Label

Minggu, 04 November 2012

Puisi Jaroslav Seifert



PRAHA

Di atas selimut-selimut lebar ranjang-ranjang bunga
kaktus Gotik mekar dengan tengkorak kerajaan
dan di dalam rongga organ yang nestapa
             di dalam rangkaian pipa-pipa timah,
lagu-lagu lama terlupakan.

Peluru-peluru meriam bagai benih-benih perang
yang disebarkan angin.

Menara-menara malam mengatas semua
dan menembus kotak-kotak pepohonan kubah-kubah segar
kaisar bodoh itu menyelinap pergi
ke dalam kebun ajaib alat-alat penyulingannya
dan menembus udara damai malam-malam mawar merah
mengeluarkan bunyi denting dedaunan kaca
seakan-akan kena sentuhan jari seorang alkemis
atau angin.

Teropong telah dibutakan rasa takut alam semesta
dan mata luar biasa manusia ruang angkasa
telah disedot maut.

Dan ketika bulan menyimpan telur-telur di atas awan,
bintang-bintang baru menetas tergesa-gesa seperti burung-burung
yang terbang dari daerah-daerah lebih hitam,
menyanyikan lagu-lagu nasib anak manusia ―
namun tak seorang pun
yang dapat memahami mereka.

Mendengar riuh kebisuan,
di atas permadani-permadani tipis seperti kain kafan kuno
kita berjalan menuju masa depan yang gaib

dan debu Yang Mulia Raja
melekap ringan di atas tahta yang ditinggalkan.

Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Cecep Syamsul Hari. Sumber: George Gibian (ed.), The Poetry of Jaroslav Seifert, North Haven: Catbird Press, 1998.

All poems worldwide copyrights © Jaroslav Seifert. All rights reserved.  All Indonesian translation worldwide copyrights © Cecep Syamsul Hari. All rights reserved.  


Jaroslav Seifert, lahir 23 September 1901 dan meninggal 10 Januari 1986, adalah seorang penyair Ceko dan peraih penghargaan Nobel Kesusastraan 1984. Nobel Committee (dikutip dari halaman belakang buku The Poetry of Jaroslav Seifert, Catbird Press, 1998) menyebut puisi-puisi Jaroslav Seifert sebagai, “Endowed with freshness, sensuality, and rich inventiveness, provides a liberating image of indomitable spirit and versatility of man …. He conjures up another world than that of tyranny and desolation – a world that exist both here and now … one that exist in our dreams and our will and our heart”.

Kamis, 01 November 2012

Rima Kata Kaum Sufi


Hakikat Ilmu


Hakikat ilmu yang sejati
Terletak pada cipta pribadi
Maksud dan tujuannya
Disatukan adanya
Lahirnya ilmu unggul
Dalam keadaan sunyi. 

(Syekh Siti Jenar)


Aku Telah Mencari

Aku telah mencari tempat di seluruh alam
Tapi bagiku tak ada tanah yang tenteram
Dunia telah mencicipiku, aku pun telah mencicipinya
Saat itu rasanya pahit dan manis
Saat kumengejar angan-angan ia memperbudakku
Oh! Andai aku rela dengan takdirku saat itu aku merdeka.

(Manshur al Hallaj)


Kepada Manshur al Hallaj

Bunuhlah aku wahai terpercaya yang tercela
Membunuhku adalah hidup selamanya
Kematianku kau temukan kehidupanku

Badan disisiku tak berarti
Tanpa badanku sendiri aku hidup
pedang telah menjadi surgaku

kematianku ada dikehidupanku.  

(Jalaluddin Rumi)


Al Hallaj

Tersebutlah sahabat yang digantung kepalanya
Dosanya hanyalah menyingkap rahasia.

(Hafiz as Shirazi)

Puisi-puisi Octavio Paz



Sentuhan

Jari-jari tanganku
membuka rerumbai tiraimu
mengenakan padamu yang lebih telanjang
mengelupas tubuh-tubuh dari tubuhmu
Jari-jari tanganku
menciptakan tubuh lain buat tubuhmu

Gerak

Jika engkau kuda betina bergairah
Aku kelok-jalanan penuh darah

Jika engkau salju pertama yang mekar
Aku orang yang menyalakan jantung fajar

Jika engkau menara malam hari
Aku di ingatanmu pasak berapi

Jika engkau genangan pagi yang pasang
Aku perih tangis pertama burung di sarang

Jika engkau keranjang buah jeruk matang
Aku kemilau mata pisau matahari terang

Jika engkau meja batu persembahan
Aku sepasang ulur-tangan berdosa

Jika engkau daratan yang tertidur
Aku batang-batang hijau subur

Jika engkau lompatan kaki-kaki angin
Aku jilatan nyala api yang dingin

Jika engkau dua bibir air
Aku sepaut mulut lumut

Jika engkau rimbunan hutan awan
Aku tajam kapak pemotong pohonan

Jika engkau kota yang hampir mati
Aku badan hujan yang mengabdi

Jika engkau gunung warna kuning
Aku lengan-lengan pohon merah

Jika engkau matahari melangit
Aku kelok-jalanan penuh darah

Angin
(Viento)

Berkidung dedaunan,
menari buah-buah pir di pohon;
berkisar bunga mawar,
mawar angin, bukan pohon mawar.
Gumpalan demi gumpalan awan
melayang bermimpi, jadi ganggang udara;
seluruh jagat raya
beredar bebas iringi mereka.

Segalanya bagai cakrawala;
bergetar galah apiun
dan seorang perempuan telanjang
temani angin di punggung ombak.

Aku bukan siapa-siapa,
aku tubuh mengapung, sinar, juga gelora;
segalanya dari angin
dan anginlah udara pengembara.



Titik Mula Puisi

Kata, suku kata, kelompok kata
adalah bintang-bintang yang berputar
menuju pusat abadi.

Dua tubuh, banyak wujud
datang bersama dalam satu kata.
Kertas terbungkus tinta tak terhapus
yang tak seorang pernah mengucapkannya
tak seorang pernah mencatatnya.
Jatuh di halaman buku, menyala
membakar dan mengigau di sana.

Maka puisi pun ada. Dan cinta terwujud.
Bahkan jika aku tak lahir
Puisi harus ada
Sebab apa yang puisi persiapkan
adalah suatu keharusan cinta.

Saya melihat seorang lelaki-matahari
dan seorang perempuan-bulan.
Yang lelaki menggunakan tenaga tubuh
yang perempuan menggunakan tenaga kata.
Dan cinta yang tak terkalahkan
menorah secercah cahaya pada kegelapan.
Setiap keadaan menyediakan jalan lewat
bagi rajawali-rajawali cahaya.

Puisi adalah puncak pencapaian derita penyair.
Tiba tengah hari, pohon-pohon raksasa berdaun lebat
tak terkalahkan. Dalam gedung lelaki dan perempuan
menyanyikan lagu matahari
menawarkan benda-benda tembus cahaya.
Tubuhku terbungkus
buih ombak berwarna kuning.
Dan tak ada lagi milikku
akan bicara melalui suaraku.

Ketika sejarah tidur, ia akan bicara dalam mimpi:
di dahi orang-orang tidur puisi adalah sebuah rasi darah.
Ketika sejarah terjaga, khayal diterjemahkan ke dalam tindakan.
Puisi ambil bagian. Puisi mulai bertindak.

Dan apa yang kauimpikan
itu yang kaudapatkan.


Octavio Paz, penyair Meksiko, peraih Nobel Sastra. Mantan Duta Besar Meksiko untuk India dan Prancis. Puisi Titik Mula Puisi ini diterjemahkan oleh Frans Nadjira.