Label

Selasa, 18 Juni 2013

Rimba Warna dalam Mazmur Musim Sunyi


Oleh Mugya Syahreza Santosa*

“Aku selalu punya hitam yang paling lembut, // sebuah rumah dalam kerang // bermahkota kabut. Aku selalu punya dinding // yang senantiasa menggambar waktu.“

Penggalan puisi di atas merupakan pernyataan Sulaiman Djaya (selanjutnya dipanggil SD) sebagai penyair yang berhadapan dengan puisi-puisinya. Puisi dalam diri SD merupakan buah pengembaraannya ke dunia teks untuk menghasilkan kembali sebuah teks lain, meski tak dituntut menjadi hal baru, namun minimal memproduksi sesuatu yang mewujud “rupa baru”. Ini merupakan terusan dari apa yang diutarakan Arip Senjaya dalam epilog buku itu. Meskipun Arip menjelaskan bahwa jejak pembacaan SD dalam hal ini, tidak akan menjamin memperlihatkan tempat pemberangkatannya, melainkan mempertajam puisi-puisi SD itu sendiri.

Padahal, dengan tingkat kepercayaan diri SD yang ragu, pada kata pengantarnya, sang penyair sudah menyatakan bahwa puisi-puisinya mungkin saja lanjutan dari setiap hal yang telah hadir sebelumnya. Baik sebagai ide gagasan, estetika, maupun spiritnya. Saya kira tidak ada yang aneh dengan kesadaran SD akan hal tersebut. Bahkan satu sisi mungkin kesadaran tersebut menjebak sebagai kutukan yang bertahap menghampiri diri seorang penyair.

Akan tetapi tulisan ini, demi menghindari pembacaan yang sama, saya lebih memilih mengincar obsesi SD pada hal-hal yang riil dan seringkali menghiasi puisi-puisinya. Baca saja frasa “Hitam yang paling lembut” di larik pertama puisi SD yang berjudul “Mula Puisi”, yang menyuratkan obsesi SD sebagai penyair terhadap warna. Obsesi sebagai pikiran yang berulang dan menetap, impuls-impuls atau dorongan yang menyebabkan kecemasan. Obsesi itu acapkali muncul di berbagai puisi-puisinya untuk menegaskan di mana di SD sebagai penyair sedang berdiri: yang mengakibatkan adanya panorama yang sedang direnunginya sebagai peristiwa, alur waktu seperti ditegaskannya pada frase berikutnya: “menggambar waktu”, dan kegelisahan lainnya lagi yang kerap hadir menghantuinya.

Rasionalisasi benda-benda pada puisi-puisi Sulaiman Djaya selalu memungkinkannya untuk memaknai obsesi tersebut, seperti tercermin dalam pengakuannya: “benda-benda menggambar cuaca jadi warna”, dan begitu mendambakannya SD pada “kertas merah tua dari senja” hingga puisi akan terus dituliskan di atas hamparannya. Pada puisi berikutnya, yaitu “Di Ruang Baca”, SD semakin mendesak pembaca untuk larut mengiyakan bahwa “hari-hari yang kadang putih” merupakan pemandangan dari mata penyair untuk diterima oleh kita juga. Mengapa bisa demikian? “Karena waktu yang tak pernah bosan // menggambar warna pada bayang-bayang”, yang menurut SD terus ada dalam pikirannya.

Sementara itu, dunia dalam puisinya yang berjudul “Monolog” yang menjadi bagian percakapan penyair dengan bathinnya itu memperlihatkan kembali adanya keraguan untuk menyatakan warna apa yang dirasa pas demi mewakili sebuah nasib yang ditanggungnya? Karena bagi SD “bukan berwarna biru, ungu atau hijau abu-abu”. Ini membuat saya sebagai pembaca harus menerawang dan membayangkan apa yang diwakili warna dalam puisi-puisi SD bisa menjadi sebuah tolok-ukur untuk benda-benda yang sifatnya metafisik.

Akan banyak sekali yang ditemukan dari puisi-puisi yang terhimpun dalam Mazmur Musim Sunyi SD ini, yang secara tanpa sadar menggunakan citraan warna-warna untuk menandakan benda-benda. Sebut saja “putih beludru” dalam puisi “Memoar”, “November yang agak ungu” untuk latar waktu pada puisi “Surat Cinta”, “mendengar putih bintang-bintang”, “tahun-tahun adalah kibasan perak warna kelabu yang jadi biru”, “hijau musim di wajahmu yang matang”, “senja tampak marun”, “langit kuning bulan Mei”, “akhirnya datanglah Desember putih”, dan masih banyak lagi yang lainnya yang kemudian dapat disandingkan dengan penanda waktu.

Mungkinkah SD sedang berusaha meneguhkan dirinya lewat warna-warna yang ada di dunia ini? Agar tidak serta-merta warna-warna tersebut hanya menjadi identitas sebuah produk yang dapat dijual sebagai dagangan semata. Semisal menjadi wilayah fashion, trend, atau hasil industri dan pasaran lainnya lagi. Mungkin puisi yang langsung diberi judul “Elegi Kirmizi” akan memberi sedikit peluang dalam menemukan di mana SD sebagai penyair mengandaikan hidup dirinya “sepekat malam”, hingga pikirannya terobsesi warna-warna di luaran dunia sana.

Lalu perhatian saya berikutnya sebagai pembaca, meyakini latar waktu dalam puisi-puisi SD memiliki peranan ganda yang tidak hanya menjadi durasi, melainkan menjadi ruang beralusi. Jelasnya: “selalu punya dinding yang senantiasa menggambar waktu” untuk dipandangi, dibandingkan kembali bahkan diputar ulang sebagai peristiwa baru lagi untuk dinikmati.

Nama-nama bulan dalam perkalenderan pun banyak diseret oleh SD sebagai sejumlah metafor yang bisa dicampur-baurkan dengan warna-warna, menjadi semacam impressi. Nyanyian Desember adalah puisi yang paling mengesankan semua itu, baik dilihat pada obsesinya pada warna yang terus dihadirkan oleh sang penyairnya, juga latar waktu sebagai alusi. Secara sengaja atau tak sengaja, puisi-puisi SD merupakan bagian dari representasi dari keadaan jiwanya dalam menangkap fenomena di sekitarnya, yang dalam hal ini dituangkan lewat penanda pada jenis warna-warna yang begitu sangat dominan di sebagian besar puisi-puisinya dalam buku Mazmur Musim Sunyi. Kemungkinan SD mengirim lambang-lambang tersebut untuk memperkokoh kelangsungan pilihan katanya.

Cermati saja, betapa sering SD mewakilkan dirinya sebagai penyair dan sebagai seseorang yang senantiasa menghasilkan sebuah karya, yang berusaha bahkan bersaing dengan dirinya sekalipun, dan kadang penuh “kebirahian”. Hingga nampak, misalnya, pada disandingkannya dengan kata “senja”, terus dengan “kata-kata pertama hawa”, dan sebagainya. Barangkali hal itu disadari oleh SD sebagai penyair, namun bisa jadi alam bawah sadar-nya lah yang membimbing dan menuntunnya.

Sementara itu, warna biru, yang menggeliat di sejumlah nafas puisi-puisinya, memberi kesan menenangkan hingga tercapailah “takdir yang bukan biru”. Sehingga SD sebagai penyair meneguhkan dirinya akan nasibnya yang tidak pernah tenang, tidak pernah banyak harapan seperti tergambar dalam perlambang warna ungu, namun juga tak ada keinginan untuk hampa sebagaimana tercermin dalam perlambang “hijau yang abu-abu”.

Ada baiknya saya akan memberikan beberapa pemahaman saya sebagai pembaca akan warna-warna dalam puisi-puisi SD tersebut sebagai sesuatu yang memiliki ruang jiwa yang dapat kita duga. Misalnya pada warna hijau yang selalu mengesankan suatu keinginan, meski di dalamnya ada ketabahan dan kekerasan hati. Sementara untuk warna coklat seringkali memperlihatkan kondisi perebutan, yang kurang toleran, keadaan pesimis pada masa depan adalah wataknya. Dan terakhir, yaitu warna ungu, menjadikan semacam bagian dari bauran warna merah dan biru sebagai ke-erotis-an, dan selalu mempercayai banyak harapan.

Dari pendekatan inilah, saya sebagai pembaca, bisa menarik-ulur apa yang sering diandaikan penyair, yang dalam hal ini SD, untuk melekatkan citraan warna sebebas-suka pada benda-benda yang ada di ruang sekitarnya. Tidak hal yang ganjil, sebenarnya, warna-warna tersebut menjadi semacam jurus, karena beberapa penyair sebelumnya juga menggunakannya. Meski dalam hal ini, rimba warna dalam puisi-puisi SD begitu kentara dan terkonsentrasi begitu kuatnya. Demikianlah pembacaan saya atas buku puisi Sulaiman Djaya, Mazmur Musim Sunyi, sesuai dengan fokus dan tafsir saya yang melihat dan mencermatinya pada “kekhususan” SD sebagai penyair ketika menggunakan perlambang warna-warna dan bulan-bulan dalam perkalenderan. Dalam hal yang demikian itu, SD menuliskan kilauan-kilauan puisi-puisinya lewat dendang dan nyanyian yang sunyi, namun sekaligus bergairah.

*Penyair

Sumber: Tabloid Banten Muda Edisi 17, Juni 2013 

 (Mugya Syahreza Santosa)

Minggu, 16 Juni 2013

Kesahajaan Perlambang Kesejatian



Oleh Ahmad Fadhil*

Dalam situasi yang sangat bersahaja, seorang Ayatullah datang ke IAIN Banten (Senin 12 Maret 2007). Pengantarnya hanya tiga orang, mobilnya model lama, tanpa pengawal, tanpa keriuhan. Padahal, dalam kapasitasnya sebagai orang yang berada di ring satu pemerintahan Iran, pantas jika dia datang dengan mobil merk terbaru dan dikawal bak pejabat negara.

Agenda Prof. Dr. Mehdi Hadavi, nama dan gelar sang Ayatullah, adalah berceramah dalam Studium General Fak. Ushuluddin dan Dakwah. Apakah dia hendak menyebarkan akidah Syiah? Tidak. Dalam hampir satu jam ceramahnya dia mengupas bahwa Islam jauh sekali dari Fideisme yang berslogan, “Imani dulu, baru mengerti.” Slogan Islam adalah, “Mengerti dulu, baru imani.” Islam menyeru penganutnya untuk mendasari iman dengan pengetahuan, sehingga semakin dalam ilmu seorang muslim, semakin dalam imannya. Adanya orang yang berilmu namun tidak beriman tidak menggoyahkan prinsip bahwa seseorang tidak mungkin beriman tanpa berilmu. Inilah resolusi pertama.

Selanjutnya Hadavi menekankan krusialnya peran ulama sebagai suar di masyarakat. Mereka adalah rujukan bagi lapisan mayoritas umat Islam yang tidak sempat memperdalam agama, karena alami bila tidak semua orang menjadi ulama. Mereka harus berperan sebagai poros perkembangan dengan cara tidak hanya menjalankan tugas pengajaran sebagai wacana, tetapi bekerja sekuat tenaga di masyarakat, sehingga ilmu dan iman masyarakat tetap terjaga, dan masyarakat pun tetap berdaya dan berjaya. Ini resolusi kedua.

Resolusi ketiga adalah himbauan untuk memperkaya wawasan, memperkuat kemampuan berbahasa dengan memberi penekanan khusus kepada bahasa Arab sebagai bahasa utama Islam, dan selalu menjawab setiap masalah dengan selalu mempelajari ilmu-ilmu kontemporer dan menjadikan ulama Islam terdahulu sebagai rujukan. Ayatullah berumur 45 tahun ini sudah mengimplementasi himbauan tersebut. Dia lulusan terbaik dalam mata pelajaran Matematika dan Fisika ketika lulus SMU, melanjutkan studi S1 dalam bidang Teknik Elektro, lalu memulai studi di Hauzah Ilmiyah di kota Qom hingga menjadi rujukan dalam baik dalam ilmu-ilmu tradisional seperti fiqih dan ushulnya, tafsir, ulumul hadits, logika, filsafat, maupun ilmu-ilmu modern seperti filsafat ilmu, filsafat seni, dan ilmu ekonomi.

Teladan yang utama tentu saja Nabi Muhammad. Sebagai manifestasi utuh dari al-Quran, atau al-Quran berjalan, beliau menghasilkan generasi ilmuwan yang mampu menelurkan pelbagai cabang ilmu secara langsung dari al-Quran, seperti ilmu fiqih, teologi, dan bahasa. Generasi itu tidak sekadar tidak takut mempelajari ilmu dari mana pun sumbernya, tapi juga menyadari pentingnya mempelajari “ilmu-ilmu lain,” yaitu yang tidak ditarik langsung dari al-Quran, seperti pelbagai cabang ilmu alam dan ilmu sosial yang kita kenal sekarang.

Ceramah yang menarik, tapi yang lebih menarik cara datangnya sang penceramah itu. “Ayatullah ini koq sederhana banget ya. Kalo saya jadi guru besar, kayaknya susah seperti dia.” Saya jadi teringat pada rektor perguruan tinggi ternama yang gelisah karena setiap bulan harus melayat ke rumah guru besar yang meninggal dunia. Dia katakan, banyak guru besar mati muda karena tidak berpola hidup sehat. Tuntutan sosial dan ekonomi bagi para guru besar bertambah, sementara pendapatan mereka tidak bertambah, sehingga sang guru besar sibuk ngojek mengajar ke sana-sini dan ngamen seminar ke mana-mini. “Masa guru besar naik angkot? Ngontrak?” Seolah ketinggian gelar akademik tidak sah jika tidak dibungkus oleh kemewahan duniawi.

Apakah kita dapat menyalahkan kaum intelektual yang ngoyo seperti itu seperti diungkap seorang failasuf, “Sungguh menyedihkan orang yang menghabiskan berpuluh-puluh tahun untuk mengumpulkan emas bagi jiwanya, merasa galau dan gelisah karena tidak sempat mengumpulkan emas bagi  tubuhnya?” Sekarang bukan masanya untuk menyalahkan. Motif mereka ngojek dan ngamen belum tentu untuk mengejar setoran. Selain itu, profesor wa akhawatuha bukan Tuhan, bukan malaikat, bukan Iblis yang tidak makan. Saat mereka balik ke umat pun mereka tahu bahwa umat sulit tertarik pada upaya perbaikan dari doktor yang miskin dan tidak terpandang, dan tidak jarang lebih terpesona pada intelektual gadungan atau “ilmuwan gagal” asalkan kaya dan terhormat!

Menjadi cendikiawan yang secara sadar memilih perikehidupan yang bersahaja lebih sulit daripada menggenggam bara. Menjadi “ilmuwan gagal,” yaitu menjadi seorang terpelajar yang mengarahkan sebelah mata kepada kesejatian ilmu dan mengarahkan mata lainnya untuk mencari kemilau batu-batu mulia, tidak dapat dielakkan. Alhasil, runtuhnya kejayaan ilmu dan iman kita akan terus berlanjut. Inilah kondisi yang harus diubah. Dan, demi perubahan ini, yang pertama harus berubah adalah kaum cendikiawan itu sendiri.

Dari fragmen singkat datangnya sang Ayatullah, saya teringat pada ungkapan-ungkapan yang mengindikasikan bahwa mayoritas cendikiawan Islam hidup bersahaja dan sedikit sekali yang kaya. Asy-Syafi’i mengatakan, “Orang yang menuntut ilmu dengan kerendahan diri, kesempitan hidup, dan pengabdian kepada para ulama, akan lebih berhasil. Aku terbiasa dengan kemiskinan, sehingga aku merasa nyaman dengannya.” Malik mengatakan, “Seseorang takkan meraih ilmu sampai ia menderita karena kemiskinan, namun tetap mengutamakan ilmu daripada yang lain.” Abu Hanifah menganjurkan untuk memutuskan ikatan duniawi dan mengambil sedikit saja yang tidak dapat dihindari. Ahmad mengatakan, “Sabar dalam menuntut ilmu adalah martabat yang hanya dapat diraih orang-orang besar. Miskin lebih mulia daripada kaya. Sabar dalam kemiskinan itu sangat pahit, sehingga tidak cemas oleh kemiskinan lebih mulia daripada bersyukur oleh kekayaan. Aku takkan berpaling dari keutamaan miskin kepada apa pun.” 

Sungguh tiada larangan bagi guru besar untuk kaya, naik sedan termewah, tinggal di rumah paling megah, seperti halnya tiada larangan sama sekali bagi pejabat untuk menjadi orang yang pertama lapar saat rakyat menderita dan terakhir kenyang saat rakyat sejahtera. Tapi sejarah membuktikan bahwa yang paling abadi namanya adalah cendikiawan yang memilih hidup bersahaja, dan yang paling cemar namanya adalah pejabat yang memikirkan perut sendiri.

Dalam terang ungkapan itulah saya teringat pada motto hidup seorang guru “beser” (dosen yang sering ke kamar kecil), yang dia tulis di ruang tamu rumahnya dan diejawantahkan dalam hidupnya seperti pada judul tulisan ini. Artinya, kalau tidak salah, “Kesederhanaan adalah perlambang kesejatian.”

*Penulis adalah dosen Filsafat Islam di IAIN SMH Banten. Sumber: Radar Banten, 11 April 2007 



Suasana Seminar Internasional Perkembangan Sastra, Tasawuf, dan Filsafat Islam di Iran yang diselenggarakan di IAIN Maulana Hasanuddin Banten, 5 Maret 2014.