Oleh Ghassan Kanafani
Ketika kita meninggalkan Yava menuju
Akka, aku tak merasakan kesedihan, ini seperti berpergian dari sebuah kota ke
kota lainnya untuk berlibur. Selama beberapa hari, tak terjadi hal-hal yang
menyedihkan, aku merasa gembira karena kepindahan ini memberiku istirahat yang
indah dari sekolah…Kemudian segalanya berubah ketika Akka diserang (oleh
tentara Israel). Malam itu terasa berat bagiku dan untukmu. Para perempuan
berdoa, lelaki-lelaki terdiam. Kau dan aku dan semua anak seusia kita tidak
memahami apa yang tengah terjadi…Namun, sejak malam itulah kita mulai menyulam
kisah kita. Ketika tentara Israel pergi, setelah mengancam dan mengucapkan
sumpah serapah, sebuah van besar berhenti di depan rumah kita, kemudian
perkakas-perkakas kecil (terutama kasur dan selimut) mulai dilemparkan ke
dalamnya. Aku tengah berdiri bersandar pada dinding rumah tua itu ketika aku
melihat ibumu naik ke atas van, kemudian bibimu, kemudian anak-anak kecil
lainnya. Ayahmu menggendongmu dan menempatkanmu di atas tempat duduk dan dengan
cara yang sama ia mengangkatku di atas pundaknya dan menempatkanku di kotak
besi di atas van. Di sini ada saudaramu Riad yang duduk dalam diam. Kemudian
mobil berjalan sebelum aku sempat duduk dengan nyaman dan Akka pun
perlahan-lahan menjauh di belakang jalan berkelok naik yang membawa ke sebuah
tempat bernama “Rass Ennakoura ini.
Cuaca terasa dingin. Hawa dingin
menyentuh tubuhku. Riad duduk dengan tenang dan menaikkan kakinya ke atas
kotak, menyandarkan punggungnya dan menatap langit. Aku duduk dalam diam,
memegangi lutut dengan jemariku dan menaruh dagu di antara kedua kaki. Jalanan
dipenuhi belukar pohon-pohon jeruk. Perasaan takut dan gelisah menghinggapi
tiap orang…Mobil berjalan dengan susah payah di jalanan yang basah, sementara
di kejauhan kita mendengar suara tembakan yang seolah mengucapkan selamat
tinggal pada kita semua. Ketika Rass Ennakoura telah tampak, mobil
berhenti…para perempuan turun dari sela-sela barang-barang dan pergi
menghampiri seorang petani yang tengah berjongkok di depan sebuah keranjang
jeruk….. Mereka membawa jeruk-jeruk mereka, kami mendengar mereka meratap. Saat
itulah aku merasa bahwa jeruk adalah sesuatu yang berharga…dan jeruk besar ini
adalah kesayangan kami. Para perempuan membeli jeruk-jeruk itu dan kembali ke
mobil dan kemudian ayahmu beranjak dari tempatnya di sisi sopir, mengulurkan
tangan, mengambil sebuah jeruk, menatapnya dalam diam, kemudian tiba-tiba
menangis seperti anak kecil yang menderita.
Di Rass-Ennakoura, mobil kita berhenti
di sela-sela mobil-mobil lainnya. Para lelaki menyerahkan pistol mereka pada
para polisi yang memang berada di sini untuk melakukan hal itu. Ketika giliran
kita tiba, meja itu telah dipenuhi pistol dan senapan otomatis. Aku melihat
gurat panjang bayangan sebuah mobil besar masuk ke Libanon dan meninggalkan
negeri jeruk ini jauh di belakangnya…Aku menangis dengan keras…ibumu masih
tetap tercenung menatapi jeruk-jeruk…Dalam mata ayahmu tergambar jelas
pohon-pohon jeruk yang ditinggalkannya untuk orang-orang Israel…semua pohon
jeruk yang telah ditanam dengan penuh kesabaran berkejapan dalam mata ayahmu.
Dia tak bisa menghentikan air mata yang membanjiri matanya ketika berhadapan
dengan kepala polisi. Ketika kita sampai di Saida, pada sore harinya, kita pun
telah menjadi pengungsi.
Jalanan menyerap kita di antara hal-hal
lain. Tiba-tiba ayahmu menjadi lebih tua dari sebelumnya, ia terlihat seperti
orang yang tak pernah memejamkan mata dalam waktu lama. Dia berdiri di antara
berbagai macam barang yang diletakkan di sisi jalan. Aku tahu jika saat itu aku
menanyakan sesuatu padanya, pasti dia akan meledak dan berkata, “terkutuklah
ayahmu….terkutuklah kau….” sumpah serapah ini tergambar jelas di wajahnya.
Bahkan aku, yang tumbuh dalam sebuah sekolah Katolik konservatif, pada saat itu
merasa ragu jika Tuhan benar-benar ingin membuat hambanya bergembira. Aku ragu
jika Tuhanku bisa mendengar dan melihat segala sesuatu…Semua gambaran yang
menunjukkan Tuhan mencintai anak kecil dan tersenyum pada mereka terlihat
seperti sebuah dusta di antara dusta-dusta lainnya yang dibuat oleh orang-orang
yang mendirikan sekolah konservatif hanya demi mendapat penghasilan tambahan.
Aku yakin jika Tuhan, yang kami kenal di Palestina, adalah seorang pengungsi
yang mengasingkan diri di suatu tempat di dunia ini dan tidak bisa memecahkan
persoalannya sendiri, sedangkan kita, para pengungsi, yang tengah duduk di
pinggiran jalan, menunggu nasib yang akan memberi kita jalan keluar. Kita harus
menemukan jalan keluar untuk kita sendiri….kita harus mencari sebuah atap yang
bisa menaungi kepala-kepala kita. Penderitaan mulai menghantam kepala anak muda
yang naif.
Malam terasa mengerikan, gelap
perlahan-lahan jatuh, sedikit demi sedikit, aku merasa takut….Pikiran bahwa aku
akan menghabiskan malam di trotoar ini memenuhi jiwaku bagai mimpi buruk yang
mengerikan…..tidak ada seorang pun yang berusaha menenangkanku…aku tidak
menemukan seorang pun tempat aku bisa bersandar…kesunyian ayahmu yang kaku
bahkan membuatku semakin takut, sementara jeruk yang ada di tangan ibumu
membakar api dalam dadaku….setiap orang terdiam, setiap orang menatap ke
jalanan yang gelap dan berharap akan muncul jalan keluar dari setiap sudut
jalan dan menempatkan kami di bawah sebuah atap. Dan datanglah takdir itu. Itu adalah
pamanmu yang datang ke kota beberapa hari yang lalu. Dialah takdir kita.
Pamanmu bukanlah seorang yang bermoral
dan ketika ia menemukan dirinya terlantar di jalanan, dia menjadi lebih buas.
Dia pergi ke sebuah rumah di mana sebuah keluarga Yahudi tinggal, membuka
pintunya, melempar keluar semua barang yang ada di sana dan berteriak di
hadapan mereka: “pergi ke Palestina.” Mereka tidak benar-benar pergi ke
Palestina, namun karena terintimidasi oleh rasa frustasi dan kemarahan pamanmu,
mereka beringsut ke ruangan lain dan membiarkannya menikmati atap dan lantai.
Pamanmu membawa kita ke ruangan itu; di mana kita dijejalkan di antara keluarga
dan barang-barangnya. Kita tidur di lantai dan diselimuti dengan jas hujan
laki-laki. Di pagi hari, ketika kita bangun, laki-laki itu masih duduk di
kursi…dan tragedi itu pun mulai menekan tubuh-tubuh kita…semua tubuh kita… !!!
Kita tidak tinggal lama di Saida,
ruangan pamanmu tidak cukup besar untuk menampung bahkan setengah dari
rombongan kita. Kita tinggal di sana selama tiga hari. Ibumu meminta ayahmu
mencari pekerjaan atau kembali ke ladang jeruk. Ayahmu meledak di hadapannya.
Suaranya bergetar karena marah. Kemudian persoalan keluarga kita pun dimulai.
Keluarga yang bahagia, saling terikat kuat, berada di sini dengan belukar pohon
jeruk dan sebuah rumah tua, serta para martir. Aku tidak tahu dari mana ayahmu
memperoleh uang. Aku tahu ia menjual perhiasan ibumu, yang dulu pernah
diberikan untuk membuat ibumu gembira dan bangga padanya. Namun, perhiasan
semata tidaklah cukup untuk memecahkan masalah kita, seharusnya ada
sumber-sumber lain. Apakah ayahmu meminjam uang? Apakah ia menjual
barang-barang yang ia bawa tanpa memberi tahu kita! Aku tak bisa
mengatakan….namun aku masih ingat bahwa kita pindah ke pinggiran kota Saida,
dan di sini, ayahmu duduk di sebuah bukit yang tinggi dan untuk pertama kalinya
tersenyum….ia sudah menunggu datangnya tanggal 15 Mei untuk kembali bersama
dengan para tentara yang menang.
Akhirnya, tanggal 15 Mei pun tiba
setelah masa-masa yang pahit dan keras. Tepat pada pukul 12 malam ia
menendangku saat aku masih terlelap dan berseru dengan suara penuh harapan;
Bangun! Pergilah! lihat para prajurit Arab memasuki Palestina. Aku bangun
dengan penuh semangat dan kita berlari bertelanjang kaki di sepanjang bukit
itu, tengah malam, hingga kemudian kita sampai di jalanan yang jauhnya sekitar
satu kilometer dari desa. Kita semua masih muda sementara orang-orang yang
lebih tua berlari terengah-engah seperti orang idiot. Kita melihat secercah cahaya
lampu mobil di kejauhan melintasi Rass Ennakoura. Ketika kita tiba di jalan
utama, kita merasa kedinginan, namun teriakan-teriakan gila ayahmu membuat kita
melupakan segala sesuatu….dia kemudian berlari di belakang mobil itu seperti
seorang anak kecil….Dia melambai ke arah mereka….dia berteriak dengan suara
yang parau…dia mulai kehabisan nafas, namun tetap berlari di belakang mobil itu
persis seperti seorang anak kecil….kita berlari di sampingnya, berteriak-teriak
sepertinya, sementara tentara-tentara yang tampak mengagumkan melihat ke arah
kita dari bawah topi baja mereka dengan diam dan kaku….kita semua kehilangan
nafas, namun ayahmu tetap berlari dan mengabaikan usia lima puluh tahunnya. Ia
melemparkan sebatang rokok ke arah para tentara. Dia tetap berlari dan kita
terus mengikutinya seperti kawanan anak domba.
Prosesi pengejaran mobil itu berlangsung
singkat dan kita kembali ke rumah dengan lelah dan kehabisan nafas. Ayahmu
menjadi lebih sunyi dan pendiam. Ketika sebuah mobil yang melintas menyorotkan
lampu ke wajahnya, air mata telah menetesi lehernya.
Setelah peristiwa itu, kehidupan
berjalan dengan lambat…kita telah ditipu oleh sebuah pernyataan…kita dibuat
kalang kabut oleh kenyataan yang pahit ini…kesedihan dan kepedihan mulai
menggelayuti wajah semua orang, ayahmu tidak bisa lagi bercerita tentang
Palestina atau hari-hari bahagia di belukar pohon-pohon jeruknya, atau
rumahnya…..kita menjadi tembok dari tragedinya dan kita adalah anak-anak yang
hebat yang dengan mudah menemukan makna di balik teriakannya di pagi hari
“pergilah ke bukit dan jangan kembali sebelum siang…” kita tahu ia ingin agar
kita tak meminta sarapan.
Segala sesuatu menjadi terasa menekan.
Masalah-masalah sederhana pun bisa menyulut kemarahan ayahmu. Aku teringat
ketika suatu hari salah seorang dari kita meminta sesuatu padanya, ia terloncat
seperti tersengat aliran listrik, kemudian melemparkan pandangannya pada kita.
Sebuah gagasan busuk melintasi pikirannya. Dia berdiri seperti telah menemukan
solusi atas dilema yang dialaminya. Dia merasa bahwa dia cukup kuat untuk
mengakhiri tragedi ini, tidak lagi merasa panik seperti seseorang yang akan
melakukan sebuah aksi penuh bahaya, dia mulai mengatakan hal-hal yang tidak
jelas. Kemudian ia menghampiri kotak yang kita bawa dari Akka. Dia pun
menghamburkan seluruh isi kotak itu dengan histeris dan menakutkan.
Pada saat itu, ibumu, dituntun oleh
intuisi seorang ibu, mendorong kita menjauh dari rumah dan meminta kita agar
berlari ke arah perbukitan. Namun, kita malah berhenti di jendela dan
menempelkan telinga-telinga kecil kita ke dindingnya. Dengan perasaan ngeri,
kita mendengar ayahmu berkata: Aku akan membunuh mereka dan membunuh diriku
sendiri…aku ingin mengakhirinya…aku ingin…aku ingin….
Kita mengintip melalui celah pintu, kita
melihat ayahmu berbaring di lantai dan bernapas dengan berat sambil
menggeretakkan giginya. Ibumu melihatinya dari jarak yang agak jauh. Wajahnya
dipenuhi ketakutan. Awalnya, aku tidak mengerti apa yang akan terjadi. Aku
ingat, saat itu ketika aku melihat sebuah pistol hitam yang ada di sisi ayahmu,
aku segera berlari sekencangnya seperti tengah menghindari sesosok hantu yang
tiba-tiba muncul. Aku berlari ke arah perbukitan menjauhi rumah…Semakin jauh
aku dari rumah, kian jauh aku meninggalkan masa kecilku. Aku mulai menyadari
bahwa ternyata hidup kita tidak lagi sama; segala sesuatu tidak sesederhana
seharusnya dan hidup itu sendiri bukanlah sesuatu yang dengan penuh gairah kau
nanti-natikan.
Situasinya telah sampai pada sebuah
kondisi di mana seorang ayah hanya bisa menawarkan tembakan ke kepala
anak-anaknya. Mulai hari ini dan seterusnya, kita harus berhati-hati mengatur
langkah kita, merawat diri kita sendiri, diam dan mendengarkan ketika ayah
menumpahkan kekesalan-kekesalannya. Selapar apapun, kita tidak boleh meminta
makanan, kita harus patuh dan menganggukkan kepala sembari tersenyum ketika
ayah berteriak: “pergi ke perbukitan dan jangan kembali hingga siang hari.”
Pada sore hari ketika gelap menjalar di sekeliling rumah, ayahmu masih tetap di
sana, menggigil karena demam. Ibumu berada di dekatnya. Mata kita berkilauan
seperti mata seekor kucing yang berada dalam kegelapan. Bibir kita terkunci
seperti tak pernah dibuka, seolah masih terkena penyakit yang telah lama kita
diidap.
Kita berjejal di sini, terenggut dari
masa kecil kita, jauh dari negeri jeruk. Jeruk yang mati, tepat seperti yang
dikatakan seorang petani tua pada kita, jeruk akan mati ketika tangan-tangan
asing menyirami pohon-pohonnya. Ayahmu masih tetap sakit, terbaring di atas
tempat tidurnya, sementara ibumu selalu digenangi air mata yang sejak hari itu
tidak pernah meninggalkan kedua bola matanya. Aku masuk ke ruangan itu dengan
diam-diam, mengendap seperi seorang gelandangan…aku melihat wajah ayahmu
bergetar karena marah…pada saat yang sama aku melihat pistol hitam itu berada
di sebuah meja rendah…dan di dekatnya teronggok buah jeruk…. Jeruk yang kisut
dan kering.
Ghassan Kanafani dilahirkan di
Akka, Palestina tahun1936 dan meninggal pada tanggal 8 Juni 1972 karena bom
Israel yang dipasang di mobilnya. Istrinya yang berkebanggaan Denmark, Annie,
bercerita tentang peristiwa kematian suaminya tersebut, “Setiap Sabtu, biasanya
kami pergi berbelanja bersama. Namun, pada hari itu Ghassan ditemani oleh keponakannya,
Lamees. Beberapa menit setelah ia pergi, aku mendengar suara dentuman keras.
Aku segera berlari, namun aku hanya bisa menemukan serpih-serpih mobil kami
yang hancur. Lamees tergeletak beberapa meter dari ledakan itu, namun aku tidak
menemukan Ghassan. Aku berharap bisa menemukan tubuhnya yang terluka, tapi
ternyata aku hanya menemukan kaki kirinya. Ia hancur. Sementara anak kami,
Fayez, membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Laila kecil menangis:
Papa…Papa…kukumpulkan sisa-sisa dirinya, orang-orang Beirut mengantarnya ke
tempat peristirahatan terakhirnya di Pemakaman Syuhada di mana ia dimakamkan di
samping Lamees yang mencitai dan meninggal bersamanya. Kanafani merupakan figur
kesusastraan terkemuka, baik dalam kesusastraan Arab maupun dunia. Karya-karyanya
diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa. Selama masa hidupnya yang
singkat, dia memperkaya khazanah kepustakaan Arab dengan karya-karya cukup
berharga yang beragam, mulai dari novel, cerita pendek, penelitian sastra, dan
esai-esai politik. “Negeri Jeruk yang Sedih” merupakan salah satu karya awalnya
yang memotret pengaruh deportasi terhadap rakyat Palestina ketika tentara
Israel memasuki negeri mereka pada tahun 1948. Dalam cerita ini Kanafani
mencampurkan realitas artistik dengan realitas historis. Meski cerita ini
berkisah tentang penderitaan yang dialami oleh sebuah keluarga kelas menengah,
namun cerita ini merupakan contoh dari ribuan keluarga Palestina yang harus
menderita dan terhina karena terbuang dari negeri mereka serta hidup miskin,
setelah malapetaka tahun 1948 yang menimpa rakyat Palestina karena kekalahan
tentara Arab dan pendirian negara Israel. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar