Label

Kamis, 15 Agustus 2013

Menelusuri Lampung lewat Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong



Oleh Imelda (Peneliti Ernolinguistik, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI)

Siang menjelang sore hari pertama bulan Februari, saya mendapatkan sebuah pesan pendek dari seorang teman bahwa buku Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong (selanjutnya disebut CBNS) mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2010.

Untuk berita itu saya sungguh bersuka cita sekaligus sepakat bahwa penghargaan itu pantas didapatkan oleh Asarpin Aslami, karena 17 cerbun (cerita buntak = cerita pendek) yang ditulisnya memang bagus dan hidup karena ketika membaca saya bisa merasakan emosi yang beragam. Terkadang sedih ketika tragedi yang diceritakan, terkadang marah ketika ketidakadilan diceritakan dan terkadang gembira sembari senyum-senyum ketika yang ia berkisah dengan lelucon khas Lampungnya yang segar. Pendek kata, cerbun ini memang "Nano-Nano".

Menjadi cerita pendek pertama berbahasa Lampung tidak membuat cerita ini hambar dibaca, tetapi emosi sedih, marah, dan gembira berhasil diciptakan Aslami. Di dalam cerbun-nya ia mengangkat tema-yang beragam, antara lain (1) sejarah, (2) perempuan Lampung, (3) tradisi dan (4) kenangan manis masa lalu. Dari empat tema tersebut, yang paling menarik dan menjadi pokok tema penting ialah sejarah dan perempuan. Untuk itu pula, dalam ulasan buku ini, saya hanya akan memfokuskan pada dua tema yang menurut saya memiliki nilai menarik dan substansi penting.

Sejarah dan Mitos Lampung

Cerbun CBNS memulai kisahnya dengan rekonstruksi perdagangan rempah masa lalu di Way Semaka (Bandar Negeri Semuong). Ia tidak hanya bercerita mengenai tempat, tetapi juga aktor-aktor, aktivitas, dan berbagai macam mitos yang mengiringi tempat itu di masa lalu. Kisah kesejarahan yang diilustrasikan, kemudian diperkuat juga dengan mitos mengenai buaya putih pada cerbun yang berjudul Teluk Semaka dan Bura Semaka. Di dalam dua cerita itu dikisahkan mitologi buaya putih yang menjadi penghuni perairan Way Semaka, yang hanya bisa ditaklukan oleh orang-orang sakti atau dukun Lampung.

Barangkali ada sebagian orang yang menganggap mitos yang diceritakan hanya sebagai isapan jempol, akan tetapi bagi orang Lampung yang masih mempercayai mitologi penguasa laut matu dan sungai (buaya putih), mitologi ini bukan omong kosong. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa mitologi itu menjadi pengikat kisah eksistensi nenek moyang dengan masa kini. Sebuah bentuk kesejarahan masa lalu atau local knowledge mengenai tempat-tempat penting yang tidak perlu diperdebatkan. Dengan kata lain, sejarah perdagangan masa lalu di Pesisir Selatan Lampung dan mitos ini bukan hanya memberikan informasi mengenai tempat, tetapi juga hubungan orang Lampung dengan masa lalunya.

Kisah lain yang masih berdimensi kesejarahan ialah kisah Batu Penyambung dan Gunung Putri. Cerita pertama memberikan paparan mengenai sebuah batu yang dipercayai terjadi karena ada orang yang berdosa dan disumpahi sehingga menjadi batu. Tempat di dalam kisah tersebut, saat ini, dikisahkan sebagai tempat keramat. Sementara itu, cerita kedua berkisah mengenai hubungan Kepaksian Lampung dan Kesultanan Banten yang digambarkan dengan hubungan perkawinan Pun Puri dari Lampung dan Maulana Yusuf dari Banten.

Mitos Batu Penyambung merupakan mitologi yang memberikan kisah mengenai moralitas, sekaligus tempat. Di dalamnya ada pesan bahwa berjudi itu perbuatan yang tidak baik, sehingga siapa pun yang berbuat itu, di masa lalu, dikutuk menjadi batu. Sementara itu, kisah Gunung Putri menjadi kisah yang memberikan gambaran betapa erat hubungan Lampung dan Banten karena hubungan tersebut diikat dengan perkawinan yang artinya mengikat batin.

Perempuan Lampung

Tema yang saya anggap penting, selain kesejarahan ialah mengenai Perempuan Lampung. Ada dua periode penting yang disoroti oleh Asarpin mengenai keperempuanan: gadis dan istri. Pada periode gadis, perempuan Lampung digambarkan sebagai perempuan yang malang Hiwang, perempuan yang sikop (Mala Suri) juga perempuan pemberani melawan pakem (Metudau).

Kemalangan perempuan digambarkan ketika ia tidak memiliki sanak famili. Setiawati yang menjadi tokoh utama dalam cerita Hiwang digambarkan sebagai seseorang yatim piatu yang ditipu-tipu. Semakin tragis ketika kisah ini berakhir dengan kematian sang tokoh saat perjalanan pulang ke kampung halaman. Cerita lain, perempuan yang cantik, digambarkan oleh mimpi seorang bujang mengenai perempuan Lampung yang bernama Mala Suri, berkulit putih yang diintip ketika mandi. Cerita ini sungguh berani bukan hanya menggambarkan impian liar sang jejaka, melainkan juga karena di akhir mimpinya, bujang itu terjaga karena Mala Suri ngusung lading dan menantangnya. Kisah yang unik dan menarik.

Terakhir, cerita mengenai perlawanan seorang perempuan terhadap adat yang tidak berpihak. Nurjanah mempertaruhkan dirinya disebut sebagai Nurjahanam setelah berani bersikap meninggalkan rumah dan menikahi lelaki yang dicintainya. Ini adalah sebuah tragedi ironik karena, diakhir cerita, sang perempuan pemberani masih memendam keinginan untuk melawan diskriminasi yang ia rasakan dengan cita-cita untuk memiliki anak perempuan yang pupus karena ia hanya dikaruniai anak lelaki. Kisah yang sejenis, tragedi cinta terlarang, juga bisa dibaca pada cerita Solbi wan Solha.

Perlakuan diskrimatif juga dirasakan ketika seorang perempuan menjadi istri. Dalam cerita Bebai Kejeruwan, perempuan Lampung yang menjadi istri digambarkan sebagai perempuan yang menanggung beban penderitaan. Dikisahkan tujuh orang perempuan yang setiap hari mencari kayu di hutan. Aktivitas itu dilakukan karena mereka memiliki tanggungan dapur yang harus terus mengepul dan anak yang menanti kiriman uang di kota.

Dengan gaya menulis yang berkelakar, Asarpin mengkritik perilaku lelaki/suami Lampung yang hanya sibuk merokok dan mengopi sambil berseloroh tidak sopan terhadap perempuan-perempuan pemberani yang dianggap telah menghabiskan harta warisan keluarga lelaki. Di lain cerita, Kembang Melor, rasa malas lelaki disindir manis dengan kisah ini. Perempuan (baca: keluarga) digambarkan dengan wujud kembang melor yang butuh banyak air kehidupan. Sebuah gambaran pertarungan gender yang manis.

Sejarah dan perempuan lampung yang diceritakan oleh Asarpin, saya kira, telah berhasil merebut hati dan tidak heran bila akhirnya cerbun ini meraih penghargaan. Buat saya, penghargaan yang diberikan sangat pantas karena penceritaannya yang mengalir. Selain itu di bagian akhir, Asarpin menyelipkan kritik terhadap penerbit yang mengganti bunyi /kh/ dan /gh/ dengan bunyi /r/. Ini membuktikan bahwa ia masih belum puas dengan penerbit. Sebuah bukti bahwa memang buku ini harus melengkapi diri dengan standar ortografi. Penulisan bunyi yang lainnya ialah bunyi /'/ yang selalu diletakkan setelah huruf /k/. Bagi saya itu sangat boros karena tanda /'/ (baca: hamzah) itu sudah mewakili bunyi /k/.

Kumpulan Cerbun Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong yang ditulis Asarpin telah memberikan semangat baru bagi penulisan teks berbahasa Lampung di tengah sepinya usaha pemerintah daerah yang hanya sibuk berwacana menggunakan bahasa Lampung. Asarpin selangkah lebih maju karena ia tidak hanya sekadar berwacana, tetapi do action.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Maret 2010 

Rabu, 14 Agustus 2013

Ali Zainal Abidin as Sajjad



Oleh Abu Firas Hammam bin Ghalib bin Sha’sha’ah at-Tamimi ad-Darimi  (al Farazdaq, 641 M-732 M)

Dialah yang dikenal jejak langkahnya,
oleh butiran pasir yang dilaluinya.
Rumah Allah Kakbah pun mengenalnya,
dan dataran tanah suci sekelilingnya.

Dialah putra insan termulia,
dari hamba Allah seluruhnya.
Dialah manusia hidup berhias takwa,
kesuciannya ditentukan oleh fitrahnya.

Di saat ia menunju Kakbah,
bertawaf mencium Hajar jejak kakeknya.
Ruknul Hatim enggan melepaskan tangannya,
karena mengenal betapa ia tinggi nilainya.

Itulah Ali cucu Rasulullah,
cucu pemimpin segenap umat manusia.
Dengan agamanya manusia berbahagia,
dengan bimbingannya mencapai keridaan-Nya.

Jika Anda belum mengenal dia,
dia itulah putra Fatimah.
Putri Nabi utusan Allah,
penutup para Rasul dan anbiya.

Pertanyaan Anda “Siapa dia?”
tidak merugikan keharuman namanya.
Arab dan ajam mengenal dia,
walau Anda hendak mengingkarinya.

Tidak pernah ia berucap “tidak”,
kecuali dalam ucapan syahadatnya.
Kalau bukan karena syahadatnya,
“Tidak”nya berubah menjadi “ya”.

Berasal dari keluarga mulia
Mencintainya fardhu dalam agama
Membencinya kufur dalam agama
Dekat padanya selamat dari marabahaya.

Yang mengenal Allah pasti mengenal dia
Yang mengenal dia mengenal keutamaannya
Yang bersumber pada lingkungan keluarganya
Tempat manusia bermandikan cahaya. 


 
Siapakah al-Farazdaq?
Oleh Ali Reza

Nama asli al-Farazdaq adalah Abu Firas Hammam bin Ghalib bin Sha’sha’ah at-Tamimi ad-Darimi. Ia lahir di Kadhima (sekarang Kuwait) pada tahun 641 namun tinggal di Basrah. Pada usia 15 tahun, Farazdaq dikenal sebagai penyair. Suatu ketika Ghalib datang kepada Imam Ali bersama putranya. Imam bertanya, “Bagaimana tentang jumlah untamu yang banyak?” Ia menjawab, “Mereka telah tersapu habis (dalam melaksanakan kewajiban), wahai Amirul Mukminin.” Imam menjawab, “Itu cara paling terpuji.”

Lalu Imam bertanya kepada Ghalib siapa anak muda ini. Dengan bahagia Ghalib menjawab, “Dia adalah putraku dan dia seorang penyair.” Ketika Imam mendengarnya, beliau berkata, “Ajari ia Alquran. Itu lebih baik baginya dari sekedar membaca syair.” Kata-kata Imam mempengaruhi al-Farazdaq sehingga ia berjanji tidak akan bebas sebelum menghafal Quran. (Lihat: Syarh Ibnu Abil Hadid). Kemudian al-Farazdaq kembali kembali membuat puisi.

Ketika ia tinggal di Bashrah, ia menyusun satir untuk Bani Nisyal dan Bani Fuqaim dan ketika Ziad bin Abihi (anggota Bani Fuqaim) menjadi gubernur di Irak pada tahun 669. Al-Farazdaq dipaksa tinggal beberapa tahun di Madinah dan kembali ke Bashrah setelah kematian Ziad. Di Bashrah ia berusaha mendapatkan dukungan putra Ziad, Ubaidillah.

Al-Farazdaq terkadang bersikap “gila” dan berani, seperti syair dan perseteruannya dengan Jarir (penyair dekat seorang tirani, al-Hajjaj) yang telah menjadi perbincangan selama berabad-abad. Kekayaan kosakata al-Farazdaq membuat kritikus Arab terdahulu berkata, “Jika syair-syair al-Farazdaq tidak ada, sepertiga bahasa Arab akan hilang.” Dîwan-nya mengandung ribuan sajak, termasuk pujian, sindiran dan rintihan.

Pertemuan dengan Imam Husain

Sebelum Imam Husain berangkat ke Karbala, beliau bertemu dengan al-Farazdaq dan menanyakan kondisi di Irak. Al-Farazdaq mengatakan bahwa hati orang-orang di sana bersama Imam tapi pedang mereka bersama Ummayah dan mengarah ke Imam. Imam Husain menjawab, “Bila segalanya berjalan sebagaimana yang kami kehendaki, kami bersyukur kepada Allah… Tetapi bila terjadi yang tidak menguntungkan, kami tidak rugi karena maksud kami baik… Aku bersyukur kepada-Nya dalam segala keadaan, yang menyenangkan atau sebaliknya.”

Kepada al-Farazdaq, Imam Husain as juga berkata, “Wahai Farazdaq! Mereka adalah orang-orang yang telah melalaikan ketaatan kepada Allah dan mengikuti ajakan setan. Mereka berbuat kerusakan di muka bumi, mencampakkan hukum Allah dan melakukan kemunkaran serta merampas harta orang-orang fakir. Aku lebih berhak untuk bangkit membela agama Allah. Demi kemuliaan agama, aku jihad di jalan Allah sehingga kalimah Allah tegak.”

Jumat, 09 Agustus 2013

Puisi-puisi Jafar Fakhrurozi

Mengunci Malam
:Sulaiman Djaya

malam barangkali hanya sekelebat lewat bagimu
celotehnya tak kedengaran dihantam hujan
tapi huruf-huruf di dadamu, serapi deru mesin jahit
nyaring di antara gumam maut yang siaga menjemput

malam panjang ini, terasa lebih ngilu dari rasa haru
tak hanya diburu waktu, kita limbung dibuai ketakpastian
namun saat waktu dikunci, kau tak kan mati
sajakmu terpelanting bagai kancing yang terlepas
dan ketika waktu kembali bebas
kau senantiasa lupa, di mana letak perhentian

di negeri ini banyak siasat dan tipu muslihat, katamu.
maka adakah yang lebih baik daripada mengeluh?

yakin, tak ada duka yang disengaja
begitu juga dengan nasib bangsa ini
tak ada yang pernah meramalkan bencana
kecuali dalam mimpi-mimpi tak akuntabel
yang dihujatkan musuh-musuh malam kita

apakah penyair, hatimu sungguh sintementil
menghabiskan malam dengan segala umpatan

hari-hari di sini, seperti daun-daun yang tanggal
dihembus angin barat, liar tak berjejak
dan hanya hujan yang niscaya,
mengabarkan isyarat dan rahasia


Malam Paripurna

pada malam di cirata, wajahku bergetar
sebentar saja jadi malam yang liar
telah kutambatkan igauan pada kail, arus air,
dan pada tiap petunjuk alam

meski gusar, meski samar
aku mau menunggu
setabah galah tipis ini
yang kujulurkan di atas angin
berharap akan datang

sebentar lagi subuh turun
menyelusup ke ubun dedaun
hai, ini malam paripurna
tempat kumpul setiap kembara


Secarik Surat di Malam Buta

alangkah pelan angin mengalun
namun jarak ini kian terbangun
dan ketika jerit kapal mulai samar
tiba-tiba kehampaan mengental
lekat di dada, tak mau ke mana

tak ada yang dapat disampaikan
hanya keluhan tanpa warna
usia muda tapi jiwa renta

dari jauh selat sunda
jalan kian remang, kian gamang
apalagi jika malam buta itu tiba, 
aku tak beda dengan sepasukan kuda
yang pikun akan jejak-jejaknya
sebab begitu cepat angin menghapusnya

segurat surat di secarik perjalanan
sama sekali tak mampu rapatkan jarak
hanya sebongkah kekeh kecil
di sela mimpi yang tak pernah tepi


Secarik Surat di Pagi Buta

menghirup udara teramat dalam
terasa sampai ke lubuk hati
mencakup namamu diam-diam
bagai derai tak jadi pergi

masih ada hujan sisa semalam 
mengalir lembut di dinding
dan mataku tak habis melukis
pagi di ibukota pajajaran

kekasihku, betapa rindu ini memuncak
ketika angin menghembus kian rapat
dan aku akan terus sampaikan 
tentang kesetiaan yang panjang.


Secarik Surat di Siang Buta

ketika matahari tegak di ubun-ubun
sejarah diarak dan berakhir di api unggun
liar diumbar angin mati. 

di pelupuk matamu
kupeluk ingatan rupa-rupa perjalanan
di sana pernah terlahir kira-kira rencana
dilayangkan tuan dan puan bersamaan
sebagai isyarat, arah angin yang pucat

aku tahu, kita tak hendak tinggal diam
sebelum bayangan condong ke senja
sebelum langkah rebah ke tanah
masih banyak rahasia yang harus dibaca.



Jafar Fakhrurozi lahir di Majalengka, 1983. Menulis puisi dan esai. Karya-karyanya dimuat di media massa lokal dan nasional. Sumber:
http://www.jurnas.com/halaman/27/2012-12-16/228977 


Rabu, 07 Agustus 2013

Negeri Jeruk yang Sedih



Oleh Ghassan Kanafani

Ketika kita meninggalkan Yava menuju Akka, aku tak merasakan kesedihan, ini seperti berpergian dari sebuah kota ke kota lainnya untuk berlibur. Selama beberapa hari, tak terjadi hal-hal yang menyedihkan, aku merasa gembira karena kepindahan ini memberiku istirahat yang indah dari sekolah…Kemudian segalanya berubah ketika Akka diserang (oleh tentara Israel). Malam itu terasa berat bagiku dan untukmu. Para perempuan berdoa, lelaki-lelaki terdiam. Kau dan aku dan semua anak seusia kita tidak memahami apa yang tengah terjadi…Namun, sejak malam itulah kita mulai menyulam kisah kita. Ketika tentara Israel pergi, setelah mengancam dan mengucapkan sumpah serapah, sebuah van besar berhenti di depan rumah kita, kemudian perkakas-perkakas kecil (terutama kasur dan selimut) mulai dilemparkan ke dalamnya. Aku tengah berdiri bersandar pada dinding rumah tua itu ketika aku melihat ibumu naik ke atas van, kemudian bibimu, kemudian anak-anak kecil lainnya. Ayahmu menggendongmu dan menempatkanmu di atas tempat duduk dan dengan cara yang sama ia mengangkatku di atas pundaknya dan menempatkanku di kotak besi di atas van. Di sini ada saudaramu Riad yang duduk dalam diam. Kemudian mobil berjalan sebelum aku sempat duduk dengan nyaman dan Akka pun perlahan-lahan menjauh di belakang jalan berkelok naik yang membawa ke sebuah tempat bernama “Rass Ennakoura ini.

Cuaca terasa dingin. Hawa dingin menyentuh tubuhku. Riad duduk dengan tenang dan menaikkan kakinya ke atas kotak, menyandarkan punggungnya dan menatap langit. Aku duduk dalam diam, memegangi lutut dengan jemariku dan menaruh dagu di antara kedua kaki. Jalanan dipenuhi belukar pohon-pohon jeruk. Perasaan takut dan gelisah menghinggapi tiap orang…Mobil berjalan dengan susah payah di jalanan yang basah, sementara di kejauhan kita mendengar suara tembakan yang seolah mengucapkan selamat tinggal pada kita semua. Ketika Rass Ennakoura telah tampak, mobil berhenti…para perempuan turun dari sela-sela barang-barang dan pergi menghampiri seorang petani yang tengah berjongkok di depan sebuah keranjang jeruk….. Mereka membawa jeruk-jeruk mereka, kami mendengar mereka meratap. Saat itulah aku merasa bahwa jeruk adalah sesuatu yang berharga…dan jeruk besar ini adalah kesayangan kami. Para perempuan membeli jeruk-jeruk itu dan kembali ke mobil dan kemudian ayahmu beranjak dari tempatnya di sisi sopir, mengulurkan tangan, mengambil sebuah jeruk, menatapnya dalam diam, kemudian tiba-tiba menangis seperti anak kecil yang menderita.

Di Rass-Ennakoura, mobil kita berhenti di sela-sela mobil-mobil lainnya. Para lelaki menyerahkan pistol mereka pada para polisi yang memang berada di sini untuk melakukan hal itu. Ketika giliran kita tiba, meja itu telah dipenuhi pistol dan senapan otomatis. Aku melihat gurat panjang bayangan sebuah mobil besar masuk ke Libanon dan meninggalkan negeri jeruk ini jauh di belakangnya…Aku menangis dengan keras…ibumu masih tetap tercenung menatapi jeruk-jeruk…Dalam mata ayahmu tergambar jelas pohon-pohon jeruk yang ditinggalkannya untuk orang-orang Israel…semua pohon jeruk yang telah ditanam dengan penuh kesabaran berkejapan dalam mata ayahmu. Dia tak bisa menghentikan air mata yang membanjiri matanya ketika berhadapan dengan kepala polisi. Ketika kita sampai di Saida, pada sore harinya, kita pun telah menjadi pengungsi.

Jalanan menyerap kita di antara hal-hal lain. Tiba-tiba ayahmu menjadi lebih tua dari sebelumnya, ia terlihat seperti orang yang tak pernah memejamkan mata dalam waktu lama. Dia berdiri di antara berbagai macam barang yang diletakkan di sisi jalan. Aku tahu jika saat itu aku menanyakan sesuatu padanya, pasti dia akan meledak dan berkata, “terkutuklah ayahmu….terkutuklah kau….” sumpah serapah ini tergambar jelas di wajahnya. Bahkan aku, yang tumbuh dalam sebuah sekolah Katolik konservatif, pada saat itu merasa ragu jika Tuhan benar-benar ingin membuat hambanya bergembira. Aku ragu jika Tuhanku bisa mendengar dan melihat segala sesuatu…Semua gambaran yang menunjukkan Tuhan mencintai anak kecil dan tersenyum pada mereka terlihat seperti sebuah dusta di antara dusta-dusta lainnya yang dibuat oleh orang-orang yang mendirikan sekolah konservatif hanya demi mendapat penghasilan tambahan. Aku yakin jika Tuhan, yang kami kenal di Palestina, adalah seorang pengungsi yang mengasingkan diri di suatu tempat di dunia ini dan tidak bisa memecahkan persoalannya sendiri, sedangkan kita, para pengungsi, yang tengah duduk di pinggiran jalan, menunggu nasib yang akan memberi kita jalan keluar. Kita harus menemukan jalan keluar untuk kita sendiri….kita harus mencari sebuah atap yang bisa menaungi kepala-kepala kita. Penderitaan mulai menghantam kepala anak muda yang naif.

Malam terasa mengerikan, gelap perlahan-lahan jatuh, sedikit demi sedikit, aku merasa takut….Pikiran bahwa aku akan menghabiskan malam di trotoar ini memenuhi jiwaku bagai mimpi buruk yang mengerikan…..tidak ada seorang pun yang berusaha menenangkanku…aku tidak menemukan seorang pun tempat aku bisa bersandar…kesunyian ayahmu yang kaku bahkan membuatku semakin takut, sementara jeruk yang ada di tangan ibumu membakar api dalam dadaku….setiap orang terdiam, setiap orang menatap ke jalanan yang gelap dan berharap akan muncul jalan keluar dari setiap sudut jalan dan menempatkan kami di bawah sebuah atap. Dan datanglah takdir itu. Itu adalah pamanmu yang datang ke kota beberapa hari yang lalu. Dialah takdir kita.

Pamanmu bukanlah seorang yang bermoral dan ketika ia menemukan dirinya terlantar di jalanan, dia menjadi lebih buas. Dia pergi ke sebuah rumah di mana sebuah keluarga Yahudi tinggal, membuka pintunya, melempar keluar semua barang yang ada di sana dan berteriak di hadapan mereka: “pergi ke Palestina.” Mereka tidak benar-benar pergi ke Palestina, namun karena terintimidasi oleh rasa frustasi dan kemarahan pamanmu, mereka beringsut ke ruangan lain dan membiarkannya menikmati atap dan lantai. Pamanmu membawa kita ke ruangan itu; di mana kita dijejalkan di antara keluarga dan barang-barangnya. Kita tidur di lantai dan diselimuti dengan jas hujan laki-laki. Di pagi hari, ketika kita bangun, laki-laki itu masih duduk di kursi…dan tragedi itu pun mulai menekan tubuh-tubuh kita…semua tubuh kita… !!!

Kita tidak tinggal lama di Saida, ruangan pamanmu tidak cukup besar untuk menampung bahkan setengah dari rombongan kita. Kita tinggal di sana selama tiga hari. Ibumu meminta ayahmu mencari pekerjaan atau kembali ke ladang jeruk. Ayahmu meledak di hadapannya. Suaranya bergetar karena marah. Kemudian persoalan keluarga kita pun dimulai. Keluarga yang bahagia, saling terikat kuat, berada di sini dengan belukar pohon jeruk dan sebuah rumah tua, serta para martir. Aku tidak tahu dari mana ayahmu memperoleh uang. Aku tahu ia menjual perhiasan ibumu, yang dulu pernah diberikan untuk membuat ibumu gembira dan bangga padanya. Namun, perhiasan semata tidaklah cukup untuk memecahkan masalah kita, seharusnya ada sumber-sumber lain. Apakah ayahmu meminjam uang? Apakah ia menjual barang-barang yang ia bawa tanpa memberi tahu kita! Aku tak bisa mengatakan….namun aku masih ingat bahwa kita pindah ke pinggiran kota Saida, dan di sini, ayahmu duduk di sebuah bukit yang tinggi dan untuk pertama kalinya tersenyum….ia sudah menunggu datangnya tanggal 15 Mei untuk kembali bersama dengan para tentara yang menang.

Akhirnya, tanggal 15 Mei pun tiba setelah masa-masa yang pahit dan keras. Tepat pada pukul 12 malam ia menendangku saat aku masih terlelap dan berseru dengan suara penuh harapan; Bangun! Pergilah! lihat para prajurit Arab memasuki Palestina. Aku bangun dengan penuh semangat dan kita berlari bertelanjang kaki di sepanjang bukit itu, tengah malam, hingga kemudian kita sampai di jalanan yang jauhnya sekitar satu kilometer dari desa. Kita semua masih muda sementara orang-orang yang lebih tua berlari terengah-engah seperti orang idiot. Kita melihat secercah cahaya lampu mobil di kejauhan melintasi Rass Ennakoura. Ketika kita tiba di jalan utama, kita merasa kedinginan, namun teriakan-teriakan gila ayahmu membuat kita melupakan segala sesuatu….dia kemudian berlari di belakang mobil itu seperti seorang anak kecil….Dia melambai ke arah mereka….dia berteriak dengan suara yang parau…dia mulai kehabisan nafas, namun tetap berlari di belakang mobil itu persis seperti seorang anak kecil….kita berlari di sampingnya, berteriak-teriak sepertinya, sementara tentara-tentara yang tampak mengagumkan melihat ke arah kita dari bawah topi baja mereka dengan diam dan kaku….kita semua kehilangan nafas, namun ayahmu tetap berlari dan mengabaikan usia lima puluh tahunnya. Ia melemparkan sebatang rokok ke arah para tentara. Dia tetap berlari dan kita terus mengikutinya seperti kawanan anak domba.

Prosesi pengejaran mobil itu berlangsung singkat dan kita kembali ke rumah dengan lelah dan kehabisan nafas. Ayahmu menjadi lebih sunyi dan pendiam. Ketika sebuah mobil yang melintas menyorotkan lampu ke wajahnya, air mata telah menetesi lehernya.

Setelah peristiwa itu, kehidupan berjalan dengan lambat…kita telah ditipu oleh sebuah pernyataan…kita dibuat kalang kabut oleh kenyataan yang pahit ini…kesedihan dan kepedihan mulai menggelayuti wajah semua orang, ayahmu tidak bisa lagi bercerita tentang Palestina atau hari-hari bahagia di belukar pohon-pohon jeruknya, atau rumahnya…..kita menjadi tembok dari tragedinya dan kita adalah anak-anak yang hebat yang dengan mudah menemukan makna di balik teriakannya di pagi hari “pergilah ke bukit dan jangan kembali sebelum siang…” kita tahu ia ingin agar kita tak meminta sarapan.

Segala sesuatu menjadi terasa menekan. Masalah-masalah sederhana pun bisa menyulut kemarahan ayahmu. Aku teringat ketika suatu hari salah seorang dari kita meminta sesuatu padanya, ia terloncat seperti tersengat aliran listrik, kemudian melemparkan pandangannya pada kita. Sebuah gagasan busuk melintasi pikirannya. Dia berdiri seperti telah menemukan solusi atas dilema yang dialaminya. Dia merasa bahwa dia cukup kuat untuk mengakhiri tragedi ini, tidak lagi merasa panik seperti seseorang yang akan melakukan sebuah aksi penuh bahaya, dia mulai mengatakan hal-hal yang tidak jelas. Kemudian ia menghampiri kotak yang kita bawa dari Akka. Dia pun menghamburkan seluruh isi kotak itu dengan histeris dan menakutkan.

Pada saat itu, ibumu, dituntun oleh intuisi seorang ibu, mendorong kita menjauh dari rumah dan meminta kita agar berlari ke arah perbukitan. Namun, kita malah berhenti di jendela dan menempelkan telinga-telinga kecil kita ke dindingnya. Dengan perasaan ngeri, kita mendengar ayahmu berkata: Aku akan membunuh mereka dan membunuh diriku sendiri…aku ingin mengakhirinya…aku ingin…aku ingin….

Kita mengintip melalui celah pintu, kita melihat ayahmu berbaring di lantai dan bernapas dengan berat sambil menggeretakkan giginya. Ibumu melihatinya dari jarak yang agak jauh. Wajahnya dipenuhi ketakutan. Awalnya, aku tidak mengerti apa yang akan terjadi. Aku ingat, saat itu ketika aku melihat sebuah pistol hitam yang ada di sisi ayahmu, aku segera berlari sekencangnya seperti tengah menghindari sesosok hantu yang tiba-tiba muncul. Aku berlari ke arah perbukitan menjauhi rumah…Semakin jauh aku dari rumah, kian jauh aku meninggalkan masa kecilku. Aku mulai menyadari bahwa ternyata hidup kita tidak lagi sama; segala sesuatu tidak sesederhana seharusnya dan hidup itu sendiri bukanlah sesuatu yang dengan penuh gairah kau nanti-natikan.

Situasinya telah sampai pada sebuah kondisi di mana seorang ayah hanya bisa menawarkan tembakan ke kepala anak-anaknya. Mulai hari ini dan seterusnya, kita harus berhati-hati mengatur langkah kita, merawat diri kita sendiri, diam dan mendengarkan ketika ayah menumpahkan kekesalan-kekesalannya. Selapar apapun, kita tidak boleh meminta makanan, kita harus patuh dan menganggukkan kepala sembari tersenyum ketika ayah berteriak: “pergi ke perbukitan dan jangan kembali hingga siang hari.” Pada sore hari ketika gelap menjalar di sekeliling rumah, ayahmu masih tetap di sana, menggigil karena demam. Ibumu berada di dekatnya. Mata kita berkilauan seperti mata seekor kucing yang berada dalam kegelapan. Bibir kita terkunci seperti tak pernah dibuka, seolah masih terkena penyakit yang telah lama kita diidap.

Kita berjejal di sini, terenggut dari masa kecil kita, jauh dari negeri jeruk. Jeruk yang mati, tepat seperti yang dikatakan seorang petani tua pada kita, jeruk akan mati ketika tangan-tangan asing menyirami pohon-pohonnya. Ayahmu masih tetap sakit, terbaring di atas tempat tidurnya, sementara ibumu selalu digenangi air mata yang sejak hari itu tidak pernah meninggalkan kedua bola matanya. Aku masuk ke ruangan itu dengan diam-diam, mengendap seperi seorang gelandangan…aku melihat wajah ayahmu bergetar karena marah…pada saat yang sama aku melihat pistol hitam itu berada di sebuah meja rendah…dan di dekatnya teronggok buah jeruk…. Jeruk yang kisut dan kering.


Ghassan Kanafani dilahirkan di Akka, Palestina tahun1936 dan meninggal pada tanggal 8 Juni 1972 karena bom Israel yang dipasang di mobilnya. Istrinya yang berkebanggaan Denmark, Annie, bercerita tentang peristiwa kematian suaminya tersebut, “Setiap Sabtu, biasanya kami pergi berbelanja bersama. Namun, pada hari itu Ghassan ditemani oleh keponakannya, Lamees. Beberapa menit setelah ia pergi, aku mendengar suara dentuman keras. Aku segera berlari, namun aku hanya bisa menemukan serpih-serpih mobil kami yang hancur. Lamees tergeletak beberapa meter dari ledakan itu, namun aku tidak menemukan Ghassan. Aku berharap bisa menemukan tubuhnya yang terluka, tapi ternyata aku hanya menemukan kaki kirinya. Ia hancur. Sementara anak kami, Fayez, membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Laila kecil menangis: Papa…Papa…kukumpulkan sisa-sisa dirinya, orang-orang Beirut mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhirnya di Pemakaman Syuhada di mana ia dimakamkan di samping Lamees yang mencitai dan meninggal bersamanya. Kanafani merupakan figur kesusastraan terkemuka, baik dalam kesusastraan Arab maupun dunia. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa. Selama masa hidupnya yang singkat, dia memperkaya khazanah kepustakaan Arab dengan karya-karya cukup berharga yang beragam, mulai dari novel, cerita pendek, penelitian sastra, dan esai-esai politik. “Negeri Jeruk yang Sedih” merupakan salah satu karya awalnya yang memotret pengaruh deportasi terhadap rakyat Palestina ketika tentara Israel memasuki negeri mereka pada tahun 1948. Dalam cerita ini Kanafani mencampurkan realitas artistik dengan realitas historis. Meski cerita ini berkisah tentang penderitaan yang dialami oleh sebuah keluarga kelas menengah, namun cerita ini merupakan contoh dari ribuan keluarga Palestina yang harus menderita dan terhina karena terbuang dari negeri mereka serta hidup miskin, setelah malapetaka tahun 1948 yang menimpa rakyat Palestina karena kekalahan tentara Arab dan pendirian negara Israel. (*)