Label

Senin, 10 November 2014

Sastra Indonesia dan Politik Sastra


Oleh Kuswinarto

Oleh salah seorang rekan yang mengikuti Kongres Bahasa Indonesia VIII di Jakarta, 14—17 Oktober 2003 lalu, saya diberi oleh-oleh sebuah buku setipis 25 halaman berjudul Politik Bahasa (Jakarta, 2003). Buku ini dieditori oleh dua pakar bahasa, Hasan Alwi dan Dendy Sugono, dan diterbitkan oleh Pusat Bahasa—instansi pemerintah eselon II di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang diberi tanggung jawab mengelola kebijakan nasional di bidang kebahasaan dan kesastraan di Indonesia. Isi buku ini merupakan rumusan yang merupakan simpulan Seminar Politik Bahasa di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, 8—12 November 1999. Seminar itu sendiri merupakan salah satu tindak lanjut untuk meninjau kembali hasil Seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975. Selain itu, seminar itu juga untuk memperkuat putusan Kongres Bahasa Indonesia VII tahun 1998 tentang perlunya peningkatan kedudukan, fungsi, dan wewenang Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (= berubah jadi Pusat Bahasa sejak Agustus 2000).

Buku Politik Bahasa ini penting karena memuat politik bahasa nasional. Sebagaimana didefinisikan dalam buku ini, politik bahasa nasional adalah kebijakan nasional yang berisi pengarahan, perencanaan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan keseluruhan masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia. Di samping itu, sebagaimana dikemukakan Dendy Sugono—kepala Pusat Bahasa—dalam pengantar buku ini, penerbitan kembali buku Politik Bahasa ini merupakan penyediaan buku bahan rujukan dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra di Indonesia. Kebijakan yang dituangkan dalam buku ini berkaitan dengan bahasa dan sastra Indonesia, daerah, dan asing di Indonesia. Setiap bahasa dan sastra itu dideskripsikan kedudukan dan fungsinya, pembinaan dan pengembangan berikut sarana pendukungnya, dan—tentu saja—batasan atau definisinya. Sebagai kebijakan, rumusan-rumusan dalam buku ini cukup jelas dan terarah sehingga memudahkan pengelolaan masalah-masalah bahasa dan sastra di Indonesia, terutama memudahkan upaya-upaya pembinaan dan pengembangannya, tak terkecuali upaya-upaya pembinaan dan pengembangan sastra.

Berkenaan dengan sastra, dalam kebijakan bahasa nasional ini secara tegas dibedakan sastra Indonesia, sastra daerah, dan sastra asing. Sastra Indonesia adalah karya sastra berbahasa Indonesia dan merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Sastra daerah adalah sastra berbahasa daerah dan merupakan unsur kebudayaan daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional, sedangkan sastra asing dalam buku ini didefinisikan sastra asing adalah sastra berbahasa asing dan merupakan bagian dari kebudayaan asing. Ketiganya memiliki kedudukan berbeda. Sebagai bagian kebudayaan nasional, sastra Indonesia berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya dalam upaya ikut memupuk kesadaran sejarah serta semangat dan solidaritas kebangsaan. Sastra daerah sebagai salah satu bagian kebudayaan daerah berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya yang di dalamnya terekam antara lain pengalaman estetik, religius, atau sosial politik masyarakat etnis yang bersangkutan. Sementara itu, sastra asing yang merupakan bagian kebudayaan asing berkedudukan sebagai salah satu sumber inspirasi dan sumber pemahaman terhadap sebagian karya sastra di Indonesia, terutama dalam bidang penelitian.

Dalam kedudukannya masing-masing, ketiganya juga memiliki fungsi yang berbeda. Sastra Indonesia mempunyai fungsi untuk (1) menumbuhkan rasa kenasionalan, (2) menumbuhkan solidaritas kemanusiaan, dan (3) merekam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Sastra daerah mempunya fungsi untuk (1) merekam kebudayaan daerah dan (2) menumbuhkan solidaritas kemanusiaan. Sastra asing mempunyai fungsi sebagai (1) pendorong penciptaan karya sastra di Indonesia, (2) sarana untuk lebih memahami sebagian sastra di Indonesia, (3) bahan kajian sastra bandingan, dan (4) menambahan wawasan mengenai kebudayaan asing.

Rumusan kebijakan bahasa nasional itu memang cukup jelas. Namun, toh membuat kening berkerut pula. Dengan batasan sastra Indonesia, sastra daerah, dan sastra asing seperti yang dikutip di atas, kita jadi perlu memikirkan di mana tempatnya dua drama karya Sanusi Pane yang berjudul Air Langga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930). Dua drama karya sastrawan Indonesia itu tidak menggunakan bahasa Indonesia, tetapi menggunakan bahasa Belanda. Dengan batasan sastra Indonesia yang diberikan Pusat Bahasa, dua karya Sanusi Pane ini jelas tersingkir dari komunitas karya sastra Indonesia. Lebih sial lagi, dua drama itu pun tidak masuk ke dalam kategori sastra asing meskipun berbahasa Belanda, karena isinya bukan merupakan bagian dari kebudayaan asing (Belanda). Dari segi isi, dua drama itu bagian dari kebudayaan nasional (Indonesia). Nasib serupa juga berlaku untuk puisi-puisi dalam bahasa Belanda karya Noto Soeroto, yang terkumpul dalam antologi Melati-knoppen (1915), Fluisteringen van de Avondwind (1917), De Wajang-liederen (1931). Demikian juga roman berbahasa Belanda Buiten het Gareel (1940) karya Nyoman Suwarsih Djojopuspito. Akan tetapi, Buiten het Gareel yang naskah aslinya berbahasa Sunda itu telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Manusia Bebas. Demikian juga roman Student Hidjo (1919) karya Mas Marco Kartodikromo.

Ini penting dikemukakan karena berkenaan juga dengan penghargaan terhadap sastrawan dan karyanya, apalagi penghargaan demikian itu juga ditekankan pentingnya dalam Politik Bahasa ini. Pengabaian karya berbahasa asing yang dihasilkan sastrawan Indonesia mengesankan kurangnya penghargaan terhadap sastrawan dan karyanya. Dan lagi, seandainya Air Langga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930) tidak dicatat sebagai karya sastra Indonesia karena berada di luar definisi sastra Indonesia, Sanusi Pane masih sastrawan Indonesia karena ia menghasilkan banyak karya berbahasa Indonesia, seperti Puspa Mega (kumpulan sajak, 1927), Madah Kelana (kumpulan sajak, 1931), Kertajaya (drama, 1932), Sandyakala ning Majapahit (drama, 1933), dan Manusia Baru (drama, 1940).  Akan tetapi, bagaimana dengan yang hanya menulis dalam bahasa asing? Mungkin banyak sastrawan Indonesia kelompok ini kalau kita ingat bagaimana sejarah perjalanan negeri ini. Selama 350 tahun Indonesia dalam kekuasaan Belanda dan saat itu hanya bahasa Belanda satu-satunya bahasa yang diizinkan digunakan untuk berkomunikasi. Kebijakan pemerintah Belanda sedikit longgar sejak 1918. Melalui Dekrit Raja, 25 Juni 1918, Belanda mengizinkan anggota dewan menggunakan bahasa Melayu (cikal-bakal bahasa Indonesia) di samping bahasa Belanda. Tahun 1942, Belanda ditaklukkan Jepang. Sebagai penguasa baru di Indonesia, Jepang melarang orang Indonesia menggunakan bahasa Belanda. Sejak itu barulah bahasa Indonesia menggantikan bahasa Belanda.

Sekian generasi rakyat Indonesia harus berbahasa Belanda. Karena itu, mungkin sebetulnya banyak karya berbahasa Belanda dari sastrawan kita, hanya saja belum terdokumentasikan. Jika itu memang ada, tentu kurang fair jika karya-karya itu dianggap bukan bagian kebudayaan Indonesia. Lebih-lebih jika karya-karya itu tak beda dengan Buiten het Gareel, misalnya, tentu lebih tak fair lagi. Menurut Teeuw (1980), roman Nyoman Suwarsih itu bisa disebut roman nasionalis karena temanya perjuangan kaum nasionalis. Jika demikian, meski berbahasa Belanda, Buiten het Gareel memenuhi tiga fungsi sastra Indonesia dan karena itu boleh menjadi anggota sastra Indonesia sehingga perlu juga dipelihara (dilestarikan).

Fakta sejarah pemakaian bahasa di Indonesia agaknya perlu dipertimbangkan dalam pendefinisian sastra Indonesia. Dan jika sepakat karya berbahasa asing di masa lalu boleh juga disebut sastra Indonesia, sebagai bentuk penghargaan, perlu digalakkan pelacakannya ke dalam rimba sejarah sastra Indonesia via penelitian untuk ditemukan dan dilestarikan. Ini sejalan dengan arahan bahwa penelitian sastra Indonesia dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang luas tentang sastra Indonesia, termasuk sejarah sastra (sastrawan, tokoh sastra, aliran dalam sastra, dan sebagainya), serta peran sastra dalam kaitannya dengan upaya pengembangan bahasa Indonesia (Politik Bahasa, h.19). Tambahan, Politik Bahasa juga menekankan perlunya digalakkan penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa-bahasa internasional. Ini dilakukan sebagai upaya pemasyarakatan sastra Indonesia untuk menumbuhkan dan meningkatkan apresiasi masyarakat dunia terhadap sastra Indonesia. Karya-karya sastra Indonesia berbahasa asing tentu meringankan upaya ini. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar