Label

Jumat, 29 Agustus 2014

Empat Hal Tentang Puisi


Banten Raya, 30 Agustus 2014 (Hal.11)

Oleh Nazar Shah Alam (Penyair), tinggal di Aceh

Saya pernah membaca dan mendengar banyak sekali teori tentang puisi yang baik dan benar, namun saya simpulkan saja seperti ini: Sebuah puisi yang bagus adalah puisi yang tidak pergi jauh dari unsur pembangunnya. Untuk menembus koran, salah satu caranya adalah dengan menciptakan puisi yang bagus. Bagaimana membuat sebuah puisi yang bagus, sebenarnya ini masalah selera. Orang acap berbeda selera bacaannya, bukan? Jadi untuk menentukan bagus atau kurang bagusnya sebuah karya sama saja seperti menentukan bagus mana lagu dangdut dan pop pada dua orang yang masing-masing menyukai salah satunya. Sulit sekali dan tidak memiliki titik temu yang jelas. Namun itu, setidaknya ada beberapa cara untuk menilai bagus-tidaknya sebuah puisi dengan berpijak pada landasan teori dasar penciptaan puisi sebuah puisi. Puisi memiliki aturan tertentu yang kadang acap dibelakangi oleh penyair-penyair sekarang. Di antara yang banyak yang sudah dibelakangi itu, ada  beberapa aturan yang mau-tidak mau tetap dituruti. Dari situlah kemudian kita mulai menilai sebuah puisi.

Diksi

Penggunaan diksi adalah seni dalam sebuah puisi. Kata-kata yang dipilih diharapkan bisa memperindah dan menegaskan puisi tersebut. Diksi erat sekali kaitannya dengan kata kongkret (kata yang mampu memunculkan imaji) dan permajasan (kiasan). Diksi yang digunakan tentu mesti sesuai dengan kebutuhan puisi, tidak berlebihan dan kemudian “menggelapkan puisi segelap-gelapnya” hingga sulit sekali dipahami. Perbandingannya seperti ini:  matahari jatuh ke pusat peradaban // menghancurkan geliat musafir jengah //seperti cerobong telinga menitih hamparan laut.

Puisi tersebut menggunakan kata-kata yang dipilih dengan pertimbangan menggunakan kata-kata puitik. Namun sebenarnya puisi ini kurang baik karena terasa sangat berlebihan menggunakan diksinya. Pembaca kesulitan menemukan makna dari rangkaian kata-kata dalam puisi tersebut. Bandingkan dengan puisi ini: Kabut saban waktu mengerubungi langit // saban waktu menggelapi matahari // berbenah pada musim ini // membuat tubuh sedikit melipir // sedikit menguras keinginan // Desau selalu terdengar // Menyeruak hingga labirin telinga // menyusupkan rayuannya (Cerita di Musim Lindap, Afzhal Putra Armi, Serambi Indonesia, 18 September 2011)

Pemaknaan dari diksi yang digunakan boleh jadi penulis sedang ingin meninggalkan suatu masalah, namun tetap saja tergoda dengan masalah yang sama. Diksi yang terpilih dan bisa dimaknai secara gamblang atau tersirat. Inilah yang dimaksud penggunaan diksi yang tepat. Pada potongan puisi Kepada Tangse karya Makmur Dimila yang dimuat di Serambi Indonesia, 13 Maret 2011 berikut menggunakan kata kongkret dan permajasan yang bagus sebab mampu memunculkan imaji dan kesan yang bagus pada pembaca. Kemarin, kamu menangis // air mata cokelatmu mengalir deras, begitu maha, // menyapu tuan-tuanmu sampai mereka tak berdaya bergulir ke ujung kakimu // dan dengan liur kuning, kamu jilat tuan-tuanmu hingga mereka // singsing celana mau mengungsi; entah ke mana

Selain itu, dalam penggunaan diksi, anomatope (tiruan bunyi) yang berlebihan juga agak mengganggu. Barangkali banyak orang tidak mempermasalahkan hal ini, sebab ini masalah selera kembali. Namun, tentunya hal tersebut rasanya puisi tersebut asal-asalan. Puisi adalah sebuah karya sastra yang menginginkan keindahan, kelugasan, dan kesan di dalamnya ketika dibaca. Maka menggunakan diksi yang sesuai dan tak berlebihan dengan keinginan puisi tersebut sangat menentukan bagus atau kurang bagusnya puisi tersebut.

Tema

Sebenarnya dalam puisi mana pun tema yang diangkat tidak terlalu perlu dipermasalahkan. Mungkin bila tujuannya adalah koran, tentunya puisi yang diciptakan mengikuti selera koran. Tema cinta sedikit sekali ruang untuk koran, tentunya. Namun hal tersebut tidak mutlak, sebab ada juga puisi bertema cinta yang dimuat di koran. Sebut saja salah satunya puisi  Surat Cinta karya Sulaiman Djaya yang dimuat di Koran Tempo, 08 Januari 2012. Bayangkan, di sebuah taman, // aku duduk menunggu // dan kau tersenyum, berpayung hitam, // meski tak ada hujan. // Di sebuah langit yang mendung // atau di sebelah November yang agak ungu, // kita sekedar bertukar kata, tentang apa saja: // tentang seorang malaikat, yang, entah kenapa // ingin menjual sepasang sayapnya // karena bosan mengembara seperti kita.

Tentu saja tema cinta tersebut mesti diracik sedemikian rupa agar mampu menembus dominasi tema sosial di koran-koran. Puisi cinta yang berbicara tentang diri memang banyak sekali ditemui, apalagi pada para remaja. Walaupun demikian, puisi cinta yang puitik tetap memiliki ruangnya sendiri dan tetap mesti patuh pada aturan. Tema puisi yang baik adalah tema yang tidak melihat kepentingan diri belaka di dalamnya, melainkan juga bisa menggugah orang lain yang membacanya.

Rima

Pada dasarnya puisi kontemporer sudah tidak lagi terikat dengan rima, irama, persajakan, atau bait. Hanya saja, kemudian puisi itu menjadi lebih indah dibaca bila rimanya teratur dan rapi. Penggunaan rima dalam puisi kontemporer tentu berbeda dengan penggunaan rima pada puisi lama. Untuk puisi kontemporer, rima yang digunakan lebih terbuka dan tidak begitu mengekang. Kita bisa lihat contohnya dalam puisi Sajak Sebelum Tidur, Nash Al Mayra yang dimuat di Serambi Indonesia, 26 Juni 2011 berikut: Bersama sepotong sepi, hujan pecah jadi puisi // Buntal awan gerayangi langit jengkal ke jengkal // Bersama sepotong sunyi, malam pulang sendiri // Dan awan mengajak ruh memintal mimpi // Aku melihat puisi membaca dirinya sendiri // Dan di sana ia jadi apa pun jadi

Puisi tersebut berima, tapi tidak secara keseluruhan. Sangat berbeda dengan puisi lama yang diketahui salah satunya pantun. Rima dalam puisi lama bersifat mengikat dan mutlak.

Tipografi

Tata wajah (tipografi) puisi pada era kontemporer sudah sangat bebas. Untuk puisi-puisi tertentu tipografi memang sangat berpengaruh. Namun tipografi yang banyak digunakan adalah bentuk Spon, seperti pantun namun tidak terikat jumlah baris. Puisi pada masa kontemporer kadang hanya satu baris saja, satu kata saja, atau kadang isyarat dengan gambar saja. Namun itu, lazimnya penulis menulis puisi beberapa baris. Ini bergantung pada kemauan penulis atau perasaan penulis dalam menulis puisinya. Dalam puisi Tanya Bumi karya Hamdani Chamsyah, penulis memakai bentuk spon. Salahkah jika kami murka? // Sedang kalian  menganiaya // Membunuh tanpa rasa.

Bentuk puisi yang bermain dengan tipografi lainnya adalah seperti puisi Makmur Dimila, Pesan Petir pada Kampus Biru yang dimuat di Harian Aceh, 8 Januari 2011 yang menggunakan gaya prosa. Kau duduk merebah tubuh pada kursi goyang, mengepul awan rokok, di bibir jendela, mengarang kebahagiaan fana, pada malam muda. Kau lihat langit pekat membentang. Tak ada gemintang. Tiada pula bayanganku yang duduk bersandar di lengkungan bulan sabit. Sudah Januari, kau menanti sejak September. Penantianmu tergapai. Dan, petir meledak pada dinding langit. Kau tumbang. Mulut mengucap, aku tak dengar isinya. Hanya kutahu, cahaya petir menyampaikan pesan. Pesan yang sederhana: aku mulai membencimu petinggi kampus biru!

Bentuk wajah dalam penulisan sebuah puisi terkadang memiliki makna tersendiri: cara baca, ungkap, maksud, dan style. Secara keseluruhan bentuk wajah tidak begitu mengikat mesti seperti ini atau itu. Puisi sudah sangat luas dimaknai. Ini menyangkut selera, ruang, gaya, dan tujuan saja sebenarnya. 


Minggu, 17 Agustus 2014

Puisi-Puisi Nizar Qabbani




Peramal (Qariul Finjan)

Dengan mata yang cemas
dia duduk
merenungi gelas yang terbuka
kemudian berkata,
“tak usah bersedih, anakku
kau telah ditakdirkan untuk jatuh cinta.”
anakku, siapa pun yang mengorbankan dirinya
untuk kekasihnya
adalah seorang martir.

telah lama kupelajari ramalan
namun tak pernah kubaca gelas seperti milikmu
telah lama aku belajar ramalan
dan tak pernah kulihat penderitaan
seperti penderitaanmu
kau telah ditakdirkan
terus berlayar dalam lautan cinta
kehidupanmu telah ditakdirkan
menjadi buku air mata
dan terus terpenjara
di antara api dan air

namun di balik seluruh kepedihan
di balik kesedihan yang mengurung kita
siang dan malam
di balik angin
udara yang basah
dan hembusan siklon
ada cinta, anakku
yang akan tetap
menjadi hal terbaik
dari sebuah takdir

akan ada seorang perempuan
dalam hidupmu, anakku
maha besar tuhan!
matanya sungguh indah
mulut dan desah tawanya
dipenuhi bebungaan dan melodi
kecintaan dan kegilaannya pada kehidupan
melingkupi dunia

seorang perempuan yang kau cintai
adalah seluruh duniamu
namun langitmu akan tetap mendung
jalanmu tertutup,
tertutup, anakku

kekasihmu, anakku
tertidur dalam istana
yang dijaga ketat
siapa pun yang mencoba
mendekati dinding-dinding tamannya
atau memasuki ruangannya
dan menawarkan diri padanya
atau mengurai sanggulnya
hanya akan membuatnya musnah
hilang, anakku

kau akan mencarinya ke manapun, anakku
kau akan bertanya pada gelombang laut
kau akan bertanya pada pantai
kau akan mengarungi samudra
dan air matamu mengalir seperti sungai
dan di akhir kehidupanmu
kau akan mengetahui bahwa
kekasihmu tak memiliki tanah,
tempat tinggal, ataupun alamat

saat itu kau tersadar
kau telah mengejar
jejak-jejak kabut

akan sulit, anakku
mencintai perempuan
yang tak memiliki tanah
ataupun tempat tinggal


Kita Akan Dianggap Teroris

kita akan dianggap teroris
jika kita berani menuliskan
puing-puing tanah air
yang berhamburan dan membusuk
dalam kemunduran dan kekacauan

tentang sebuah tanah air
yang tengah mencari tempat
dan tentang sebuah bangsa
yang tak lagi memiliki wajah

tentang tanah air
yang tak mewarisi apapun
dari puisi-puisi masa lalunya
yang luar biasa
selain ratapan dan elegi

tentang tanah air
yang tak memiliki apapun
dalam horizonnya

tentang kebebasan
beragam kelompok dan ideologi

tentang sebuah tanah air
yang melarang kita
membeli surat kabar
atau mendengarkan segala sesuatu

tentang sebuah tanah air
yang melarang burung-burung bernyanyi

tentang sebuah tanah air
yang para penulisnya
terpaksa menulis
dengan tinta transparan
agar terhindar dari kekejaman

tentang tanah air
yang menyerupai puisi di negeri kita
disusun, diedarkan, hilang,
dan tak memiliki batasan
dengan lidah dan jiwa orang asing
memisahkan lelaki dan tanahnya
menghapus seluruh keadaan mereka

tentang sebuah tanah air
yang dinegosiasikan di sebuah meja
tanpa harga diri
atau pun sepatu

tentang sebuah tanah air
yang tak lagi memiliki lelaki-lelaki tabah
dan hanya berisi para wanita

kegetiran di mulut kita
dalam kata-kata kita
dalam mata kita
akankah kekeringan juga menjangkiti jiwa kita
sebagai sebuah warisan
dari masa lalu?

tak seorang pun tersisa di negeri kita
bahkan sedikit kemenangan
tak seorang pun berkata ‘tidak’
di hadapan mereka
yang menyerahkan tempat tinggal,
makanan, dan mentega kita
mengubah sejarah kita yang berwarna
menjadi sebuah sirkus

kita tak memiliki satu pun
puisi yang jujur
puisi yang tak kehilangan kemurniannya
di tangan para penguasa harem

kita telah terbiasa terhina
kita tumbuh dengan penuh kehinaan
apakah arti seorang lelaki
jika ia merasa nyaman
dalam keadaan seperti itu?

aku cari-cari buku sejarah
aku cari-cari orang-orang luar biasa
yang akan mengeluarkan kita
dari kegelapan
dan menjaga perempuan-perempuan kita
dari kekejian dan kekejaman

aku mencari lelaki masa lalu
namun yang kutemukan
hanyalah kucing pengecut
yang takut pada jiwa mereka sendiri
dan kekuasaan para tikus

apakah kita dipukul
oleh nasionalisme buta
atau kita menderita
buta warna

kita akan dianggap teroris
jika kita menolak mati
di bawah kekuasaan tirani israel
yang merintangi persatuan kita
sejarah kita
injil dan quran kita
tanah para nabi kita
jika semua itu adalah dosa
dan kejahatan kita
maka terorisme
bukan sesuatu yang buruk

kita dianggap teroris
jika kita menolak
disingkirkan oleh orang-orang biadab,
mongol maupun yahudi

jika kita memilih menghancurkan
kaca-kaca dewan keamanan
yang dihuni oleh raja caesura

kita akan dianggap teroris
jika kita menolak berunding
dengan serigala
dan berbicara pada pelacur

amerika menentang budaya manusia
karena tak memiliki sesuatu
dan melawan peradaban
karena membutuhkan sesuatu
amerika adalah bangunan raksasa
namun tak memiliki dinding

kita akan dianggap teroris
jika kita menolak arus zaman
ketika amerika yang arogan, kaya, dan kuat
menjadi penerjemah orang-orang yahudi


Yerusalem (al-Quds)

Aku menangis
hingga air mataku mengering
aku berdoa
hingga lilin-lilin padam
aku bersujud
hingga lantai retak
aku bertanya
tentang Muhammad dan Yesus

Yerusalem,
O kota nabi-nabi yang bercahaya
jalan pintas
antara surga dan bumi!
Yerusalem, kota seribu menara
seorang gadis cilik yang cantik
dengan jari-jari terbakar

Kota sang perawan,
matamu terlihat murung.
Oasis teduh yang dilewati sang Nabi,
bebatuan jalananmu bersedih
menara-menara masjid pun murung.

Kota yang dilaburi warna hitam,
siapa yang akan membunyikan
lonceng-lonceng makam suci
pada hari Minggu pagi?
siapa yang akan memberi mainan
bagi anak-anak
pada perayaan natal ?

Kota penuh duka,
O, air mata yang sangat besar
bergetar di kelopak matamu,
siapa yang akan menyelamatkan Injil?
siapa yang akan menyelamatkan Quran?

siapa yang akan menyelamatkan Kristus,
siapa yang akan menyelamatkan manusia?
Yerusalem, kotaku tercinta

esok pepohonan lemonmu akan berbunga
batang dan cabangmu yang hijau
tumbuh dengan gembira
dan matamu berseri-seri.
merpati-merpati yang bermigrasi
akan kembali ke atap-atapmu yang suci
dan anak-anak akan kembali bermain

orang tua dan anak-anak akan bertemu
di jalananmu yang berkilauan
kotaku, kota zaitun dan kedamaian.

Nizar Qabbani lahir di Damaskus, 21 Maret 1923. Ia pernah bekerja di Departemen Luar Negeri Suriah dan bertugas di Mesir dan Inggris. Namun, pada tahun 1944 ia tinggalkan pekerjaannya untuk mencurahkan perhatian pada satu-satunya hal yang ia cintai: puisi. Karya-karya Qabbani terdiri dari lusinan antologi puisi yang sangat populer di dunia Arab. Banyak puisinya yang dijadikan lirik lagu para penyanyi Arab kontemporer. Karena sikap politiknya, ia pernah dimusuhi oleh para pemimpin negara-negara Arab hingga terpaksa mengasingkan diri ke London, Inggris. Ia meninggal pada tahun 1998 di London. Diterjemahkan oleh Irfan Zaki Ibrahim.

Sabtu, 16 Agustus 2014

Memadukan Islam, Ilmu dan Kesusastraan

“Paper Diskusi Buku Seelok Kupu-kupu 16 Agustus 2014 di Aula Pondok Darussalam Pipitan, Serang, Banten”

Membaca Buku Seelok Kupu-kupu
Oleh Sulaiman Djaya

Barangkali selama ini banyak dari kita yang memahami atau menganggap Islam hanya sebagai agama yang hanya berkenaan dengan hal-hal yang mahdhah (ritual ibadah) semata, yang dianggap tidak integral dan meremehkan yang ghayru mahdhah (seperti mu’amalah dan siyasah)? Tentu saja tidak. Islam adalah agama yang mencakup kesemua itu. Dalam hal inilah, salah seorang ulama dan filsuf Islam, yaitu Sayid Muhammad Baqir Shadr mengatakan:

“Sesungguhnya syarat utama kebangkitan ummat –ummat manapun- adalah hendaklah mereka memiliki ajaran atau prinsip yang benar yang menentukan baginya tujuan-tujuannya dan meletakkan prinsip-prinsip kejayaannya serta menggambarkan orientasinya dalam kehidupan. Sehingga ia berjalan dalam pelitanya dengan penuh optimisme dan sangat tenang dalam melaluinya, menuju cita-citanya yang mulia, sehingga tujuan-tujuan yang tercermin dalam ajaran tersebut melahirkan pemikiran yang cerah dan suasana spiritual yang baik. Dan yang saya maksud dengan adanya prinsip yang baik dalam ummat adalah: Pertama, adanya ajaran yang benar. Kedua, pemahaman ummat kepadanya. Dan Ketiga, keimanan mereka terhadapnya”(Lihat Syahid Muhammad Baqir Shadr, Syahadat Kedua, Pustaka Zahra 2003, hal. 23).

Sedikit-banyaknya curahan-curahan diaris yang sifatnya personal dan pribadi yang dituangkan oleh Dzu Hanin dalam sejumlah catatan fragmentaris dalam bukunya yang berjudul Seelok Kupu-kupu itu (Dar-insyirah, Sidoarjo 2014) merupakan cerminan kegelisahan pribadi seorang penulisnya sejauh menyangkut Islam yang dipahami dan dihayatinya secara subjektif: “Pacaran?! Ya, orang-orang begitu dengan hal itu terutama kaum muda-mudi yang sedang anget-angetnya menapaki masa keremajaan. Tapi ada juga di antara mereka yang menahan diri untuk tidak berkecimpung ke dalam hobi macam ini. Mereka ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan orang-orang yang belum menikah, hendaklah mereka menjaga kesucian diri, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya (an Nuur: 33)” (Halaman 101).

Dengan catatan diarisnya yang sifatnya personal tersebut, si penulis rupa-rupanya berniat mengkritik dan menyindir kehidupan dan gaya hidup permissive generasi muda saat ini, yang menurut si penulis buku Seelok Kupu-kupu tidak sejalan dengan nilai dan ajaran Islam yang dipahami dan dihayatinya. Dalam konteks ini, saya teringat tulisan-tulisannya Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari seputar isu dan tema tersebut, semisal seputar Hijab, di mana Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari mengkritik dan menganilisis secara kritis kehidupan modern yang acapkali “menggerus” spirit Islam yang hanif, sembari memberi solusi dengan perspektif yang Islami. Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari pun menyatakan degan tegas:

“Tanpa adanya batasan hubungan antara pria dan wanita atau dengan pergaulan bebas tak terbatas, peningkatan serta tuntutan gairah dan rangsangan seksual menjadi tak terpadamkan dan tak akan pernah terpuaskan. Naluri seksual manusia itu sangat hebat, naluri yang mengakar begitu dalam, yang sama dengan kedalaman samudra yang tak dapat diukur. Walaupun orang mengira bahwa dengan menuruti nalurinya, dia akan mampu menjinakkannya, namun sifat pembangkannya akan terus berlanjut. Seperti api, lebih banyak bahan bakar ditambahkan kepadanya, bertambah besar kobarannya” (Lihat Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, Hijab Citra Wanita Terhormat, Pustaka Zahra 2003, hal. 23).

Dapatlah kita tangkap dan kita rasakan bersama, baik Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari maupun penulis buku Seelok Kupu-kupu memiliki konsen dan fokus yang sama, yaitu melakukan kritisisme terhadap budaya modern yang permissive, semisal “pacaran” dan “pergaulan bebas” yang gandrung dilakukan oleh generasi muda jaman ini. Secara pribadi pula, tentulah saya sengaja mengambil contoh dan eksemplar seputar pacaran dan pergaulan bebas yang dikritik Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari dan si penulis buku Seelok Kupu-kupu, karena menurut saya soal ini yang sangat kontekstual dalam kehidupan dan fenomena pergaulan remaja dan generasi muda/i kita saat ini, yang tak hanya di kota-kota, tapi juga sudah jamak merambah dan dilakukan di desa-desa dan di kampung-kampung.

Catatan diaris lain si penulis buku Seelok Kupu-kupu yang berhasil mengajak minat saya adalah sajak diarisnya yang berjudul Ilmu (yang tentulah juga masih berkaitan dengan fokus dan konsen orang-orang muda): “Ilmu adalah teman di kala safar, adalah kekasih di kala sepi. Adalah penyelamat di kala berbicara, adalah pengindah di kala bertingkah”(Halaman 160). Membaca sajak diaris si penulis buku Seelok Kupu-kupu yang berjudul Ilmu tersebut, saya teringat nasehat dan anjurannya Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah tentang posisi penting ilmu (serta akal) dan menuntut ilmu itu. Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkata:

“Ilmu dan pengetahuan adalah akar segala kebaikan. Ilmu adalah warisaan Rasullulah, sedang harta adalah warisan Firaun. Sebab itu ilmu lebih baik dari harta. Engkau harus menjaga hartamu, sedang ilmu menjagamu. Jadi, ilmu lebih utama. Seseorang yang berharta mempunyai banyak musuh, sedang orang yang berilmu mempunyai banyak kawan. Karenanya ilmu lebih bernilai. Ilmu lebih mulia dari harta, karena ilmu akan berkembang bila dibagi-bagikan, sedang harta akan susut bila dibagi-bagikan. Ilmu lebih baik sebab orang yang berilmu cenderung untuk menjadi dermawan, sedang orang berharta cenderung untuk menjadi kikir dan pelit. Ilmu lebih aman karena dia tidak dapat dicuri, sedang harta dapat dicuri. Ilmu lebih tahan lama karena tidak rusak oleh waktu atau sebab dipakai, sedang harta bisa rusak. Ilmu lebih bernilai karena tanpa batas, sedang harta terbatas dan bisa dihitung. Ilmu lebih bermutu karena dia dapat menerangi pikiran, sedang harta cenderung untuk membuat pikiran tidak fokus. Ilmu lebih utama karena dia mengajak manusia untuk mengabdi kepada Tuhan mengingat makhluk-Nya yang lemah dan terbatas, sedang harta mendorong manusia menganggap dirinya sebagai Tuhan dengan memandang rendah orang-orang yang lebih miskin darinya. Kekayaan yang paling besar adalah akal. Akal (kecerdasan) tampak melalui pergaulan, sedangkan kejahatan seseorang diketahui ketika dia berkuasa. Akal adalah raja, sedangkan tabiat adalah rakyatnya. Jika akal lemah untuk mengatur tabiat itu, maka akan timbul kecacatan padanya. Akal lebih diutamakan daripada hawa nafsu karena akal menjadikanmu sebagai pemilik zaman, sedangkan hawa nafsu memperbudakmu untuk zaman. Makanan pokok tubuh adalah makanan, sedangkan makanan pokok akal adalah hikmah. Maka, kapan saja hilang salah satu dari keduanya makanan pokoknya, binasalah ia dan lenyap. Duduklah bersama orang-orang bijak, baik mereka itu musuh atau kawan. Sebab, akal bertemu dengan akal. Tidak ada harta yang lebih berharga daripada akal” (Ghurar al Hikam dan Nahjul Balaghah).   

Juga mengingatkan saya pada anjuran dan nasehatnya Imam Ja’far as Shadiq RA: “Ilmu adalah landasan dari segala hal yang mulia, serta titik tumpu dari setiap maqam (derajat) spiritual yang tinggi. Oleh karena itulah Rasulullah Sang Nabi suci (semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) bersabda, “Telah menjadi kewajiban bagi seluruh Muslim, laki-laki dan perempuan, untuk menuntut ilmu.” Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang menunjang ketaqwaan serta memperkokoh keyakinan” (Shahifah as Shadiqiyyah). Serta mengingatkan saya kepada nasehatnya Imam Muhammad al Jawad RA: “Hendaklah kamu menuntut ilmu. Menuntut ilmu itu wajib. Mengkajinya adalah sunnah. Ilmu adalah tali persaudaran antar sesama saudara. Adalah bukti atas keksatriaan. Adalah mutiara di majelis-majelis. Teman dalam bepergian dan hiburan dalam keterasingan. Ilmu dua macam: dicatat dan didengar. Tidak bermanfaat ilmu yang didengar jika tidak dicatat. Siapa yang mengenal hikmah takkan sabar atas bertambahnya. Keindahan terletak pada lisan dan kesempurnaan terletak pada akal. Sesungguhnya anak Adam mirip sekali dengan timbangan, berat dengan ilmu—dengan akal—atau ringan karena kebodohan. Seandainya orang bodoh diam, umat tidak akan berselisih”.

Akhir kata, karena saya tak ingin menutup bagi para pembaca untuk membaca sendiri buku Seelok Kupu-kupu yang ditulis Dzu Hanin ini, saya hanya ingin menyarankan kepada generasi muda, terutama anak-anak sekolah menengah pertama dan menengah atas, “Anda semua akan menemukan kawan dialog dan curhat ketika Anda membaca dan membuka lembar-lembar buku ini”. Selamat membaca! 


Selasa, 12 Agustus 2014

Puisi Roman dan Kronik Sastra


(Puisi Forough Farrokhzad, Iran) 
(Puisi Allamah Muhammad Iqbal, Pakistan) 
(Puisi Sulaiman Djaya, Indonesia) 
(Puisi Sulaiman Djaya, Indonesia)