Label

Jumat, 29 Agustus 2014

Empat Hal Tentang Puisi


Banten Raya, 30 Agustus 2014 (Hal.11)

Oleh Nazar Shah Alam (Penyair), tinggal di Aceh

Saya pernah membaca dan mendengar banyak sekali teori tentang puisi yang baik dan benar, namun saya simpulkan saja seperti ini: Sebuah puisi yang bagus adalah puisi yang tidak pergi jauh dari unsur pembangunnya. Untuk menembus koran, salah satu caranya adalah dengan menciptakan puisi yang bagus. Bagaimana membuat sebuah puisi yang bagus, sebenarnya ini masalah selera. Orang acap berbeda selera bacaannya, bukan? Jadi untuk menentukan bagus atau kurang bagusnya sebuah karya sama saja seperti menentukan bagus mana lagu dangdut dan pop pada dua orang yang masing-masing menyukai salah satunya. Sulit sekali dan tidak memiliki titik temu yang jelas. Namun itu, setidaknya ada beberapa cara untuk menilai bagus-tidaknya sebuah puisi dengan berpijak pada landasan teori dasar penciptaan puisi sebuah puisi. Puisi memiliki aturan tertentu yang kadang acap dibelakangi oleh penyair-penyair sekarang. Di antara yang banyak yang sudah dibelakangi itu, ada  beberapa aturan yang mau-tidak mau tetap dituruti. Dari situlah kemudian kita mulai menilai sebuah puisi.

Diksi

Penggunaan diksi adalah seni dalam sebuah puisi. Kata-kata yang dipilih diharapkan bisa memperindah dan menegaskan puisi tersebut. Diksi erat sekali kaitannya dengan kata kongkret (kata yang mampu memunculkan imaji) dan permajasan (kiasan). Diksi yang digunakan tentu mesti sesuai dengan kebutuhan puisi, tidak berlebihan dan kemudian “menggelapkan puisi segelap-gelapnya” hingga sulit sekali dipahami. Perbandingannya seperti ini:  matahari jatuh ke pusat peradaban // menghancurkan geliat musafir jengah //seperti cerobong telinga menitih hamparan laut.

Puisi tersebut menggunakan kata-kata yang dipilih dengan pertimbangan menggunakan kata-kata puitik. Namun sebenarnya puisi ini kurang baik karena terasa sangat berlebihan menggunakan diksinya. Pembaca kesulitan menemukan makna dari rangkaian kata-kata dalam puisi tersebut. Bandingkan dengan puisi ini: Kabut saban waktu mengerubungi langit // saban waktu menggelapi matahari // berbenah pada musim ini // membuat tubuh sedikit melipir // sedikit menguras keinginan // Desau selalu terdengar // Menyeruak hingga labirin telinga // menyusupkan rayuannya (Cerita di Musim Lindap, Afzhal Putra Armi, Serambi Indonesia, 18 September 2011)

Pemaknaan dari diksi yang digunakan boleh jadi penulis sedang ingin meninggalkan suatu masalah, namun tetap saja tergoda dengan masalah yang sama. Diksi yang terpilih dan bisa dimaknai secara gamblang atau tersirat. Inilah yang dimaksud penggunaan diksi yang tepat. Pada potongan puisi Kepada Tangse karya Makmur Dimila yang dimuat di Serambi Indonesia, 13 Maret 2011 berikut menggunakan kata kongkret dan permajasan yang bagus sebab mampu memunculkan imaji dan kesan yang bagus pada pembaca. Kemarin, kamu menangis // air mata cokelatmu mengalir deras, begitu maha, // menyapu tuan-tuanmu sampai mereka tak berdaya bergulir ke ujung kakimu // dan dengan liur kuning, kamu jilat tuan-tuanmu hingga mereka // singsing celana mau mengungsi; entah ke mana

Selain itu, dalam penggunaan diksi, anomatope (tiruan bunyi) yang berlebihan juga agak mengganggu. Barangkali banyak orang tidak mempermasalahkan hal ini, sebab ini masalah selera kembali. Namun, tentunya hal tersebut rasanya puisi tersebut asal-asalan. Puisi adalah sebuah karya sastra yang menginginkan keindahan, kelugasan, dan kesan di dalamnya ketika dibaca. Maka menggunakan diksi yang sesuai dan tak berlebihan dengan keinginan puisi tersebut sangat menentukan bagus atau kurang bagusnya puisi tersebut.

Tema

Sebenarnya dalam puisi mana pun tema yang diangkat tidak terlalu perlu dipermasalahkan. Mungkin bila tujuannya adalah koran, tentunya puisi yang diciptakan mengikuti selera koran. Tema cinta sedikit sekali ruang untuk koran, tentunya. Namun hal tersebut tidak mutlak, sebab ada juga puisi bertema cinta yang dimuat di koran. Sebut saja salah satunya puisi  Surat Cinta karya Sulaiman Djaya yang dimuat di Koran Tempo, 08 Januari 2012. Bayangkan, di sebuah taman, // aku duduk menunggu // dan kau tersenyum, berpayung hitam, // meski tak ada hujan. // Di sebuah langit yang mendung // atau di sebelah November yang agak ungu, // kita sekedar bertukar kata, tentang apa saja: // tentang seorang malaikat, yang, entah kenapa // ingin menjual sepasang sayapnya // karena bosan mengembara seperti kita.

Tentu saja tema cinta tersebut mesti diracik sedemikian rupa agar mampu menembus dominasi tema sosial di koran-koran. Puisi cinta yang berbicara tentang diri memang banyak sekali ditemui, apalagi pada para remaja. Walaupun demikian, puisi cinta yang puitik tetap memiliki ruangnya sendiri dan tetap mesti patuh pada aturan. Tema puisi yang baik adalah tema yang tidak melihat kepentingan diri belaka di dalamnya, melainkan juga bisa menggugah orang lain yang membacanya.

Rima

Pada dasarnya puisi kontemporer sudah tidak lagi terikat dengan rima, irama, persajakan, atau bait. Hanya saja, kemudian puisi itu menjadi lebih indah dibaca bila rimanya teratur dan rapi. Penggunaan rima dalam puisi kontemporer tentu berbeda dengan penggunaan rima pada puisi lama. Untuk puisi kontemporer, rima yang digunakan lebih terbuka dan tidak begitu mengekang. Kita bisa lihat contohnya dalam puisi Sajak Sebelum Tidur, Nash Al Mayra yang dimuat di Serambi Indonesia, 26 Juni 2011 berikut: Bersama sepotong sepi, hujan pecah jadi puisi // Buntal awan gerayangi langit jengkal ke jengkal // Bersama sepotong sunyi, malam pulang sendiri // Dan awan mengajak ruh memintal mimpi // Aku melihat puisi membaca dirinya sendiri // Dan di sana ia jadi apa pun jadi

Puisi tersebut berima, tapi tidak secara keseluruhan. Sangat berbeda dengan puisi lama yang diketahui salah satunya pantun. Rima dalam puisi lama bersifat mengikat dan mutlak.

Tipografi

Tata wajah (tipografi) puisi pada era kontemporer sudah sangat bebas. Untuk puisi-puisi tertentu tipografi memang sangat berpengaruh. Namun tipografi yang banyak digunakan adalah bentuk Spon, seperti pantun namun tidak terikat jumlah baris. Puisi pada masa kontemporer kadang hanya satu baris saja, satu kata saja, atau kadang isyarat dengan gambar saja. Namun itu, lazimnya penulis menulis puisi beberapa baris. Ini bergantung pada kemauan penulis atau perasaan penulis dalam menulis puisinya. Dalam puisi Tanya Bumi karya Hamdani Chamsyah, penulis memakai bentuk spon. Salahkah jika kami murka? // Sedang kalian  menganiaya // Membunuh tanpa rasa.

Bentuk puisi yang bermain dengan tipografi lainnya adalah seperti puisi Makmur Dimila, Pesan Petir pada Kampus Biru yang dimuat di Harian Aceh, 8 Januari 2011 yang menggunakan gaya prosa. Kau duduk merebah tubuh pada kursi goyang, mengepul awan rokok, di bibir jendela, mengarang kebahagiaan fana, pada malam muda. Kau lihat langit pekat membentang. Tak ada gemintang. Tiada pula bayanganku yang duduk bersandar di lengkungan bulan sabit. Sudah Januari, kau menanti sejak September. Penantianmu tergapai. Dan, petir meledak pada dinding langit. Kau tumbang. Mulut mengucap, aku tak dengar isinya. Hanya kutahu, cahaya petir menyampaikan pesan. Pesan yang sederhana: aku mulai membencimu petinggi kampus biru!

Bentuk wajah dalam penulisan sebuah puisi terkadang memiliki makna tersendiri: cara baca, ungkap, maksud, dan style. Secara keseluruhan bentuk wajah tidak begitu mengikat mesti seperti ini atau itu. Puisi sudah sangat luas dimaknai. Ini menyangkut selera, ruang, gaya, dan tujuan saja sebenarnya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar