Dalam situasi yang sangat bersahaja,
seorang Ayatullah datang ke IAIN Banten (Senin 12 Maret 2007). Pengantarnya
hanya tiga orang, mobilnya model lama, tanpa pengawal, tanpa keriuhan. Padahal,
dalam kapasitasnya sebagai orang yang berada di ring satu pemerintahan Iran,
pantas jika dia datang dengan mobil merk terbaru dan dikawal bak pejabat
negara.
Agenda Prof. Dr. Mehdi Hadavi, nama dan
gelar sang Ayatullah, adalah berceramah dalam Studium General Fak. Ushuluddin
dan Dakwah. Apakah dia hendak menyebarkan akidah Syiah? Tidak. Dalam hampir
satu jam ceramahnya dia mengupas bahwa Islam jauh sekali dari Fideisme yang
berslogan, “Imani dulu, baru mengerti.” Slogan Islam adalah, “Mengerti dulu,
baru imani.” Islam menyeru penganutnya untuk mendasari iman dengan pengetahuan,
sehingga semakin dalam ilmu seorang muslim, semakin dalam imannya. Adanya orang
yang berilmu namun tidak beriman tidak menggoyahkan prinsip bahwa seseorang
tidak mungkin beriman tanpa berilmu. Inilah resolusi pertama.
Selanjutnya Hadavi menekankan krusialnya
peran ulama sebagai suar di masyarakat. Mereka adalah rujukan bagi lapisan
mayoritas umat Islam yang tidak sempat memperdalam agama, karena alami bila
tidak semua orang menjadi ulama. Mereka harus berperan sebagai poros
perkembangan dengan cara tidak hanya menjalankan tugas pengajaran sebagai
wacana, tetapi bekerja sekuat tenaga di masyarakat, sehingga ilmu dan iman
masyarakat tetap terjaga, dan masyarakat pun tetap berdaya dan berjaya. Ini
resolusi kedua.
Resolusi ketiga adalah himbauan untuk
memperkaya wawasan, memperkuat kemampuan berbahasa dengan memberi penekanan
khusus kepada bahasa Arab sebagai bahasa utama Islam, dan selalu menjawab
setiap masalah dengan selalu mempelajari ilmu-ilmu kontemporer dan menjadikan
ulama Islam terdahulu sebagai rujukan. Ayatullah berumur 45 tahun ini sudah
mengimplementasi himbauan tersebut. Dia lulusan terbaik dalam mata pelajaran
Matematika dan Fisika ketika lulus SMU, melanjutkan studi S1 dalam bidang
Teknik Elektro, lalu memulai studi di Hauzah Ilmiyah di kota Qom hingga menjadi
rujukan dalam baik dalam ilmu-ilmu tradisional seperti fiqih dan ushulnya,
tafsir, ulumul hadits, logika, filsafat, maupun ilmu-ilmu modern seperti
filsafat ilmu, filsafat seni, dan ilmu ekonomi.
Teladan yang utama tentu saja Nabi
Muhammad. Sebagai manifestasi utuh dari al-Quran, atau al-Quran berjalan,
beliau menghasilkan generasi ilmuwan yang mampu menelurkan pelbagai cabang ilmu
secara langsung dari al-Quran, seperti ilmu fiqih, teologi, dan bahasa.
Generasi itu tidak sekadar tidak takut mempelajari ilmu dari mana pun
sumbernya, tapi juga menyadari pentingnya mempelajari “ilmu-ilmu lain,” yaitu
yang tidak ditarik langsung dari al-Quran, seperti pelbagai cabang ilmu alam
dan ilmu sosial yang kita kenal sekarang.
Ceramah yang menarik, tapi yang lebih
menarik cara datangnya sang penceramah itu. “Ayatullah ini koq sederhana banget
ya. Kalo saya jadi guru besar, kayaknya susah seperti dia.” Saya jadi teringat
pada rektor perguruan tinggi ternama yang gelisah karena setiap bulan harus
melayat ke rumah guru besar yang meninggal dunia. Dia katakan, banyak guru
besar mati muda karena tidak berpola hidup sehat. Tuntutan sosial dan ekonomi
bagi para guru besar bertambah, sementara pendapatan mereka tidak bertambah,
sehingga sang guru besar sibuk ngojek mengajar ke sana-sini dan ngamen seminar
ke mana-mini. “Masa guru besar naik angkot? Ngontrak?” Seolah ketinggian gelar
akademik tidak sah jika tidak dibungkus oleh kemewahan duniawi.
Apakah kita dapat menyalahkan kaum
intelektual yang ngoyo seperti itu seperti diungkap seorang failasuf, “Sungguh
menyedihkan orang yang menghabiskan berpuluh-puluh tahun untuk mengumpulkan
emas bagi jiwanya, merasa galau dan gelisah karena tidak sempat mengumpulkan
emas bagi tubuhnya?” Sekarang bukan
masanya untuk menyalahkan. Motif mereka ngojek dan ngamen belum tentu untuk
mengejar setoran. Selain itu, profesor wa akhawatuha bukan Tuhan, bukan
malaikat, bukan Iblis yang tidak makan. Saat mereka balik ke umat pun mereka
tahu bahwa umat sulit tertarik pada upaya perbaikan dari doktor yang miskin dan
tidak terpandang, dan tidak jarang lebih terpesona pada intelektual gadungan
atau “ilmuwan gagal” asalkan kaya dan terhormat!
Menjadi cendikiawan yang secara sadar
memilih perikehidupan yang bersahaja lebih sulit daripada menggenggam bara.
Menjadi “ilmuwan gagal,” yaitu menjadi seorang terpelajar yang mengarahkan
sebelah mata kepada kesejatian ilmu dan mengarahkan mata lainnya untuk mencari
kemilau batu-batu mulia, tidak dapat dielakkan. Alhasil, runtuhnya kejayaan
ilmu dan iman kita akan terus berlanjut. Inilah kondisi yang harus diubah. Dan,
demi perubahan ini, yang pertama harus berubah adalah kaum cendikiawan itu
sendiri.
Dari fragmen singkat datangnya sang
Ayatullah, saya teringat pada ungkapan-ungkapan yang mengindikasikan bahwa
mayoritas cendikiawan Islam hidup bersahaja dan sedikit sekali yang kaya.
Asy-Syafi’i mengatakan, “Orang yang menuntut ilmu dengan kerendahan diri,
kesempitan hidup, dan pengabdian kepada para ulama, akan lebih berhasil. Aku
terbiasa dengan kemiskinan, sehingga aku merasa nyaman dengannya.” Malik
mengatakan, “Seseorang takkan meraih ilmu sampai ia menderita karena
kemiskinan, namun tetap mengutamakan ilmu daripada yang lain.” Abu Hanifah
menganjurkan untuk memutuskan ikatan duniawi dan mengambil sedikit saja yang
tidak dapat dihindari. Ahmad mengatakan, “Sabar dalam menuntut ilmu adalah
martabat yang hanya dapat diraih orang-orang besar. Miskin lebih mulia daripada
kaya. Sabar dalam kemiskinan itu sangat pahit, sehingga tidak cemas oleh
kemiskinan lebih mulia daripada bersyukur oleh kekayaan. Aku takkan berpaling
dari keutamaan miskin kepada apa pun.”
Sungguh tiada larangan bagi guru besar
untuk kaya, naik sedan termewah, tinggal di rumah paling megah, seperti halnya
tiada larangan sama sekali bagi pejabat untuk menjadi orang yang pertama lapar
saat rakyat menderita dan terakhir kenyang saat rakyat sejahtera. Tapi sejarah
membuktikan bahwa yang paling abadi namanya adalah cendikiawan yang memilih
hidup bersahaja, dan yang paling cemar namanya adalah pejabat yang memikirkan
perut sendiri.
Dalam terang ungkapan itulah saya
teringat pada motto hidup seorang guru “beser” (dosen yang sering ke kamar
kecil), yang dia tulis di ruang tamu rumahnya dan diejawantahkan dalam hidupnya
seperti pada judul tulisan ini. Artinya, kalau tidak salah, “Kesederhanaan adalah
perlambang kesejatian.”
pola hidup sehat!!
BalasHapusaah memang sulit, tp memang harus dijalani.
salam.
Benar!
BalasHapus