Oleh Goenawan Mohamad
Achmad
Djajadiningrat, bupati Serang yang sedang berkeliling Jawa, menginap di hotel
terkemuka itu. Suatu malam ia masuk ke ruang makan, agak telat. Meja-meja telah
terisi. Achmad Djajadiningrat yang mengenakan kain, jas model Jawa, destar
serta selop sebagaimana umumnya bupati zaman itu – dengan tenang mengambil satu
tempat duduk.
Tiba-tiba
di belakangnya terdengar seseorang bicara dalam bahasa Belanda: “Wat is dat
voor een aap?” Monyet macam apa itu?
Bangsawan
tinggi Jawa Barat yang berwajah tampan itu cuma diam. Tapi cemooh tak berhenti.
Ketika sang bupati mulai makan (tentu saja dengan sendok dan garpu), suara itu
terdengar lagi: “Lihat, lihat, dia makan dengan sendok dan garpu.”
Dan
ketika Djajadiningrat memesan anggur, karena di Surabaya waktu itu ada wabah
kolera, suara yang sama kembali menyeletuk, “Waduh, dia minum anggur!”
Adegan
itu, yang diingat kembali oleh Pangeran Aria Achmad Djadiningrat dalam Herinneringen-nya
yang terbit di tahun 1936, bukan sebuah cerita kebetulan. Zaman memang telah
memasuki abad ke-20, tapi di koloni Belanda di Hindia Timur itu, orang-orang
putih dari Utara (seperti yang di Afrika Selatan kini) tetap mengetawakan dua
hal sekaligus: Yang pertama, orang pribumi yang makan dengan jari dan minum air
sumur. Yang kedua, orang pribumi yang makan pakai garpu lalu mengangkat gelas
dan menyesap anggur dan omong Belanda.
Yang
pertama dianggap sebagai tanda keterbelakangan yang tak mengerti higiene.
Yang kedua dianggap sebagai imitasi dan Belanda palsu.
Sampai
hari ini pun, pandangan seperti itu, dengan menggunakan kata yang lebih halus
ketimbang “monyet”, masih terasa bila “mereka” berbicara tentang tingkah “kita”
di negeri-negeri berkembang. Tapi di awal abad ke-20, bisa dibayangkan betapa
dalamnya bekas (ini pun semacam luka) yang tertinggal oleh ketawa orang Barat
itu di dalam kesadaran orang Indonesia.
Kita
bisa merasakannya dalam sebuah surat Kartini. Di antara sepucuk
korespondensinya yang termasyhur itu, ada cerita tentang seorang pemuda Jawa
yang lulus nomor satu dari ujian sekolah menengah atas di Batavia. Ketika ia
kembali ke kampung halamannya, dan menghadap residen setempat, ia menggunakan
bahasa Belanda. Di situlah kesalahannya.
Ia
pun dikirim jadi klerk seorang kontrolir di pegunungan. Di sana ia harus bicara
kepada bosnya – seorang Belanda yang kebetulan dulu teman sekelas – dalam
bahasa Jawa halus. Si Tuan akan menjawabnya dalam bahasa Melayu pasar.
“Kenapa
banyak orang Belanda merasa tak enak untuk bicara dalam bahasa mereka sendiri
kepada kami?” tanya Kartini. Jawabnya ia tulis dengan sepercik sarkasme:
“Ah,
ya, saya tahu: Bahasa Belanda terlalu indah untuk diucapkan oleh mulut kulit
cokelat…”
Kartini
getir. Djajadiningrat, menurut Herinneringen-nya, “hanya sedikit marah”.
Tapi hampir semua pribumi di awal abad ini tak bisa mengelak dari sebuah sudut
yang sulit: di satu pihak mereka sadar bahwa untuk mendapatkan harga yang layak
bagi diri, mereka harus mempergunakan simbol-simbol yang dipakai.orang Belanda.
Di lain pihak mereka tahu: pada akhirnya mereka toh tetap bukan orang putih dan
Barat, dan harus menerima nasib (dan status yang lebih rendah) sebagai
demikian.
Sampai
tahun 1914, ada misalnya sebuah aturan bagi para murid STOVIA asal Jawa dan
asal Sumatera yang bukan Kristen: mereka harus berpakaian pribumi dalam kelas.
Buku Robert Van Niel tentang sejarah Indonesia masa itu menyebut kenapa aturan
semacam itu ada: mungkin untuk memaksa para calon dokter bumiputra itu tetap
menyadari bahwa mereka kelak toh harus bekerja di kalangan bangsa mereka
sendiri mungkin pula untuk menjaga, agar mereka tetap puas dengan gaji mereka
yang kecil dibanding dengan pejabat bumiputra lain yang pendidikannya lebih
rendah.
Apa
pun alasannya, aturan itu juga yang menyebabkan STOVIA jadi kawah mendidih. Tak
aneh bila kebangkitan nasional dengan suara radikal seperti suara Cipto
Mangunkusumo – berasal dari Candradimuka itu. Candradimuka dengan lebih dari
satu Gatutkaca.
STOVIA
pada dasarnya memang berisi sebuah generasi yang merasakan ketidakadilan amat
menyengat di dekat ulu hati. Kita ingat, STOVIA bukanlah sekolah anak pejabat
tinggi.
Dari
sebuah catatan tahun 1906, tampak bahwa sejak tahun 1875 sampai 1904, ada 743 murid
STOVIA. Sebanyak 160 lulusannya kemudian jadi Inlandse Artsen. Hanya 41
dokter yang berasal dari kalangan atas. Sebagian besar berasal dari priayi
menengah. Bahkan ada lulusan STOVIA yang ayahnya hanya klerk, petugas telegraf,
lurah, pedagang, buruh, dan juga pembantu rumah tangga. Cipto Mangunkusumo,
misalnya, seperti ditulis Savitri Prastiti Scherer dalam Keselarasan dan
Kejanggalan, sebuah buku menarik tentang sejarah kita awal abad ke20,
bukanlah keturunan ningrat. Ia anak guru sekolah dasar pribumi dan cucu seorang
guru agama Islam.
Di
masyarakat zaman itu, seorang dokter seperti Cipto juga bukan seorang anggota
kelas yang amat terpandang. Petugas kesehatan dengan gaji 70 sampai 150 gulden
ini, meskipun belum apa-apa dibandingkan dengan gaji bupati yang 1.000 gulden,
malah dianggap sebagai priayi baru – yang tentu saja merisaukan priayi dengan
trah lama.
Dalam
Pewarta Prijaji tahun 1901-1902, sebagaimana dikutip oleh Savitri Scherer, ada
sebuah tulisan yang menganjurkan agar sekolah yang kemudian menghasilkan Cipto
Mangunkusumo itu ditutup saja. Salah satu alasan: jumlah orang yang mau jadi
priayi dengan begitu dapat dibatasi, malah disetop.
Ketegangan
sosial ini, tak kalah panas dari rasa protes terhadap tuan-tuan Belanda, sering
dilupakan ketika kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Dalam buku
kenangannya, Djajadiningrat bercerita bagaimana ia sendiri, sebagai bupati,
pernah memperlakukan rendah seorang lulusan STOVIA.
Yang
menarik ialah bahwa sang dokter pribumi, yang secara sosial hanya setingkat
camat, berani membalas – meskipun dengan cukup adab. Ketika suatu hari, dalam
sebuah club, seorang bupati meremehkan seorang Inlandse Arts, orang ini
(setelah banyak minum), menjawab,
“Tuan
jadi bupati berkat Tuhan. Saya jadi dokter Jawa karena kemauan saya sendiri.”
Suaranya
yang sedikit mabuk itu betapapun suara generasi yang tangguh, bukan generasi
yang cuma menerima privilese dari bapak-bapak mereka. Dan dia tak sendiri.
Dia
pada akhirnya hanya satu unsur dari masyarakat yang terhina – masyarakat yang
dianggap monyet dan karena itu dianggap mengacau bila hendak jadi manusia.
24 Mei 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar