Label

Senin, 15 Desember 2014

Maut Lebih Kejam daripada Cinta


Cerpen Gabriel García Márquez (Jawa Pos, 20 April 2014)

SENATOR Onésimo Sánchez hanya punya sisa waktu enam bulan sebelas hari sebelum dijemput maut kala dia menemukan perempuan idamannya. Dia berjumpa dengan gadis itu di Rosal del Virrey, sebuah kota kecil yang seperti khayalan. Pada malam hari kota itu menjadi dermaga tersembunyi bagi kapal-kapal penyelundup dan siang harinya tampak seperti tempat terpencil paling tak berguna di tengah padang pasir yang gersang dan seaan berada di antah-berantah, menghadap laut, begitu jauh dari segala takdir siapa pun yang tinggal di tempat itu. Bahkan nama kota itu –yang berarti rumpun mawar—seolah lelucon belaka. Sebab, satu-satunya mawar yang ada di sana dipakai oleh senator Onésimo Sánchez pada suatu senja ketika dia berjumpa dengan Laura Farina. 

Saat itu adalah perhentian tak terhindarkan dalam kampanye pemilu yang telah dia jalani selama empat tahun. Iring-iringan mobil-mobil pengangkut barang tiba pada pagi hari. Lalu datang truk-truk berisi orang-orang Indian sewaan yang dibawa ke tempat itu untuk menambah jumah kerumunan peserta kampanye di lapangan. Tak lama menjelang pukul sebelas, bersama musik dan mercon serta jip-jip, mobil dinas sewarna soda gembira tiba. Senator Onésimo Sánchez duduk tenang dan tak menampakkan gejolak perasaan di dalam mobilnya yang sejuk ber-AC. Namun, begitu dia membuka pintu, dia terguncang oleh embusan kencang hawa panas dan kemeja sutra murninya jadi seakan basah oleh semacam sup berwarna terang. Dia jadi merasa lebih tua serta lebih kesepian daripada sebelumnya.

Dalam kehidupan nyata dia baru berusia genap empat puluh dua tahun, lulus dari Gottingen dengan pujian sebagai insinyur metalurgi, dan seorang pembaca rakus buku-buku Latin klasik yang diterjemahkan dengan buruk sehingga tak memberinya banyak manfaat. Dia mengawini seorang perempuan Jerman periang yang memberinya lima anak dan mereka hidup bahagia. Dialah yang paling bahagia di antara mereka sampai dia diberi tahu tiga bulan yang lalu bahwa dia akan mati pada hari Natal yang akan datang.

Ketika persiapan kampanye telah dituntaskan, sang senator berhasil menyisihkan waktu sendirian selama sejam di rumah tempatnya beristirahat. Sebelum dia berbaring, diletakkannya dalam gelas air minumnya bunga mawar yang telah dijaganya agar tetap mekar sepanjang perjalanan melintasi gurun, lalu dia menyantap makan siang sereal yang dibawanya dari rumah untuk menghindari suguhan oseng daging kambing yang selalu menantinya pada hari-hari yang telah lewat. Setelahnya, dia menelan beberapa butir pil penahan sakit untuk mengusir rasa sakitnya. Lalu dia menyalakan kipas angin listrik di dekat tempat tidur gantungnya dan berbaring telentang selama lima belas menit dalam bayangan mawar seraya berupaya keras menghalau pikiran tentang kematiannya sampai dia terlelap. Selain dokter, tak seorang pun tahu saat kematiannya telah ditentukan karena dia memutuskan untuk merahasiakannya, tanpa ingin ada perubahan dalam hidupnya. Bukan karena keangkuhan, melainkan karena malu.

Dia merasa memegang kendali penuh atas dirinya ketika dia muncul lagi di depan umum pada pukul tiga sore, telah cukup beristirah dan tampil resik, mengenakan celana panjang linen dan kemeja bermotif bunga, dengan jiwa yang telah ditopang oleh pil-pil penahan sakit. Namun, ternyata erosi kematian jauh lebih jahat ketimbang yang dikiranya karena saat dia bangkit ke atas panggung dia merasakan sensasi jijik yang aneh terhadap orang-orang yang berupaya berebut menyalaminya dan dia tak merasa kasihan seperti yang kerap dirasakannya terhadap sekelompok orang Indian bertelanjang kaki yang nyaris tak mampu menahankan panasnya aspal permukaan lapangan kecil itu. Dia menghentikan tepuk tangan hadirin dengan lambaian tangan, nyaris dengan kemarahan, dan mulai berbicara tanpa gerak-gerik tubuh. Sepasang matanya tertuju ke laut yang meruapkan bahang. Suaranya dalam dan terukur bagaikan air yang tenang. Namun, pidato yang telah dihafalnya dan dicuapkannya berulang-ulang itu terasa baginya bukanlah sebagai perkataan yang jujur, melainkan kebalikannya, yakni lebih serupa pernyataan kepasrahan Marcus Aurelius dalam jilid keempat bukunya, Renungan.

“Kita berada di sini untuk menaklukkan alam,” ucapnya berlawanan dengan apa yang diyakininya. “Kita tidak akan lagi menjadi anak-anak yatim di negeri kita sendiri, anak-anak Tuhan yang disia-siakan di tempat gersang saat badai menerjang, terasingkan di kampung halaman sendiri. Kita akan menjadi orang-orang yang hebat dan berbahagia.”

Ada satu pola dalam pertunjukan pidatonya. Saat dia bercuap-cuap, para pembantunya melemparkan burung-burung kertas ke udara dan makhluk-makhluk buatan itu pun seakan hidup, terbang di atas panggung lalu meluncur ke laut. Pada saat bersamaan, anak-anak buahnya yang lain mengeluarkan dari mobil-mobil pengangkut barang sejumlah pohon buatan yang daun-daunnya berbahan sintesis dan menanam mereka di tanah keras berbatu di belakang kerumunan orang. Mereka mengakhirinya dengan mendirikan fasad rumah-rumahan dari papan dan dinding bohongan dari bata merah yang dilengkapi jendela kaca untuk menutupi gubuk-gubuk reyot sungguhan tempat tinggal menyedihkan para penduduk setempat.

Sang senator melanjutkan pidatoya dengan dua kutipan berbahasa Latin untuk memberi tambahan waktu bagi orng-orangnya yang sedang memasang rumah-rumahan. Ia menjanjikan akan mendatangkan mesin-mesin pembuat hujan, alat-alat penyubur ternak, minyak kebahagiaan yang akan membuat sayur-mayur tumbuh subur di tanah keras berbatu dan rerumpun bunga mekar di kisi-kisi jendela. Ketika dilihatnya dunia fiksinya telah selesai dibuat oleh orang-oarng suruhannya, dia menunjuk. “Seperti itulah semuanya akan mewujud bagi kita, Saudara-Saudara,” teriaknya. “Lihatlah! Itulah yang akan terwujud bagi kita.”

Para hadirin menoleh. Kapal-kapal pengarung samudera yang terbuat dari kertas berwarna tampak di belakang rumah-rumahan, lebih tinggi daripada rumah tertinggi di kota buatan itu. Hanya sang senator sendiri yang memperhatikan bahwa karena benda-benda itu telah dibongkar-pasang berkali-kali dan diusung dari satu tempat ke tempat lain, kota papan itu telah lapuk dimakan cuaca buruk dan kini nyaris tampak seburuk dan seberdebu Rosal del Virrey.

Untuk pertama kali selama dua belas tahun, Nelson Farina tidak hadir di lapangan untuk menyambut sang senator. Dia menyimak pidato itu dari tempat tidur gantungnya sambil melanjutkan tidur siang di gubuknya yang dibangun dengan tangannya sendiri dan pernah ditinggalinya bersama istri pertamanya. Dia minggat dari Pulai Iblis dan muncul di Rosa del Virrey dengan naik kapal bermuatan burung-burung nuri bersama seorang perempuan kulit hitam cantik yang ditemuinya di Paramaribo dan telah memberinya seorang anak. Perempuan itu mati karena sebab alamiah tak lama kemudian dikuburkan dengan nisan berterakan nama Belandanya di kuburan umum setempat. Anak perempuan mereka mewarisi warna kulit dan bentuk tubuh ibunya serta mata kuning menakjubkan ayahnya. Dia pun tumbuh menjadi perempuan tercantik di dunia.

Sejak dia bertemu sang senator dalam kampaye pertamanya, Nelson Farina telah memohon padanya untuk membantu membuatkan KTP palsu agar dia lolos dari jangkauan hukum. Sang senator, dengan cara yang bersahabat tapi tegas, menolak permintaan itu. Nelson Farina tak pernah menyerah. Selama bertahun-tahun, setiap kali dia menemukan kesempatan, dia akan mengulangi permintaannya dengan jalan berbeda. Tapi kali ini dia bergeming di ranjang gantungnya, dikutuk membusuk hidup-hidup di sarang penyamun itu. Saat dia mendengar tepuk tangan terakhir, dia mengangkat kepala, menatap melalui bilah-bilah pagar rumah dan melihat bagian belakang bangunan buatan yang dibuat orang-orang suruhan sang senator. Ia meludah tanpa kebencian.

“Sialan,” sungutnya. “Itu cuma permainan politik.”

Setelah pidato, seperti kebiasaannya, sang senator berjalan blusukan melintasi jalan-jalan kota diiringi musik dan letusan mercon, dikerubungi warga kota yang berupaya mengadukan kesulitan hidup mereka. Senator tampak menyimak mereka dan dia selalu berhasil menemukan cara untuk menghibur semua orang tanpa membuat mereka berani berbuat macam-macam. Seorang perempuan yang berada di atap rumah bersama enam bocah kecil berhasil membuat suaranya terdengar mengatasi bunyi letusan kembang api dan suara ribut khalayak.

“Saya tidak meminta banyak, Senator,” teriaknya. “Hanya seekor keledai untuk mengangkut air dari Sumur Orang Gantungan.”

Senator memperhatikan keenam bocah kurus itu. “Apa yang terjadi dengan suamimu?” tanyanya.

“Dia mencari pekerjaan di Aruba,” sahut perempuan itu. “Tapi yang dia temukan malah seorang perempuan yang memasang berlian di giginya.”

Orang-orang itu tertawa berderai mendengar jawaban di perempuan.

“Baiklah,” ujar sang senator bijak, “kau akan mendapatkan keledai.”

Tak lama kemudian pembantu sang senator datang menyeret seekor keledai menuju rumah si perempuan. Di bokong keledai itu tertulis dengan cat tebal slogan kampanye sang senator sehingga orang-orang tak akan lupa bahwa keledai itu hadiah darinya.

Di tikungan terakhir jalan itu dia melihat Nelson Farina yang sedang berbaring di atas ranjang gantung, tampak murung. Senator menyapanya, “Hai, apa kabar?”

Nelson Farina menoleh. “Terpujilah Anda,” katanya.

Putri Nelson Farina keluar menuju halaman saat didengarnya ucapan salam. Dia mengenakan gaun lebar Indian Guajiro murahan yang telah usang, kepalanya dihiasi pita warna-warni, dan wajahnya dipulas warna untuk melindungi kulit dari sinar matahari. Namun, dalam keadaan kacau-balau serupa itu pun orang yang menatapnya bisa jadi akan membayangkan bahwa tiada yang lebih cantik darinya di seluruh dunia.

Sang senator tertegun menahan napas. “Terkutuklah aku!” ucapnya terkesiap. “Tuhan telah melakukan hal-hal yang gila!”

Malam itu Nelson Farina mendandani putrinya dengan pakaian terbaiknya dan mengirimkannya kepada sang senator. Dua penjaga bersenjata menyuruhnya duduk menunggu di atas satu-satunya kursi di ruang tunggu.

Senator berada di ruang sebelah, sedang rapat dengan orang-orang penting Rosa del Virrey. Mereka tampak begitu mirip dengan orang-orang lain yang selalu ditemuinya di seluruh kota sepanjang gurun sehingga membuatnya muak dan bosan dengan acara pertemuan malam semacam itu. Kemejanya basah kuyup oleh peluh dan dia mencoba mengeringkannya dengan embusan hawa panas dari kipas angin listrik yang berdengung seperti kuda yang terbang di antara hawa panas di ruangan itu.

“Kita tentu saja tidak bisa makan burung kertas,” ujarnya. “Kita semua tahu bahwa pada hari ketika pepohonan dan bunga-bunga tumbuh di tumpukan kotoran kambing ini, pada hari saat ada ikan-ikan dan bukan belatung di lubang-lubang air, pada hari itulah tugas kita di sini telah selesai. Jelas, bukan?”

Tak ada yang menyahut. Saat dia biacara, sang senator menyobek sehelai kertas kalender dinding dan membuat kupu-kupu kertas mainan darinya. Dia lalu melemparkannya tanpa tujuan ke udara. Kupu-kupu kertas itu tertiup angin dari kipas listrik dan terbang mengitari ruangan lalu menyelinap keluar melalui pintu yang separuh terbuka. Senator melanjutkan berbicara. “Maka,” katanya, “saya tak perlu mengulang apa yang sudah kalian ketahui amat baik: terpilihnya saya kembali adalah demi kepentingan kalian semua, bukan demi kepentingan saya.”

Laura Farina melihat kupu-kupu kertas itu terbang keluar dari ruangan tempat rapat. Hanya dia yang melihatnya sebab para penjaga di ruang tunggu itu tertidur di atas tangga, memeluk senapan mereka. Setelah meliuk-liuk beberapa kali, kupu-kupu yang besar itu terbuka lipatannya, menempel di dinding, dan terus melekat di sana. Laura Farina mencoba melepasnya dari dinding dengan mencongkelkan kuku-kukunya. Salah satu penjaga yang terbangun karena suara tepuk tangan dari ruang sebelah memperhatikan upaya sia-sia gadis itu. “Tak bakalan lepas,” ujarnya dengan setengah mengantuk. “Itu dicat di dinding.”

Laura Farina kembali duduk saat orang-orang beranjak keluar dari ruang rapat. Senator berdiri di muka pintu ruangan dengan tangan memegang kenop pintu. Dia memperhatikan Laura Farina ketika ruang tunggu itu telah kosong.

“Sedang apa kau di sini?”

“Ayahku menyuruhku kemari,” ujarnya.

Sang senator mengerti. Dia menatap para penjaga yang terlelap lalu memandang lekat Laura Farina yang kecantikan luar biasanya ternyata jauh lebih mengganggu ketimbang rasa sakitnya. Dan dia lalu menyimpulkan bahwa maut telah membuat keputusan untuknya.

“Masuklah,” katanya.

Laura Farina berdiri terlongong di muka ruangan itu: ribuan lembar uang kertas beterbangan di udara berkelepak bagai kupu-kupu. Namun, sang senator mematikan kipas angin sehingga helai-helai uang yang beterbangan itu berjatuhan di atas benda-benda yang ada di dalam ruangan.

Senator tersenyum dan berkata, “Kau lihat, bahkan kotoran pun bisa terbang.”

Laura Farina duduk di atas sebuah bangku tak bersandaran. Kulitnya lembut dan kencang, sewarna minyak mentah. Rambutnya serupa surai kuda betina muda. Dan sepasang mata lebarnya lebih terang ketimbang cahaya. Sang senator mengikuti arah tatapan gadis itu yang terpaku pada bunga mawar.

“Itu mawar,” ujarnya.

“Ya,” sahut si gadis tanpa tampak takjub. “Aku pernah melihatnya di Riohacha.”

Senator duduk di atas kasur lipat tentara, berbicara tentang mawar seraya membuka kancing-kancing kemejanya. Di dada kiri, tempat dia membayangkan jantungnya berada di dalam rongga dadanya, ada sebuah tato bergambar hati tertusuk anak panah. Senator melempar kemeja kuyupnya ke lantai lalu meminta Laura Farina membantunya melepas sepatu botnya.

Gadis itu berlutut menghadap ranjang lipat. Senator menatapnya lekat-lekat. Saat gadis itu membukai tali sepatunya, sang senator bertanya-tanya siapakah dari mereka berdua yang akan berakhir dengan nasib buruk gara-gara perjumpaan itu.

“Kau masih bocah,” ujarnya.

“Percayakah kalau kukatakan umurku akan genap sembilan belas bulan April ini?” tukasnya.

Sang senator makin tertarik.

“Tanggal berapa?”

“Sebelas,” sahut si gadis.

Senator merasa lega. “Kita berdua Aries,” ujarnya. Seraya tersenyum, dia menambahkan, “Itu melambangkan kesunyian.”

Laura Farina tak memperhatikan perkataan sang senator karena dia kebingungan bagaimana caranya membuka sepatu itu. Sementara, sang senator kebingungan bagaimana harus bersikap terhadap Laura Farina karena dia tak terbiasa dengan kisah cinta tiba-tiba. Seraya terus berpikir, dia merengkuh erat Laura Farina saat gadis itu berada di antara kedua lutut sang senator. Dia memeluk pinggang gadis itu lalu membaringkan diri di atas kasur lipat. Lalu baru disadarinya bahwa gadis itu tak mengenakan apa-apa lagi di balik gaunnya. Tubuh si garis meruapkan aroma gelap binatang hutan yang merangsang, tapi jantungnya berdegup kencang. Kulitnya berkilat oleh keringat.

“Ah, tak ada yang mencintai kita,” lelaki itu mendesah.

Laura Farina mencoba mengatakan sesuatu, tapi napasnya tersengal. Lelaki itu membaringkan si gadis di sampingnya, mematikan lampu sehingga ruangan itu jadi temaram dalam bayangan mawar. Gadis itu memasrahkan diri pada kemurahan hati sang takdir. Senator mengelusnya lembut, tangannya mencari-cari, nyaris tak menyentuhnya. Namun, di tempat dia berharap menemukan apa yang dicarinya, dia menyentuh semacam besi yang menghalanginya.

“Apa itu?”

“Celana dalam besi,” sahut si gadis.

“Astaga!” lelaki itu berseru marah. “Mana kuncinya?”

Laura Farina menarik napas lega. “Dipegang ayahku,” sahutnya. “Dia meminta Anda mengirimkan utusan untuk mengambil kunci itu dan membawakannya sepucuk surat yang menyatakan bahwa Anda berjanji akan menolongnya dalam kesulitan.”

Sang senator makin marah. “Dasar bedebah!” gumamnya sebal. Lalu dia memejamkan mata untuk menenangkan diri dan berpikir dalam kegelapan. Dia membatin: Ingatlah, tak lama lagi kau akan mati dan namamu akan dilupakan.

Dinantinya gigil tubuhnya yang gemetar memudar.

“Katakan sejujurnya. Apa yang kau dengar tentang diriku?” tanyanya kemudian.

“Yang sejujurnya?”

“Sejujurnya.”

“Hm, mereka bilang Anda lebih buruk daripada politikus lainnya karena Anda berbeda,” ungkap Laura Farina.

Sang senator tidak marah. Dia diam membisu cukup lama dengan mata terpejam. Ketika dia membuka lagi matanya seolah-olah dia telah mendapatkan kembali nalurinya yang paling tersembunyi.

“Baiklah,” dia memutuskan. “Katakan kepada ayahmu yang keparat itu bahwa aku akan membantunya.”

“Jika Anda mau, aku akan mengambil sendiri kuncinya,” ujar Laura Farina.

Senator menahan gadis itu. “Lupakan kunci itu dan tidurlah sejenak bersamaku. Nyaman rasanya bisa bersama seseorang saat kau begitu kesepian.”

Si gadis menyandarkan kepalanya pada bahu lelaki itu dengan mata terpaku menatap mawar. Sang senator memeluk pinggang gadis itu, membenamkan wajah ke celah ketiaknya yang beraroma binatan hutan, dan takluk pada rasa takutnya. Enam bulan sebelas hari kemudian dia mati dalam posisi yang sama, ternista dan tertolak karena skandal terbuka dengan Laura Farina dan menangis penuh amarah saat mati tanpanya. ***

Gabriel García Márquez adalah pengarang terkemuka kelahiran kolombia, 1928, yang baru saja wafat pada Jumat kemarin, 18 April 2014. Ia meraih hadiah Nobel Sastra pada 1982 dan dikenal terutama melalui novel-novelnya yang menjadi tonggak aliran realisme magis dalam sejarah sastra dunia, antara lain, Seratus Tahun Kesunyian dan Cinta pada Musim Kolera. Ia dikenang sebagai sastrawan Amerika Latin terbesar dan paling berpengaruh yang pernah ada. Cerpen di atas diterjemahkan Anton Kurnia dari “Death Constant Beyond Love” dalam kumpulan Innocent Erendira and Other Stories, Picador London, 1981, terjemahan Gregory Rabassa dari bahasa Spanyol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar