Oleh Kuswinarto
Oleh salah seorang rekan
yang mengikuti Kongres Bahasa Indonesia VIII di Jakarta, 14—17 Oktober 2003
lalu, saya diberi oleh-oleh sebuah buku setipis 25 halaman berjudul Politik
Bahasa (Jakarta, 2003). Buku ini dieditori oleh dua pakar bahasa, Hasan Alwi
dan Dendy Sugono, dan diterbitkan oleh Pusat Bahasa—instansi pemerintah eselon
II di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang diberi tanggung jawab
mengelola kebijakan nasional di bidang kebahasaan dan kesastraan di Indonesia.
Isi buku ini merupakan rumusan yang merupakan simpulan Seminar Politik Bahasa
di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, 8—12 November 1999. Seminar itu sendiri
merupakan salah satu tindak lanjut untuk meninjau kembali hasil Seminar Politik
Bahasa Nasional tahun 1975. Selain itu, seminar itu juga untuk memperkuat
putusan Kongres Bahasa Indonesia VII tahun 1998 tentang perlunya peningkatan
kedudukan, fungsi, dan wewenang Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (=
berubah jadi Pusat Bahasa sejak Agustus 2000).
Buku Politik Bahasa ini
penting karena memuat politik bahasa nasional. Sebagaimana didefinisikan dalam
buku ini, politik bahasa nasional adalah kebijakan nasional yang berisi
pengarahan, perencanaan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai
dasar pengelolaan keseluruhan masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia.
Di samping itu, sebagaimana dikemukakan Dendy Sugono—kepala Pusat Bahasa—dalam
pengantar buku ini, penerbitan kembali buku Politik Bahasa ini merupakan
penyediaan buku bahan rujukan dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan
sastra di Indonesia. Kebijakan yang dituangkan dalam buku ini berkaitan dengan
bahasa dan sastra Indonesia, daerah, dan asing di Indonesia. Setiap bahasa dan
sastra itu dideskripsikan kedudukan dan fungsinya, pembinaan dan pengembangan
berikut sarana pendukungnya, dan—tentu saja—batasan atau definisinya. Sebagai
kebijakan, rumusan-rumusan dalam buku ini cukup jelas dan terarah sehingga
memudahkan pengelolaan masalah-masalah bahasa dan sastra di Indonesia, terutama
memudahkan upaya-upaya pembinaan dan pengembangannya, tak terkecuali
upaya-upaya pembinaan dan pengembangan sastra.
Berkenaan dengan sastra,
dalam kebijakan bahasa nasional ini secara tegas dibedakan sastra Indonesia,
sastra daerah, dan sastra asing. Sastra Indonesia adalah karya sastra berbahasa
Indonesia dan merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Sastra daerah adalah
sastra berbahasa daerah dan merupakan unsur kebudayaan daerah yang merupakan
bagian dari kebudayaan nasional, sedangkan sastra asing dalam buku ini
didefinisikan sastra asing adalah sastra berbahasa asing dan merupakan bagian
dari kebudayaan asing. Ketiganya memiliki kedudukan berbeda. Sebagai bagian
kebudayaan nasional, sastra Indonesia berkedudukan sebagai wahana ekspresi
budaya dalam upaya ikut memupuk kesadaran sejarah serta semangat dan
solidaritas kebangsaan. Sastra daerah sebagai salah satu bagian kebudayaan
daerah berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya yang di dalamnya terekam
antara lain pengalaman estetik, religius, atau sosial politik masyarakat etnis
yang bersangkutan. Sementara itu, sastra asing yang merupakan bagian kebudayaan
asing berkedudukan sebagai salah satu sumber inspirasi dan sumber pemahaman
terhadap sebagian karya sastra di Indonesia, terutama dalam bidang penelitian.
Dalam kedudukannya
masing-masing, ketiganya juga memiliki fungsi yang berbeda. Sastra Indonesia
mempunyai fungsi untuk (1) menumbuhkan rasa kenasionalan, (2) menumbuhkan
solidaritas kemanusiaan, dan (3) merekam perkembangan kehidupan masyarakat
Indonesia. Sastra daerah mempunya fungsi untuk (1) merekam kebudayaan daerah
dan (2) menumbuhkan solidaritas kemanusiaan. Sastra asing mempunyai fungsi
sebagai (1) pendorong penciptaan karya sastra di Indonesia, (2) sarana untuk
lebih memahami sebagian sastra di Indonesia, (3) bahan kajian sastra bandingan,
dan (4) menambahan wawasan mengenai kebudayaan asing.
Rumusan kebijakan bahasa
nasional itu memang cukup jelas. Namun, toh membuat kening berkerut pula.
Dengan batasan sastra Indonesia, sastra daerah, dan sastra asing seperti yang
dikutip di atas, kita jadi perlu memikirkan di mana tempatnya dua drama karya
Sanusi Pane yang berjudul Air Langga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930).
Dua drama karya sastrawan Indonesia itu tidak menggunakan bahasa Indonesia,
tetapi menggunakan bahasa Belanda. Dengan batasan sastra Indonesia yang
diberikan Pusat Bahasa, dua karya Sanusi Pane ini jelas tersingkir dari
komunitas karya sastra Indonesia. Lebih sial lagi, dua drama itu pun tidak
masuk ke dalam kategori sastra asing meskipun berbahasa Belanda, karena isinya
bukan merupakan bagian dari kebudayaan asing (Belanda). Dari segi isi, dua
drama itu bagian dari kebudayaan nasional (Indonesia). Nasib serupa juga
berlaku untuk puisi-puisi dalam bahasa Belanda karya Noto Soeroto, yang
terkumpul dalam antologi Melati-knoppen (1915), Fluisteringen van de Avondwind
(1917), De Wajang-liederen (1931). Demikian juga roman berbahasa Belanda Buiten
het Gareel (1940) karya Nyoman Suwarsih Djojopuspito. Akan tetapi, Buiten het
Gareel yang naskah aslinya berbahasa Sunda itu telah pula diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan judul Manusia Bebas. Demikian juga roman Student
Hidjo (1919) karya Mas Marco Kartodikromo.
Ini penting dikemukakan
karena berkenaan juga dengan penghargaan terhadap sastrawan dan karyanya,
apalagi penghargaan demikian itu juga ditekankan pentingnya dalam Politik
Bahasa ini. Pengabaian karya berbahasa asing yang dihasilkan sastrawan
Indonesia mengesankan kurangnya penghargaan terhadap sastrawan dan karyanya.
Dan lagi, seandainya Air Langga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930) tidak
dicatat sebagai karya sastra Indonesia karena berada di luar definisi sastra
Indonesia, Sanusi Pane masih sastrawan Indonesia karena ia menghasilkan banyak
karya berbahasa Indonesia, seperti Puspa Mega (kumpulan sajak, 1927), Madah
Kelana (kumpulan sajak, 1931), Kertajaya (drama, 1932), Sandyakala ning
Majapahit (drama, 1933), dan Manusia Baru (drama, 1940). Akan tetapi, bagaimana dengan yang hanya
menulis dalam bahasa asing? Mungkin banyak sastrawan Indonesia kelompok ini
kalau kita ingat bagaimana sejarah perjalanan negeri ini. Selama 350 tahun
Indonesia dalam kekuasaan Belanda dan saat itu hanya bahasa Belanda
satu-satunya bahasa yang diizinkan digunakan untuk berkomunikasi. Kebijakan
pemerintah Belanda sedikit longgar sejak 1918. Melalui Dekrit Raja, 25 Juni
1918, Belanda mengizinkan anggota dewan menggunakan bahasa Melayu (cikal-bakal
bahasa Indonesia) di samping bahasa Belanda. Tahun 1942, Belanda ditaklukkan
Jepang. Sebagai penguasa baru di Indonesia, Jepang melarang orang Indonesia
menggunakan bahasa Belanda. Sejak itu barulah bahasa Indonesia menggantikan
bahasa Belanda.
Sekian generasi rakyat
Indonesia harus berbahasa Belanda. Karena itu, mungkin sebetulnya banyak karya
berbahasa Belanda dari sastrawan kita, hanya saja belum terdokumentasikan. Jika
itu memang ada, tentu kurang fair jika karya-karya itu dianggap bukan bagian
kebudayaan Indonesia. Lebih-lebih jika karya-karya itu tak beda dengan Buiten
het Gareel, misalnya, tentu lebih tak fair lagi. Menurut Teeuw (1980), roman
Nyoman Suwarsih itu bisa disebut roman nasionalis karena temanya perjuangan
kaum nasionalis. Jika demikian, meski berbahasa Belanda, Buiten het Gareel
memenuhi tiga fungsi sastra Indonesia dan karena itu boleh menjadi anggota
sastra Indonesia sehingga perlu juga dipelihara (dilestarikan).
Fakta sejarah pemakaian
bahasa di Indonesia agaknya perlu dipertimbangkan dalam pendefinisian sastra
Indonesia. Dan jika sepakat karya berbahasa asing di masa lalu boleh juga
disebut sastra Indonesia, sebagai bentuk penghargaan, perlu digalakkan
pelacakannya ke dalam rimba sejarah sastra Indonesia via penelitian untuk
ditemukan dan dilestarikan. Ini sejalan dengan arahan bahwa penelitian sastra
Indonesia dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang luas tentang sastra
Indonesia, termasuk sejarah sastra (sastrawan, tokoh sastra, aliran dalam
sastra, dan sebagainya), serta peran sastra dalam kaitannya dengan upaya
pengembangan bahasa Indonesia (Politik Bahasa, h.19). Tambahan, Politik Bahasa
juga menekankan perlunya digalakkan penerjemahan karya sastra Indonesia ke
dalam bahasa-bahasa internasional. Ini dilakukan sebagai upaya pemasyarakatan
sastra Indonesia untuk menumbuhkan dan meningkatkan apresiasi masyarakat dunia
terhadap sastra Indonesia. Karya-karya sastra Indonesia berbahasa asing tentu
meringankan upaya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar