Memelihara
Republik, Mengaktifkan Akal Sehat oleh Rocky Gerung
I
Indonesia hari-hari ini…
Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota
menebar moral. Ada anak muda memetik dawai mengelilingi dunia mengukir prestasi.
Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci
tubuh. Ada pelajar menggondol medali biologi di pentas dunia berkali-kali.
Ada lumpur pebisnis dibersihkan negara dengan
pajak rakyat. Ada perempuan desa menembus bukit menyalurkan air bersih dengan
tangannya sendiri.
Ada koruptor diusung partai jadi pahlawan. Ada
relawan bergegas ke medan bencana tanpa menyewa wartawan.
Kita seperti hidup dalam dua Republik:
Republic of Fear dan Republic of Hope. Akal sehat kita tentu menghendaki
perwujudan Republic of Hope itu, secara saksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Tetapi nampaknya, penguasa politik lebih memilih
memelihara Republic of Fear, karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan.
Kemajemukan hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah
kepentingan yang diatur para broker. Hak Asasi Manusia dipromosikan ke
mancanegara, tetapi kejahatan kemanusiaan di dalam negeri, diputihkan untuk
modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh rakyat, tetapi ketegasan tidak
hendak dilaksanakan. Mengapung diatas bara sosial itu, sambil membayangkan
siasat politik suksesi, adalah agenda harian elit politik hari-hari ini.
Politik tidak diselenggarakan di ruang publik,
tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan
atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme
individual. Di layar nasional, politik elit tampil dalam bentuknya yang paling
dangkal: jual-beli di tempat! Tidak ada sedikitpun upaya “sofistikasi” untuk
sekedar memperlihatkan sifat “elitis” dari percaloan politik itu. Dengan wajah
standar, para koruptor menatap kamera, karena yakin bahwa putusan hakim dapat
dibatalkan oleh kekuasaan, bila menolak ditukar saham. Dan sang hakim (juga
jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional.
Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan.
Di layar lokal, politik bahkan sudah
diresmikan sebagai urusan “uang tunai”. Seorang calon kepala daerah sudah
mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia
mencalonkan diri dalam Pilkada. Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak
pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi
pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Maka sangat mudah memahami
bahwa “human development index” kita tetap rendah karena biaya renovasi kamar
mandi bupati lebih didahulukan ketimbang membangun puskesmas. Bahkan antisipasi
terhadap kemungkinan sang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi,
juga sudah dipikirkan. Maka berbondong-bondonglah para kepala daerah bermasalah
itu hijrah dari partai asalnya, masuk ke partai penguasa. Tentu itu bukan
transfer politik gratisan. Tadah-menadah politik sudah menjadi subkultur
politik nasional. Sekali lagi: kepentingan bertemu kepentingan, kemauan bersua
kebutuhan.
Dalam perjanjian konstitusional negara dengan
warganegara, keadilan dan keamanan dijadikan agunan untuk menetapkan kewajiban
timbal balik. Karena itu, bila saudara membayar pajak, maka saudara berhak
memperoleh sistem politik yang memungkinkan keadilan itu diwujudkan. Bila saya
patuh pada hukum, maka saya berhak menerima rasa aman dari negara. Tetapi
urusan inilah yang kini amat jauh dari harapan publik. Para perusak hukum
justeru dilindungi negara. Para pengemplang pajak, justeru dirangkul negara.
Dan dalam urusan sistem politik, kita berhadapan dengan persekongkolan politik
kartel yang memonopoli distribusi sumber daya politik dan ekonomi. Bahkan
oligarki kekuasaan yang sesungguhnya, hanya melibatkan dua-tiga tokoh kunci
yang saling menyogok, saling tergantung, dan saling mengintai. Politik menjadi
kegiatan personal dari segelintir elit yang terjebak dalam skenario yang saling
mengunci, karena masing-masing terlibat dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan
pada waktu Pemilu.
Ketergantungan politik pada uang-lah yang
menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan
politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan
ideologi. Relasi itu tumbuh karena pelembagaan politik tidak berlangsung.
Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di
dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan
elitis individual. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di
dalam partai politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik parlemen.
Bahwa seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat, itu hanya tampil dalam upaya
mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk
memberi pendidikan politik pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat,
tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular. Tanpa gagasan, minim
pengetahuan, parlemen terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi tanpa
peduli, minim etika, parlemen terus menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi
dan arogansi.
Defisit akal di parlemen adalah sebab dari
defisit etika. Arogansi kepejabatan digunakan untuk menutupi defisit akal. Maka
berlangsunglah fenomena ini: sang politisi yang sebelumnya menjadi pengemis
suara rakyat pada waktu Pemilu, kini menyatakan diri sebagai pemilik
kedaulatan. Seperti anjing yang menggonggongi tuannya, politisi memutus
hubungan historisnya dengan rakyat, dan mulai berpikir menjadi pengemis baru.
Kali ini, bukan pada rakyat, tetapi pada kekuasaan eksekutif. Faktor inilah
yang menerangkan mengapa oposisi tidak dapat bekerja dalam sistem politik kita.
Tukar tambah kepentingan antara eksekutif dan legislatif bahkan berlangsung
sampai urusan “titik dan koma” suatu rancangan undang-undang. Transaksi itu
sering tidak ada kaitannya dengan soal-soal ideologis, karena memang motif
koruptiflah yang bekerja di bawah meja-meja sidang.
Asal-usul politik koruptif ini terkait dengan
tidak adanya kurikulum “kewarganegaraan” dalam semua jenjang pendidikan
nasional. Sistem pendidikan kita tidak mengorientasikan murid pada kehidupan
publik. Konsep “masyarakat” di dalam kurikulum sekolah tidak diajarkan sebagai
“tanggung jawab merawat hidup bersama”, tetapi lebih sebagai kumpulan ajaran
moral komunal yang pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat. Konsep
“etika publik” tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan “bermasyarakat”.
Memang, amandemen konstitusi tentang tujuan
pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan “akhlak” ketimbang
“akal”. Konsekwensinya terhadap kehidupan Republik sangatlah berbahaya, karena
warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen.
Sangatlah bertentangan misi pendidikan itu dengan imperatif konstitusi kita
yang mewajibkan kita “melihat dunia” melalui “kecerdasan” dan “perdamaian”. Sesungguhnya
filsafat publik kita semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik, karena
pertarungan kecerdasan di parlemen di dalam membela ide masyarakat bebas tidak
dapat berlangsung. Pengetahuan dan pemahaman konseptual tentang ide Republik
lebih banyak diucapkan dalam retorika “nasionalisme”, dan karena itu kedudukan
primer konsep “warganegara” tidak cukup dipahami.
“Kewarganegaraan” adalah ide tentang tanggung
jawab warganegara lintas politik, lintas komunal. Realisasinya memerlukan
pemahaman fundamental tentang etika parlementarian, yaitu bahwa “kedaulatan
rakyat” tidak pernah diberikan pada “wakil rakyat”. Yang diberikan hanyalah kepentingan
rakyat tentang satu isu yang secara spesifik didelegasikan pada “si wakil”, dan
karena itu dapat ditarik kembali setiap lima tahun. Juga dalam tema ini kita
pahami bahwa “kedaulatan rakyat” tidak sama dengan “mayoritarianisme”.
Kedaulatan rakyat justeru difungsikan untuk mencegah demokrasi menjadi
permainan politik golongan mayoritas. Itulah sebabnya kedaulatan rakyat tidak
boleh dikuantifikasi dalam statistik atau dalam hasil Pemilu.
Defisit politik warganegara juga adalah akibat
dari surplus politik feodal. Hari-hari ini hegemoni kultur politik feodal itu
masuk dalam politik publik melalui langgam perpolitikan istana, ketika
“kesantunan” menyisihkan “kritisisme”. Dan kultur itu terpancar penuh dari
bahasa tubuh Presiden. Prinsip yang berlaku adalah: kritik politik tidak boleh
membuat kuping Presiden menjadi merah.
Feodalisme adalah sistem kekuasaan. Kita tentu
tidak menemukannya lagi dalam masyarakat modern. Tetapi seorang penguasa dapat
terus mengimajinasikan dirinya sebagai “raja”, “tuan”, “pembesar” dan
sejenisnya, dan dengan kekuasaan itu ia menyelenggarakan pemerintahan. Kita
justeru merasakan itu dalam kepemimpinan politik hari-hari ini, dalam diskursus
bahasa tubuh, dalam idiom-idiom tatakrama, dalam simbol-simbol mistik, bahkan
dalam politik angka keramat.
Di dalam kultur feodalistik, percakapan
politik tidak mungkin berlangsung demokratis. Bukan saja karena ada hirarki
kebenaran di dalam diskursus, tetapi bahkan diskursus itu sendiri harus
menyesuaikan diri dengan “aturan politik feodal”, aturan yang tak terlihat
namun berkekuasaan. Sangatlah aneh bila kita berupaya menyelenggarakan sebuah
birokrasi yang rasional dan impersonal, tetapi mental politik yang mengalir
dalam instalasi birokrasi kita masih mental feodal.
Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal
oleh akumulasi kekuasaan. Enersi yang pernah kita himpun untuk menghentikan
otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk menggerakkan perubahan. Sebagian
disebabkan oleh sifat politik reformasi yang amat “toleran”, sehingga
memungkinkan seorang jenderal pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan
seorang aktivis HAM, mengevaluasi kondisi demokrasi. Juga tidak aneh
menyaksikan seorang tokoh terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah talkshow
yang membahas arah pembangunan nasional. Transisi yang amat toleran itu telah
meloloskan juga obsesi-obsesi politik komunalistik yang hendak mengatur ruang
politik publik dengan hukum-hukum teokrasi. Di dalam keserbabolehan itulah
kekuasaan politik hari-hari ini menarik keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi
berdiri di atas politik uang dan politik ayat, kekuasaan itu kini tampak mulai
kehilangan keseimbangan. Antara tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di
gurun pasir, kekuasaan itu tampak kelelahan untuk bertahan.
II
Tetapi Republik harus tetap berdiri…
Republik adalah ide minimal untuk
menyelenggarakan keadilan, kesetaraan dan kemajemukan. Normativitas ini
menuntut pekerjaan politik, pada dua lapis. PERTAMA, suatu imajinasi
intelektual untuk merawat konsep “publik” pada kondisi sekulernya. KEDUA, suatu
perlawanan politik terhadap teokratisasi institusi-institusi publik. Artinya,
ide republik hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang
berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik pada
dataran duniawi, sosiologis dan historis. Usaha ini bukan dimaksudkan untuk
meyakinkan kaum absolutis, melainkan untuk membantu mereka yang ragu-ragu
karena kekurangan alat kalkulasi logis. Mereka yang “ragu-ragu” inilah
sesungguhnya yang dapat “membiarkan” demokrasi dikuasai dan dikendalikan oleh
politik absolutis. Golongan “ragu-ragu” ini bukan saja mengalami kecemasan di
dalam membayangkan suatu masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda membayangkan
suatu “keuntungan moral” di dalam suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat
semacam inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh politik fundamentalisme
untuk menebar hegemoni moral mayoritas.
Menerangkan politik sebagai urusan
warganegara, sekaligus berarti mempertahankan argumen masyarakat sekuler. Di
dalam Republik, status primer seseorang adalah sebagai warganegara (citizen).
Ia tentu memiliki sejumlah status privat: agama, etnis, dll. Tetapi status
privat tidak mungkin diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik
hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara
misalnya, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat diperalat untuk menjamin
isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak
warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi
religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan moral agama
bukan urusan negara. Tetapi bila kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka
negara menghukum atas dasar hukum publik, dan bukan melarang isi keyakinan itu.
Batas itu harus dipegang secara teguh sebagai prinsip pendidikan politik
publik. Dan prinsip itu harus diterangkan sejak dini pada murid sekolah,
dipastikan dipahami oleh anggota partai politik, dan dijadikan diktum pejabat
publik. Dengan cara itu kita tidak perlu lagi mendengar pejabat publik
mengucapkan kebodohan karena memaksakan pandangan moral pribadinya terhadap
soal publik. Di sini sekaligus perlu kita ingatkan bahwa para menteri adalah
pembantu Presiden, dan bukan asisten Tuhan.
Keragu-raguan untuk menerima dan menjalankan
konsekwensi politik dari ide Republik, terutama disebabkan oleh kepentingan
politisasi kekuasaan terhadap kondisi antropologis bangsa ini. Bagaimanapun,
simbol-simbol primordial tidak mungkin punah hanya oleh gerak ekonomi global,
modernisasi dan kosmopolitanisme. Politik identitas telah menjadi reaksi logis
dari kosmopolitanisme, tetapi pemanfaatan politiknyalah yang menjadi isu utama
di negeri ini. Artinya, kondisi atropologis kita yang masih kuat berbasis pada
paham-paham komunal, juteru dieksploitasi oleh kekuasaan untuk diperjualbelikan
di dalam pasar politik. Maka sangatlah ironis ketika kita mengucapkan demokrasi
sebagai pilihan sistem politik, pada saat yang sama kita sudah berencana
memenangkan pemilu dengan peralatan-peralatan primordial, terutama agama.
Di dalam Republik, kita menyelenggarakan
pluralisme. Artinya, kita bukan sekedar mengakui perbedaan pandangan hidup,
tapi kita sendiri juga dapat berobah pandangan hidup. Dalam pluralisme, kita
tidak menyebut kebenaran itu “relatif”, melainkan “tentatif”. Karena itu selalu
terbuka kesempatan untuk berselisih pendapat, agar kita bisa bercakap-cakap.
Kewarganegaraan adalah percakapan diantara
mereka yang tidak fanatik. Republik adalah lokasi politik yang menampung semua
proposal sekuler. Di sini kita harus pahami ide Republik bukan semata-mata
sebagai instalasi politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan etis. Di
dalam Republik, “suasana” percakapan publiklah yang lebih utama ketimbang
fasilitas-fasilitas politiknya (partai, pengadilan, birokrasi). Di dalam Republik-lah
manusia menyelenggarakan dirinya sebagai “zoon politicon”, merundingkan
kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar.
Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan. Itulah sifat publik dari
politik. Dengan kata lain, intervensi nilai-nilai personal ke dalam ruang
publik tidak boleh terjadi. Nilai personal, pandangan moral komunal, harus
dikonversi ke dalam tata bahasa politik publik bila ingin diajukan sebagai
proposal publik. Artinya, keterbukaan dan kesetaraan di dalam Republik hanya
mengandalkan diskursus rasio publik. Dan sifat diskursus itu adalah falibilis,
bukan absolutis.
Kemajemukan dan “suasana Republik”,
sesungguhnya telah kita miliki jauh sebelum Proklamasi diucapkan. Sumpah Pemuda
adalah sumber enersi kemajemukan yang sesungguhnya. Pikiran politik di tahun
1928 itu menyadari sepenuhnya kondisi ideologis bangsa ini, kondisi yang
potensial bagi konflik horisontal, dan karena itu para pemuda hanya bersepakat
untuk tiga hal: satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Sumpah Pemuda tidak
bersepakat demi soal-soal akhirat, tetapi demi urusan antar manusia di bumi,
manusia yang beragam. Mereka bersumpah untuk sesuatu “yang sosiologis” (tanah,
bangsa dan bahasa), karena paham bahwa “yang teologis” tidak mungkin dijadikan
tali pengikat politik. Politik 1928, tidak terobsesi pada “sumpah keempat”:
beragama satu. Kecerdasan itulah yang sesungguhnya hilang dari percakapan
politik kita hari-hari ini. Sumpah Pemuda kini hanya diingat dalam tema
“kebangsaan” yang bahkan disempitkan menjadi “keberagaman dan keberagamaan”
(dan karena itu perayaannya cuma diisi oleh petuah dan pesan-pesan agamis).
Padahal moral dan filsafat politiknya telah mendahului menyelesaikan pertikaian
politik agama dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.
Argumen ini harus kita ajukan untuk memastikan
bahwa sumber kebudayaan modern dari ide republikanisme, sudah disediakan 17
tahun sebelum republik diproklamasikan. Artinya, ide republikanisme sudah
dipelihara oleh “masyarakat sipil”, jauh sebelum diformalkan oleh “masyarakat
politik” melalui konstitusi 1945. Bahkan obsesi untuk memberi warna “agamis”
pada penyelenggaraan negara (melalui debat panjang di Konstituante), juga
dibatalkan oleh kecerdasan kebangsaan modern, yaitu bahwa di dalam Republik,
rakyatlah yang berdaulat, bukan Tuhan atau Raja. Undang-Undang Dasar 1945
menegaskan itu: “Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat” .
Ide Kedaulatan Rakyat ini memberi kita batas
yang tegas tentang wilayah politik. Yaitu bahwa politik adalah transaksi sekuler
dengan ukuran-ukuran rasional, empiris, dan historis. Bahwa bahasa politik
adalah bahasa yang dapat diperlihatkan konsekwensinya “di sini dan sekarang”,
bukan “nanti dan di sana”. Bahwa ukuran-ukuran moral harus tumbuh dari
pertarungan gagasan-gagasan historis, bukan dari doktrin-doktrin metafisis.
Bahwa warga negara hanya terikat pada ayat-ayat konstitusi, dan bukan pada
ayat-ayat suci. Bahwa fakta adanya golongan mayoritas (dalam agama misalnya),
hanyalah petunjuk demografis, yaitu untuk keperluan administrasi kependudukan
dan bukan untuk keunggulan kedudukan suatu kelompok terhadap yang lain. Di
dalam demokrasi, identitas individu (agama, kelamin, pekerjaan), hanya dicatat
sebagai data statistik, dan bukan alasan pembedaan warganegara.
Sangatlah berbahaya bila seseorang
didefinisikan sebagai minoritas dalam agama atau preferensi seksual misalnya,
karena sekaligus ia akan menjadi warganegara kelas dua. Diskriminasi inilah
yang harus kita perangi, karena ia menyebabkan permusuhan sosial atas alasan-alasan
irasional. Misalnya, apakah karena seseorang tidak beragama, maka ia akan
dikucilkan dan dilecehkan, atau bahkan dianiaya? Di dalam demokrasi, agama
adalah hak. Artinya, ia boleh dipakai, boleh tidak. Negara tidak berhak
memaksakan kewajiban beragama, karena hal itu melanggar kebebasan hati nurani.
Agama adalah wilayah hati nurani. Kesucian keyakinan dan kejujuran ketakwaan
seseorang hanya menjadi rahasia antara dia dan Tuhannya. Kemuliaan itulah yang
harus dipisahkan dari kehidupan politik sehari-hari, karena di dalam demokrasi
kita tidak mungkin menghakimi seseorang berdasarkan ukuran moral orang lain.
Sejauh preferensi moral dan religi seseorang tidak diterjemahkan menjadi
tindakan kriminal, maka negara harus bertindak imparsial didalam melayani hak-hak
sipil dan politiknya. Atas dasar itulah negara berkewajiban mengedarkan etika
publik, yaitu pendidikan kewarganegaraan yang membiasakan warganegara hidup
dalam politik kemajemukan.
Kedaulatan Rakyat berarti bahwa keputusan
politik dipertengkarkan atas kebutuhan keadilan dan kesetaraan sosial
warganegara, dan bukan atas ukuran-ukuran hirarki kesolehan dan kesucian sebuah
umat. Asumsi kedaulatan rakyat adalah bahwa semua orang setara dalam kecerdasan
dan kebebasan, dan karena itu keputusan politik harus diambil dalam ruang
antisipasi kesalahan, dan bukan dalam ruang kebenaran doktrinal.
Di dalam republik, “kebenaran” disirkulasikan
dengan pikiran, dan bukan dengan keyakinan. Itulah sebabnya “kebenaran” dapat
dibatalkan dengan argumen, dan bukan dipertahankan dengan kekerasan. Spekulasi
epistemologis bahwa “kebenaran” itu harus satu, dan karena itu politik harus
menjadi absolut, pernah membawa politik kita ke dalam sistem otoriterisme. Dan
bila sekarang “kebenaran” itu hendak dipaksakan kembali atas dasar spekulasi
teologis, maka kita sungguh-sungguh sedang mengumpankan diri pada otoriterisme
teokratis. Inilah cara pandang monolitik yang kini semakin meluas dalam
kehidupan politik kita akhir-akhir ini, suatu paradoks di dalam sistem
demokrasi yang kita pilih.
Cara pandang politik semacam itu sesungguhnya
berakar di dalam antropologi komunalisme yang kian tumbuh justeru dalam kondisi
globalisasi. Komunalisme adalah alam pikiran konservatif yang memandang
individu sebagai subyek tanpa eksistensi, yang identitasnya tergantung pada
identitas komunitas. Komunalisme hendak menetapkan bahwa di luar komunitas,
tidak ada identitas. Tetapi hal yang paling konservatif dari alam pikiran ini
adalah keyakinan bahwa keutuhan komunitas memerlukan pengaturan doktrinal.
Konsekwensinya adalah: tidak boleh ada pikiran bebas individu. Pandangan
kebudayaan inilah yang kini sedang diedarkan melalui bawah-sadar politik rakyat
oleh partai-partai berbasis agama, yang mengeksklusifkan kehidupan publik
mengikuti parameter-parameter komunal. Secara kongkrit, pandangan itu berwujud
dalam perda-perda agama.
Secara gradual kita merasakan infiltrasi
pikiran itu dalam berbagai aturan publik dengan memanfaatkan fasilitas
demokrasi, yaitu kekuasaan parlemen membuat undang-undang. Politik adalah upaya
menguasai ruang publik. Demokrasi memang toleran terhadap kontestasi pikiran. Tetapi
politik komunalisme hendak menutup ruang publik itu dengan suatu diktum
ontologi absolutis: hanya boleh ada satu Ada, dan karena itu, ada yang lain
tidak boleh ada!
Dalam versi sekulernya, pandangan komunalisme
ini pernah memayungi praktek penyelenggaraan konstitusi kita, yaitu melalui
doktrin “negara integralistik”, suatu pandangan feodalistik yang dijalankan
dengan dukungan militer di masa Orde Baru, dalam konspirasinya dengan kekuatan
kapital. Praktek politik ini hanya mungkin berlangsung karena akar-akar budaya
feodal itu memang ada di dalam masyarakat kita.
Tetapi bentuk komunalisme hari-hari ini adalah
suatu sikap eksklusivisme religius yang memanfaatkan keterbukaan demokrasi,
sambil mengeksploitasi simbol-simbol agama yang memang kuat tertanam dalam
antropologi politik bangsa ini. Anda mungkin terkejut mendengar seorang murid
SD menunjukkan jalan kepada sopir taksi, sambil mengingatkan: “itu rumah orang
kafir lho!” Dalam kasus semacam ini, kita tahu ada problem serius tentang
kewarganegaraan, kemajemukan, dan pikiran terbuka. Ada problem serius tentang
kehidupan di sekolah-sekolah, di dalam kurikulum dan organisasi-organisasi
masyarakat. Acuan konsep-konsep publik yang seharusnya menimbulkan toleransi
horisontal, telah diajarkan justeru dengan doktrinasi diskriminatif pada
generasi yang baru tumbuh.
Politik kita hari-hari ini sedang menjalankan
“crypto-politics”. Elit menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal, untuk
mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Sekarang ini, memimpin atau sekedar menjadi
bagian dari suatu komunitas religius merupakan kebutuhan politis elit untuk
mencapai status-status publik. Kesolehan menjadi simbol kewarganegaraan.
Tatakrama menjadi pembatas kritisisme. Diskursus demokrasi menjadi tempat
nyaman untuk mengorganisir kekuasaan dengan memanfaatkan peralatan agama.
Simbol-simbol privat kini merajai kehidupan publik. Mayoritarianisme mendikte
paham kedaulatan rakyat. Bahkan Mahkamah Konstitusi bersikap sangat adaptif
terhadap logika “mayoritarianisme” itu, dengan menerima argumen-argumen privat
dalam memutuskan urusan publik.
Benar bahwa sistem demokrasi membuka ruang
kebebasan bagi berbagai aspirasi. Tetapi apakah aspirasi kebencian, misoginis,
intoleran dan bahkan kriminal harus dinilai sama dengan aspirasi keadilan,
otonomi tubuh, dan kebebasan berpendapat?
Di dalam demokrasi, realitas selalu berarti
“realitas sosial”. Yaitu kondisi kehidupan yang selalu memungkinkan kebenaran
dikoreksi melalui bahasa manusia. Dan koreksi itu adalah pekerjaan duniawi yang
harus terus diaktifkan, karena apa yang ada di akhirat tidak mungkin dikoreksi.
Inilah realitas yang harus disimulasikan terus menerus, untuk menggantikan
psikologi obsesif yang menghendaki pemenuhan kebenaran akhirat di Republik
manusia.
Ide Republik memberi kita pelajaran moral yang
sangat mendasar, yaitu etika publik harus menjadi satu-satunya ikatan kultural
di antara warganegara. Etika publik adalah hasil negosiasi keadilan, didalam
upaya memelihara kehidupan bersama berdasarkan apa yang bisa didistribusikan di
dunia, dan bukan apa yang akan diperoleh di akhirat.
Misalnya, obsesi untuk menyempurnakan keadilan
harus kita hasilkan melalui sistem pajak, karena melalui pajaklah relasi warga
negara disetarakan. Karena itu, sangatlah janggal bila pajak saudara untuk
keadilan sosial di bumi, digunakan negara mensubsidi mereka yang ingin masuk
surga.
III
Dan kita adalah warganegara Dunia…
Soal yang juga terus menimbulkan kemenduaan
mental politik kita hari-hari ini adalah masalah globalisasi. Ketakutan untuk
masuk dalam percakapan politik global telah menghasilkan reaksi atavistik yang
memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut
api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat menghalangi tatapan dunia
terhadap praktek politik koruptif dan mental feodal bangsa ini. Nasionalisme
menjadi semacam “mantra penangkal bala” setiap kali kita membaca
laporan-laporan dunia tentang index korupsi kita yang masih tinggi.
Nasionalisme kita pasang sebagai tameng setiap kali diperlukan evaluasi hak
asasi manusia dan kebebasan pers oleh masyarakat internasional. Kita tidak
memberi isi nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis, “in-the-making”, tetapi
kita menyimpannya sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat
politik.
Nasionalisme adalah identitas publik yang seharusnya
kita olah dengan akal untuk ditampilkan sebagai modal diplomasi politik dan
ekonomi. Nasionalisme masa kini ada pada keunggulan “national brand”, dan bukan
ditampilkan sebagai psikosis pasca-kolonial.
Dan khusus menyangkut isu neoliberalisme, reaksi
kita bahkan nyaris mistik. Kita memakai tameng-tameng tradisi untuk memusuhi
suatu alam pikiran yang tidak pernah berwujud di belahan bumi manapun. Kita
mengorganisir kemarahan publik untuk memusuhi sesuatu yang adanya hanya di
buku-buku filsafat. Tetapi seandainya pun perlawanan itu harus diberikan, kita
justeru menolak mengajukan marxisme sebagai lawan filosofi yang sepadan, dan
malah menyiapkan ayat-ayat agama sebagai kontra moral baginya. Agaknya, hanya
di negeri ini dua ideologi yang bermusuhan, kita musuhi sekaligus. Kita menolak
dua-duanya dengan akibat kita tidak pernah paham logika sesungguhnya dari
susunan-susunan pikiran itu. Karena itu, retorika dan hiruk-pikuk seputar isu
“neolib” terasa lebih sebagai hasil refleks psikologi poskolonial yang dangkal
ketimbang hasil refleksi intelektual yang dalam. Akibatnya, slogan neoliberal
menjadi stempel politik baru bagi siapa saja yang dianggap mengedarkan
kebebasan individu atau mengucapkan dalil-dalil ekonomi pasar. Kita tidak
merasa perlu untuk mendalami filsafat itu karena kita lebih mengandalkan emosi
yang panas ketimbang analisa yang dingin. Politik stigmatisasi semacam ini
tidak mendidik rakyat untuk mengucapkan argumen, karena memang hanya
dimaksudkan untuk meneriakkan sentimen.
Di sinilah kita perlu kembali pada akal sehat,
yaitu memeriksa konsekwensi politik dari suatu debat palsu tentang ideologi
ekonomi. Pada tingkat kebijakan, urgensi untuk memenuhi kebutuhan rakyat tidak
lagi diukur berdasarkan sistem-sistem abstrak ideologi, melainkan oleh tuntutan
keadilan di dalam politik distribusi. Pemerintah yang korup, di dalam sistem
ideologi apapun, pasti menyengsarakan rakyat. Demikian juga, pasar yang efisien
tidak dirancang dengan variabel nepotisme di dalamnya. Jadi, mendahului
berbagai perselisihan ideologi, kita harus memastikan bahwa korupsi dan
arogansi politik tidak boleh dipelihara dalam sistem politik kita. Dari sana,
baru kita dapat menyusun kombinasi paling rasional antara peran pasar dan
negara dalam melayani warganegara.
Obsesi kita tentang “ke-Indonesia-an”
hari-hari ini, tidak cukup lagi merujuk pada dokumen-dokumen historis di masa
lalu (Sumpah Pemuda, Proklamasi, dll), tetapi kita perlu memperluasnya pada
kebutuhan politik masakini untuk mewadahi “kemajemukan baru”, yaitu kemajemukan
yang timbul oleh percakapan kebudayaan dan teknologi global. Percakapan
kebudayaan itu lebih sering berlangsung di dalam ruang maya, dan nampaknya
demokratisasi pikiran dan ide lebih dihargai di dalam kondisi digitalnya,
ketimbang dalam pergaulan sosial nyata.
Perkembangan “ruang politik digital” itu,
menandai suatu transisi peradaban politik baru. Imajinasi misalnya, akan
meloloskan diri dari sensor institusi-institusi formal negara, dan karena itu,
ukuran-ukuran moral lama sesungguhnya sudah memasuki masa kadaluwarsa. Kini,
sangat mungkin juga orang mendirikan rumah-rumah ibadah digital, bukan sekedar
untuk menghindar dari lemparan batu kaum fundamentalis, tapi untuk
sungguh-sungguh memberi tahu mereka bahwa surga juga dapat dibayangkan secara
teknologis, dan diselenggarakan secara ekonomis.
Tetapi politik adalah penyelenggaraan keadilan
di dalam ruang sosial nyata. Ruang digital tidak boleh berubah menjadi tempat
mencari suaka. Ruang digital hanya boleh menjadi ruang konsolidasi subversif,
untuk membebaskan ruang sosial nyata dari hegemoni politik
konservatif-fundamentalis.
Sesungguhnya, sama seperti ruang demokrasi,
ruang digital itu juga dimanfaatkan oleh politik fundamentalis untuk menimbun
dan menyebar kebencian, intoleransi dan permusuhan. Jelas bahwa ruang digital
hanyalah sarana operasi politik, sementara markasnya tetap berada di dalam
ruang sosial nyata: di ruang rapat partai, di kelas-kelas sekolah, di
rumah-rumah ibadah.
Dalam konteks solidaritas global itu, kondisi
kemanusiaan tidak mungkin lagi dipahami dalam definisi-definisi primordial.
Kita tidak menjadi “manusia” hanya karena terikat pada kesamaan etnis dan
keyakinan. Kita menjadi manusia karena kita terikat pada problem sosial yang
sama, yaitu kemiskinan dan krisis energi global. Kita tidak mencari rasa aman
pada aturan-aturan komunal, bila kita paham bahwa hukum hak asasi manusia telah
menyelamatkan peradaban dari politik genosida di berbagai penjuru dunia.
Kemanusiaan kita hari ini lebih diikat oleh kewajiban global untuk mengatasi
bencana alam dan memberi perlindungan pada para pencari suaka. Kemanusiaan
adalah solidaritas etis terhadap masalah masa kini, dan bukan perkelahian
ideologis di jalan buntu.
Mengucapkan kemanusiaan sebagai “solidaritas
etis” harus memungkinkan setiap orang keluar dari koordinat mentalitas
komunalnya. Pertemuan di dalam ruang politik adalah pertemuan untuk
mempercakapkan kemungkinan-kemungkinan sosiologis, dan bukan
kepastian-kepastian teologis. Menerima politik sebagai “ruang antagonisme”,
berarti memahami peluang untuk suatu konfrontasi etis demi alasan-alasan
keadilan. Karena itu politik mengandaikan resipkrokasi percakapan, dan itu
berarti wacana publik hanya dapat diselenggarakan bila keadilan dikonsepsikan
secara sekuler. Anda tentu tidak membayar pajak untuk memperoleh “pahala
akhirat”, melainkan untuk menjamin keadilan di bumi. Artinya, solidaritas etis
harus dapat diukurkan langsung pada kesosialan manusia hari ini, agar kita
tidak menunda keadilan sampai tibanya hari kiamat.
Tentu saja kita masih masih perlu memandang
diri sendiri melalui cermin-cermin identitas yang dipasang mengelilingi hidup
komunal kita. Cermin-cermin itu seperti memberi rasa aman primitif kepada
identitas seseorang. Kita bahkan perlu menggosok cermin itu agar kilaunya
menimbulkan rasa unggul primitif pada kelompok. Tetapi sekali kita melangkah ke
luar rumah, narsisisme itu tidak lagi banyak gunanya. Di dunia nyata, yang kita
temukan adalah berbagai masalah sosial yang tidak mungkin sekedar diatasi
dengan doa, sesajen dan mantra. Politik kelas tidak dapat ditunggu
penyelesaiannya di akhirat. Demikian juga kerusakan lingkungan tidak dapat
ditangkal oleh komat-kamit sejumlah dukun. Kesetaraan gender, bahkan menuntut
cermin-cermin itu dipecahkan!
So, do you speak Pluralism? Do you speak Environmentalism?
Feminism?, Queer? Kita sedang berbicara tentang “politics of recognition”. Dan
itu berarti pemihakan pada mereka yang tersisih oleh kekuatan-kekuatan
kekuasaan, kapital dan kebudayaan. Dasar etis dari “politik pengakuan” ini
adalah bahwa suatu kelompok yang tersisih hanya karena kedudukannya yang
“minoritas” dalam masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan istimewa
dari negara. Itulah alasan misalnya bagi pengakuan atas hak “affirmative
action” bagi politik perempuan. Itu juga alasannya keperluan kita membela
hak-hak “queer”, karena orientasi seksual adalah kondisi yang sangat
individual. Negara tidak dapat diperalat untuk menjalankan moral mayoritas.
Didalam diktum yang paling keras, negara
justeru diadakan untuk melindungi kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok
mayoritas yang masih menuntut pengakuan, adalah kelompok yang sebetulnya
bermental minoritas.
IV
Di Republic of Hope
Kita menyelenggarakan Republik bukan karena
keunggulan teoretis dari konsep itu. Kita menyelenggarakan Republik juga bukan
karena asal-usul kebudayaannya. Kita memilih Republik karena hanya sistem itu
yang mampu memelihara kemajemukan kita. Kita menyebutnya Republik Indonesia,
tanpa predikat tambahan, karena hanya itu bentuk maksimal dari persaudaraan
warganegara. Indonesia hanya bersatu dalam nusa, bangsa dan bahasa. Kita tidak
ingin bersatu dalam urusan agama, tatakrama dan busana. Kita menyelenggarakan
Republik agar kita bisa berselisih dalam soal-soal dunia, dan bukan bertengkar
untuk soal-soal akhirat.
Sesungguhnya, negara ini tidak berlokasi di
dalam situs-situs purbakala. Dengan mengucapkan proklamasi kemerdekaan, kita
sekaligus memutuskan untuk bergaul dalam peradaban dunia modern yang dinamis.
Dalam pergaulan global itulah kita melatih akal sehat kita, agar kita tidak
cuma sanggup mencerca tanpa arah, atau marah ke segala arah. Reaksi-reaksi
primitif itu hanya akan menguras enersi mental kita, untuk akhirnya menyerah
pada kecepatan pikiran dunia.
Di situlah suatu bangsa memerlukan
kepemimpinan politik visioner. Kepemimpinan yang cerdas, yang mampu
membangkitkan imajinasi rakyat. Kecanduan pada kekuasaan adalah hal yang biasa
bagi seorang pemimpin. Tetapi kecanduan yang tidak menimbulkan imajinasi pada
rakyat, adalah kecanduan seorang pemimpin medioker. Kekuasaan memerlukan
kecerdasan agar arah peradaban bangsa dapat dibayangkan dalam suatu psikologi
harapan. Tetapi kesempatan untuk memperoleh psikologi itu kini tidak lagi
tersedia, karena dari kepemimpinan serba-tanggung tidak mungkin terbit gagasan
serba agung. Bangsa ini sekarang kehilangan imajinasi tentang sebuah Republic
of Hope, dan kekosongan itulah yang kini diisi oleh para ahli akhirat.
Pepatah Itali mengingatkan: “Bila akal sehat
tertidur, maka para monsterlah yang menguasai malam”. Kepemimpinan yang gagal
mengaktifkan akal sehat, bertanggung jawab terhadap munculnya Republic of Fear.
Ekonomi dapat bertumbuh tanpa kebijakan pemerintah, tetapi keamanan warganegara
dan keadilan sosial menghendaki pemihakan negara. Tanpa pemihakan itu, Republic
of Fear akan tumbuh melampaui Republic of Hope.
Kita memelihara Republik, karena hanya dalam
ruang politik itulah pikiran individu memperoleh kesempatan untuk diperiksa
secara publik. Pikiran yang tidak dapat diperiksa di depan publik, adalah
pikiran yang membahayakan Republik. Kita memelihara Republik karena kita ingin
hidup dalam kesetaraan, kemajemukan dan keadilan. Marilah merawat Republik
dengan akal sehat, agar para monster tidak menguasai malam, agar kita dapat
nyenyak sepanjang malam. Karena besok, ada tugas menanti di Republic of Hope.
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar