Label

Jumat, 08 Februari 2019

Pematang Senjakala (3) oleh Sulaiman Djaya


Dan sebagaimana fiksi seperti yang telah kumaksudkan sebelumnya, kehidupan pun sesungguhnya adalah sebuah fiksi: masa silam. Ketika aku telah menempuh pendidikan sekolah menengah pertama, perubahan tiba-tiba datang dan hadir cukup drastis, yang kelak akan merubah keadaan lingkungan desa kami. Kala itu, mobil-mobil truck besar (kami menyebutnya mobil-mobil losbak) datang beriringan membawa tiang-tiang beton dan kemudian para pekerja menurunkan tiang-tiang beton tersebut di tepi jalan. Sementara itu, para pekerja lainnya sibuk menebangi pohon-pohon besar sepanjang jalan dengan menggunakan gergaji mesin.

Keesokan harinya, mereka pun mulai menancapkan tiang-tiang beton tersebut, dan bersamaan dengan itu pula aku tahu bahwa mereka sedang membangun jaringan listrik di desa-desa, dan orang-orang desa diminta menyetorkan sejumlah uang bila rumah-rumah mereka ingin dialiri listrik.

Itulah masa-masa di tahun 90-an, ketika kehadiran dua infrastruktur telah merubah desa kami dalam banyak hal, secara ekonomi dan budaya, yaitu industri dan jaringan listrik.

Tak lama kemudian, mobil-mobil truck yang mengangkut batu dan aspal pun hadir dan datang beriringan, menurunkan batu-batu dan tong-tong aspal di pinggir jalan, yang disusul kemudian dengan perangkat-perangkat berat lainnya, seperti mobil-mobil slender. Dan segera, mereka pun mulai melakukan pembangunan jalan aspal. Kebetulan salah-seorang mandornya yang orang Bandung dan sejumlah pekerja yang berada di bawah tanggungan dan pengawasannya mengontrak di rumah kami.

Keluarga kami melihat pembangunan jalan aspal dan kehadiran banyak pekerja tersebut sebagai peluang untuk mendapatkan uang, dan akhirnya keluarga kami pun membuka warung makan di rumah kami, sehingga para pekerja (yang juga mengontrak di rumah kami) itu bisa membeli makan mereka sehari-hari dari warung makan kami. Dan hal itu pun ternyata diikuti pula oleh para mandor dan para pekerja lain yang tidak mengontrak di rumah kami.

Ternyata, setelah pembangunan jalan aspal itu selesai, keluarga kami kemudian berjualan nasi bungkus yang dijual kepada para karyawan yang bekerja di pabrik kertas tempat kakakku bekerja. Dan kakakku-lah yang membawa nasi-nasi bungkus tersebut di tempat kerjanya, yang rupanya dijual kepada teman-temannya sesama karyawan di pabrik kertas tersebut, karena menurut mereka masakan keluarga kami lebih enak dan tidak terlalu mahal dibanding mereka harus makan di warung-warung makan di sekitar pabrik tempat mereka bekerja.

Saat itulah, tekhnologi tivi berwarna pun mulai hadir menggantikan tivi hitam putih. Namun, sebelum kehadiran tivi berwarna di desa kami, tentu kami terlebih dulu akrab dengan tivi hitam putih yang menggunakan tenaga ACCU.

Di masa-masa remaja, sebelum listrik hadir di rumah-rumah kami itulah, kami menonton televisi di malam Minggu saja atau di hari Minggu-nya, seperti menonton acara Kameria Ria dan film-film yang ditayangkan setiap malam Minggu yang ditayangkan stasiun atawa kanal Televisi Republik Indonesia alias TVRI, dengan menggunakan tenaga ACCU.

Tenaga ACCU itu pula yang kami gunakan untuk mengumandangkan adzan dengan pengeras suara (speaker), dan jika tenaga ACCU itu habis, kami akan mengisi ulang “energinya” di tempat pengisian umum selama beberapa jam dengan tarif dan bayaran yang telah dintentukan oleh si pemilik pengisian ulang tenaga ACCU tersebut.

Biasanya kami akan kecewa dan merasa kesal ketika pada malam Minggu di stasiun TVRI itu (satu-satunya stasiun televisi yang ada di era itu) menayangkan Laporan Khusus, yang biasanya menayangkan Harmoko dan Moerdiono (yang bicaranya lambat dan terbata-bata) atau menayangkan kegiatan dialog acara kelompencapir yang dipimpin Presiden Soeharto langsung, dan karena itu kami mematikan televisinya untuk sekira satu atau dua jam (karena biasanya acara itu memang lama), dan karena itu kami acapkali terpaksa harus begadang demi untuk menonton acara Kamera Ria dan film Malam Minggu.

Kala itu, hanya dua orang saja yang memiliki tivi hitam putih di kampung kami, dan karenanya di setiap Malam Minggu tersebut harus nonton ramai-ramai dan tak jarang berdesakan satu sama lain di antara kami. Beberapa tahun kemudian, keluarga kami memiliki televisi hitam putih 14 inchi sendiri, dan dapat dikatakan memiliki televisi sendiri merupakan gengsi sosial tersendiri pula bagi si pemiliknya.

Tentu saja saat itu aku belum tahu, atau katakanlah belum atau tidak sadar, bahwa TVRI sejatinya adalah media yang menjadi corong pemerintahan Orde Baru Soeharto, sebab yang penting bagi kami adalah kami bisa menonton acara-acara atau tayangan-tayangan yang kami sukai.

Demi menghemat tenaga ACCU itu, kami hanya menonton acara-acara alias tayangan-tayangan yang kami suka saja, seperti acara-acara di Malam Minggu dan di Hari Minggu, sebagaimana yang telah disebutkan.

Dari stasiun TVRI di masa-masa itulah kami tahu kisah-kisah suku Indian Geronimo dan Apache, film-film koboy seperti Django, atau penyanyi-penyanyi Indonesia yang populer di masa-masa itu. Itulah jaman di mana yang ngetrend kala itu adalah film-film koboy, petinju Elias Pical, Mohammad Ali, dan Mike Tyson, drama seri Oshin, dan tentu saja film-film Indonesia di era itu.

Dan kini barangkali perlu kembali ditanyakan: Apa bahagia itu? Adakah ia sama dengan keriangan dan kegembiraan? Kapan dan di mana kebahagiaan atau rasa bahagia dapat ditemukan, dijumpai dan dirasakan? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kutanyakan di dalam hati ketika aku dewasa itu, barangkali ketika aku harus menembus waktu melalui mesin waktu yang bernama ingatan dan kenangan untuk ‘mengunjungi’ kembali masa kanak-kanak. Ketika aku hanya tahu bermain dan sesekali mematuhi perintah ibuku.

Sewaktu masih kanak-kanak, beberapa hal yang kami sukai adalah mencari jangkerik, menerbangkan layang-layang, dan berburu belalang. Namun, dari beberapa hal yang kami sukai itu, berburu belalang-lah yang paling kami sukai. Kami melakukannya dengan riang, berlarian di bentangan-bentangan dan hamparan-hamparan pematang.

Biasanya kami berburu belalang di waktu-waktu masim hujan, di mana adakalanya kami berburu dalam guyur hujan dan adakalanya dalam keadaan gerimis kecil selepas hujan, dengan menggunakan batang-batang songler di tangan kami sebagai pemukul bagi para belalang yang berusaha terbang, dan tentu saja mereka kemudian jatuh ke genangan air di pematang-pematang sawah.

Tentu saja belalang-belalang itu ada yang kecil, ada yang sedang ukurannya, dan ada yang besar, selain tentu juga ada ragam jenis belalang.

Biasanya kami memburu mereka saat mereka terjebak hujan di sawah-sawah, di mana mereka kesulitan untuk terbang, dan kalau pun mereka berusaha terbang, kami akan segera memukul mereka dengan batang-batang songler kami.

Saat mereka mengapung dan terkapar di atas genangan air di sawah-sawah itulah kami akan mengambil mereka dan memasukkan mereka ke wadah-wadah kami yang telah kami ikatkan di pinggang atau di celana pendek kami.

Adakalanya kami melakukannya di pagihari, sianghari, atau di sorehari, tergantung kapan hujan itu sendiri turun. Itu kami lakukan ketika kami masih duduk di kelas 3 hingga kelas 5 sekolah dasar kami, yang kebetulan berada di samping desa kami.

Bila kami sudah merasa cukup banyak mendapatkan atau memburu mereka, kami menyerahkannya kepada ibu kami untuk digoreng atau dimasak, yang adakalanya kami makan sebagai lauk makan kami.

Sementara itu di sore hari, bila aku tak sedang bersama teman-temanku, aku kembali duduk mengerjakan tugasku meunggui tanaman. Ketika kuarahakan mataku ke sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah, ada capung-capung selepas hujan, juga riap sejumlah kupu-kupu yang adakalanya terbang dan adakalanya singgah di kelopak bunga.

Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkanku tentang kegembiraan. Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan. Seakan-akan mereka asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca di mana aku duduk dalam pelukannya di bawah bentangan langit mahaluas dan tak berbatas.

Di sisi lain, di barisan pohon-pohon, aku bisa mendengar kicau burung-burung yang merasa kedinginan, dingin yang meresap pada bulu-bulu mereka. Tentulah di saat-saat seperti itu matahari sudah enggan menampakkan diri.

Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu. Dalam cuaca seperti itu sebenarnya aku tak hanya dapat memandangi capung-capung yang yang kuumpamakan sebagai para peri mungil, sesekali juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang.


Dan ketika aku menulis otobiografiku ini, aku tergoda untuk membayangkan getaran-getaran sayap-sayap mereka yang tipis itu adalah kiasan dari kematian yang menyamar sebagai keindahan dan kelembutan. Aku tergoda untuk mengandaikan mereka adalah maut yang bermain-main itu sendiri. Aku akan menyebut capung-capung itu sebagai peri-peri kecil yang tengah mencandai kematian, sosok kematian yang memang tidak terlihat oleh mata telanjang dan hanya bisa dipahami oleh keintiman bathin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar