Label

Senin, 17 Februari 2014

Ziarah Ke Negeri Para Penyair


Oleh Ahmad Fadhil (Pengajar di IAIN Maulana Hasanuddin Banten)

Penyair Iran sangat beruntung karena selalu mendapat sanjungan dan dihargai layaknya pahlawan nasional. Nama mereka diabadikan sebagai nama jalan. Pusara mereka dipayungi kubah dan dipagari taman-taman indah. Ada pusara Hafiz di Shiraz. Pusara Hafiz adalah taman yang megah dilengkapi dengan perpustakaan, museum, pusat riset, dan kedai teh, juga beberapa ruangan untuk diskusi puisi atau kelas sastra. Pada hari wafatnya para penyair dari berbagai belahan dunia berkumpul di sana. Ada pusara Khayyam dan Attar di Nishapur. Pusara didesain sedemikian rupa hingga orang segera mengagumi prestasi orang yang berbaring di dalamnya. Khayyam yang ahli astronomi atap pusaranya didesain seperti bintang-bintang. Hari kelahiran Khayyam, 18 Mei dikenang masyarakat Iran dengan menggelar berbagai festival untuk menghidupkan kembali semangatnya.

Gadis muda berziarah. Mengusapkan tangan ke pusara, berdoa, berbagi kesedihan dan kegalauan, atau membaca syair-syair warisan sang penyair. Mengelana ke suatu makam, seperti ke makam Khayyam, melihat prestasi penghuni makam itu dihargai orang-orang sebangsanya, bahkan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, sangat membahagiakan. Filsuf pun berziarah. Sebab, orang datang ke pusara, bukan sekadar untuk tujuan-tujuan tersebut, tapi juga untuk mendekat kepada cahaya ilmu dan pemilik sumber cahaya itu. Afifah bercerita bahwa Mulla Sadra, bila persoalan tak terpecahkan menjejali kepalanya, maka terkadang dia rela berjalan kaki puluhan kilometer dari Kahak ke tempat peristirahatan terakhir Sayidah Masumeh di Qom demi tujuan tersebut.

Syair berkembang di Iran boleh jadi karena mereka mencermati perkataan imam Syiah, Ja‘far al-Sadiq, diriwayatkan telah berkata: من قال فينا بيت شعر بنى الله له بيتا في الجنة. “Orang yang menggubah sebait syair tentang kami, Allah akan membangunkan untuknya satu rumah di surga.” Dalam riwayat lain dia berkata: ما قال فينا قائل بيتا من الشعر حتى يؤيد بروح القدس. “Tidaklah seseorang menggubah sebait syair tentang kami, kecuali Allah akan meneguhkan dirinya dengan Ruhul Qudus.” Dan ‘Ali al-Rida, yang wafat karena memakan anggur beracun yang diberikan al-Ma’mun, yang pusaranya sudah diziarahi Afifah, diriwayatkan berkata: ما قال فينا مؤمن شعرا يمدحنا به إلا بنى الله تعالى له مدينة في الجنة أوسع من الدنيا سبع مرات يزوره فيها كل ملك مقرب. “Tidaklah seorang mukmin menggubah puisi untuk kami, kecuali Allah akan membangunkan untuknya satu kota di surga yang tujuh kali lebih luas daripada dunia dan di rumah itu dia akan diziarahi semua malaikat.”

Tanah Air Pengelana

“Begitu jauh perjalanan yang ia tempuh, tak dapat memalingkannya dari kampung halaman.” Kata-kata ini adalah komentar Afifah untuk Attar yang kembali ke kampung halamannya di Nishapur setelah berkelana untuk belajar hakikat hidup selama 39 tahun. Lalu, Afifah mengatakan, “Setiap orang memang akan memimpikan tanah kelahirannya. Begitu juga kami yang masih dalam perantauan.”

Selalu ada Indonesia di setiap tempat yang dikunjungi Afifah.

Di Isfahan, saat dia mulai menjauhi gerbang Meydan Emam, ingatannya melompat pada kota-kota tua di Indonesia yang mirip satu sama lain dalam hal adanya Masjid Agung, pemerintahan daerah, dan alun-alun yang sering menjadi pasar kaget pada hari-hari libur (h. 10). Ketika mengunjungi Mausoleum Khayyam, Afifah teringat pada Umar Kayam, lalu sedih karena para penyair di Indonesia akan sulit mendapatkan penghargaan berupa tugu yang memukau, taman seluas 20.000 meter persegi dengan pepohonan rindang, dilengkapi juga dengan museum dan galeri untuk totalitas kiprahnya. (h. 112-113). Saat menjelajah ke Dusun Kahak yang terpencil, untuk melihat rumah tempat tinggal filsuf terbesar dalam sejarah filsafat Islam, yaitu Mulla Sadra, saya pikir Afifah akan kesulitan mendapatkan hubungannya dengan Indonesia. Tapi, di sana Afifah teringat pada Henry Corbin, filsuf Perancis yang mengunjungi Iran pada 1945, dan segera teringat pada angka istimewa warga Indonesia. “Jika pada tahun itu para orangtua dan kakek kita baru saja lega menghirup udara kemerdekaan, Corbin telah melakukan penjelajahan pemikiran filsafat Islam jauh ke jantung Persia.” (h. 124).

Daerah utara Iran, Shomal, mengingatkan Afifah pada alam Indonesia. Pegunungannya yang berjajar, bukit-bukitnya yang lebat timbul tenggalam di antara kelokan jalan, lalu kabut tipis, udara segar, dan orang-orang memetik daun teh walau tanpa suara kecapi dan seruling (h. 147). Dan Gilan, salah satu provinsi di Shomal, adalah tempat lahir Abdul Kadir Jaelani, pendiri tarekat Naqsyabandiyyah yang banyak pengikutnya di Indonesia. Dan, penduduk Gilan bermakanan pokok nasi, berbeda dengan mayoritas warga Iran yang hanya menyantap nasi pada saat makan siang (h. 148). Bahkan, pada bulan Ramadan, kata Afifah, “Ada ‘setangkup rindu’ yang mengendap-endap pada negeri di seberang sana (h. 182).” Ini kan Katon banget. Wajar. Dia kuliah di Jogja. Penerbit bukunya juga berkantor di Jogja.

Saat melihat orang Iran pun saya menduga dalam cara tertentu Afifah terkenang pada orang-orang Indonesia. Gadis Iran katanya cantik, terbius oleh benda-benda antik yang datang jauh dari masa lalu (h. 11), tapi juga menikmati olahraga ski, pendaki gunung, sampai menjadi sopir taksi dan sopir bis yang seperti sopir-sopir lainnya, suka mengebut (lihat foto dan ceritanya di halaman 170 dst). Pemuda Iran katanya bagaikan bidadara yang dikirim Tuhan dari nirwana, tidak saja ramah selama perjalanan, tapi juga menolak bayaran. Pemandu wisata orang yang terlihat jauh lebih muda dari para turis, begitu menguasai lokasi, mampu membuat wisatawan khusyuk menghayati setiap kalimatnya (h. 13).  Pasangan kakek nenek, pada usia menjelang 70 tahunan, masih semangat melakukan perjalanan panjang berdua-duaan. Sopir: Husain sopir angkutan yang senang berpetualang dan berminat pada dunia fotografi hingga ikut kursus fotografi tiga kali dalam seminggu (h. 160).

Pelajaran dari buku The Road To Persia

Buku The Road To Persia, menurut saya, memberi pelajaran untuk memberi perhatian yang seimbang antara perjalanan dan menulis kisah perjalanan. Jangan asyik melakukan perjalanan, lalu lupa menuliskannya. Dia menulis sebelum, di dalam, dan setelah melakukan perjalanan. Ada satu tulisan yang merupakan gabungan dari lebih dari satu perjalanan. “Bidadari di Lorong Sejarah” adalah kisah dua perjalanan pada waktu yang berbeda, yaitu ke Bukit Ganjnameh, lalu ke Bukit Hegmataneh. Ada satu perjalanan (?) yang diceritakan dalam beberapa tulisan, seperti perjalanan ke Gilan yang diceritakan dalam “Eksotika Rudkhan Castle dan Lelaki Senja” dan “Masouleh Desa Seribu Tahun di Utara Iran”. Ada banyak perjalanan yang diceritakan dalam banyak tulisan, seperti Isfahan. Ada “Surga di Tepian Zayandeh”. Dan, ada banyak perjalanan yang diceritakan dalam satu tulisan, perjalanan Haram Sayyiddah Maksumah.


Pesan Afifah dari buku ini adalah perjalanan merupakan salah satu jalan untuk meraih kesehatan mental baik sebagai individu maupun masyarakat. Kesehatan mental ini diperoleh dengan kata kunci keseimbangan. Misalnya, keseimbangan antara material dan spiritual. Afifah melihat bagaimana pola Meydan Emam dan kota-kota tua di Indonesia mengajarkan semangat keseimbangan material dan spiritual. Lalu keseimbangan antara tradisi lokal dengan ajaran Islam. Afifah juga melihat keseimbangan antara tradisi lokal dengan Islam dengan orang yang mengisahkan bahwa bangsa Iran, seperti bangsa Indonesia, tetap mempertahankan bahasa lokalnya; berbeda dengan bangsa Mesir yang terarabisasi sepenuhnya. Harus ada al-khidmah al-mutabadilah, sumbangsih timbal balik, antara Islam dengan tradisi lokal. Lalu, ada keseimbangan antara modernitas dengan tradisionalitas dan pembangunan fisik dengan pembangunan integritas budaya. Afifah melihat infrastruktur jalanan di Iran sangat baik hingga ke daerah-daerah pelosok (h. 133). Kegiatan warga di pelosok desa tidak terganggu oleh hilir mudik turis yang datang membawa mobil-mobil keluaran terbaru. Kehadiran modernitas tidak banyak mengubah tatanan dan pola interaksi masyarakat. Hotel bintang lima di pelosok Kandovan tidak merusak keseimbangan sosial. Masyarakat justru merasa menjadi bagian keluarga besar pengelola karena mereka dilibatkan sejak dalam proses pembangunannya (h. 135-136). (*) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar