Label

Senin, 29 Oktober 2012

Menyimak Suara Dian Hartati




Oleh Sulaiman Djaya

Buku kumpulan puisi Dian Hartati: Cerita Tentang Daun terbitan ASAS 2007, pada akhirnya adalah sebentuk ungkapan keintiman pada hidup. Sebuah kehendak untuk mencintai dan tak melukai “yang ada”. Seperti kelembutan yang dihadirkannya dalam puisi “Remang Jendela”: dari tadi aku memandang keluar, dengan senja yang semakin redup, dengan tiba cabang yang semakin redup, aku lihat hilir mudik, dari balik jendela, daun dan ranting yang menjuntai, membuat lanskap, bahwa kita ada.

Keintiman dan kepekaan pada hidup memanglah dengan sendirinya menjadi sejenis rasa religius dalam diri seorang penyair. Kepekaan dan keintiman tersebut kemudian berkembang menjadi sumber kreativitas dan penulisan. Perasaan berubah pengungkapan. Pengungkapan meminjam bahasa dan kata-kata. Pada konteks yang lain, keintiman pada hidup tersebut salah-satunya adalah kedekatan sang penyair dengan alam. Dalam puisi “Aku Masih Ingin Berpijak Pada Alam” Dian Hartati pun menulis: aku ingin masih berpijak pada alam, dengan bintang dan bulan yang aku incar, pada setiap kenang bersamamu, menggapai keinginan hanya pada alam, Tuhan dan segala kebesarannya. Suara lembut tersebut tak lain adalah sebentuk komitmen dan pengabdian pada hidup, pada “yang ada” dan “yang fana”.

Di kali yang lain, keintiman dan kepekaan pada hidup tersebut menghasilkan suara jernih sang penyair. Suara jernih Dian Hartati sendiri sebagai individu dan pribadi. Dalam puisi “Tapal Batas”, Dian Hartati pun bersuara: dari balik rimbun pohon, sebuah puri berdiri, menapaki tangga, menuju pilar, lonceng yang berdentang, mengagetkan kelelawar, dari tapal batas, matahari tak lagi bersinar.

Di kali yang lain lagi, religiusitas ini mampu menumbuhkan sekaligus merawat harapan. Dian Hartati pun mengungkapkannya dalam puisi “Sedap Malam”: dalam malam yang melayang, seikat sedap malam dalam genggaman, beberapa tangkai dengan kuncup hijau, mekar dan menebar. Nada yang sama juga terungkapkan dalam dalam “Cerita Tentang Daun”: daun-daun bercerita, saat hujan membasahinya, saat matahari menghijaukannya, saat tangan-tangan jahil melukainya, saat angin bosan dengannya, walau harus luruh, gugur, dan menjadi humus.

Pengabdian dan keintiman pada hiduplah yang mampu menjadi do’a. Sebentuk do’a yang tersusun dari cinta. Lalu Dian Hartati pun melanjutkan ekspresi kreatif penulisannya dengan semangat tersebut. Seperti dalam puisi “Masih Dengan Rindu Yang Sama”: masih dengan rindu yang sama, aku sepakati segala gundah hati, kecintaan yang tak pernah reda, gelegar kisi-kisi hati. Bermula dari rindu dan berakhir pada rindu. Dian Hartati pun melanjutkan: Tuhan pun mendengar, ketika rindu ini memaksa diri.

Dalam kefanaan yang terbatas, kerinduan ini ternyata tak ingin terbatas. Lalu meminta yang abadi. Menjangkau semesta. Mencoba menyelam dalam ketakterbatasan meski sia-sia. Dalam puisi “Semesta Rindu”, sang penyair pun menulis: semesta akhirnya membawamu, pada kerinduan abadi, tentang kasih yang kandas, dan tak akan kembali. Dian Hartati adalah contoh dari suara lembut perempuan yang menawarkan sebentuk pembacaan yang menyadari bahwa rasa religius hanya mengalami kerjenihannya dalam puisi. Yang bersumber dari kepekaan dan keintiman seorang penyair dengan hidup dan yang fana.

Serang, Banten 2008. 

Diunduh dari: http://sudutbumi.wordpress.com/category/apresiasi/page/4/

Tentang Monyet-monyet dan Ahmad Djajadiningrat


Oleh Goenawan Mohamad

Achmad Djajadiningrat, bupati Serang yang sedang berkeliling Jawa, menginap di hotel terkemuka itu. Suatu malam ia masuk ke ruang makan, agak telat. Meja-meja telah terisi. Achmad Djajadiningrat yang mengenakan kain, jas model Jawa, destar serta selop sebagaimana umumnya bupati zaman itu – dengan tenang mengambil satu tempat duduk.

Tiba-tiba di belakangnya terdengar seseorang bicara dalam bahasa Belanda: “Wat is dat voor een aap?” Monyet macam apa itu?

Bangsawan tinggi Jawa Barat yang berwajah tampan itu cuma diam. Tapi cemooh tak berhenti. Ketika sang bupati mulai makan (tentu saja dengan sendok dan garpu), suara itu terdengar lagi: “Lihat, lihat, dia makan dengan sendok dan garpu.”

Dan ketika Djajadiningrat memesan anggur, karena di Surabaya waktu itu ada wabah kolera, suara yang sama kembali menyeletuk, “Waduh, dia minum anggur!”

Adegan itu, yang diingat kembali oleh Pangeran Aria Achmad Djadiningrat dalam Herinneringen-nya yang terbit di tahun 1936, bukan sebuah cerita kebetulan. Zaman memang telah memasuki abad ke-20, tapi di koloni Belanda di Hindia Timur itu, orang-orang putih dari Utara (seperti yang di Afrika Selatan kini) tetap mengetawakan dua hal sekaligus: Yang pertama, orang pribumi yang makan dengan jari dan minum air sumur. Yang kedua, orang pribumi yang makan pakai garpu lalu mengangkat gelas dan menyesap anggur dan omong Belanda.

Yang pertama dianggap sebagai tanda keterbelakangan yang tak mengerti higiene. Yang kedua dianggap sebagai imitasi dan Belanda palsu.

Sampai hari ini pun, pandangan seperti itu, dengan menggunakan kata yang lebih halus ketimbang “monyet”, masih terasa bila “mereka” berbicara tentang tingkah “kita” di negeri-negeri berkembang. Tapi di awal abad ke-20, bisa dibayangkan betapa dalamnya bekas (ini pun semacam luka) yang tertinggal oleh ketawa orang Barat itu di dalam kesadaran orang Indonesia.

Kita bisa merasakannya dalam sebuah surat Kartini. Di antara sepucuk korespondensinya yang termasyhur itu, ada cerita tentang seorang pemuda Jawa yang lulus nomor satu dari ujian sekolah menengah atas di Batavia. Ketika ia kembali ke kampung halamannya, dan menghadap residen setempat, ia menggunakan bahasa Belanda. Di situlah kesalahannya.

Ia pun dikirim jadi klerk seorang kontrolir di pegunungan. Di sana ia harus bicara kepada bosnya – seorang Belanda yang kebetulan dulu teman sekelas – dalam bahasa Jawa halus. Si Tuan akan menjawabnya dalam bahasa Melayu pasar.

“Kenapa banyak orang Belanda merasa tak enak untuk bicara dalam bahasa mereka sendiri kepada kami?” tanya Kartini. Jawabnya ia tulis dengan sepercik sarkasme:

“Ah, ya, saya tahu: Bahasa Belanda terlalu indah untuk diucapkan oleh mulut kulit cokelat…”

Kartini getir. Djajadiningrat, menurut Herinneringen-nya, “hanya sedikit marah”. Tapi hampir semua pribumi di awal abad ini tak bisa mengelak dari sebuah sudut yang sulit: di satu pihak mereka sadar bahwa untuk mendapatkan harga yang layak bagi diri, mereka harus mempergunakan simbol-simbol yang dipakai.orang Belanda. Di lain pihak mereka tahu: pada akhirnya mereka toh tetap bukan orang putih dan Barat, dan harus menerima nasib (dan status yang lebih rendah) sebagai demikian.

Sampai tahun 1914, ada misalnya sebuah aturan bagi para murid STOVIA asal Jawa dan asal Sumatera yang bukan Kristen: mereka harus berpakaian pribumi dalam kelas. Buku Robert Van Niel tentang sejarah Indonesia masa itu menyebut kenapa aturan semacam itu ada: mungkin untuk memaksa para calon dokter bumiputra itu tetap menyadari bahwa mereka kelak toh harus bekerja di kalangan bangsa mereka sendiri mungkin pula untuk menjaga, agar mereka tetap puas dengan gaji mereka yang kecil dibanding dengan pejabat bumiputra lain yang pendidikannya lebih rendah.

Apa pun alasannya, aturan itu juga yang menyebabkan STOVIA jadi kawah mendidih. Tak aneh bila kebangkitan nasional dengan suara radikal seperti suara Cipto Mangunkusumo – berasal dari Candradimuka itu. Candradimuka dengan lebih dari satu Gatutkaca.

STOVIA pada dasarnya memang berisi sebuah generasi yang merasakan ketidakadilan amat menyengat di dekat ulu hati. Kita ingat, STOVIA bukanlah sekolah anak pejabat tinggi.

Dari sebuah catatan tahun 1906, tampak bahwa sejak tahun 1875 sampai 1904, ada 743 murid STOVIA. Sebanyak 160 lulusannya kemudian jadi Inlandse Artsen. Hanya 41 dokter yang berasal dari kalangan atas. Sebagian besar berasal dari priayi menengah. Bahkan ada lulusan STOVIA yang ayahnya hanya klerk, petugas telegraf, lurah, pedagang, buruh, dan juga pembantu rumah tangga. Cipto Mangunkusumo, misalnya, seperti ditulis Savitri Prastiti Scherer dalam Keselarasan dan Kejanggalan, sebuah buku menarik tentang sejarah kita awal abad ke20, bukanlah keturunan ningrat. Ia anak guru sekolah dasar pribumi dan cucu seorang guru agama Islam.

Di masyarakat zaman itu, seorang dokter seperti Cipto juga bukan seorang anggota kelas yang amat terpandang. Petugas kesehatan dengan gaji 70 sampai 150 gulden ini, meskipun belum apa-apa dibandingkan dengan gaji bupati yang 1.000 gulden, malah dianggap sebagai priayi baru – yang tentu saja merisaukan priayi dengan trah lama.

Dalam Pewarta Prijaji tahun 1901-1902, sebagaimana dikutip oleh Savitri Scherer, ada sebuah tulisan yang menganjurkan agar sekolah yang kemudian menghasilkan Cipto Mangunkusumo itu ditutup saja. Salah satu alasan: jumlah orang yang mau jadi priayi dengan begitu dapat dibatasi, malah disetop.

Ketegangan sosial ini, tak kalah panas dari rasa protes terhadap tuan-tuan Belanda, sering dilupakan ketika kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Dalam buku kenangannya, Djajadiningrat bercerita bagaimana ia sendiri, sebagai bupati, pernah memperlakukan rendah seorang lulusan STOVIA.

Yang menarik ialah bahwa sang dokter pribumi, yang secara sosial hanya setingkat camat, berani membalas – meskipun dengan cukup adab. Ketika suatu hari, dalam sebuah club, seorang bupati meremehkan seorang Inlandse Arts, orang ini (setelah banyak minum), menjawab,

“Tuan jadi bupati berkat Tuhan. Saya jadi dokter Jawa karena kemauan saya sendiri.”

Suaranya yang sedikit mabuk itu betapapun suara generasi yang tangguh, bukan generasi yang cuma menerima privilese dari bapak-bapak mereka. Dan dia tak sendiri.

Dia pada akhirnya hanya satu unsur dari masyarakat yang terhina – masyarakat yang dianggap monyet dan karena itu dianggap mengacau bila hendak jadi manusia.

24 Mei 1986 

Menyimak Partini Djajadiningrat



Judul                           : Partini. Tulisan Kehidupan Seorang Putri Mangkunegaran
Penulis                         : Roswitha Pamoentjak Singgih, berdasarkan cerita Partini
Penerbit                       : Djambatan, 1986, Jakarta
Bahasa                         : Indonesia dan Inggris
Jumlah halaman           : 113

Oleh M. Kusalami

Buku ini berisi tentang kehidupan pribadi Partini sebagai anak sulung RM. Suparto / Mangkunegara VII. Walaupun begitu isinya juga menguraikan tentang sejarah dan kehidupan istana Mangkunegaraan beserta adat-istiadatnya. Buku ini ditulis dengan gaya bertutur “aku” yaitu cerita dari Partini.

Istana Mangkunegaraan didirikan tahun 1757 oleh RM Said / Pangeran Sambernyawa / Mangkunegara I. Terletak di tengah-tengah kota Surakarta menghadap ke arah selatan masuk wilayah Kalurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Kotamadya Surakarta. Dalam buku ini Partini menguraikan secara singkat bagian-bagian istana Mangkunegaraan, sejarah Mangkunegara I sampai Mangkunegara VI.

Partini dilahirkan Kamis Paing, 9 Jumadilawal, atau 14 Agustus 1902. Ayahnya RM. Suparto, putra Mangkunegara V. Ibunya Mardewi yang merupakan selir pertama RM. Suparto berasal dari orang biasa/bukan ningrat. Partini dilahirkan di Keputren Istana Mangkunegaran. Hal ini merupakan sesuatu yang istimewa karena menurut kebiasaan yang berhak dilahirkan di sana hanyalah anak Mangkunegara yang sedang bertahta sedang Partini hanyalah seorang cucu. Tak lama setelah Partini dilahirkan ibunya kembali pulang ke rumah orang tuanya dan Partini oleh RM. Suparti diserahkan kepada adiknya, Putri Suparti. Tidak mengherankan apabila Partini sangat dekat dengan Suparti bahkan menganggap seperti ibunya sendiri.

Mangkunegara V meninggal tahun 1896 tanpa meninggalkan putra mahkota. Putra-putra lainnya termasuk RM. Suparto masih terlalu kecil untuk menggantikannya, sehingga RM. Suyitno (adik Mangkunegara V) yang diangkat menjadi Mangkunegara VI. Jadi pada waktu Partini dilahirkan yang bertahta adalah paman ayahnya.

RM. Suparto adalah seorang yang berpikiran maju dan beranggapan dengan pendidikan yang baik orang lebih siap menghadapi perjuangan hidup. RM. Suparto menghendaki suatu masa depan yang lebih baik daripada suatu kehidupan santai dan tidak bermakna, yang seringkali dijalani pangeran-pangeran masa itu. Sayang Mangkunegara VI tidak begitu memperhatikan.

Akhirnya RM. Suparto memutuskan meninggalkan istana. Bermula dari magang, dalam waktu yang tidak terlalu lama ia menjadi mantri kabupaten di Demak (1905). Dengan tabungan yang disisihkan dari gajinya, ia masih sempat memperdalam pengetahuannya dalam bahasa Belanda dan sastra Jawa. Suatu kesalahpahaman dengan Bupati menyebabkan ia mengundurkan diri dan mulai dari nol lagi. Setelah melalui berbagai penderitaan, tindakan Residen Surakarta, G.F. van Wijk yang mengangkatnya menjadi penterjemah dari bahasa Jawa ke bahasa Belanda memberikan harapan yang lebih baik. Di waktu senggangnya RM. Suparto masih memberikan perhatian terhadap Boedi Oetomo cabang Solo. Juga mengajari Partini bahasa Belanda, yang bahkan diajarkan dengan keras dan penuh disiplin. Setelah dianggap cukup mampu Partini dikirim ke sekolah Frobel (taman kanak-kanak Belanda).

RM. Suparto memutuskan untuk mengadakan perjalanan ke Eropa agar dapat mengikuti kuliah sastra kuno di Universitas Leiden, serta untuk menambah pengalaman dan pandangan. Atas rekomendasi Residen van Wijk, Mr. Abendanon dan Mr. van Deventer, RM Suparto berangkat ke Belanda Juli 1913. Karena ketekunan belajar dan pandai berbahasa Belanda, ia mudah bergaul dan berdiskusi di berbagai kalangan (teman-temannya, atasannya, kalangan intelektual, aristokrat maupun masyarakat biasa). Selama RM. Suparto di Belanda, ia bersurat-suratan dengan Partini. Partini diharuskan menjawab surat ayahnya dengan bahasa Belanda agar bahasa Belandanya makin terasah. RM. Suparto sangat sedih ketika Partini naik ke kelas 6 dengan status percobaan, dan kelas 6 harus diulangi.

Pada waktu libur semester RM. Suparto mengikuti latihan militer sebagai pasukan cadangan, tetapi karena Perang Dunia I pecah ia terpaksa mengikuti pendidikan sampai Mei 1915. Kemudian atas dasar cuti besar ia boleh meninggalkan dinas militer, dan kesempatan ini dipergunakan pulang ke tanah air. Hal ini sangat menggembirakan Partini RM. Suparto juga gembira melihat Partini berusia 13 tahun, duduk di kelas 7, kelas tertinggi Europeesche Lagere School.

Sekembalinya di Surakarta, RM. Suparto bekerja sebagai kontrolir (pengawas) pemberantasan penyakit pes. Pada waktu itu epidemi pes sangat merajalela. Seorang pembantu pemilik rumah yang ditempati bahkan ada yang meninggal. Hal ini menyebabkan Partini disuruh mengungsi ke rumah pamannya, RM. Suryo Sumarno.

Sementara itu Mangkunegara VI mengundurkan diri dan secara diam-diam pada bulan Januari 1916 berangkat ke Surabaya beserta seluruh keluarganya. Sebagai penggantinya RM. Suparto. Tetapi karena belum genap berusia 40 tahun (menurut kalender Jawa), ia diangkat sebagai Prangwadono terlebih dahulu, dan dikukuhkan tanggal 3 Maret 1916. “Keluarga” RM. Suparto kemudian pindah ke Istana. RM. Suparto menempati Balepeni, Partini mendapat kamar di mana dulu ia dilahirkan. Sebagai seorang Putri Prangwadono lebih banyak aturan yang harus dijalani. Misal sekolah tidak berjalan kaki lagi tetapi antar jemput dengan mobil atau bendi, tidak boleh bepergian tanpa pengawal dan lain-lain. Walaupun begitu Partini tidak kehilangan masa kanak-kanaknya, ia tetap bisa bermain dan belajar, dengan mengajak teman-temannya ke istana. Partini belajar berbagai ketrampilan misal melukis, membatik, menjahit dan membordir.

Ketika tahun pelajaran sekolah berakhir Partini ikut ujian Klein Ambtenaar (pegawai rendah). Bila lulus bisa diterima sebagai pegawai pada kantor pemerintahan sebagai juru tulis atau melanjutkan sekolah. Partini lulus tetapi ketika akan melanjutkan ke MULO (Midelbaar Uitgebreid Lager Onderwijs), tidak diperbolehkan. Partini kemudian dididik mengenai hal-hal yang berhubungan dengan rumah tangga.

Pada tahun 1918 Partini diajak ayahnya ke Batavia. Di sanalah (di rumah Muhlenfeld) Partini untuk pertama kalinya bertemu Doktor Husein Djajadiningrat yang kelak menjadi suaminya. Pertemuan kedua terjadi di Solo ketika diselenggarakan konggres Java Instituut. Desember 1919, di mana Partini adalah salah satu anggotanya sedang Dr. Husein menjabat sebagai ketua. Dalam peristiwa ini keduanya berkenalan secara resmi. Rupanya perkenalan itu berlanjut, dan terjadi surat menyurat.  

Pada tahun 1920 RM. Suparto menikah dengan putri Sultan Hamengkubuwono VII, yang dijadikan garwa padmi atau permaisuri diberi sebutan “Gusti Kanjeng Ratu Timur”. Lamaran dan pernikahan ini berjalan meriah dan mewah dengan segala aturan dan adat-istiadat yang belaku. Tanggal 20 September 1920 Ratu Timur diboyong ke istana Mangkunegaran. Sambutan keluarga Mangkunegaran sangat luar biasa bahkan pesta berlangsung lebih dari 14 hari. Ratu Timur inilah yang berhak mendampingi RM. Suparto dalam berbagai acara.

Tidak lama setelah ayahnya menikah Partini menerima lamaran dari Dr. Husein pada bulan November 1920 dan hari pernikahan ditetapkan Minggu, 9 Januari 1921. Pernikahan Partini dengan Dr. Husein Djajadiningrat dilangsungkan dengan adat-istiadat yang lengkap sebagai Putri Prangwadana/penguasa Mangkunegaran. Setelah menikah Partini beserta suaminya ke Banten, Jawa Barat. Di Serang keduanya disambut Achmad Djajadiningrat (kakak Dr. Husein), Regent Serang beserta keluarganya dan dilangsungkan upacara adat. Seminggu kemudian keduanya ke Batavia, tempat tugas Dr. Husein Djajadiningrat.

Partini tentu saja memerlukan waktu untuk beradaptasi. Dari apa-apa serba dilayani (sebagai putri Mangkunegaran) dengan fasilitas yang memadai, sekarang harus mandiri dengan fasilitas yang tentu saja berbeda. Belum lagi perbedaan budaya dengan suaminya, termasuk lingkungan pergaulan. Hal ini kadang-kadang menyulut pertengkaran. Tetapi seperti diakui sendiri oleh Partini, suaminya pada dasarnya orang yang sabar dan telaten melatih, sehingga kendala tersebut dapat diatasi.

Dalam perkawinan tersebut mereka memperoleh 6 orang anak 3 putri dan 3 putra. Partini bersikeras mendidik sendiri anak-anaknya sehingga ketika ayahnya meminta salah satu anaknya selalu ditolak. Baru ketika melahirkan yang kelima dan ternyata kembar, salah satunya diberikan kepada ayahnya. Itupun hanya sementara waktu yaitu empat tahun. Hal ini mungkin disebabkan pengalamannya sendiri, di mana ia merasa “kesepian” karena sejak bayi ditinggalkan ibu kandungnya, sementara ayahnya walaupun mempunyai perhatian yang besar tetapi tidak setiap saat bisa mendampingi. Hal ini antara lain disebabkan tugas ayahnya yang sangat banyak (baik sebelum maupun sesudah menjadi penguasa Mangkunegaran) belum lagi istri-istri dan anak-anaknya yang lain yang juga memerlukan perhatian. Partini bahkan tidak ingat siapa saja yang pernah menjadi selir ayahnya. Partini berpendapat apapun yang terjadi sebaiknya anak tetap “bersama” ayah dan ibunya.

Partini dengan penuh kesabaran menjalani perannya sebagai ibu dan istri bahkan di jaman yang sulit, ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Partini di usia tuanya merasa cukup bahagia menyaksikan kehidupan putra-putrinya, cucu-cucunya dan juga cicit-cicitnya.

Senin, 08 Oktober 2012

Banten On Paintings

Banten Bay by E Dezentje

Anyer by Abraham Salm

Rawa Dano by CWM van de Velde

Serang by CWM van de Velde

Rawa Dano by Abraham Salm

Puisi-puisi Gabriela Mistral


Aku Tak Kenal Sepi

Malam: Gurun pegunungan
Yang menjengkau ke lautan
Tapi aku yang buai kamu

Peduli sepi bagiku
Angkasa kosong dan lengang
Jika purnama menghilang

Tapi aku yang belai kamu
Peduli sepi bagiku
Dunia menggurun pasir

Dan jasad binasa, hancur
Tapi aku yang dekap kamu
Peduli sepi bagiku.


Untuk anakku

Tanganku sibuk sepanjang hari, Aku tak punya banyak waktu luang
Bila kau ajak aku bermain, Ku jawab,” Ayah tak sempat, Nak”.
Aku bekerja keras semua untukmu,
Tapi bila kau tunjukkan buku ceritamu
Atau mengajakku berbagi canda,
Ku jawab,” Sebentar Sayang”

Di malam hari, kutidurkan kamu. Kudengarkan doamu, kupadamkan lampumu.
Lalu berjingkat meninggalkanmu
Kalau saja aku tinggal barang satu menit lagi
Sebab hidup itu singkat, tahun-tahun bagai berlari

Bocah cilik tumbuh begitu cepat, kamu tak lagi berada di sisi ayah
Membisikkan rahasia-rahasia kecilmu, buku dongengmu entah dimana
Tak ada cium selamat malam, tak kudengar lagi doamu
Semua itu milik masa lalu

Tanganku dahulu sibuk, sekarang diam
Hari-hari terasa panjang membentang
Kalau saja aku bisa kembali ke masa lalu
Menyambutmu hangat di sisiku
Memberimu waktu dari hatiku

Kita melakukan banyak kekeliruan dan kesalahan, tapi kelalaian kita yang utama
Adalah mengabaikan anak, menyepelekan mata air kehidupan
Banyak kebutuhan kita dapat ditunda, tapi anak tak dapat menunggu
Kini saat tulang-tulangnya dibentuk, darahnya dibuat, dan nalurinya dikembangkan
Padanya kita tak dapat menjawab “Besok”, sebab ia dijuluki “Hari ini”


Gabriela Mistral (1889-1957) lahir di Vicuna, Chili, pemenang Nobel kesusastraan 1945, atas karangannya Desolation (diterjemahkan ke bahasa Perancis oleh beberapa penyair Prancis terkemuka). Gabriela leluasa penuh gairah menyanyikan perasaannya dalam bahasa Spanyol. Berperan penting pada sistem pendidikan di Meksiko serta Chili, aktif di komite kebudayaan League of Nations (Liga Bangsa-Bangsa), menjadi konsul Chili di Nepal, Madrid, Lisbon. Bergelar kehormatan dari Universitas Florence dan Guantemala, anggota kehormatan di berbagai perkumpulan budaya di Chili, Amerika Serikat, Spanyol juga Kuba. Mengajar sastra Spanyol di Universitas College, Vassar College pula Universitas Puerto Rico. Puisi cintanya mengenang yang telah meninggal, Sonetos de la muerte (1914) membuatnya terkenal ke seluruh Amerika Latin. Desolation (Keputus-asaan) tidak terbit sampai 1922. Tahun 1924 muncul Ternura (Kemesraan) didominasi masa kanak yang berkaitan kelahiran, memainkan peran penting akan Tala (1938). Kumpulan lengkap puisinya diterbitkan tahun 1958.