Pentas Musik Etnik Sundakala: Puisi karya Sulaiman Djaya, Vokal dan Saron: Novia Fitria, Musik Arransemen oleh Kaum Pedestrian. House of Salbai 34 Venue Kota Serang, Banten.
SUNDAKALA
“Pun, sapun! Kula ngahaturkeun
mantra gunung, ka para karuhun
nu aya di hilir, nu aya di pucuk:
jadilah limbung, jadilah rimbun”.
Ini adalah negeri para Hyang
yang menghuni gunung-gunung.
Dengan mantra paling sakti
bagi Nhay Larasati, bagi Dewi Pohaci.
“Jadilah limbung, jadilah rimbun
sebab air adalah jiwa bumi
dan batang-batang hutan
adalah tiang-tiang penyangga”.
Dahulu kala, di hilir Kali Pandan,
Sri Jayabupati mendirikan kota
Banten Girang. Dari kenangan
Tarumanagara yang kalah,
Sunda nan resah dan gundah
selepas prahara karena asmara para raja.
Nun jauh di timur Jawa, di negeri Daha,
lelaki bernama Airlangga
meregang nyawa penuh iba
karena serangan Sriwijaya nan tiba-tiba.
Dan Darmawangsa pun hijrah
ke negeri Niskala Wastu Kencana
di hilir Kali Pandan, di Banten Girang.
Tak ada kekuasaan yang kekal
melebihi usia di negeri Sunda.
Inilah negeri Banten yang tua
muasal para raja dan punggawa
yang kelak bertahta di Pakuwuan
di nagari pusaka Pajajaran,
di negeri kelahiran Raden Kian Santang.
“Pun, sapun! Kami para puun
menabuh angklung-angklung buhun
agar gunung-gunung tetap kukuh
bagi segenap anak-cucu”.
Dan di negeri Galuh, Rahyang Niskala
pun masygul, setelah Banten Girang
hancur-luluh oleh para perusuh,
tetangga yang cemburu pada paras ayu.
“Pun, sapun! Kami para anak cucu
ngahaturkeun putih sangu
ka para puun, ka para karuhun
ka para Hyang di gunung-gunung”.
(2013)
Sumber: Jurnal Sajak Nomor 8 Tahun 4 (2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar