Label

Rabu, 29 Mei 2013

Konser Musikalisasi Puisi

Konser musikalisasi puisi bersama Intan Pertiwi dkk di Acara Bedah Buku Mazmur Musim Sunyi karya Sulaiman Djaya di UPI Bandung 18 April 2013. 





Jumat, 24 Mei 2013

Dari Bedah Buku Mazmur Musim Sunyi

Mia Indria Di Acara Bedah Buku Mazmur Musim Sunyi, Aula PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 15 Mei 2013 

Asep Bahri dan Encep Abdullah Menyenandungkan Dua Puisi karya Sulaiman Djaya: Memoar dan Entah Apa Namanya 
Mia Indria dkk Di Acara Bedah Buku Mazmur Musim Sunyi, Aula PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 15 Mei 2013 

Mia Indria dkk Di Acara Bedah Buku Mazmur Musim Sunyi, Aula PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 15 Mei 2013

Kamis, 23 Mei 2013

Ketika Membaca Sajak-sajak Rendra


Banten Raya 11 Mei 2013 

Oleh Sulaiman Djaya

Kami duduk berdua di bangku halaman rumahnya. Pohon jambu di halaman rumah itu berbuah dengan lebatnya, dan kami senang memandangnya. Angin yang lewat memainkan daun yang berguguran. Tiba-tiba ia bertanya: “Mengapa sebuah kancing bajumu lepas terbuka?” Aku hanya tertawa. Lalu ia sematkan dengan mesra sebuah peniti menutup bajuku. Sementara itu aku bersihkan guguran bunga jambu yang mengotori rambutnya (Episode, Wahyu Sulaiman Rendra).  Setelah para cukong berkomplot dengan para tiran, setelah hak asasi di negara miskin ditekan demi kejayaan negara maju, bagaimanakah wajah kemanusiaan? Di jalan orang dibius keajaiban iklan, di rumah ia tegang, marah dan berdusta. Impian mengganti perencanaan. Penataran mengganti penyadaran (Sajak Tahun Baru 1990, Wahyu Sulaiman Rendra).

Saya membaca karya-karya Rendra ketika saya menjadi mahasiswa di Ciputat, terutama Empat Kumpulan Sajak, Potret Puisi dalam Pembangunan, Orang-Orang Rangkasbitung, dan Balada Orang-Orang Tercinta. Sejumlah sajak yang bagi saya lebih merupakan protest terhadap rezim kekuasaan yang suka membuat daftar larangan, dan secara bersamaan, adalah vitalitas suara yang mengekspressikan pembelaan-pembelaan untuk orang-orang pinggiran yang selama masa paling produktif kepenyairan Rendra paling banyak merasakan efek samping eksekusi kebijakan. Yang lainnya adalah sejumlah penolakan terhadap sikap politik dan kebijakan ekonomi pem-beo-an. Dan Rendra bagi saya adalah vitalitas dan perlawanan itu sendiri.

Tapi tentu tidak sebatas itu saja, sebab Rendra adalah seorang penyair yang memiliki kepekaan sekaligus kepedulian luar biasa pada kenyataan-kenyataan palsu, sikap dan tingkah-polah pem-beo-an, pembodohan dan politik pengekangan sekaligus pengekangan politik dalam institusi-institusi sosial, birokrasi, dan pendidikan, pem-beo-an dan pembodohan yang menurut Rendra merupakan salah satu penyebab matinya kreativitas dan kemandirian: Orang hanya bisa digerakkan, tapi kehilangan daya geraknya sendiri. Ia hanyalah babi ternak yang asing terhadap hidupnya sendiri. Rakyat menjadi bodoh tanpa opini. Di sekolah murid diajar menghafal, berdengung seperti lebah, lalu akhirnya menjadi sarjana menganggur. Di rumah ibadah orang nerocos menghafal, dan di kampung menjadi pembenci yang tangkas membunuh dan membakar. Para birokrat sakit tekanan darah, sibuk menghafal dan menjadi radio. Kenapa pembangunan tidak berarti kemajuan? Kenapa kekayaan satu negara membuahkan kemiskinan negara tetangganya? Peradaban penumpukan tak bisa dipertahankan (Sajak Tahun Baru 1990) 

Sajak-sajak Rendra adalah suara-suara yang datang dan disuarakan kembali dari latar keseharian dan kenyataan-kenyataan sosial politik Indonesia di masa-masa ia menjalani hidup kepenyairannya yang kadang riang dan kadang menyakitkan. Terlepas apakah isi dan isu protest yang disuarakan Rendra tersebut masih relevan atau tidak untuk saat ini, bagi saya yang menjadi identitas kepenyairan Rendra sekaligus yang mungkin menjadi contoh teladan pada dirinya adalah spirit dan vitalitasnya dalam membela orang-orang pinggiran dan protest lantangnya pada setiap kepalsuan dan penyimpangan politik dan birokrasi. Kadang juga ada kesan dan pencerapan saya sendiri bahwa Rendra juga mengejek secara halus para penyair yang merasa nyaman di menara gading estetika kepenulisan mereka: Isolasi hanya menghasilkan kesendirian tanpa keheningan. Luka orang lain adalah lukamu juga. Juga ejekan kepada mereka yang selama ini mengorbankan bangsanya sendiri: Apa artinya tumpukan kekuasaan bila hidupmu penuh curiga dan takut diburu dendam? Apa artinya tumpukan kekayaan bila bau busuk kemiskinan menerobos jendela kamar tidurmu? (Sajak Tahun Baru 1990).

Di kalangan para penyair sejamannya, Rendra bagi saya adalah seorang penyair-demonstran yang efek sajak-sajaknya mampu memotivasi dan membangkitkan gerakan-gerakan protest kaum muda dan mahasiswa. Ia adalah inspirator yang terjun langsung di lapangan, bukan seorang inspirator yang bersuara dari dalam kamar. Ia liar seperti Leopard, tangkas dan percaya diri seperti Elang, dan tentu saja romantis ala ningrat dan pangeran Jawa. Dan di atas semuanya itu, Rendra bagi saya adalah seubuah wawasan, sebuah sikap dan cara pandang seorang manusia dalam hidup. Bahwa kepenyairan adalah komitmen dan kepedulian pada kenyataan dan keseharian hidup itu sendiri. Tentang keberanian untuk bersuara keras dan terus terang atas nama orang-orang yang “dipinggirkan” dan “terpinggirkan”, atas nama kejujuran untuk mengkritik dan menolak korupsi dan penyimpangan-penyimpangan yang merugikan dan membuat orang banyak menanggung penderitaan.

Dan juga, masih dalam apresiasi subjektif saya, dualitas protest-kritiknya atas dan terhadap mentalitas dan politik bangsa ini menjadikan sajak-sajaknya sebagai suara-suara protest dan kritik yang adil dan imbang. Ia mengkritik dan memprotest pembangunanisme yang berubah menjadi kesemena-menaan dan pembodohanisme sekaligus dan bersamaan. Dan pada saat itu pula ia mengkritik mentalitas kemalasan, mudah menyerah, dan sikap tak mau berjuang terhadap dan atas orang-orang yang taat begitu saja pada mesin “kepatuhan rezim kekuasaan” yang koruptif dan menyimpang, kritik yang disuarakannya dengan lembut dan halus, dengan modus satir tersembunyi melalui mulut seseorang yang berdoa: Lindungilah mereka dari kesabaran yang menjelma menjadi kelesuan, dari rasa tak berdaya yang kehilangan cita-cita..../....Lindungilah mereka dari berhala janji-janji, dari hiburan yang dikeramatkan, dari iklan yang dimythoskan, dan dari sikap mata gelap yang diserap tulang kosong (Doa untuk Anak Cucu).

Tetapi tentu saja saya merasa hambar dan tidak lengkap bila saya hanya mengungkapkan kesan pecerapan saya atas sajak-sajak kritik dan protestnya. Karena bagaimana pun saya tak bisa melupakan sentuhan lembut lirisisme sajak-sajak di masa mudanya yang romantis, layaknya lantunan-lantunan mazmur, seperti ketika saya membaca sajaknya yang berjudul Episode: Kami duduk berdua di bangku halaman rumahnya. Pohon jambu di halaman rumah itu berbuah dengan lebatnya, dan kami senang memandangnya. Angin yang lewat memainkan daun yang berguguran. Tiba-tiba ia bertanya: “Mengapa sebuah kancing bajumu lepas terbuka?” Aku hanya tertawa. Lalu ia sematkan dengan mesra sebuah peniti menutup bajuku. Sementara itu aku bersihkan guguran bunga jambu yang mengotori rambutnya.

Deskripsi dan pelukisan detil tubuh, gerak, dan kata-kata dalam sajak tersebut membuat saya seolah-olah tengah menonton sebuah adegan film drama-romantis yang bercerita tentang sepasang kekasih yang duduk berduaan di dipan sebuah taman depan rumah si perempuan. Dan Rendra memang mahir melukiskan detil, suasana, dan kiasan yang indah dan padat dalam sajak-sajaknya. Kepadatan kiasan, detil, dan suasana yang juga dicontohkannya dengan baik dan kuat dalam sajak yang berjudul Episode itu. Setelah membaca sajak tersebut saya seolah telah menonton sebuah sandiwara ala Romeo dan Juliet-nya William Shakespeare yang kemudian membuat saya berkhayal tentang hal-hal yang romantis dan mesra dengan seorang perempuan, seorang mahasiswi ketika itu. Sebuah adegan yang intim dan menyentuh perasaan saya sendiri ketika membacanya. Dan tentu saja sajak tersebut terasa kontras dengan sajak-sajak kritik dan protestnya yang lantang, sinis, sarkastis, dan mengandung amarah. Tapi meski begitu, saya harus mengakui bahwa yang romantis dan yang sarkastis tersebut adalah sama-sama bahasa dan kata-kata sajak-sajaknya Wahyu Sulaiman Rendra, seorang penyair dan dramawan yang dulu bernama Willi(y)brodus Surendra Rendra. 

Senin, 06 Mei 2013

Geliat Sastra di Banten


Oleh Budi Sabarudin

Sejak tahun 2000-an, setidak-tidaknya iklim kepenulisan dan kesusastraan di Banten terasa lebih bergairah dibanding era sebelumnya, terutama dalam dunia kepenyairan. Saat ini sudah muncul nama-nama penyair muda yang telah menyumbangkan warna dan suara tersendiri dalam dunia kepenulisan dan kepenyairan di Banten.

Sulaiman Djaya, penyair dan budayawan di Banten mengatakan penyair-penyair muda itu di antaranya Irwan Sofwan, Halimah Tusya Diah, Wulan Widari Endah, Wahyu Arya Wiyata, Rozi Kembara dan Sumala Djaya. “Nama-nama yang telah saya sebutkan itu sudah mempublikasikan karya-karyanya di media-media yang ada di Banten, Jakarta, Bandung dan beberapa daerah lainnya. Mereka telah menyumbangkan warna dan suara tersendiri dalam dunia kepenulisan dan kepenyairan di Banten,” ungkapnya.

Salah satunya Rozi kembara dan Wahyu Arya Wiyata yang telah mempublikasikan puisi-puisi mereka di Majalah Sastra Horison, sedangkan Irwan Sofwan telah menyiarkan puisi-puisinya di Harian Pikiran Rakyat. Sementara itu Sumala Djaya mempublikasi beberapa cerita pendeknya di Majalah Hai, selain tentu saja nama-nama yang telah saya sebutkan itu juga mempublikasi karya-karya mereka di Harian yang terbit di Banten semisal Kabar Banten (dulu Fajar Banten) dan Radar Banten, dua Harian di Banten yang setahu saya masih mempertahankan rubrik sastra dan budayanya.

Diakuinya, secara tradisi, gairah dan geliat kepenulisan dan kesusastraan tak bisa dilepaskan dari keberadaan komunitas-komunitas yang menjaga dan memelihara semangat dan kerja-kerja kepenulisan dan kesusastraan di Banten. Sebutlah Kubah Budaya, Rumah Dunia, dan belakangan juga teman-teman yang menerbitkan berkala Tabloid CIKAL yang menampung karya-karya kreativitas anak sekolah, mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Juga, gairah dan geliat tersebut tak lepas dari peran-peran individu yang memiliki komitmen pada dunia kepenulisan dan kesusastraan di Banten. Di sini kita bisa menyebut nama-nama semisal Moh. Wan Anwar (Alm.), Toto ST. Radik, Arip Senjaya, Gol A Gong dan sederet nama lain.

Kesalingterkaitan antara tradisi yang ingin diciptakan komunitas dan kreativitas individual tak bisa dinafikan. Bahwa benar kreativitas individual kadangkala tak meniscayakan keberadaan komunitas secara mutlak, tetapi bagaimana pun sebuah institusi akan lebih menambah point tersendiri sebagai keberlangsungan kerja-kerja kepenulisan dan kesusastraan. Begitu pula, kerja-kerja dan kreativitas kepenulisan dan kesusastraan yang disokong dan diimbangi dengan spirit intelektualisme dan spirit membaca akan menyumbang pada kekuatan dan kualitas kerja-kerja kepenulisan. Kita tak bisa menafikan bahwa kemajuan dan perkembangan sebuah kebudayaan akan sangat terkait dengan diskusi dan kekayaan wawasan.

“Untuk kasus Banten, geliat dan gairah kepenulisandan kesusastraan yang telah saya maksudkan itu meluas juga hingga ke kampus-kampus yang ada di Banten, semisal Universital Sultan Ageng Tirtayasa dan Institut Agama Islam Negeri Banten, sekedar mencontohkan dua nama saja,” katanya.

Meski demiian lanjut dia, tentulah masih terlampau dini bagi kita untuk bergembira. Terlebih di beberapa segi, gairah kepenulisan dan kesusastraan di Banten terasa masih bersifat artifisial semata, untuk tidak menyebut belum matang dan dewasa. Hal ini tentu saja berbeda dengan iklim yang hidup di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, dan mungkin daerah lain yang lebih aktif dan beragam. Bahkan kita mungkin mesti berendah hati dan mengakui bahwa kehidupan kebudayaan dan kesenian di Banten dalam beberapa hal memang masih awam. Begitu pula, belum saatnya para penulis atau para penyair yang datang dari generasi lebih muda mestilah masih harus membuktikan dedikasi dan kekuatan karya-karya mereka di tahun-tahun mendatang, bukan malah langsung berpuas diri.

Ketika ditanya tentang kritik seni, Sulaiman Djaya mengatakan aktivitas kehidupan dunia kepenulisan dan kesusastraan meniscayakan juga keberlangsungan kritik dan diskusi, yang dengan itu sebuah kehidupan kepenulisan dan kebudayaan senantiasa mau mengoreksi diri secara simultan dalam rangka membangun dan memajukan gairah dan kerja-kerja kebudayaan itu sendiri.” Tanpa kritik dan diskusi, seringkali kita malah lupa diri, tak mampu melihat kekurangan dan kelemahan kita sebagai insan-insan kesenian. Selain itu, gairah untuk membaca dan menggali wawasan sebanyak mungkin tentu akan memperpanjang dan menambah usia serta kekuatan nyawa kreativitas dalam dunia kepenulisan.”

Dia menegaskan, keberlangsungan gairah dan kerja-kerja dalam dunia kepenulisan dan kesusastraan hanya bisa diukur dan tercermin lewat dan dari produktivitas dan kualitas karya-karya yang lahir dari rahim keresahan dan kegelisahannya. Demikian pula, keberadaan forum-forum selebrasi mestilah lebih dipahami sebagai wadah apresiasi, dimana yang akan menjadi pembaca sebenarnya adalah mereka yang membeli karya-karya kita, hingga mampu menghadirkan dan mengkomunikasikannya secara representatif dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik pembaca.***

(Sumber: Kabar Banten 03 Januari 2011)

Kamis, 02 Mei 2013

Sunyi yang Membentuk Sajak


Banten Raya 27 April 2013

Oleh Bagus Burham*

Setiap musim selalu menanggalkan tandanya untuk tetap dinikmati oleh musim yang lain setelahnya. Itulah kesan saya pada buku puisi “Mazmur Musim Sunyi” gubahan Sulaiman Djaya. Di sini penyair menggarap peta jalan cerita hidup yang penuh dengan kesunyian. Sajak-sajak yang terangkum dalam buku ini menyoalkan seputar hidupnya yang diselubungi oleh cinta. Banyak sajak yang memperbincangkan masalah cinta yang disusun penuh dengan metafor-metafor yang seakan hidup dan mempunyai makna yang arif dan kaya. Di sinilah kerja yang baik dari penyair itu. Berpuisi secara total hingga melahirkan sajak-sajak yang mempunyai album sendiri di hati pembacanya.

Buku ini juga memiliki daya pikat pada setiap gaya bahasa yang ditampilkan. Personifikasi yang secara lembut mendaras di dalamnya dengan penggunaan tipografi kontemporer ataupun kotak rapi –yang kadang berada pada tubuh sajak-sajak naratifnya– serta-merta membawa kita terus mengulangi membaca sajak-sajak yang halus dan renyah untuk diambil kiasan-kiasan yang dimilikinya. Namun bukan berarti kita mencuri. Kita tidak sedang membicarakan ajaran TS Eliot di sini. Maksud saya kita akan disuguhi berbagai pilihan kata-kata untuk bagaimana menyusun sajak yang baik dengan menggunakan paradoks, silogisme dan menyatukannya dengan realitas, yang dengannya akan menimbulkan efek yang mengena dan terasa enak. Dikhususkan pada para peminat puisi yang ingin lebih menggeluti dunia perpuisian yang semakin bertambah ramai dengan munculnya buku sajak ini.

Judul dalam buku ini memang sangat klop dengan isi di dalamnya. Banyak kata-kata yang bernyanyi yang berasal dari pikiran penulis, tergubah dengan sangat merdu. Ia juga hadir membawa nuansa romantik yang sudah lama, namun terkesan baru jika digubah olehnya. Banyak sajak yang menyoal cinta, namun cinta itu tak kelihatan secara gamblang pada sajak-sajak yang diruwatnya. Seperti Rubayyat Dua Mastnawi, Surat Cinta, Rubayyat Cinta, Kotak Cinta Bulan April, Menulis Sajak Romantis, dan masih banyak lagi sajak srupa yang bernafaskan cinta.

Sajak-sajak dalam buku ini tak memerlukan perundingan yang sangat panjang untuk memahaminya. Pembaca tak harus mempunyai kekayaan literatur yang melimpah untuk mengerti isi dalam sajak-sajak buku ini, sebab bahasa yang dipilinkan dalam sajak-sajak yang terangkum di buku ini adalah bahasa sehari-hari yang sederhana dan sangat menyenangkan bagi para peminat tema cinta, terutama puisi.

Usaha Menyambung para Pendahulu


Seperti pengantar yang terangkum pada buku sajak ini yang ditulis oleh Sulaiman Djaya, ia hanya memungut kembali puing-puing keruntuhan, batu bata yang ia miliki dan ditumpuknya di atas sekian batu bata milik para penulis dan pemikir terdahulu. Dalam kecendekiaan yang di milikinya, ia meminjam pandangan ini dari Bataille dan Derrida. Bahwa apakah dengan menulis ia sebenarnya tengah mencari identitas, hanya waktu dan perjalanannya di dunia puisi yang akan menjawabnya.

Puisi seperti halnya mesin foto kopi, telah menyetak-melipat gandakan usaha-usaha untuk terus melanjutkan apa yang telah diperbuat oleh para pendahulu terhadap puisi. Meski usaha itu tak pernah diproklamirkan seorang penyair di dunia ini, namun bagi mereka yang berhasrat ingin mewarisi tekad itu, maka dengan meninggalkan tanda berupa tinta kerjanya, ia akan dikenang dan dikenal sebagai penyair, meski ia mengakui itu atau tidak pada dirinya. Inilah jalan puisi itu. Puisi yang bagi sebagian orang hanya angin lalu, diucapkan bila merasa patah hati, atau tengah iba dengan keadaan sekitar, semisal masalah sosial dan kemiskinan adalah seperti kulit kuaci yang terbuang semenjak isinya digigit mulut. Namun masyarakat penyair yang hidup di bawahnya sadar akan jalan yang mereka pilih. Demi tercapainya sebuah estetika yang terus harus dilanjutkan oleh generasi muda; generasi penerus. Maka puisi akan terus hidup dalam rutinitas dan kesehariaan hingga penyair terakhir telah tahu takdirnya di hari akhir.

Judul : Mazmur Musim Sunyi
Penulis : Sulaiman Djaya
Penerbit : Kubah Budaya
Cetakan : I,Januari 2013
Tebal : 105 halaman
ISBN : 978-602-19376-2-4

*Penikmat dan penulis puisi. Bergiat di Komunitas Kopi, Kudus, Jawa Tengah.