Label

Rabu, 26 November 2014

Ziarah ke Relung Bathin Dunia Alegoris Saadi


Saadi dari Shiraz (Persia) pernah bercerita: “Ketika saya masih kecil, saya pernah sembahyang dengan bapak, paman dan misan-misan saya. Tiap malam kami bersama-sama mendengar bacaan sebagian al Qur’an. Suatu malam, ketika paman saya membaca satu bagian dengan suara keras, saya memperhatikan bahwa kebanyakan orang sedang mengantuk. Saya bilang pada bapak saya, “Tidak ada satupun dari orang-orang ngantuk ini mendengarkan kata-kata kitab suci. Mereka tidak pernah mencapai Tuhan.” Dan bapak saya bilang, “Anakku sayang, lihatlah jalanmu sendiri dengan mata iman dan biarkan orang lain menjaga diri mereka sendiri”. (Paulo Coelho, Stories for Parents, Children and Grandchildren, Volume 1).  

Ziarah ke Relung Bathin Dunia Alegoris Saadi

“Mungkinkah orang tidur membangunkan orang yang tidur?” (Sa’adi, Gulistan). “Barangsiapa mengikuti jalan pencarian kebenaran, ia akan kehilangan mahkota kebanggaan sekaligus kehilangan kepala rasionalitas” (Nizami, Treasury of Mysteries). Dua kutipan ini kira-kira cocok sekali saat kita hendak membincang khazanah intelektual dan kesusastraan sufisme, yang dalam kesempatan ini adalah membincang sekilas tentang Gulistan, yang dapat kita terjemahkan sebagai Taman Mawar, karya penyair sufi masyhur, Sa’adi dari Shiraz. Baiklah kita mulai, yang dengan ini kita tak ragu lagi, bahwa Gulistan (Taman Mawar) dan Bustan (Taman Buah) karya Sa’di asy-Syirazi merupakan dua karya klasik Sufisme yang mengandung ajaran moral dan etika yang banyak dibaca orang di India, Persia, Pakistan, Afghanistan, Asia Tengah, dan di tempat-tempat lainnya, semisal oleh segelintir intelektual dan penulis di Indonesia yang konsen dengan khasanah intelektual dan kesusastraan para penulis sufi.

Sementara itu, pada masa hidupnya, Sa’di adalah seorang darwis yang senantiasa berkelana. Ia pernah ditangkap bala tentara Perang Salib dan disuruh menggali parit sedemikian dalam. Ia juga mengunjungi pusat-pusat pengajaran di Timur dan menulis puisi serta prosa yang bernilai sangat tinggi. Ia pernah belajar di perguruan tinggi Baghdad yang didirikan Nizham, Menteri Pengadilan Syah, sahabat Omar Khayyam. Ia mempunyai ikatan dengan para Sufi dari Tarekat Naqsyabandiyah, mempunyai hubungan dekat dengan Syekh Syihabuddin as Suhrawardi, pendiri Tarekat Suhrawardiyah serta Najmuddin Kubra, Sang “Pilar Masa”, salah seorang Sufi terbesar sepanjang masa.

Juga, tak diragukan lagi, pengaruh Sa’di terhadap kesusastraan Eropa sedemikian besar. Tulisan-tulisannya merupakan salah satu acuan dasar bagi Gesta Romanorum, buku induk berbagai legenda dan alegori di Barat. Para sarjana (Barat) telah mencatat pengaruh-pengaruh Sa’di dalam kesusastraan, seperti dalam sastra Jerman. Demikian pula, penterjemahan karya-karyanya pertama kali ditemukan di Barat pada abad ketujuh belas. Akan tetapi, seperti kebanyakan karya Sufi lainnya, maksud yang terkandung dalam karya Sa’di hampir tidak dipahami sama sekali oleh para pengkaji sastra. Ini terbukti dalam sebuah ulasan tipikal dari seorang komentator masa kini. Ulasannya memang bukan pendapatnya tentang Sa’di, namun merupakan indikasi pikiran di penanya: “Sangat diragukan apakah Sa’di benar-benar seorang Sufi. Sebab menurutnya pendidikan mengucilkan mistik.”

Namun sebenarnya, dongeng-dongeng berisi nasehat, syair, dan analogi penuh makna yang ditulis Sa’di mempunyai multifungsi. Pada tatanan masyarakat, misalnya, semua tulisan Sa’di merupakan suatu kontribusi yang besar terhadap pemantapan etika. Meski di antara para pengulas sastra Barat, terbilang hanya Professor Codrington yang memahaminya lebih dalam:

“Alegori dalam Gulistan memang khusus (digunakan) para Sufi. Mereka tidak mungkin menyampaikan ajaran rahasia kepada orang-orang yang tidak terbiasa menerima atau menafsirkannya secara tepat, sehingga mereka mengembangkan suatu terminologi khusus untuk menguraikan rahasia-rahasia tersebut bagi para calon murid. Bilamana tiada kata-kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut, maka ungkapan-ungkapan khusus atau alegori pun digunakan.”

Tetapi tentu saja bukan hanya orang-orang Barat yang menganggap bahwa pengetahuan batiniah (esoteris) dapat dipahami seperti menyantap hidangan di atas piring. Sebab Sa’di sendiri telah menjelaskan hal ini dalam salah satu ceritanya.

Ketika ia mengadakan perjalanan dengan beberapa temannya yang saleh ke Hijaz Arabia, seorang anak laki-laki dekat Oasis Bani Hilal mulai menyanyi dengan cara khusus sehingga unta milik seorang pencibir mistisisme menari, kemudian melarikan diri ke padang pasir. “Aku berujar,” kata Sa’di, “baiklah Tuan, Anda tetap saja diam, padahal lagu itu telah mempengaruhi seekor binatang sekalipun.”

Begitupun penting diketahui, ajaran Sa’di tentang pelatihan diri tak hanya mengacu pada kepatuhan biasa untuk menjalankan apa yang diajarkan sang guru. Dalam ajaran Sufi tentu ada suatu bentuk pelatihan dini, di mana bentuk pelatihan ini sebenarnya merupakan tahap lebih awal daripada kemampuan untuk memahami nasehat-nasehat seorang guru. “Bila engkau tidak mau memarahi dirimu sendiri,” kata Sa’di, “maka engkau tidak akan mau menerima nasehat dari orang lain.”

Dalam hal ini, pertama kali seorang calon murid harus dijelaskan tentang fungsi kehidupan mengasingkan diri yang sebenarnya. “Lebih baik tinggal bersama teman-teman daripada hidup di sebuah kebun dengan orang-orang asing,” tandas Sa’di. Kebutuhan mengasingkan diri dari dunia hanya berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu. Para pertapa, yang tidak lebih dari para penggantang asap (orang-orang terobsesi), memberikan kesan bahwa padang pasir atau gunung-gunung adalah tempat-tempat yang harus digunakan para Sufi dalam menghabiskan seluruh hidupnya. Menyikapi hal ini, mereka sebenarnya tidak bisa melihat seutas benang dalam hamparan karpet.

Arti penting dan tempat dalam latihan-latihan Sufi juga merupakan masalah yang disorot Sa’di. Para intelektual biasa tidak mungkin akan percaya bahwa kualitas dan keberdayagunaan pemikiran beragam sesuai dengan tuntutan keadaan. Mereka merencanakan suatu pertemuan pada waktu dan tempat tertentu, memulai suatu perbincangan akademis dan selalu melakukan ini dalam keadaan apa pun. Mereka tidak dapat memahami pengertian Sufi bahwa hanya dalam “kesempatan” tertentu pikiran manusia dapat membebaskan diri dari mesin yang mengikatnya.

Prinsip atau formula ini, yang dikenal dalam hikmah kehidupan sehari-hari bahwa “segala sesuatu mempunyai waktu dan tempatnya sendiri”, ditekankan dalam Gulistan dengan suatu cara yang tipikal dan khusus. Hikayat ketiga puluh enam, contohnya, mengungkapkan perilaku-perilaku para darwis yang kelihatannya hanya merupakan pelaksanaan aturan moral dan tata krama (etika), bila diuraikan dalam atmosfir Sufi, maka hal itu menunjukkan dimensi-dimensi yang baru dan dalam.

Seorang darwis memasuki rumah seorang dermawan dan melihat orang-orang terpelajar hadir di sana. Mereka saling bersenda-gurau di tengah suasana yang membicarakan hasil kerja intelektual mereka itu. Seseorang meminta darwis itu untuk ikut serta dalam perbincangan. “Hanya satu bait dari seseorang yang kurang intelek ini, bagi Anda,” kata si darwis. Mereka memintanya dengan hormat untuk diungkapkan. Seperti seorang bujang di depan pintu kamar mandi perempuan, “Aku menghadap meja (makan), karena sudah begitu lapar.” Bait ini tak hanya mempunyai maksud bahwa sudah saatnya untuk makan, bukan berbicara: bait ini juga mengandung maksud bahwa perbincangan intelektual hanya sebagai latar untuk menuju pemahaman yang sebenarnya. Lalu kemudian kisah pun berlanjut, si tuan pada saat itu segera memerintahkan (pelayannya) untuk menghidangkan semacam bakso. “Bagi orangyang lapar,” kata si darwis, “roti saja sudah cukup.”

Teranglah kepada kita bahwa Gulistan kerapkali menyinggung dalam bentuk puisi dan kisah, orang-orang yang tidak sabar mempelajari Sufisme tanpa menyadari bahwa mereka tidak dapat mempelajarinya dengan jiwa yang kosong. Dalam sebuah ungkapan Sufi yang terkenal, Sa’di bertanya, “Mungkinkah orang tidur membangunkan orang yang tidur?” Bilamana mungkin benar bahwa tindakan manusia seharusnya sesuai dengan kata-katanya, maka tentu saja benar bahwa pengamat sendiri pasti dapat menilai tindakan-tindakan tersebut. Namun kebanyakan orang tidak demikian. “Sebuah konferensi orang bijak adalah seperti bazar (pasar murah) para penjual pakaian. Engkau tidak bisa mengambil barang jualan apa pun di tempat itu, kecuali kalau engkau membayar uang. Tentu saja, engkau hanya bisa membawa barang jualan jika mempunyai kemampuan membeli.”

Dan tak hanya itu saja, pokok bahasan lain yang ditekankan para Sufi adalah kemandirian calon murid dalam upaya mengembangkan diri dan minatnya. Suatu keseimbangan harus dicapai antara kepentingan diri dan masyarakat. Hubungan antara para Sufi dan Persaudaraan Suci (Ikhwanush-Shafa) yang hampir tidak diperhatikan para pengamat, dibahas dalam beberapa bagian tulisan Sa’di. Persaudaraan Suci adalah sekelompok cendekiawan yang mempersiapkan resensi-resensi ilmu pengetahuan yang telah dicapai dan mempublikasikannya secara anonim untuk kepentingan pendidikan serta tak seorang pun yang berkeinginan untuk meningkatkan reputasi dirinya. Lantaran mereka adalah kelompok rahasia, maka mereka kurang dikenal, karena “ketulusan” itu berhubungan dengan Sufi, maka orang banyak bertanya kepada para guru Sufi tentang mereka. Sa’di memberikan penjelasan tentang persaudaraan rahasia ini dalam kisah keempat puluh tiga:

Seorang bijak ditanya tentang Persaudaraan Suci. Ia menjawab, “Bahkan sangat sedikit di antara mereka yang menghormati kehendak-kehendak para sahabatnya di atas kepentingan dirinya sandiri.” Demikian ia menyatakan, “Seorang yang asyik dengan dirinya sendiri bukanlah saudara ataupun sanak keluarganya.”

Jika demikian, tak dapat dianggap enteng bahwa kedudukan Gulistan yang menawan sebagai sebuah kitab tentang peningkatan moral yang sepenuhnya ditujukan kepada kalangan muda terpelajar telah mempunyai pengaruh dalam membangun suatu dasar ajaran Sufi yang potensial dalam pikiran para pembacanya. Tak heran bila karya Sa’di banyak dibaca dan digemari, karena memang berisi pemikiran dan puisi-puisi yang bersifat menghibur sekaligus kaya khasanah dan wawasan pencerahan yang mendalam dan inspiratif. Dan beberapa tahun kemudian, ketika ia mulai bergabung dengan salah satu madzhab Sufi, dimensi batiniah dari hikayat-hikayatnya dapat diajarkan kepada para murid. Ia telah mempunyai jasa dalam membangun dasar (pengajaran). Bahan (pelajaran) persiapan ini hampir tidak dikenal dalam kebudayaan lain.

Rahasia-rahasia yang disampaikan sebelum waktunya pun ada beberapa dalam ajaran Sufi yang sebenarnya dapat disampaikan tanpa mengetahui dulu semua ajarannya– akan lebih banyak menimbulkan kesalahpahaman. Hanya saja bila murid telah mempunyai dasar, maka ia bisa menyalahgunakan kemampuan (kekuasaan) menuntun dari para Sufi. Sa’di menjelaskan hal ini dalam sebuah kisah yang sebenarnya merupakan penjelasan sedikit lebih panjang daripada peribahasa larva:

Seseorang mempunyai anak perempuan yang jelek. Ia telah menikahkannya dengan seorang laki-laki buta karena tidak ada orang lagi yang menyukainya. Seorang tabib menawarkan diri untuk mengobati mata orang buta tersebut. Namun si bapak tidak mengijinkannya, karena khawatir ia akan menceraikan anak perempuannya. Sa’di menyimpulkan, “Suami dari seorang perempuan yang jelek adalah orang buta terbaik.”

Kemurahan hati dan kebebasan adalah dua faktor penting yang, bila diterapkan dengan penuh semangat dan benar, dapat mempersiapkan calon murid untuk memasuki dunia Sufi. Bila ada yang menyatakan, “Engkau sama sekali tidak bisa memperoleh kebebasan,” maka sebenarnya ada lebih banyak peluang untuk memperoleh kebebasan itu. Cara memberi (menyampaikan), sesuatu yang diberikan (disampaikan), pengaruh pemberian (penyampaian) terhadap individu, kesemuanya adalah faktor-faktor yang menentukan kemajuan Sufi. Ada suatu kaitan erat antara konsep ketekunan dan keberanian dengan konsep kebebasan. Dalam sistem pendidikan biasa, dimana pemahaman mendalam tentang mekanisme kemajuan tidak utuh, para murid akan mengarah pada persaingan. Murid biasa berpikir bahwa ia tidak dapat memperoleh sesuatu tanpa perjuangan dan ia didorong untuk selalu berpikir begitu.

Sa’di juga menjelaskan masalah ini dalam salah satu aforismenya yang lebih sederhana: “Seorang bijak ditanya, manakah yang lebih baik, berani atau bebas. Ia menjawab, ‘Orang yang bebas belum tentu berani’.” Sikap ini merupakan aspek terpenting dalam latihan Sufi. Perlu juga dicatat bahwa bentuk pengajaran tertulis membuka kemungkinan yang lebih luas bagi Sa’di untuk menjelaskan (melalui lisan orang bijak itu) bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan cara tertentu — juga/atau — tidak harus dijawab menurut pola pertanyaannya.

Sementara itu, dalam bab tentang keuntungan sikap qana’ah (mencukupkan diri), Sa’di mengisyaratkan ajaran-ajaran Sufi dalam beberapa kisah yang tampaknya ditujukan kepada para darwis yang tidak melakukan tindakan tepat. Sekelompok darwis yang sangat kelaparan, ingin memperoleh makanan dari seorang penjahat yang terkenal keserakahannya. Sa’di sendiri menasehati mereka dalam sebuah puisi terkenal:

Sang singa tidak akan memakan sisa-sisa anjing
Sekalipun ia harus mati kelaparan di sarangnya.
Biarlah tubuhmu menderita kelaparan
Janganlah merendah karena mengharap bantuan.

Cara dan fungsi kisah ini menunjukkan kepada Sufi bahwa Sa’di sedang memberi peringatan kepada darwis yang mengikuti keyakinan (paham) apa pun yang mengikat di luar dirinya sendiri, sementara ia berada dalam tahap latihan pengabdian Sufistik berikutnya. Sufi sejati mempunyai kemandirian yang nilainya tidak dapat disamakan sedikit pun dengan orang-orang yang kurang beruntung. Sa’di menulis tema yang sangat menarik ini dalam salah satu hikayat moralnya yang menawan, dan menunjukkan letak martabat yang sejati:

Seorang raja sedang berburu bersama beberapa pembesar istana di hutan belantara. Ketika cuaca begitu dingin, ia memerintahkan para pembesar istana agar menginap di sebuah gubuk petani. Mereka menandaskan bahwa martabat raja akan turun jika memasuki tempat semacam itu. Kemudian si petani mengatakan, “Baginda raja kalian tidak akan kehilangan martabat, namun akulah yang memperoleh kehormatan karena didatangi orang yang sangat terhormat.” Petani tersebut kemudian menerima sebuah jubah kehormatan dari raja.

Dan berikut salah-satu puisi liris dari Gulistan-nya Sa’adi:

Pada suatu malam, karena tak dapat tidur,
aku teringat bahwa aku mendengar
kupu-kupu bicara kepada lilin.

Aku cinta padamu,
dan aku mengerti bahwa aku akan binasa.
Akan tetapi Engkau,

mengapa gemetar dan mengapa membakar?
Lilin menjawab:
pecinta yang menertawakan Madu,

teman saya yang manis telah terpisah dariku.
Semenjak rasa manisnya jauh dariku,
seperti Farhad, pecinta yang terbunuh,

api membakar diriku. Ketika lilin bicara,
rasa sedih dari tangis-tangisan
tersebar di mukanya yang pucat.

Lilin berkata padaku:
engkau hanya pura-pura,
engkau tidak tahu apakah cinta itu.

Engkau tidak tahu menderita
dan tak tahu menyelamatkan diri,
karena dengan menyentuh api sedikit saja engkau lari.

Adapun aku, aku tetap, agar dimakan api.
Jika api cinta membakar sedikit dari sayapmu,
kamu harus berani membiarkannya

terbakar seluruhnya.
Dan ketika malam belum menghabiskan saatnya.
Seorang wanita mendadak mematikan lilin itu.

Ketika lilin itu mengeluarkan asap ke atas,
wanita itu berkata:
ini adalah hukum cinta yang tak dapat dirubah,

oh anakku. Inilah rahasia itu, jika engkau ingin
mengetahuinya. Dari api cinta tak seorang pun
dapat selamat, kecuali dengan mati.

Jumat, 14 November 2014

Majalah Sastra Horison dari Masa Ke Masa

Edisi Mei 2008. 
Edisi April 2010. 
Edisi Agustus 2011. 
Edisi Februari 2012. 
Edisi Januari 2014.

Goethe –Perintis Dialog antara Islam dan Barat


Saya menerima berbagai mail dari teman-teman “fb” yang bertanya tentang Johann Wolfgang von Goethe, termasuk hubungannya dengan agama Islam. Sosok Goethe dan peranannya sebagai perintis dialog Islam dan Barat dibicarakan dalam pengantar kumpulan puisi Goethe "Satu dan Segalanya", Seri Puisi Jerman IV, diedit dan diterjemahkan oleh Agus R. Sarjono dan Berthold Damshäuser, penerbit Horison, Jakarta 2007.

Goethe – Tokoh Jerman Terbesar

Oleh Berthold Damshäuser

“Beribu-ribu pikiran senantiasa naik-turun dalam diriku. Jiwaku bagaikan pesta kembang api nan abadi, tak pernah istirah” (Johann Wolfgang von Goethe, 1780). “Goethe bukan saja tokoh maha besar, ia adalah sebuah kebudayaan” (Friedrich Nietzsche, 1886).

Setelah terbitnya puisi Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht dan Paul Celan dalam rangka Seri Puisi Jerman ini, kini – dalam jilid IV – kepada pembaca Indonesia disajikan sebuah kumpulan puisi dari pujangga Jerman terbesar, yaitu Johann Wolfgang von Goethe. Seperti telah terjadi pada puisi Brecht dan Celan, puisi Goethe pun diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh kedua editor, yaitu Agus R. Sarjono dan Berthold Damshäuser.

Kiranya puisi Goethe telah ditunggu oleh pembaca Indonesia sejak berdirinya Seri Puisi Jerman ini. Memang, puisi Goethe mutlak dihadirkan, karena ia, yang termasuk tokoh paling gemilang dalam sejarah sastra dunia, jelas merupakan pujangga Jerman terbesar. Dan, Goethe lebih dari pujangga, ia seorang universalis atau jenius universal, mungkin yang terakhir, dan dalam hal ini dapat dibandingkan dengan Leonardo da Vinci. Seperti Leonardo, Goethe pun tidak hanya menjadi sastrawan, pelukis dan budayawan, melainkan juga saintis dan penemu.

Oevre Goethe, yang juga politikus dan negarawan, begitu luas dan kaya. Untuk mengumpulkan semua teks yang ditulisnya diperlukan ratusan jilid buku. Goethe adalah sebuah kebudayaan. Kata-kata Nietzsche, filosof Jerman yang juga penyair itu kira-kira menandakan betapa menakjubkan apa yang dihasilkan Goethe, betapa karya-karya Goethe dapat memperkaya kita semua. Khususnya di Jerman, Goethe dipandang sebagai seorang “pahlawan budaya”. Ribuan buku telah ditulis tentangnya, dan jumlahnya bertambah terus. Analisis-analisis atas karyanya, biografi-biografi yang membicarakan tiap detil dari kehidupan, bahkan ada beberapa "Kamus Goethe". Lembaga Kebudayan Jerman, yang bertugas memperkenalkan bahasa dan budaya Jerman di luar negeri memakai namanya. Di Indonesia ada dua Goethe-Institut, yaitu di Jakarta dan Bandung.

Mengingat semua itu, patut disayangkan bahwa baru segelintir buku terjemahan atas karya Goethe yang diterbitkan di Indonesia, yaitu dramanya Ifigenenia di Semenanjung Tauris (2001), diterjemahkan oleh Elisabeth Korah-Go, novelnya Penderitaan Pemuda Werther (2000), diterjemahkan oleh Moh. Godjali Harun, serta dua terjemahan drama Faust, yakni oleh Abdul Hadi W.M (1989) dan Agam Wispi (1999). Adapun terjemahan atas puisi Goethe, keadaan lebih payah lagi. Puisi Goethe dalam terjemahan Indonesia hanya dapat ditemukan dalam dua antologi, yaitu Puisi Dunia (1952), diedit dan diterjemahkan oleh M. Taslim Ali, dan Malam Biru di Berlin (1990), diedit dan diterjemahkan oleh Ramadhan K.H. dan Berthold Damshäuser. Sedangkan jumlah dari semua terjemahan puisi Goethe itu tak sampai dua puluh buah. Maka, benar-benar sudah saatnya, bahwa kini, agak terlambat, terdapat sebuah kumpulan puisi Goethe dalam terjemahan Indonesia.

Johann Wolfgang von Goethe lahir pada tanggal 28 Agustus 1749 di kota Frankfurt yang letaknya di pinggir sungai Main dan yang ketika itu pun telah termasuk salah satu kota Jerman terpenting. Ia anak sulung dari delapan bersaudara, tetapi hanya ia dan adik perempuannya bertahan hidup. Goethe berasal dari keluarga burjuis beragama Protestan yang kaya, dan besar dalam keadaan makmur dan tenteram. Ayahnya, Johann Caspar Goethe, seorang ahli hukum, pada umur 32 tahun memperoleh warisan kekayaan sehingga tak lagi perlu bekerja dan dapat menikmati kehidupannya sebagai seorang cendekiawan dan pencinta kesenian yang juga tertarik pada masalah ilmu alam. Ia mengumpulkan hasil kesenian, artefak dan naturalia, dan memiliki perpustakaan dengan dua ribu jilid buku. Dalam suasana subur demikian Johann Wolfgang besar, didukung pula oleh ayahnya yang sendiri menjadi guru bagi anaknya, di samping mempekerjakan berbagai guru privat yang datang ke rumah, sehingga Johann Wolfgang tak pernah pergi ke sekolah umum. Dapat dibayangkan, betapa luas dan intensif pendidikan Goethe muda. Antara lain, ia mempelajari berbagai bahasa (Latin, Yunani, Perancis, Inggeris dan Ibrani), diberi bacaan karya sastra dan karya filsafat, juga dilatih menari dan menunggang kuda. Sejak awal Goethe tertarik pada susastra dan sebagai anak kecil berumur delapan tahun sudah mulai menulis puisi. Ia pun sangat tertarik kepada dunia teater, dan ayahnya mendukung minat anaknya dengan secara teratur mengadakan pertunjukan teater boneka di rumahnya.

Dibekali pendidikan awal yang luar biasa itu, Goethe pada tahun 1765 meninggalkan Frankfurt dan atas perintah ayahnya mulai berkuliah di jurusan hukum di Universitas Leipzig. Namun, Goethe, yang umurnya ketika itu baru 16 tahun, kurang tertarik pada ilmu hukum dan agak malas memenuhi tugasnya sebagai mahasiswa jurusan hukum. Ia lebih suka mengikuti kuliah di bidang susastra. Selain itu ia belajar melukis dan sibuk menulis karya sastra. Pada tahun 1767 ia umumkan bukunya yang pertama, sebuah kumpulan puisi berjudul Anette (nama seorang gadis yang menjadi pacar Goethe di Leipzig), yang terbit secara anonim dan mengandung puisi cinta yang agak epigonal bergaya rokoko. Ia pun menyusun teks opera, drama-drama dll., tapi kemudian hari Goethe membuang hampir semua karya itu. Masih di Leipzig, Goethe pada tahun 1768 menjadi sakit (muntah darah), dan oleh ayahnya disuruh pulang ke Frankfurt. Ayahnya juga kurang puas dengan kurang majunya anaknya belajar ilmu hukum.

Maka Goethe kembali ke Frankfurt sebagai orang yang gagal, paling sedikit di mata ayahnya. Di Frankfurt, Goethe masih sakit-sakitan juga, walau diurus dengan penuh pengertian oleh ibunya, Catharina Elisabeth Goethe. Barangkali juga Goethe, sebagai pribadi yang cukup sensitif, ketika itu mengalami semacam gangguan jiwa. Maka oleh ibunya ia diperkenalkan kepada semacam kelompok kebatinan atau mistis. Goethe cukup tertarik kepada kegiatan kelompok itu, dan selama berbulan-bulan menyibukkan diri dengan perihal mistik dan gaib. Kiranya, pengalaman di bidang itu cukup mempengaruhi Goethe sebagai pribadi, dan juga sebagai pemikir dan sastrawan.

Pada tahun 1770 ayahnya kehilangan kesabaran dan menyuruh Goethe pergi ke kota Straßburg untuk menyelesaikan kuliahnya di bidang hukum pada universitas di sana. Dan akhirnya Goethe memenuhi tugasnya sebagai mahasiswa dan berhasil memperoleh gelar Licentatius Juris yang hampir sepadan dengan gelar „doktor“. Namun, kejadian yang bagi Goethe sendiri jauh lebih penting daripada keberhasilan di bidang akademis ialah pertemuannya dengan Johann Gottfried Herder, teolog, filosof, budayawan dan kritikus seni terkenal, yang ketika itu hidup di Straßburg. Untuk pertama kalinya Goethe bertemu dengan seorang tokoh yang ia rasakan sebagai pribadi yang superior. Ia terpesona oleh teori Herder mengenai asal-usul bahasa dan tesisnya bahwa daya cipta bahasa terutama terjelma dalam karya-karya sastra semua bangsa, termasuk sastra rakyat. Oleh Herder ia didesak untuk tidak saja menghormati pujangga-pujangga Yunani, melainkan juga tokoh-tokoh Eropa Tengah dan Utara seperti Shakespeare dan juga susastra tradisional Germania dan Keltis serta apa yang oleh Herder disebutkan Volkslied (lagu/puisi rakyat). Pengaruh Herder inilah yang kiranya membuat Goethe begitu terbuka kepada kebinekaan khazanah susastra, kepada semua genre dan kepada sastra semua bangsa.
 
Selama di Straßburg Goethe juga mulai berkembang menjadi sastrawan yang serius, khususnya sebagai penyair. Terilhami oleh pengalaman cinta dengan pemudi Friederike Brion di desa Sesenheim ia menuliskan kumpulan puisi Sesenheimer Lieder (Dendang-dendang Sesenheim), karya pertamanya yang tidak lagi epigonal dan membuktikan bahwa Goethe telah mampu mengembangkan gaya sendiri. Hubungan cinta dengan Friederike akhirnya diputuskan begitu saja oleh Goethe, perilaku yang akan menjadi tipikal baginya yang ternyata agak takut untuk mengikatkan diri kepada manusia lain. Padahal ia sendiri kemudian mengaku, bahwa ia „hampir mati karena berpisah dari Friederike“.

Sebelum hari ulang tahunnya yang ke-22 Goethe kembali ke Frankfurt dan untuk sementara bekerja sebagai pengacara. Tapi, ia tidak puas dengan pekerjaan itu dan segera berhenti. Ia mulai bergaul dengan kalangan sastrawan dan budayawan dan menyusun drama Götz von Berlichingen yang terbit pada tahun 1773. Drama tentang kesatria Götz von Berlichingen, tokoh historis dari abad ke-16, itu dianggap semacam revolusi susastra, baik dari segi formal maupun isi. Karya itu termasuk karya terpenting dari aliran Sturm und Drang (harfiah: "Badai dan Desakan"), di mana Goethe dan Herder menjadi penggerak utama. Sturm und Drang dapat digambarkan sebagai aliran antirasionalistis dan anti-pencerahan yang mementingkan otonomi sang seniman sebagai jenius yang bebas dan tak terikat. Dengan terbit dan dipentaskannya Götz von Berlichingen Goethe menjadi sastrawan yang cukup terkenal di seluruh Jerman.
 
Pada awal tahun 1772 Goethe pindah ke Wetzlar dekat Frankfurt dan bersedia meneruskan kariernya sebagai ahli hukum di Pengadilan kota itu. Namun, seperti biasa ia kelak berhenti. Kehidupan Goethe di Wetzlar lebih diwarnai oleh cintanya kepada Charlotte Buff, perempuan berumur 18 tahun yang telah bertunangan dengan lelaki lain. Cinta yang tak sampai itu menyebabkan Goethe “melarikan diri” dari Wetzlar. Namun, konstelasi segi tiga itu serta bunuh dirinya seorang pemuda Wetzlar menjadi bahan dan alasan Goethe untuk menuliskan – dalam waktu empat minggu – salah satu dari novel terkenal dalam sejarah sastra dunia: Die Leiden des jungen Werthers (Penderitaan Pemuda Werther) yang terbit pada tahun 1774. Tokoh Werther, yang membunuh diri akibat cinta yang tak sampai, dalam keunikannya sederajat dengan tokoh susastra seperti Don Quichote, Hamlet, Don Juan atau Faust. Terbitnya novel itu membuat Goethe terkenal di seluruh Eropa, dan novel itu - termasuk tokohnya - dikultuskan seperti sebelumnya mungkin tak pernah terjadi pada sebuah karya sastra. Terjadilah “demam Werther”: Generasi muda di seluruh Jerman berpakaian seperti Werther dalam novelnya, berbicara dengan gaya Werther etc. Sekaligus, novel itu dianggap skandal karena dapat diinterpretasi sebagai pembelaan tindakan bunuh diri. Apalagi ada berbagai kasus bunuh diri setelah orang membaca novel itu yang menjadi puncak aliran Sturm und Drang untuk genre epis.

Sekembalinya di Frankfurt Goethe berkarya terus dan menyusun berbagai drama, antara lain Clavigo dan Stella. Pada akhir tahun 1774 ia berkenalan dengan Lili Schönemann dan jatuh cinta. Cintanya dijawab dan mereka bertunangan resmi. Namun, tiba-tiba Goethe kembali „melarikan diri“ dan memutuskan hubungan. Putus asa dan berpakaian gaya Werther ia mengadakan perjalanan ke Swis. Pulang di Frankfurt ia masih dalam keadaan bimbang, tak dapat memahami diri. Tapi nasibnya membuka jalan baru untuk Goethe. Ia diberi peluang untuk memulai kehidupan yang baru. Oleh Carl August, hertog di negara Weimar-Sachsen-Eisenach di bagian timur Jerman, ia ditawari menjadi pejabat dalam pemerintahan kehertogan di kota Weimar. Pada awalnya Goethe ragu, malah mau pergi ke Itali. Tapi akhirnya ia setuju dan berangkat ke Weimar dalam kereta kuda yang disediakan oleh hertog. Keputusan itu akan menentukan riwayat hidup Goethe selanjutnya, karena Weimar lah akan menjadi “rumahnya” sampai akhir hidup. Dan kota kecil Weimar akan menjadi “kota Goethe” dan berkat Goethe akan menjadi sebuah pusat kebudayaan Eropa.

Pada abad ke-18 Jerman belum bersatu secara politis. Walau secara formal dipimpin oleh kaisar, terdapat ratusan negara otonom (kerajaan, kehertogan, kota etc.). Di antaranya ada beberapa yang kuat, khususnya Prusia dan Austria yang senantiasa bersaing dan juga sempat saling memerangi, tapi kebanyakan negara itu agak kecil dan lemah. Kehertogan Weimar-Sachsen-Eisenach salah satu dari sekian negara kecil itu, dan dipimpin oleh seorang hertog yang memerintah negaranya secara absolutistis. Carl August naik takhta pada tahun 1775, ketika umurnya baru 18 tahun. Sebagai pribadi yang terbuka kepada kesenian dan kesusastraan, ia sangat tertarik kepada Goethe, sang pujangga muda dan penulis Werther terkenal itu, dan sangat puas ketika Goethe menerima panggilannya ke Weimar. Carl August kemudian bukan saja menjadi atasan bagi Goethe, melainkan juga pengagum, sahabat dan maesenasnya. Pada bulan November 1775 Goethe sampai di Weimar. Ia segera memulaikan tugasnya sebagai pejabat, dan menempuh karier yang gemilang. Goethe akhirnya menjadi menteri, bahkan perdana menteri, dan dianugrahkan gelar bangsawan, dengan ditambahnya kata "von" pada namanya. Bermacam-macam kewenangan diberi kepadanya. Goethe antara lain pernah memimpin resor pertahanan, pembangunan jalan, keuangan, pertambangan, dan kebudayaan. Sebagai negarawan Goethe sangat berjasa bagi kehertogan Weimar-Sachsen-Eisenach. Tidak saja karena ia seorang menteri yang cekatan dan berinisiatif, melainkan juga karena ia menjadi penasehat, bahkan semacam guru bagi Carl August.

Goethe sendiri menyebutkan kepindahannya ke dunia politik sebagai "kepindahan ke dunia nyata". Ia menekuni tugas-tugasnya yang baru, benar-benar menjadi politikus dan selama sepuluh tahun pertama di Weimar produktifitas sebagai sastrawan agak menurun, kecuali di bidang puisi. Perhatiannya lebih diarahkan ke ilmu alam: biologi, khususnya anatomi. Pada tahun 1784 ia menemukan sebuah tulang kecil (os intermaxillare) pada kepala manusia, yang ketika itu merupakan sebuah sensasi bagi para ahli yang beranggapan bahwa tulang demikian hanya terdapat pada hewan. Goethe yang "secara intuitif merasakan persaudaraan rahasia antara hewan dan manusia" dengan penelitian tekun tokh membuktikan keterbalikannya. Tahun-tahun awal di Weimar tentu tetap diwarnai oleh bermacam-macam kegiatan budaya yang dilakukan Goethe. Ia memanggil sekian banyak tokoh budaya ke Weimar, antaranya Herder, dan memberi jawatan kepada mereka. Bersama budayawan-budayawan itu Goethe dilibatkan dalam diskusi dan dialog yang subur. Sedangkan kehidupan privat Goethe, yang tinggal dalam rumah mewah yang dihadiahkan oleh Hertog Carl August kepadanya, tetap cukup menarik. Ia berhubungan erat dengan isteri seorang pejabat lain, yaitu bangsawati Charlotte von Stein. Wanita sensitif dan berpendidikan tinggi itu selama hampir sepuluh tahun menjadi sahabat mungkin juga kekasih Goethe, dan banyak mempengaruhinya menjadi pribadi yang matang dan berdisiplin.  

Setelah sepuluh tahun di Weimar, Goethe mulai merasa jenuh. Ia kecewa bahwa cita-citanya sebagai negarawan dan politikus kurang dapat diwujudkan. Hubungannya yang ganjil dengan Charlotte von Stein juga tidak memuaskannya lagi. "Saya harus kembali menguliti diri, seperti seekor reptil", begitu komentarnya, ketika ia merencanakan suatu adegan baru dalam kehidupannya. Pada tahun 1786 ia memohon kepada Hertog Carl August untuk diberi cuti, dan - tanpa pamit kepada Charlotte - berangkatlah ia ke Itali, negara yang sejak dulu diidamkannya. Semacam "pelarian diri" lagi yang terjadi.

Selama hampir dua tahun Goethe hidup di Itali, khususnya di Roma. Ia mempelajari kesenian dan arsitektur klasik dari zaman Romawi dan Yunani, juga kesenian renaissance. Dalam karya Raffael sebagai pembaharu zaman antike ia melihat puncak kesenian Barat. Goethe merasa sangat diperkaya dan terilhami oleh perjalanannya ke Itali, dan menemukan diri lagi sebagai seniman. Ia mulai giat lagi berkarya, merampungkan versi bersajak dari drama Iphigenie auf Tauris (Ifigenia di Semenanjung Tauris) serta drama Egmont, dan mulai menyusun drama historis Torquato Tasso. Ia juga mengumpulkan bahan dan inspirasi untuk sebuah kumpulan puisi yang gemilang, yaitu Römische Elegien (Elegi-elegi Roma) - dirampungkan pada tahun 1790 - yang unsur-unsur erotisnya menandakan bahwa Goethe selama di Itali juga menimbun pengalaman demikian. Di Itali, Goethe merasa "lahir kembali". Sebagai manusia, dan sebagai seniman. Dan masukan-masukan selama perjalanan ke Itali itu, khususnya di bidang estetika, akan menjadi dasar bagi aliran atau zaman Klasik Jerman yang dipelopori oleh Goethe, antaranya dengan karya-karyanya yang dihasilkan di Itali.

Pada tahun 1788 Goethe - yang umurnya kini hampir 40 tahun - kembali ke Weimar. Sebagai pejabat - ia tetap berposisi menteri - ia tidak lagi bersedia mengurus bidang yang kurang menarik perhatiannya, dan juga mengurangi tugas atau beban administratif yang dulu dipikulnya. Hertog Carl August kecewa, tapi setuju juga. Goethe memilih menangani bidang budaya dan ilmu pengetahuan. Ia menjadi direktor Teater Kehertogan, Inspektur Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan di Weimar dan kota universitas Jena, yang tidak jauh dari Weimar. Hubungannya kepada ilmuwan-ilmuwan di Universitas Jena semakin erat, baik ke kalangan humaniora - misalnya para filosof besar seperti Fichte, Schelling dan Hegel - maupun kalangan ilmu alam, termasuk Alexander von Humboldt. Goethe memang semakin tertarik pada ilmu alam, khususnya bidang optik.

Pada awalnya Goethe merasa sulit menyesuaikan diri lagi kepada suasana di Weimar. Ia tidak merasa "di rumah". Hal ini berubah, ketika pada akhir tahun 1788 ia berkenalan dengan Christiane Vulpius, seorang perempuan sederhana dan tak berpendidikan yang umurnya saat itu 23 tahun. Christiane ia jadikan kekasihnya dan hidup serumah dengan dia. Hal ini oleh warga kota Weimar, juga oleh teman-teman Goethe termasuk Herder, dianggap kurang tepat atau bahkan skandal. Apalagi, ketika pada tahun 1789 Christiane melahirkan putra mereka yang diberi nama August, dan Goethe tokh tidak merasa perlu menikahinya. Goethe disindir dan dicekam, namun ia tidak terlalu menggubrisnya. Baru pada tahun 1806 Goethe - agak terlambat - meresmikan hubungannya dengan Christiane dan menjadikannya isterinya. Sampai ajal Christiane pada tahun 1815 mereka hidup rukun dan cukup bahagia.

Faktor lain yang memungkinkan Goethe kembali merasa betah di Weimar adalah kenyataan bahwa Weimar - bersama dengan Jena - semakin berkembang menjadi pusat budaya Jerman. Semakin banyak tokoh berdatangan, termasuk pujangga dan sejarahwan Friedrich von Schiller yang kelak akan menjadi rekan dan sahabat Goethe yang terpenting. Kerja sama antara dua pujangga Jerman ini – mereka sendiri menyebutkanya “persekutuan” - merupakan puncak zaman klasik Jerman dan juga disebut “Klasik Weimar”. Kedua-duanya berkiblat pada kebudayaan dan kesenian Yunani dan Romawi dan berusaha melahirkannya kembali dalam karya-karya sendiri. Mereka saling mengilhami, bahkan menghasilkan karya bersama, yaitu kumpulan epigram berjudul Xenien dan Tabulae Votivae. Mereka pun bersama-sama menyunting majalah budaya, seperti Die Horen dan Propyläen, di mana mereka memaparkan teori mereka tentang perihal estetika, susastra, teater, arsitektur etc. Dalam sejarah budaya jarang terjadi kerja sama sesubur kerja sama antara “dwitunggal” Goethe dan Schiller. Hanya, semua itu tidak berlangsung terlalu lama, karena Schiller meninggal dunia pada tahun 1805, ketika umurnya baru 45 tahun.

Sejak perjalanannya ke Itali Goethe semakin produktif. Sebagai sastrawan ia menghasilkan berbagai karya besar, di antaranya trilogi novel Wilhelm Meister yang mulai ditulisnya pada tahun 1796, epos satiris Reineke Fuchs (1793) , jilid I dari dramanya yang terpenting Faust (1806) dan – tentu – banyak sekali puisi. Di samping itu, Goethe juga menulis karya ilmiah, seperti Metamorphose der Pflanzen (Metamorfosis Tumbuhan-tumbuhan), 1790, Beiträge zur Optik (Sumbangan-sumbangan pada ilmu optik), 1791, serta Farbenlehre (Teori Warna), 1810. Bagi Goethe, karya ilmiahnya tak kalah pentingnya dibandingkan karya susastranya, dan ia agak kecewa, ketika kebanyakan “penemuannya” kurang diapresiasi oleh dunia akademis, hal yang umumnya berlaku sampai sekarang. Cara penelitian Goethe memang sangat berbeda dari positivisme yang pada masa hidupnya sudah mulai mendominasikan metode-metode ilmiah. Bagi Goethe sendiri, fenomena-fenomena hanya akan benar-benar dipahami, bila – berdasarkan penelitian empiris – dipandang secara holistis. “Tiada fenomena yang bisa menerangkan diri sendiri; baru kalau banyak fenomena dipandang secara sistematis dan menyeluruh, mereka dapat menyumbang pada sesuatu yang dapat dianggap teori”. Demikian salah satu penjelasan Goethe. Pendekatan atau metode ilmiah Goethe, yang pada tahun 1803 telah diberi nama “goetheanisme”, pada zaman sekarang masih hidup juga, terutama di kalangan gerakan antroposofi yang didirikan filosof dan mistikus Rudolf Steiner pada awal abad ke-20.

Di antara tahun 1788 dan 1815 Goethe tetap dilibatkan dalam hal-hal politik, walau ia telah mengurangi beban administratifnya. Memang, tak ada jalan lain baginya, karena begitu banyak peristiwa sejarah yang dampaknya terasa juga di kehertogan Weimar. Pada tahun 1789 meletuslah Revolusi Perancis yang berakibat pada perang antara pasukan revolusioner Perancis dan tentara koalisi Prusia-Austria serta negara Jerman lainnya, termasuk Weimar. Goethe mendampingi Hertog Carl August ke medan perang, dan dekat Mainz di bagian Barat Jerman ia menyaksikan kekalahan tentara koalisi Jerman. Goethe risi terhadap dampak Revolusi Perancis yang jelas merupakan ancaman terhadap sistem pemerintahan absolutistis di Jerman. Walau ia dapat memahami cita-cita revolusi, ia dengan tajam menolaknya. Bukan (saja) karena ia sebagian dari sistem lama, melainkan karena ia menolak segala macam revolusi. Baginya, hanya reformasi alamiah sanggup memecahkan masalah ketakadilan dan sebagainya. Konflik antara Perancis revolusioner dan Jerman semakin panas, ketika Napoleon mulai berkuasa pada tahun 1799. Kekalahan Austria pada tahun 1805 di Austerlitz menyebakan berakhirnya “Kekaisaran Romawi Berkebangsaan Jerman” yang secara formal telah berlangsung selama lebih dari delapan abad. Kaisar Franz II. terpaksa meletakkan makhkotanya. Dan perang semakin mendekati Weimar. Prusia dan sekutunya pada tahun 1806 dikalahkan tentara Napoleon dalam pertempuran di Jena, dan kota Weimar diduduki pasukan Perancis. Penjarahan terjadi, dan rumah Goethe pun diserbu perajurit Perancis. Dalam keadaan kacau demikian Goethe tetap menteri kehertogan dan dilibatkan dalam perundingan diplomatis dengan pihak penjajah. Dalam rangka Kongres Erfurt pada tahun 1808 di kota Erfurt dekat Weimar, Goethe diterima oleh Napoleon yang ternyata pengagum beratnya. Kaisar Perancis itu tidak saja menghadiahkan bintang kepada pujangga Jerman besar itu, melainkan menawarkan kepadanya untuk pindah ke Paris “untuk di sana menulis drama-drama kepahlawanan”. Goethe menolak, walau ia cukup terpesona oleh pribadi Napoleon. Kemudian Goethe, yang tak pernah menjadi seorang nasionalis Jerman, mendukung perlawanan atau perang kemerdekaan terhadap penjajah Perancis. Dan akhirnya Napoleon memang dapat dikalahkan oleh Prusia dan sekutunya dalam pertempuran di Leipzig pada tahun 1813. Dalam Kongres Wina pada tahun 1815 Eropa diatur secara baru. Ide-ide revolusi kalah untuk sementara, dan mulailah zaman restorasi. Kehertogan Weimar-Sachsen-Eisenach diuntungkan oleh keputusan-keputusan Kongres Wina dengan dijadikan "Kehertogan Besar" dan dengan dianungrahkannya gelar "Paduka Raja" kepada Hertog Carl August. Kemenangan kekuatan-kekuatan konservatif tentu disambut oleh Menteri Goethe.  

Pada tahun 1815 umur Goethe 66 tahun. Mulailah "masa tuanya", dan dengan melepaskan jawatannya yang terakhir, yaitu kepemimpinan Teater Kehertogan, ia pensiun sebagai pejabat. Sejak meninggalnya isterinya Christiane pada tahun 1816, ia hidup bersama putranya August dan diurus oleh mantunya. Sementara ini, Goethe telah menjadi sebuah legenda hidup dan semakin dikultuskan oleh sastrawan dan budayawan muda yang "berziarah" ke rumahnya dengan harapan diterima oleh Goethe. Produktivitas sebagai sastrawan dan ilmuwan tidak menurun. Ia terus-menerus melengkapi otobiografinya Dichtung und Wahrheit (Fiksi dan Kebenaran), banyak sekali menulis puisi, termasuk cukup banyak aforisme, dan tetap mengadakan penelitian ilmiah. Antara sekian banyak karya susastra yang dihasilkan pada masa tuanya, paling sedikit dua karya agung yang perlu disebut, yaitu kumpulan puisinya West-Östlicher Diwan (Diwan Barat-Timur) yang terbit pada tahun 1919, dan mahakaryanya Faust II (1831), bagian II dari drama Faust yang termasuk drama paling penting dalam sejarah sastra dunia.  

Pada tahun 1822 Goethe mengalami serangan jantung yang pertama, dan selama satu tahun agak sakit-sakitan. Setelah sembuh, ia semakin giat, sering mengadakan perjalanan ke kota tetirah Karlsbad dan Marienbad di Bohemia. Di Marienbad ia bertemu dengan Ulrike von Levetzow dan jatuh cinta kepada gadis yang berumur 19 tahun itu. Bahkan, ia bertekad menikahinya. Namun, lamaran resminya, yang disampaikan kepada Ulrike melalui Hertog Carl August, ditolak dengan halus. Goethe terpukul. Ia semakin menyepi, dan menyibukkan diri dengan berkarya. Pada tahun 1828 Hertog Carl August meninggal dunia. Goethe kehilangan pendukungnya yang paling setia. Pukulan nasib berikutnya adalah meninggalnya anak tunggalnya August dalam perjalanan di Itali pada tahun 1830. Goethe semakin sepi. Sering juga sakit-sakitan. Pada bulan Maret 1832 ia kembali mengalami serangan jantung. Ditambah infeksi paru-paru, keadaanya menjadi parah. Ia meninggal dunia dalam keadaan tenang pada tanggal 22 Maret 1832. Pujangga terbesar Jerman dikebumikan di Weimar, di tempat kuburan para hertog Weimar, di samping Friedrich von Schiller, rekan dan sahabatnya. Kuburannya sampai sekarang menjadi tempat ziarah bagi para pengagumnya dan wisatawan dari mancanegara.

Riwayat hidup Goethe yang kami sajikan di atas tentu hanya merupakan riwayat yang sesingkat-singkatnya, dan hanya dapat mengandung fakta-fakta yang paling penting. Tetapi, bila dalam bagian berikut pengantar ini kami akan membicarakan puisi Goethe - khususnya puisi-puisi yang dimuatkan dalam buku ini -, maka akan disampaikan pula berbagai informasi tambahan tentang kehidupannya, khususnya juga tentang keyakinan, kepercayaan atau pandangan hidup pujangga besar itu. Goethe sendiri pernah mengatakan, bahwa karya-karyanya merupakan "pecahan sebuah keyakinan yang menyeluruh", dan hal itu khususnya berlaku bagi puisinya.

Goethe telah menuliskan ribuan puisi. Dari masa kanaknya sampai lanjut usia. Sejak masa remajanya, produktifitas sebagai penyair tak pernah menurun, juga selama dasawarsa pertama di Weimar, ketika ia lebih mementingkan tugasnya sebagai pejabat. Menulis puisi bagi Goethe adalah satu kebutuhan yang mustahil diabaikan. Puisinya diwarnai oleh kebinekaan yang luar biasa, baik formal maupun tematis. Goethe menguasai semua bentuk puisi yang dikembangkan para penyair di masa sebelumnya. Dari bentuk puisi klasik Yunani sampai bentuk puisi Germania. Kita menemukan himne, balada, soneta, “puisi rakyat”, epigram etc. etc. Terdapat puisi dengan metrum dan rima teratur, ada juga puisi bermetrum bebas. Ia pun menemukan bentuk-bentuk baru dan menemukan gaya sendiri yang tak tertiru penyair lain. Dari segi tema, puisi Goethe tak kalah beragam. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia dijadikan tema untuk puisinya. Bahkan tema ilmiah ia sajikan dalam bentuk puisi, seperti misalnya Metamorphose der Pflanzen (Metamorfosis Tumbuh-tumbuhan). Dan memang: alam atau ilmu alam, filosofi atau manusia, semua itu bagi Goethe tak terpisahkan dari puisi. Melalui puisi Goethe berusaha melihat dan memperlihatkan bahwa - sesuai dengan ucapannya sendiri - "segala keduniawian mengandung rahasia luhur yang nyata". Dan bila pengalaman pribadi atau kenyataan-kenyataan diolahnya menjadi puisi, Goethe senantiasa berupaya memahami dan menerangkan hakekat kehidupan manusia serta keteraturan spiritual yang berada di belakang semuanya yang kentara. Puisi Goethe sebenarnya adalah dokumentasi dari sebuah perjalanan batiniah. Dan puisi Goethe seolah merupakan kosmos tersendiri.

Kiranya tak dapat disangsikan: Goethe adalah penyair berbahasa Jerman yang terbesar, dan termasuk penyair dunia yang terhebat. Terkadang memang orang menyebutkan Hölderlin, Heine, Rilke atau Brecht sebagai penyair berbahasa Jerman nomor wahid, tapi paling sedikit dari segi kebinekaan dan pengaruh atas generasi-generasi berikutnya, oevre puitis Goethe lah yang paling berarti.

Tidak mudah bagi editor buku ini untuk menyusun kumpulan puisi Goethe yang agak representatif. Kwantitas oevre puitis itu saja memustahilkan upaya demikian. Namun, kami mengharap bahwa kami berhasil menyajikan sebuah kumpulan yang dapat memberi gambaran yang cukup luas tentang keanekaan formal dan tematis kepuisian Goethe, dan tentu kami telah memuatkan pula sekian dari puisinya yang paling dikenal. Puisi-puisi Goethe kami sajikan dalam lima bagian, yaitu “Batas-batas Manusia”, “Keping-keping Kebijaksanaan”, “Merindu Mati di Kobaran Api”, “Tak Berkulit Tak Berbiji”, dan “Wasiat”. Judul-judul itu dipilih berdasarkan judul atau teks puisi Goethe sendiri, kecuali “Keping-keping Kebijaksanaan” yang merupakan ide editor. Pada dasarnya masing-masing puisi diatur secara kronologis, walau prinsip itu tidak kami pegang dengan sangat ketat.

Dalam bagian I kumpulan ini, “Batas-batas Manusia” disajikan puisi Goethe yang ditulisnya antara tahun 1771 dan 1785. Berarti, ditulisnya ketika ia masih tinggal di Frankfurt atau bagian Barat Jerman serta selama dasawarsa pertamanya di Weimar. Prometheus dan Ganymed mengawali bagian I. Ditulis pada tahun 1774, kedua himne bermetrum bebas dan terkenal itu termasuk fase Sturm und Drang, sekaligus merupakan sumbangan puisi Goethe terpenting kepada aliran yang ikut ia pelopori itu. Khususnya tokoh Prometheus seperti digambarkan oleh Goethe, yakni sebagai pencipta dan pemberani terhadap para dewa, berkaitan erat dengan ide Sturm und Drang tentang seniman sebagai jenius dan pencipta yang serba bebas dan mandiri. Sedangkan Ganymed dalam himne Goethe tampil sebagai tokoh yang lunak, yang merindukan penciptanya dan bertemu dengannya melalui penyatuan dengan alam. Jelas di situ unsur panteistis, salah satu petanda bahwa Goethe pernah dipengaruhi oleh filosof Belanda Baruch Spinoza (1632-1677) yang mengajar kesatuan antara Tuhan dan alam.

Himne-himne terkenal lain yang dihasilkan Goethe setelah pindah ke Weimar juga kami muatkan dalam bagian I, yaitu Grenzen der Menschheit (Batas-batas Manusia), Gesang der Geister über den Wassern (Nyanyian Ruh di Atas Air) serta Das Göttliche (Keillahian). Juga berbentuk metrum bebas ketiga himne itu mengandung renungan dan juga ajaran filosofis tentang manusia dan keillahian. Goethe percaya mutlak kepada keillahian, namun ia tak pernah merasa terikat oleh agama formal apa pun, dan khususnya tak pernah merasa dirinya menjadi seorang Nasrani. Ia menolak kepercayaan kepada Yesus Kristus sebagai anak Tuhan dan juru selamat. Membicarakan keillahian ia sering memakai kata “dewa” dan dalam hal itu terasa betapa dekatnya Goethe pada mitologi Yunani. Kepercayaan Goethe tak mungkin diringkaskan secara detil, ia pun tak pernah memegang ajaran yang pasti dan bermacam-macam pandangan dapat ditemukan dalam karya-karyanya. Misalnya, himne Gesang der Geister über den Wassern (Nyanyian Ruh di Atas Air) dapat saja diinterpretasikan sebagai penggambaran reinkarnasi, mengingat bait pertama yang berbunyi: Jiwa manusia/Serupa air:/Dari langit datang,/Ke langit pergi,/Dan mesti kembali/Turun ke bumi,/Abadi silih berganti. Untuk mengetahui inti kepercayaan Goethe, mungkin sebaiknya kita berpegang kepada sebuah ucapannya dari tahun 1824: „Memikirkan maut, saya sama sekali tenang, karena saya berkeyakinan, bahwa ruh kita tak mungkin sirna; ia adalah sesuatu yang bergerak dari keabadian ke keabadian.“

Puisi-puisi lain dalam bagian I sangatlah berbeda dari himne-himne yang disebut di atas. Terdapat dua puisi cinta yang sederhana, Wenn ich, liebe Lili (Andai Aku Tak Cinta Kau) dan Woher sind wir geboren? (Dari Mana Kita Mengada?) yang berlatarbelakang biografis. Yang pertama berkaitan secara langsung dengan Lili Schönemann, sedangkan yang kedua pernah dikirim kepada sahabat perempuannya di Weimar, Charlotte von Stein. Balada Heidenröslein (Mawar Tegalan) tak kalah sederhana. Ia adalah contoh untuk sekian banyak puisi Goethe dan ditulisnya dalam gaya puisi rakyat. Balada pendek ini yang dihasilkan Goethe di Straßburg setelah bertemu dengan Herder telah dilagukan oleh komponis Jerman Franz Schubert (1797-1828) dan sampai sekarang sering dinyanyikan dan dikenal oleh hampir semua orang Jerman. Schubert jugalah yang melagukan balada dahsyat Erlkönig (Raja Mambang) tentang makhluk spiritual yang sanggup mengancam jiwa manusia. Alam dalam balada legendaris ini digambarkan Goethe sebagai sesuatu yang begitu mengerikan. Bahan untuk balada ini Goethe temukan dalam cerita rakyat Denmark yang pertama kali diterjemahkan ke bahasa Jerman oleh Herder. Dibandingkan dengan suasana Erlkönig, sifat alam dalam terasa sangat berbeda dalam dua puisi liris yang juga termasuk puisi Goethe yang sangat terkenal, yaitu Wanderers Nachtlied (Dendang Malam Pengembara) dan Ein Gleiches (Yang Sepadan). Kedua puisi itu sederhana, sekaligus sempurna. Isi dan bentuk (rima dan irama) menyatu, sehingga menambah atau menghilangkan satu kata pun dari teksnya, akan berarti menghancurkan keseluruhan struktur yang begitu terpadu.

Dalam bagian II, “Keping-keping Kebijaksanaan”, pembaca disajikan berbagai karya yang dihasilkan bersama oleh Goethe dan "sekutunya" Schiller. Kiranya hal itu pantas untuk sebuah kumpulan puisi Goethe, mengingat betapa erat kerja sama antara kedua tokoh itu. Karya-karya itu juga mewakili dan memberi contoh untuk fase "Klasik Tinggi" atau "Klasik Weimar" yang diwarnai oleh "persekutuan" antara Goethe dan Schiller. Karya-karya itu berupa dua kumpulan epigram yang mereka beri nama Xenien (Xenia) dan Tabulae Votivae. Istilah xenia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "kado". Dalam hal ini, Goethe dan Schiller mengikuti contoh pujangga Romawi Martial, yang pada abad pertama menyusun kumpulan epigram dengan judul yang sama. Sedangkan tabulae votivae (bahasa latin) artinya "papan kaul" dan berkaitan dengan kebiasaan orang Romawi, juga orang Nasrani, untuk memasang papan atau gambar bertuliskan kaul atau janji dalam rangka mohon bantuan kepada dewa-dewa atau Tuhan. Kedua istilah itu oleh Goethe dan Schiller digunakan secara ironis, karena epigram-epigram mereka, khususnya Xenien, sebenarnya merupakan polemik yang tajam dan keras.

Bersama-sama menulis epigram adalah ide Goethe pada akhir tahun 1795 dan berlatar belakang rasa kesalnya karena kritik berbagai kalangan terhadap majalah sastra dan budaya Die Horen, di mana Goethe, Schiller dan rekan-rekan mempublikasikan esei-esei dan teori-teori "Klasik" mereka. Untuk menjawab kritik itu, Goethe dan Schiller bersepakat untuk tiap hari menyusun paling sedikit satu epigram sebagai kontra-kritik yang pedas, ironis, sekaligus berisikan kebijaksanaan umum. Dan rencana itu terwujud juga, sehingga akhirnya terdapat 414 Xenia dan 103 Tabulae Votivae yang mereka publikasikan pada akhir tahun 1796. Reaksi dari lawan mereka datang segera, dan sebagian dari mereka yang diserang - juga sebagai pribadi - menjawab dengan xenia sendiri. Terjadilah apa yang dalam sejarah sastra Jerman disebut "Perang Xenia", karena Goethe dan Schiller tentu menjawab dengan xenia yang baru juga. Masing-masing epigram dalam Xenien dan Tabulae Votivae tidak ditulis bersama-sama oleh Schiller dan Goethe, hanya keseluruhannya merupakan karya bersama. Hingga sekarang para filolog pun tidak mengetahui persis epigram mana yang ditulis oleh Goethe dan yang mana ditulis oleh Schiller. Namun dan bagaimana pun, kedua kumpulan itu merupakan sebuah puncak "seni berepigram". Bentuknya saja cukup menarik, yaitu distichon (puisi Yunani dengan dua baris) bermetrum ketat, yakni hexameter dengan enam tekanan yang disusul pentameter dengan lima tekanan. Untuk buku ini para editor memilih kira-kira dua puluh epigram, di antaranya beberapa yang memberi gambaran cukup jelas tentang pandangan hidup kedua tokoh itu. Misalnya Mein Glaube (Kepercayaanku) yang berbunyi: Agama mana kuanut? Tiada dari yang kau sebut!/ Mengapa satu pun tiada? Karena agama.

Bagian III, "Merindu Mati di Kobaran Api", memuatkan puisi terpilih dari sebuah mahakarya Goethe, yaitu West-Östlicher Diwan (Diwan Barat-Timur) yang terbit pada tahun 1819 dan mulai ditulis Goethe pada tahun 1815. Karya itu sudah termasuk karya Goethe yang biasanya disebut "karya Goethe tua". Kumpulan puisi tebal dan terkenal ini, yang Goethe bagikan menjadi dua belas „kitab", membuktikan betapa terbukanya Goethe terhadap dunia Timur, khususnya juga terhadap agama Islam. Sebenarnya perhatian Goethe kepada agama Islam telah terdapat sejak fase Sturm und Drang, ketika ia pada tahun 1772 menulis himne Mahomets Gesang (Dendang Nabi Muhammad). Bahkan, Goethe pada saat itu mulai menyusun sebuah drama berjudul Mahomet (Muhammad), tapi tak pernah merampungkannya. Kira-kira pada tahun 1810 Goethe mulai semakin tertarik kepada dunia timur, belajar bahasa Arab dan Persia, membaca lagi Al Quran dan puisi klasik dari Persia (Ferdusi, Rumi dan Hafiz) yang ketika itu telah terdapat dalam terjemahan ke bahasa Jerman. Ia takjub oleh kekayaan puitis yang ia temukan dalam karya-karya itu, dan dunia Timur lah ia duga sebagai sumber dan tempat asalnya puisi. Dan ia merasa begitu dekat dengan pujangga Timur, khususnya Hafiz, yang sangat ia kagumi. Puisi-puisi dalam Diwan Barat-Timur membuktikannya, misalnya puisi Unbegrenzt (Tak Berbatas) di mana Goethe bertutur langsung kepada Hafiz: Wahai Hafiz, hanya dengan kau seorang/Ingin aku bertanding!/Nikmat dan siksa/Bagi sang kembar, kita berdua!

Agama Islam cukup menonjol dalam Diwan Barat-Timur, dan sangatlah terasa simpati Goethe terhadap agama itu. Dalam puisi Ich sah, mit Staunen und Vergnügen (Aku memandang, takjub dan girang) ia sebutkan Al Quran sebagai Khasanah suci sang ilmu, dan dalam Kitab Hikmah terdapat kalimat yang terkenal Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri,/Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati., yang sempat ditafsirkan pengakuan Goethe sebagai orang Islam. Kiranya, tafsiran demikian berlebihan, namun adalah kenyataan bahwa Goethe sangat menghargai kepercayaan Islam. Ia sendiri tentu jauh dari semua sikap fundamentalistis atau ortodoks, dan berbagai puisi dalam Diwan mungkin akan mengagetkan pembaca tertentu, bila – dalam Kitab Kedai Minuman - misalnya ia tulis, bahwa Sang peminum, bagaimanapun juga,/ Memandang wajahNya lebih segar belia. Tapi, dalam hal ini Goethe sebenarnya mengikuti tradisi puisi sufi. Dan memang, sufisme serta pujangga sufi seperti Hafiz yang ia rasakan sejalan dengan dia sendiri. Goethe sendiri dalam Diwan telah menyumbangkan salah satu puisi sufi yang terindah, yaitu Selige Sehnsucht (Rindu Dendam), tentang kupu-kupu yang merindu mati di kobaran api sebagai lambang manusia yang merindukan cahaya Illahi.

Menuliskan Diwan Barat-Timur tidak berarti Goethe menjadi pujangga Timur atau tiba-tiba kerkiblat kepada dunia timur belaka. Unsur-unsur budaya Yunani klasik dan agama Nasrani dapat juga ditemukan dalam kumpulan puisi yang unik itu. Unsur otobiografis pun tak dapat dinafikan, karena tokoh Suleika dalam Diwan jelas berkaitan dengan Marianne von Willemer, salah seorang lagi dari sekian perempuan yang pernah Goethe cintai. Diwan Barat-Timur adalah pemaduan atau simbiosis antara aneka masukan, yang menjelma menjadi sesuatu yang besar dan utuh. Dengan Diwan Goethe telah memberi sumbangan besar terhadap Weltliteratur (sastra dunia), istilah yang tidak kebetulan ditemukan dan diperkenalkan oleh Goethe sendiri. Segala pemisahan antara Timur dan Barat, antara Nasrani dan Islam, etc. etc., tidak berlaku bagi Goethe. Ia telah mencipta sesuai dengan ucapannya dalam Mukadimah Diwan: Yang kenal diri juga sang lain/Di sini pun kan menyadari:/Timur dan Barat berpilin/Tak terceraikan lagi.//Arif berayun penuh manfaat/Di antara dua dunia;/Melanglang timur dan barat/Mencapai hikmah mulia!

Puisi-puisi dalam bagian IV dan V dari kumpulan puisi Goethe ini juga termasuk "karya Goethe tua" dan - kecuali soneta Natur und Kunst (Alam dan Seni) yang ditulis pada tahun 1807 sehingga termasuk fase "Klasik Tinggi" - semuanya ditulis setelah tahun 1815. Dalam bagian IV, "Tak Berkulit Tak Berbiji", pembaca disajikan lagi berbagai Sprüche, setelah dalam Kitab Hikmah dari Diwan Barat-Timur sudah dapat membaca berbagai contoh karya pendek demikian, yang merupakan genre susastra yang dalam sejarah kesusastraan Jerman mulai populer pada abad pertengahan, khususnya untuk menyampaikan ajaran moral, hikmah atau kebijaksanaan umum. Semacam aforisme bersajak, sehingga termasuk genre puisi. Goethe juga menulis banyak aforisme berbentuk prosa yang kemudian dikumpulkan dalam Maximen und Reflexionen (Prinsip-Prinsip dan Renungan), tapi di usia lanjut ia semakin cenderung menyusun Sprüche. Ada saatnya di mana ia hampir tiap hari mencatat karya pendek demikian yang bertemakan apa saja yang ia alami atau ia renungkan pada hari itu. Caranya menggubah tema tidak setajam gaya dalam Xenien atau Tabulae Votivae yang juga bersifat aforistis, dan untuk Sprüche ia tidak memilih metrum Yunani, melainkan metrum yang biasanya digunakan dalam puisi rakyat Jerman, sehingga Sprüche itu mirip peribahasa. Jumlah Sprüche yang ditulis Goethe hampir seribu buah. Sebagian darinya Goethe kumpulkan di bawah judul Zahme Xenien (Xenia Lunak).

Dalam bagian V berjudulkan "Wasiat" terdapat sepuluh lagi puisi Goethe. Sebuah puisi-alam sederhana, Immer und Überall (Di Mana Saja dan Senantiasa), mengawali bagian akhir buku ini dan disusul oleh Mignon atau Kennst du das Land (Kenalkah kau negeri). Sajak itu, yang dimuatkan Goethe dalam jilid III novelnya Wilhelm Meister, juga termasuk puisi Goethe yang paling terkenal. Pembaca Jerman sangat menyenanginya, bukan saja karena isinya yang romantis-misterius, melainkan juga karena bentuknya yang begitu indah dengan keselerasan bunyi dan iramanya.

Kedelapan puisi lain dalam bagian "Wasiat" kiranya tak kurang indah, dan sekaligus berisikan renungan yang filosofis dan/atau mistis. Dalam puisi-puisi itu Goethe menyampaikan berbagai dasar-dasar dari pandangan hidupnya dan mengangkat tema-tema yang dari dulu memainkan peranan penting dalam pemikirannya. Dalam puisi Im Namen dessen (Atas Nama Dia) ia memaparkan, betapa seluruh alam hanya merupakan variasi dari Sang Satu atau keillahian. Bahwa ciptaan tidak pernah terpisah dari pencipta, dan bahwa Ia senantiasa mewujudkan diri dalam ciptaanNya. Segala sesuatu menurut Goethe serba teratur dan bermakna, tiada yang kebetulan. Dan Ia juga yang menjadi dasar dari apa yang memberi makna kepada kehidupan manusia, yakni: Agama, saling percaya, kasih, karsa, dan tenaga. Salah satu keyakinan dasar lain Goethe sampaikan dalam puisi Was wär' ein Gott (Apa Artinya Tuhan). Di situ ia menyebutkan, bahwa juga di dalam terdapat semesta, yakni sebuah mikrokosmos yang sejajar dengan makrokosmos dan juga bersifat keillahian. Dalam puisi Vermächtnis (Wasiat) ditambahkannya bahwa justeru dalam mikrokosmos itu, dalam diri manusia, terdapatkan inti atau pusat yang mencerminkan keillahian serta keteraturan kosmos, yaitu hati nurani manusia: Kini segeralah menuju diri:/Di sana kan kau temukan inti, […] sang nurani yang mandiri/menjadi matahari bagi hariadabmu. Goethe juga yakin, bahwa baik alam maupun manusia senantiasa harus bergerak dan berubah. Tak mungkin dan tak boleh ada stagnasi. Dalam puisi Eins und Alles (Satu dan segalanya) Goethe mengingatkan: Sang Abadi berkarya dalam tiap insan/Karena segala harus runtuh sirna,/Jika hendak bertahan dalam Ada.

Sebagaimana sudah kami singgung di atas, Goethe tidak merasa terikat oleh suatu konsep tertentu bila ia membicarakan perihal "keillahian". Terkadang ia menyebutkan Tuhan atau Bapa, terkadang pula Sang Abadi dalam arti sesuatu yang abstrak dan bukan-pribadi. Terdapat pula istilah seperti ruhdunia, Sang Ada, dewa etc. Monoteisme, politeisme, panteisme, panenteisme, reinkarnasi, semuanya dapat ditemukan dalam karya-karya Goethe, termasuk puisinya. Juga unsur berbagai agama, baik Islam maupun Nasrani. Hal ini mengakibatkan, bahwa penganut dari sekian agama, kepercayaan atau aliran mengklaim bahwa Goethe adalah "seorang dari mereka". Padahal, Goethe tak mungkin dikelompokkan begitu saja. Ia seorang pencari yang jujur dan merasa berhak dan wajib untuk senantiasa berubah, termasuk dalam pendapat-pendapatnya. Namun, dasar-dasar keyakinannya tidak berubah, dan salah satu darinya jelas kentara pada awal puisi Vermächtnis (Wasiat) yang juga mengandung himbauan Goethe kepada manusia: Tiada makhluk runtuh jadi tiada!/Sang Abadi tak henti berkarya dalam segala,/Pada sang Ada lestarikan diri tetap bahagia!/Abadilah ia: karena hukum-hukum suci/Melindungi khasanah-khasanah hayati,/Dengannya semesta menghias diri. Betapa penuh kepercayaan, betapa penuh harapan!  

Pengulasan sepintas dan memang terpaksa kurang mendalam atas berbagai puisi Goethe yang dimuatkan dalam buku ini kiranya pantas diakhiri dengan sebuah puisi indah, sekaligus sarat makna, yaitu Wär nicht das Auge sonnenhaft (Andai Sang Mata Tak Bersifat Mentari). Puisi itu ditulis Goethe sebagai pembukaan Teori Warna, karya ilmiah Goethe yang legendaris itu. Itu sama sekali tidak mengherankan. Goethe tidak mengenal perbedaan antara kebenaran sains dan agama, dan baginya tak ada juga cara berbeda untuk menemukan kebenaran itu. Yang ia anggap prasyarat untuk menemukan jalan kepada kebenaran, secara tidak langsung disampaikannya dalam puisi tersebut:

Andai sang mata tiada bersifat mentari,
Mentari tak sanggup dilihat olehnya;
Andai dalam diri tiada daya Ilahi,
Bagaimana keilahian sanggup birahikan kita?

Menerjemahkan puisi Goethe merupakan tantangan besar dan kiranya hanya sanggup dilakukan secara bersama oleh seorang penutur asli bahasa Jerman yang pencinta puisi dan seorang penyair Indonesia. Namun, dengan cara demikian pun tidak selalu terjamin bahwa keindahan puisi Goethe dapat dijelmakan dalam terjemahan Indonesia. Keindahan sebuah puisi adalah hasil dari kesatuan isi dan bentuk. Khususnya perihal bentuk pada banyak puisi Goethe, yaitu dipilihnya metrum (irama) tertentu serta pentingnya rima akhir pada tiap baris, ternyata sangat sulit untuk ditransfer ke dalam Indonesia yang memiliki „alat puitis“ yang begitu berbeda daripada bahasa-bahasa Eropa. Sehingga perlu diakui, bahwa bentuk khusus dalam banyak puisi Goethe tidak berhasil kami kopikan ke dalam terjemahan kami. Walaupun demikian, saya cukup puas atas hasil terjemahan kami, dan merasa bahagia melihat puisi Goethe yang kini berpakaian Melayu yang indah juga. Untuk itu saya sampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada sahabat saya Agus R. Sarjono, koeditor dan rekan saya dalam proses penerjemahan. Semoga upaya kami berdua dalam rangka menerjemahkan puisi Jerman ke bahasa Indonesia akan berlanjut!

Bonn, September 2006

Daftar Pustaka

Conrady, Karl Otto: Goethe – Leben und Werk, Düsseldorf und Zürich 1999
Mommsen, Katharina: Goethe und der Islam., Frankfurt am Main 2001
Seiling, Max: Goethe als Esoteriker, Neuwied 1988.
Wilpert, Gero von: Goethe-Lexikon. Stuttgart 1998.