu beberapa tahun lampau, ketika dia bukan dia, kamu bukan kamu, ketika dia belum mati, dan kamu adalah kamu yang lain?

Apa hak Samuel untuk berpikir tentang ke-kamu-an seorang Amba dan Bhisma, ketika semakin lama dia semakin tak mengenali dirinya sendiri? Ketika lidahnya semakin kelu dan kata-katanya tinggal satu: maaf? Maaf sebab aku terlaklu bodoh untuk menjadi berguna. Maaf sebab akun tak sanggup meringankan peneritaanmu. Maaf sebab aku tak punya nama untuk kepedihanmu dan sebab setiap kali aku menatapi wajahmu, aku melakukan sesuatu yang tak patut.

“Maafkan aku,” kata Samuel sambil menyentuh tangan perempuan itu, “kau tahu kau tak perlu berbagi apa pun dengan aku.”

“Jangan minta maaf,” sahut Amba. “Tak ada yang lebih menyedihkan di dunia ini, Samuel, daripada permintaan maaf yang tak ada tempatnya.”

Semuel tak bersuara.

Perempuan itu berkata, “Aku ingin ingat ke masa sebelum aku punya rasa gentar.”

Nah!

Ke arah manakah kecenderungan sastra modern Indonesia terkini? Jawabannya sangat sederhana, yaitu:

1. Produktivitas. Tren sastra Indonesia mutakhir haruslah berorientasi kepada prodiktivitas -semua yang menyebut dirinya sastrawan harus produktif- dan dari situlah dapat dilihat arah yang sebenarnya. Produktivitas itu akan tampak dalam produksi: sastra anak, sastra remaja, sastra pop dan sastra serius. Semua bidang itu tak boleh dinafikan -karena memiliki wilayah otonominya sendiri-sendiri- Di dalam semua itulah kita dapat melihat arah sastra yang sebenarnya. Ke manakah sastra itu menuju?

2. Inovasi. Tak ada sastra yang menunjang kehidupan dan budaya suatu bangsa tanpa adanya inovasi dalam penciptaan. Sebagaimana diketahui, inovasi adalah penemuan yang spektakuler, membuka dan memberi ruang baru, sikap baru, tujuan baru, faham baru, dan penciptaan baru. Dari kebaruan inovasi itulah dapat dilihat arah tujuan sastra yang sesungguhnya.

3.Kreativitas. Sering dikatakan, kreativitas bertolak belakang dengan produktivitas. Tanpa penciptaan, tak mungkin juga dilihat ada kehidupan kreativitas. Itu sebabnya produktivitas sangat penting dalam kreativitas. Kreativitas itu ada jika kreativitas dilahirkan. Kreativitas adalah bentuk ciptaan, diangkat secara orisinal dan unik. Berbeda dari hasil produksi yang mengikuti pakem dan kaidah konvensional. Kreativitas menandai kebaruan, otensitisitas, keunikan, keutuhan, dan kualitas. Kreativitas selalu membelakangi dan meninggalkan hal-hal normatif yang mengukuhkan konvensi dalam tradisi yang telah diakui secara konvensional. Dari segi itulah kita dapat melihat arah sastra modern Indonesia ke masa depan.

Sastra tidak akan ada tanpa penciptaan! Apakah sastra kita surut ke belakang atau terus maju ke depan? Sumber: http://demo.analisadaily.com/rebana/news/hendak-kemana-sastra-indonesia/138175/2015/05/31