Label

Senin, 29 Oktober 2012

Tentang Monyet-monyet dan Ahmad Djajadiningrat


Oleh Goenawan Mohamad

Achmad Djajadiningrat, bupati Serang yang sedang berkeliling Jawa, menginap di hotel terkemuka itu. Suatu malam ia masuk ke ruang makan, agak telat. Meja-meja telah terisi. Achmad Djajadiningrat yang mengenakan kain, jas model Jawa, destar serta selop sebagaimana umumnya bupati zaman itu – dengan tenang mengambil satu tempat duduk.

Tiba-tiba di belakangnya terdengar seseorang bicara dalam bahasa Belanda: “Wat is dat voor een aap?” Monyet macam apa itu?

Bangsawan tinggi Jawa Barat yang berwajah tampan itu cuma diam. Tapi cemooh tak berhenti. Ketika sang bupati mulai makan (tentu saja dengan sendok dan garpu), suara itu terdengar lagi: “Lihat, lihat, dia makan dengan sendok dan garpu.”

Dan ketika Djajadiningrat memesan anggur, karena di Surabaya waktu itu ada wabah kolera, suara yang sama kembali menyeletuk, “Waduh, dia minum anggur!”

Adegan itu, yang diingat kembali oleh Pangeran Aria Achmad Djadiningrat dalam Herinneringen-nya yang terbit di tahun 1936, bukan sebuah cerita kebetulan. Zaman memang telah memasuki abad ke-20, tapi di koloni Belanda di Hindia Timur itu, orang-orang putih dari Utara (seperti yang di Afrika Selatan kini) tetap mengetawakan dua hal sekaligus: Yang pertama, orang pribumi yang makan dengan jari dan minum air sumur. Yang kedua, orang pribumi yang makan pakai garpu lalu mengangkat gelas dan menyesap anggur dan omong Belanda.

Yang pertama dianggap sebagai tanda keterbelakangan yang tak mengerti higiene. Yang kedua dianggap sebagai imitasi dan Belanda palsu.

Sampai hari ini pun, pandangan seperti itu, dengan menggunakan kata yang lebih halus ketimbang “monyet”, masih terasa bila “mereka” berbicara tentang tingkah “kita” di negeri-negeri berkembang. Tapi di awal abad ke-20, bisa dibayangkan betapa dalamnya bekas (ini pun semacam luka) yang tertinggal oleh ketawa orang Barat itu di dalam kesadaran orang Indonesia.

Kita bisa merasakannya dalam sebuah surat Kartini. Di antara sepucuk korespondensinya yang termasyhur itu, ada cerita tentang seorang pemuda Jawa yang lulus nomor satu dari ujian sekolah menengah atas di Batavia. Ketika ia kembali ke kampung halamannya, dan menghadap residen setempat, ia menggunakan bahasa Belanda. Di situlah kesalahannya.

Ia pun dikirim jadi klerk seorang kontrolir di pegunungan. Di sana ia harus bicara kepada bosnya – seorang Belanda yang kebetulan dulu teman sekelas – dalam bahasa Jawa halus. Si Tuan akan menjawabnya dalam bahasa Melayu pasar.

“Kenapa banyak orang Belanda merasa tak enak untuk bicara dalam bahasa mereka sendiri kepada kami?” tanya Kartini. Jawabnya ia tulis dengan sepercik sarkasme:

“Ah, ya, saya tahu: Bahasa Belanda terlalu indah untuk diucapkan oleh mulut kulit cokelat…”

Kartini getir. Djajadiningrat, menurut Herinneringen-nya, “hanya sedikit marah”. Tapi hampir semua pribumi di awal abad ini tak bisa mengelak dari sebuah sudut yang sulit: di satu pihak mereka sadar bahwa untuk mendapatkan harga yang layak bagi diri, mereka harus mempergunakan simbol-simbol yang dipakai.orang Belanda. Di lain pihak mereka tahu: pada akhirnya mereka toh tetap bukan orang putih dan Barat, dan harus menerima nasib (dan status yang lebih rendah) sebagai demikian.

Sampai tahun 1914, ada misalnya sebuah aturan bagi para murid STOVIA asal Jawa dan asal Sumatera yang bukan Kristen: mereka harus berpakaian pribumi dalam kelas. Buku Robert Van Niel tentang sejarah Indonesia masa itu menyebut kenapa aturan semacam itu ada: mungkin untuk memaksa para calon dokter bumiputra itu tetap menyadari bahwa mereka kelak toh harus bekerja di kalangan bangsa mereka sendiri mungkin pula untuk menjaga, agar mereka tetap puas dengan gaji mereka yang kecil dibanding dengan pejabat bumiputra lain yang pendidikannya lebih rendah.

Apa pun alasannya, aturan itu juga yang menyebabkan STOVIA jadi kawah mendidih. Tak aneh bila kebangkitan nasional dengan suara radikal seperti suara Cipto Mangunkusumo – berasal dari Candradimuka itu. Candradimuka dengan lebih dari satu Gatutkaca.

STOVIA pada dasarnya memang berisi sebuah generasi yang merasakan ketidakadilan amat menyengat di dekat ulu hati. Kita ingat, STOVIA bukanlah sekolah anak pejabat tinggi.

Dari sebuah catatan tahun 1906, tampak bahwa sejak tahun 1875 sampai 1904, ada 743 murid STOVIA. Sebanyak 160 lulusannya kemudian jadi Inlandse Artsen. Hanya 41 dokter yang berasal dari kalangan atas. Sebagian besar berasal dari priayi menengah. Bahkan ada lulusan STOVIA yang ayahnya hanya klerk, petugas telegraf, lurah, pedagang, buruh, dan juga pembantu rumah tangga. Cipto Mangunkusumo, misalnya, seperti ditulis Savitri Prastiti Scherer dalam Keselarasan dan Kejanggalan, sebuah buku menarik tentang sejarah kita awal abad ke20, bukanlah keturunan ningrat. Ia anak guru sekolah dasar pribumi dan cucu seorang guru agama Islam.

Di masyarakat zaman itu, seorang dokter seperti Cipto juga bukan seorang anggota kelas yang amat terpandang. Petugas kesehatan dengan gaji 70 sampai 150 gulden ini, meskipun belum apa-apa dibandingkan dengan gaji bupati yang 1.000 gulden, malah dianggap sebagai priayi baru – yang tentu saja merisaukan priayi dengan trah lama.

Dalam Pewarta Prijaji tahun 1901-1902, sebagaimana dikutip oleh Savitri Scherer, ada sebuah tulisan yang menganjurkan agar sekolah yang kemudian menghasilkan Cipto Mangunkusumo itu ditutup saja. Salah satu alasan: jumlah orang yang mau jadi priayi dengan begitu dapat dibatasi, malah disetop.

Ketegangan sosial ini, tak kalah panas dari rasa protes terhadap tuan-tuan Belanda, sering dilupakan ketika kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Dalam buku kenangannya, Djajadiningrat bercerita bagaimana ia sendiri, sebagai bupati, pernah memperlakukan rendah seorang lulusan STOVIA.

Yang menarik ialah bahwa sang dokter pribumi, yang secara sosial hanya setingkat camat, berani membalas – meskipun dengan cukup adab. Ketika suatu hari, dalam sebuah club, seorang bupati meremehkan seorang Inlandse Arts, orang ini (setelah banyak minum), menjawab,

“Tuan jadi bupati berkat Tuhan. Saya jadi dokter Jawa karena kemauan saya sendiri.”

Suaranya yang sedikit mabuk itu betapapun suara generasi yang tangguh, bukan generasi yang cuma menerima privilese dari bapak-bapak mereka. Dan dia tak sendiri.

Dia pada akhirnya hanya satu unsur dari masyarakat yang terhina – masyarakat yang dianggap monyet dan karena itu dianggap mengacau bila hendak jadi manusia.

24 Mei 1986 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar