Label

Sabtu, 09 Februari 2019

Pematang Senjakala (4) oleh Sulaiman Djaya



Sebelum akhirnya kuputuskan untuk menuliskan riwayat hidupku ini, yang tentu saja terhubung dengan riwayat hidup orang-orang lain, sempat terbersit dalam benakku: Dari mana aku harus mulai? Sebab sungguh sulit sekali bagiku untuk menemukan simpul pertama dari ceceran dan serakan ingatan yang telah tercerai-berai, yang sebagian besar telah terlupakan. Meski demikian, rasanya aku akan merasa bersalah bila mencampakkan yang masih tersisa sebagai kenangan tentang perempuan yang menurutku begitu tabah dan tak berkeluh-kesah dalam kesahajaan keseharian yang ia jalani.

Aku ingin memulainya dari kupu-kupu di pagihari dan senja yang sesekali kulihat di barisan pohon Rosella yang ditanamnya, ketika hari bersimbah cuaca dingin atau di kala iklim berubah cerah selepas hujan menjelang siang, ketika matahari tiba-tiba tampak sangat riang.

Apakah kau akan membaca kisah pribadiku bukannya kisahnya ketika aku yang menceritakan dan menuliskannya? Aku berharap demikian, meski siapa pun bebas untuk memiliki pikiran yang sebaliknya. Keikhlasanmu untuk meluangkan waktu demi membaca kisahku ini akan menjadi penghargaan yang sangat berarti bagiku. Kisah dan riwayat tentang Ibunda, yang sebenarnya hanya ingatan kecil saja, tak lebih sejumlah serpihan yang masih dapat kupungut dan lalu kutuliskan.

Kala itu adalah masa-masa di tahun 1980-an, ketika ia memanen buah Rosella, sementara aku asik memperhatikan kupu-kupu yang hinggap di salah-satu pohon Rosella yang ditanam dan dirawatnnya dengan penuh kasih sayang, yang warna sepasang sayapnya seperti susunan ragam tamsil karena cahaya matahari senja. Ia sesekali terbang, lalu hinggap lagi, kadangkala berpindah atau pindah kembali ke pohon Rosella yang sama, lalu terbang lagi, sebelum akhirnya pergi ke tempat yang ingin ia ziarahi.

Keesokan harinya ia akan menjemur biji-biji Rosella itu dengan tikar yang ia sulam dari sejumlah karung bekas, dan akan mengangkatnya selepas asar, sebelum kami akan menggoreng dan menumbuknya bersama menjadi bubuk kopi yang akan kami bungkus dengan plastik-plastik kecil yang ia beli dari warung. Kakak perempuanku yang akan memasukkan bubuk kopi Rosella itu, sedangkan aku yang menjahit ujung plastik itu dengan cara mendekatkannya ke semungil nyala lampu minyak.

Aku membeli buku-buku tulis sekolahku dari menjual bubuk kopi Rosella yang ditanamnya, pohon-pohon Rosella yang acapkali disinggahi sejumlah kupu-kupu, selain dihinggapi dan diziarahi para kumbang, tentu saja.

Kami terbiasa hidup bersahaja dan memperoleh rizki kami dari Tuhan dengan perantaraan tanaman ciptaan Tuhan yang ditanam dan dirawatnya dengan tekun dan sabar: Rosella, kacang panjang, tomat, labuh, paria, ubi jalar, kacang tanah, dan lain-lain yang kemudian ia jual setelah ia mengunduh dan memanennya. Aku hanya bisa membantunya sepulang sekolah atau ketika hari libur sekolah, meski kadangkala aku absen untuk membantunya dan lebih memilih untuk bermain dan menerbangkan layang-layang, berburu jangkerik, atau berburu para belalang yang kesulitan untuk terbang karena air yang melekat di sayap-sayap mereka dan yang tergenang di hamparan sawah-sawah di kala hujan atau selepas hujan bersama teman-temanku yang sama-sama belajar di sekolah dasar yang sama denganku: Sekolah Dasar Negeri Jeruk Tipis 1 Kragilan, Serang, Banten.

Hidup kami memang seperti kupu-kupu di senjakala yang mengimani kesabaran dan ketabahan sebagai keharusan yang tak terelakkan. Tahukah kau kenapa aku mengumpamakannya dengan kupu-kupu? Aku akan menjawabnya. Kupu-kupu, juga para kumbang, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang ikhlas bekerja dan dengan takdir mereka sebagai para pengurai dan penyerbuk kembang dan bunga.

Kehadiran mereka merupakan berkah bagi kami yang mengais rizki dari hidup bertani dan menanam sejumlah tanaman yang buah-buahnya dapat dijual ke orang-orang yang datang ke rumah dan ke kebun kami. Keberadaan mereka adalah siklus alam dan kelahiran bagi kami, para petani.

Mereka, para kupu-kupu dengan sayap-sayap ragam warna di kedua sisi lengan mereka, akan datang tanpa kami undang bila tanaman-tanaman yang kami tanam telah berbunga, entah mereka datang di pagihari atau di senjahari. Memang aku baru menyadarinya di saat aku tak lagi hidup seperti di masa-masa itu, sebuah pemahaman yang memang terlambat. Tetapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak menyadarinya sama-sekali?

Di saat-saat senggang, bila ia tidak sibuk di sawah, dianyamnya daun-daun pandan di pagi hari hingga azan zuhur berkumandang dari sebuah mesjid yang dilantangkan dengan menggunakan speaker bertenaga accu, lalu setelah zuhur dan setelah menyiapkan makan siang bagi anak-anaknya, ia mulai menganyam lagi, dan daun-daun pandan kering yang dianyam dengan jari-jemari tangannya yang cekatan dan sabar itu telah menjelma tikar di saat senja.

Di hari yang lain ia akan mencari kayu-kayu kering yang jatuh dari pohon-pohon sepanjang pinggir jalan atau mematahkannya jika ranting-ranting dan dahan-dahan kering itu masih bertengger di pohon, dan adakalanya ia memotong sejumlah dahan pohon, yang kemudian ia potong-potong dan ia belah untuk dijemur dan dikeringkan. Kayu-kayu kering itu ia gunakan untuk menyalakan dapur bila ia memasak.

Di malam harinya, yang ia lakukan setiap malam selepas sholat magrib, ia akan mengajari anak lelakinya yang kala itu masih berusia lima tahun untuk menyebutkan dan mengeja huruf-huruf hijaiyyah dan membacakan surat-surat pendek dalam Al-Quran kepada anak lelakinya yang masih balita, dan bocah lelaki itu tentu adalah aku.

Sebagai seorang perempuan desa, ia hanya lulus sekolah dasar saja, yang di masanya disebut Sekolah Rakyat (SR). Meskipun ia hidup sederhana dan bersahaja, orang-orang di kampungnya menghormati dan mencintainya, orang-orang kampung tidak akan menghina karena kesederhanaan dan kesahajaannya, karena kakek dari anak-anaknya adalah lelaki terpandang, dan orang kaya yang memiliki sawah terbanyak: Haji Ali.

Ia perempuan yang setia dan akrab bersama pohon-pohon Rosella yang ditanam dan dirawatnya, selain pohon-pohon lainnya yang ia tanam untuk kebutuhan makan sehari-hari keluarganya dan untuk dijual, seperti kangkung, tomat, kacang dan jenis tumbuh-tumbuhan sayur lainnya.

Setelah itu, selepas ia sholat isya, ia akan berdoa, yang terdengar seperti keluhan yang samar, seperti seseorang yang mengadu kepada malam yang sunyi, basah, dan senyap. Kesabaran dan ketabahan yang dimilikinya pastilah karena cintanya kepada anak-anaknya, selain rasa tanggungjawabnya sebagai seorang ibu.

Di hari itu ia hanya menyediakan sambal, nasi, dan sayur saja, tanpa tempe dan ikan asin seperti biasanya. Ia berkata kepada anak-anaknya bahwa tak ada lagi uang untuk membeli kebutuhan makan mereka, dan karena sejumlah tanaman yang ditanam dan dirawatnya belum waktunya untuk dipanen, dan karena itu tak ada yang bisa dijual.

Tapi, barangkali, bagi orang-orang desa yang terbiasa hidup sederhana dan bersahaja itu, sayur berkuah banyak, nasi, dan sambal saja sudah cukup bagi mereka sekedar untuk menghilangkan rasa lapar.

Anak lelakinya yang telah bersekolah di sekolah menengah pertama tampak kecewa ketika mendengar apa yang ia ucapkan, karena si anak lelakinya itu semula hendak meminta uang kepadanya untuk membeli buku bagi keperluan sekolahnya, sekedar buku catatan, di saat buku-buku catatan sekolah anak lelakinya itu memang sudah penuh dengan catatan-catatan pelajaran sekolahnya.

“Tunggulah sampai kakakmu mendapat gaji pertamanya sebagai karyawan,” demikian ia menghibur si anak lelakinya itu, “tinggal beberapa hari lagi kakakmu akan mendapat gaji pertamanya.”

Memang ia mengandalkan anak lelaki tertuanya yang telah bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik kertas yang baru beroperasi untuk membantunya menghidup anak-anaknya yang masih kanak-kanak dan yang sudah bersekolah di sekolah menengah pertama itu.

Haruslah kuakui, memang, hasil penjualan dari sejumlah tanaman yang ditanam dan dirawatnya tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah semua anak-anaknya, seperti untuk membeli buku-buku paket dan buku mata pelajaran wajib, setelah kebutuhan untuk makan sehari-hari, dan karena itu ia mengandalkan anak lelaki tertuanya yang telah bekerja di sebuah pabrik dengan gaji bulanan yang didapat anak lelaki tertuanya itu.

Namun, yang barangkali haruslah pembaca ketahui, sebelum anak lelakinya lulus sekolah menengah pertamanya dan kemudian bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik kertas itu, ia adalah perempuan yang harus berjuang dengan sabar untuk mempertahankan keluarganya, meski harus menjalani kehidupan yang sederhana dan bersahaja.


Barangkali, dapatlah dikatakan, ia adalah seorang perempuan yang haruslah diistilahkan sebagai ibu dalam segala hal bagi keluarganya yang dicintainya dan dipertahankannya dengan kesabaran dan ketabahan dalam kesederhanaan dan kesahajaan sebagai orang desa, orang yang sudah terbiasa akrab dengan keterbatasan. Ia bagiku, tak ubahnya Kupu-Kupu yang ikhlas menjadi penyerbuk kembang agar menjadi buah. Seperti Kupu-Kupu yang acapkali hinggap dan singgah di pohon-pohon Rosella yang ditanam dan dirawatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar