Dan
sebagaimana fiksi seperti yang telah kumaksudkan sebelumnya, kehidupan pun sesungguhnya
adalah sebuah fiksi: masa silam. Ketika aku telah menempuh pendidikan sekolah
menengah pertama, perubahan tiba-tiba datang dan hadir cukup drastis, yang
kelak akan merubah keadaan lingkungan desa kami. Kala itu, mobil-mobil truck
besar (kami menyebutnya mobil-mobil losbak) datang beriringan membawa
tiang-tiang beton dan kemudian para pekerja menurunkan tiang-tiang beton
tersebut di tepi jalan. Sementara itu, para pekerja lainnya sibuk menebangi
pohon-pohon besar sepanjang jalan dengan menggunakan gergaji mesin.
Keesokan
harinya, mereka pun mulai menancapkan tiang-tiang beton tersebut, dan bersamaan
dengan itu pula aku tahu bahwa mereka sedang membangun jaringan listrik di
desa-desa, dan orang-orang desa diminta menyetorkan sejumlah uang bila
rumah-rumah mereka ingin dialiri listrik.
Itulah
masa-masa di tahun 90-an, ketika kehadiran dua infrastruktur telah merubah desa
kami dalam banyak hal, secara ekonomi dan budaya, yaitu industri dan jaringan
listrik.
Tak
lama kemudian, mobil-mobil truck yang mengangkut batu dan aspal pun hadir dan
datang beriringan, menurunkan batu-batu dan tong-tong aspal di pinggir jalan,
yang disusul kemudian dengan perangkat-perangkat berat lainnya, seperti
mobil-mobil slender. Dan segera, mereka pun mulai melakukan pembangunan jalan
aspal. Kebetulan salah-seorang mandornya yang orang Bandung dan sejumlah
pekerja yang berada di bawah tanggungan dan pengawasannya mengontrak di rumah
kami.
Keluarga
kami melihat pembangunan jalan aspal dan kehadiran banyak pekerja tersebut
sebagai peluang untuk mendapatkan uang, dan akhirnya keluarga kami pun membuka
warung makan di rumah kami, sehingga para pekerja (yang juga mengontrak di
rumah kami) itu bisa membeli makan mereka sehari-hari dari warung makan kami.
Dan hal itu pun ternyata diikuti pula oleh para mandor dan para pekerja lain
yang tidak mengontrak di rumah kami.
Ternyata,
setelah pembangunan jalan aspal itu selesai, keluarga kami kemudian berjualan
nasi bungkus yang dijual kepada para karyawan yang bekerja di pabrik kertas
tempat kakakku bekerja. Dan kakakku-lah yang membawa nasi-nasi bungkus tersebut
di tempat kerjanya, yang rupanya dijual kepada teman-temannya sesama karyawan
di pabrik kertas tersebut, karena menurut mereka masakan keluarga kami lebih
enak dan tidak terlalu mahal dibanding mereka harus makan di warung-warung
makan di sekitar pabrik tempat mereka bekerja.
Saat
itulah, tekhnologi tivi berwarna pun mulai hadir menggantikan tivi hitam putih.
Namun, sebelum kehadiran tivi berwarna di desa kami, tentu kami terlebih dulu
akrab dengan tivi hitam putih yang menggunakan tenaga ACCU.
Di
masa-masa remaja, sebelum listrik hadir di rumah-rumah kami itulah, kami
menonton televisi di malam Minggu saja atau di hari Minggu-nya, seperti
menonton acara Kameria Ria dan film-film yang ditayangkan setiap malam Minggu
yang ditayangkan stasiun atawa kanal Televisi Republik Indonesia alias TVRI,
dengan menggunakan tenaga ACCU.
Tenaga
ACCU itu pula yang kami gunakan untuk mengumandangkan adzan dengan pengeras
suara (speaker), dan jika tenaga ACCU itu habis, kami akan mengisi ulang
“energinya” di tempat pengisian umum selama beberapa jam dengan tarif dan
bayaran yang telah dintentukan oleh si pemilik pengisian ulang tenaga ACCU
tersebut.
Biasanya
kami akan kecewa dan merasa kesal ketika pada malam Minggu di stasiun TVRI itu
(satu-satunya stasiun televisi yang ada di era itu) menayangkan Laporan Khusus,
yang biasanya menayangkan Harmoko dan Moerdiono (yang bicaranya lambat dan
terbata-bata) atau menayangkan kegiatan dialog acara kelompencapir yang
dipimpin Presiden Soeharto langsung, dan karena itu kami mematikan televisinya
untuk sekira satu atau dua jam (karena biasanya acara itu memang lama), dan
karena itu kami acapkali terpaksa harus begadang demi untuk menonton acara
Kamera Ria dan film Malam Minggu.
Kala
itu, hanya dua orang saja yang memiliki tivi hitam putih di kampung kami, dan
karenanya di setiap Malam Minggu tersebut harus nonton ramai-ramai dan tak
jarang berdesakan satu sama lain di antara kami. Beberapa tahun kemudian,
keluarga kami memiliki televisi hitam putih 14 inchi sendiri, dan dapat
dikatakan memiliki televisi sendiri merupakan gengsi sosial tersendiri pula
bagi si pemiliknya.
Tentu
saja saat itu aku belum tahu, atau katakanlah belum atau tidak sadar, bahwa
TVRI sejatinya adalah media yang menjadi corong pemerintahan Orde Baru
Soeharto, sebab yang penting bagi kami adalah kami bisa menonton acara-acara
atau tayangan-tayangan yang kami sukai.
Demi
menghemat tenaga ACCU itu, kami hanya menonton acara-acara alias
tayangan-tayangan yang kami suka saja, seperti acara-acara di Malam Minggu dan
di Hari Minggu, sebagaimana yang telah disebutkan.
Dari
stasiun TVRI di masa-masa itulah kami tahu kisah-kisah suku Indian Geronimo dan
Apache, film-film koboy seperti Django, atau penyanyi-penyanyi Indonesia yang
populer di masa-masa itu. Itulah jaman di mana yang ngetrend kala itu adalah
film-film koboy, petinju Elias Pical, Mohammad Ali, dan Mike Tyson, drama seri
Oshin, dan tentu saja film-film Indonesia di era itu.
Dan
kini barangkali perlu kembali ditanyakan: Apa bahagia itu? Adakah ia sama
dengan keriangan dan kegembiraan? Kapan dan di mana kebahagiaan atau rasa
bahagia dapat ditemukan, dijumpai dan dirasakan? Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang kutanyakan di dalam hati ketika aku dewasa itu,
barangkali ketika aku harus menembus waktu melalui mesin waktu yang bernama
ingatan dan kenangan untuk ‘mengunjungi’ kembali masa kanak-kanak. Ketika aku
hanya tahu bermain dan sesekali mematuhi perintah ibuku.
Sewaktu
masih kanak-kanak, beberapa hal yang kami sukai adalah mencari jangkerik,
menerbangkan layang-layang, dan berburu belalang. Namun, dari beberapa hal yang
kami sukai itu, berburu belalang-lah yang paling kami sukai. Kami melakukannya
dengan riang, berlarian di bentangan-bentangan dan hamparan-hamparan pematang.
Biasanya
kami berburu belalang di waktu-waktu masim hujan, di mana adakalanya kami
berburu dalam guyur hujan dan adakalanya dalam keadaan gerimis kecil selepas
hujan, dengan menggunakan batang-batang songler di tangan kami sebagai pemukul
bagi para belalang yang berusaha terbang, dan tentu saja mereka kemudian jatuh
ke genangan air di pematang-pematang sawah.
Tentu
saja belalang-belalang itu ada yang kecil, ada yang sedang ukurannya, dan ada
yang besar, selain tentu juga ada ragam jenis belalang.
Biasanya
kami memburu mereka saat mereka terjebak hujan di sawah-sawah, di mana mereka
kesulitan untuk terbang, dan kalau pun mereka berusaha terbang, kami akan
segera memukul mereka dengan batang-batang songler kami.
Saat
mereka mengapung dan terkapar di atas genangan air di sawah-sawah itulah kami
akan mengambil mereka dan memasukkan mereka ke wadah-wadah kami yang telah kami
ikatkan di pinggang atau di celana pendek kami.
Adakalanya
kami melakukannya di pagihari, sianghari, atau di sorehari, tergantung kapan
hujan itu sendiri turun. Itu kami lakukan ketika kami masih duduk di kelas 3
hingga kelas 5 sekolah dasar kami, yang kebetulan berada di samping desa kami.
Bila
kami sudah merasa cukup banyak mendapatkan atau memburu mereka, kami
menyerahkannya kepada ibu kami untuk digoreng atau dimasak, yang adakalanya
kami makan sebagai lauk makan kami.
Sementara
itu di sore hari, bila aku tak sedang bersama teman-temanku, aku kembali duduk
mengerjakan tugasku meunggui tanaman. Ketika kuarahakan mataku ke sudut-sudut
langit dan pematang-pematang sawah, ada capung-capung selepas hujan, juga riap
sejumlah kupu-kupu yang adakalanya terbang dan adakalanya singgah di kelopak
bunga.
Getaran-getaran
sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkanku tentang
kegembiraan. Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang
kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput,
dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan. Seakan-akan
mereka asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca di mana aku duduk dalam
pelukannya di bawah bentangan langit mahaluas dan tak berbatas.
Di
sisi lain, di barisan pohon-pohon, aku bisa mendengar kicau burung-burung yang
merasa kedinginan, dingin yang meresap pada bulu-bulu mereka. Tentulah di
saat-saat seperti itu matahari sudah enggan menampakkan diri.
Di
saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih
mirip figur-figur bisu. Dalam cuaca seperti itu sebenarnya aku tak hanya dapat
memandangi capung-capung yang yang kuumpamakan sebagai para peri mungil,
sesekali juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang
terbang.
Dan
ketika aku menulis otobiografiku ini, aku tergoda untuk membayangkan
getaran-getaran sayap-sayap mereka yang tipis itu adalah kiasan dari kematian
yang menyamar sebagai keindahan dan kelembutan. Aku tergoda untuk mengandaikan
mereka adalah maut yang bermain-main itu sendiri. Aku akan menyebut
capung-capung itu sebagai peri-peri kecil yang tengah mencandai kematian, sosok
kematian yang memang tidak terlihat oleh mata telanjang dan hanya bisa dipahami
oleh keintiman bathin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar