Oleh
Ahmad
Fadhil (Pengajar di IAIN Maulana Hasanuddin Banten)
Penyair
Iran sangat beruntung karena selalu mendapat sanjungan dan dihargai layaknya
pahlawan nasional. Nama mereka diabadikan sebagai nama jalan. Pusara mereka
dipayungi kubah dan dipagari taman-taman indah. Ada pusara Hafiz di Shiraz.
Pusara Hafiz adalah taman yang megah dilengkapi dengan perpustakaan, museum,
pusat riset, dan kedai teh, juga beberapa ruangan untuk diskusi puisi atau
kelas sastra. Pada hari wafatnya para penyair dari berbagai belahan dunia
berkumpul di sana. Ada pusara Khayyam dan Attar di Nishapur. Pusara didesain
sedemikian rupa hingga orang segera mengagumi prestasi orang yang berbaring di
dalamnya. Khayyam yang ahli astronomi atap pusaranya didesain seperti bintang-bintang.
Hari kelahiran Khayyam, 18 Mei dikenang masyarakat Iran dengan menggelar
berbagai festival untuk menghidupkan kembali semangatnya.
Gadis
muda berziarah. Mengusapkan tangan ke pusara, berdoa, berbagi kesedihan dan
kegalauan, atau membaca syair-syair warisan sang penyair. Mengelana ke suatu
makam, seperti ke makam Khayyam, melihat prestasi penghuni makam itu dihargai
orang-orang sebangsanya, bahkan orang-orang dari berbagai penjuru dunia, sangat
membahagiakan. Filsuf pun berziarah. Sebab, orang datang ke pusara, bukan sekadar untuk
tujuan-tujuan tersebut, tapi juga untuk mendekat kepada cahaya ilmu dan pemilik
sumber cahaya itu. Afifah bercerita bahwa Mulla Sadra, bila persoalan tak
terpecahkan menjejali kepalanya, maka terkadang dia rela berjalan kaki puluhan
kilometer dari Kahak ke tempat peristirahatan terakhir Sayidah Masumeh di Qom
demi tujuan tersebut.
Syair
berkembang di Iran boleh jadi karena mereka mencermati perkataan imam Syiah,
Ja‘far al-Sadiq, diriwayatkan telah berkata: من قال فينا بيت شعر بنى الله له بيتا
في الجنة. “Orang yang menggubah sebait syair tentang kami, Allah akan
membangunkan untuknya satu rumah di surga.” Dalam riwayat lain dia berkata: ما قال
فينا قائل بيتا من الشعر حتى يؤيد بروح القدس. “Tidaklah seseorang menggubah
sebait syair tentang kami, kecuali Allah akan meneguhkan dirinya dengan Ruhul
Qudus.” Dan ‘Ali al-Rida, yang wafat karena memakan anggur beracun yang
diberikan al-Ma’mun, yang pusaranya sudah diziarahi Afifah, diriwayatkan
berkata: ما قال فينا مؤمن شعرا يمدحنا به إلا بنى الله تعالى له مدينة في الجنة أوسع
من الدنيا سبع مرات يزوره فيها كل ملك مقرب. “Tidaklah seorang mukmin menggubah
puisi untuk kami, kecuali Allah akan membangunkan untuknya satu kota di surga
yang tujuh kali lebih luas daripada dunia dan di rumah itu dia akan diziarahi
semua malaikat.”
Tanah Air
Pengelana
“Begitu
jauh perjalanan yang ia tempuh, tak dapat memalingkannya dari kampung halaman.”
Kata-kata ini adalah komentar Afifah untuk Attar yang kembali ke kampung
halamannya di Nishapur setelah berkelana untuk belajar hakikat hidup selama 39
tahun. Lalu, Afifah mengatakan, “Setiap orang memang akan memimpikan tanah
kelahirannya. Begitu juga kami yang masih dalam perantauan.”
Selalu ada
Indonesia di setiap tempat yang dikunjungi Afifah.
Di
Isfahan, saat dia mulai menjauhi gerbang Meydan Emam, ingatannya melompat pada
kota-kota tua di Indonesia yang mirip satu sama lain dalam hal adanya Masjid
Agung, pemerintahan daerah, dan alun-alun yang sering menjadi pasar kaget pada
hari-hari libur (h. 10). Ketika mengunjungi Mausoleum Khayyam, Afifah teringat
pada Umar Kayam, lalu sedih karena para penyair di Indonesia akan sulit
mendapatkan penghargaan berupa tugu yang memukau, taman seluas 20.000 meter
persegi dengan pepohonan rindang, dilengkapi juga dengan museum dan galeri
untuk totalitas kiprahnya. (h. 112-113). Saat menjelajah ke Dusun Kahak yang
terpencil, untuk melihat rumah tempat tinggal filsuf terbesar dalam sejarah
filsafat Islam, yaitu Mulla Sadra, saya pikir Afifah akan kesulitan mendapatkan
hubungannya dengan Indonesia. Tapi, di sana Afifah teringat pada Henry Corbin,
filsuf Perancis yang mengunjungi Iran pada 1945, dan segera teringat pada angka
istimewa warga Indonesia. “Jika pada tahun itu para orangtua dan kakek kita
baru saja lega menghirup udara kemerdekaan, Corbin telah melakukan penjelajahan
pemikiran filsafat Islam jauh ke jantung Persia.” (h. 124).
Daerah
utara Iran, Shomal, mengingatkan Afifah pada alam Indonesia. Pegunungannya yang
berjajar, bukit-bukitnya yang lebat timbul tenggalam di antara kelokan jalan,
lalu kabut tipis, udara segar, dan orang-orang memetik daun teh walau tanpa
suara kecapi dan seruling (h. 147). Dan Gilan, salah satu provinsi di Shomal,
adalah tempat lahir Abdul Kadir Jaelani, pendiri tarekat Naqsyabandiyyah yang
banyak pengikutnya di Indonesia. Dan, penduduk Gilan bermakanan pokok nasi,
berbeda dengan mayoritas warga Iran yang hanya menyantap nasi pada saat makan
siang (h. 148). Bahkan, pada bulan Ramadan, kata Afifah, “Ada ‘setangkup rindu’
yang mengendap-endap pada negeri di seberang sana (h. 182).” Ini kan Katon
banget. Wajar. Dia kuliah di Jogja. Penerbit bukunya juga berkantor di Jogja.
Saat
melihat orang Iran pun saya menduga dalam cara tertentu Afifah terkenang pada
orang-orang Indonesia. Gadis Iran katanya cantik, terbius oleh benda-benda
antik yang datang jauh dari masa lalu (h. 11), tapi juga menikmati olahraga
ski, pendaki gunung, sampai menjadi sopir taksi dan sopir bis yang seperti
sopir-sopir lainnya, suka mengebut (lihat foto dan ceritanya di halaman 170 dst).
Pemuda Iran katanya bagaikan bidadara yang dikirim Tuhan dari nirwana, tidak
saja ramah selama perjalanan, tapi juga menolak bayaran. Pemandu wisata orang
yang terlihat jauh lebih muda dari para turis, begitu menguasai lokasi, mampu
membuat wisatawan khusyuk menghayati setiap kalimatnya (h. 13). Pasangan kakek nenek, pada usia menjelang 70
tahunan, masih semangat melakukan perjalanan panjang berdua-duaan. Sopir:
Husain sopir angkutan yang senang berpetualang dan berminat pada dunia
fotografi hingga ikut kursus fotografi tiga kali dalam seminggu (h. 160).
Pelajaran dari
buku The Road To Persia
Buku
The Road To Persia, menurut saya, memberi pelajaran untuk memberi perhatian
yang seimbang antara perjalanan dan menulis kisah perjalanan. Jangan asyik
melakukan perjalanan, lalu lupa menuliskannya. Dia menulis sebelum, di dalam,
dan setelah melakukan perjalanan. Ada satu tulisan yang merupakan gabungan dari
lebih dari satu perjalanan. “Bidadari di Lorong Sejarah” adalah kisah dua
perjalanan pada waktu yang berbeda, yaitu ke Bukit Ganjnameh, lalu ke Bukit
Hegmataneh. Ada satu perjalanan (?) yang diceritakan dalam beberapa tulisan,
seperti perjalanan ke Gilan yang diceritakan dalam “Eksotika Rudkhan Castle dan
Lelaki Senja” dan “Masouleh Desa Seribu Tahun di Utara Iran”. Ada banyak
perjalanan yang diceritakan dalam banyak tulisan, seperti Isfahan. Ada “Surga
di Tepian Zayandeh”. Dan, ada banyak perjalanan yang diceritakan dalam satu
tulisan, perjalanan Haram Sayyiddah Maksumah.
Pesan
Afifah dari buku ini adalah perjalanan merupakan salah satu jalan untuk meraih
kesehatan mental baik sebagai individu maupun masyarakat. Kesehatan mental ini
diperoleh dengan kata kunci keseimbangan. Misalnya, keseimbangan antara
material dan spiritual. Afifah melihat bagaimana pola Meydan Emam dan kota-kota
tua di Indonesia mengajarkan semangat keseimbangan material dan spiritual. Lalu
keseimbangan antara tradisi lokal dengan ajaran Islam. Afifah juga melihat
keseimbangan antara tradisi lokal dengan Islam dengan orang yang mengisahkan bahwa
bangsa Iran, seperti bangsa Indonesia, tetap mempertahankan bahasa lokalnya;
berbeda dengan bangsa Mesir yang terarabisasi sepenuhnya. Harus ada al-khidmah
al-mutabadilah, sumbangsih timbal balik, antara Islam dengan tradisi lokal. Lalu,
ada keseimbangan antara modernitas dengan tradisionalitas dan pembangunan fisik
dengan pembangunan integritas budaya. Afifah melihat infrastruktur jalanan di
Iran sangat baik hingga ke daerah-daerah pelosok (h. 133). Kegiatan warga di
pelosok desa tidak terganggu oleh hilir mudik turis yang datang membawa
mobil-mobil keluaran terbaru. Kehadiran modernitas tidak banyak mengubah
tatanan dan pola interaksi masyarakat. Hotel bintang lima di pelosok Kandovan
tidak merusak keseimbangan sosial. Masyarakat justru merasa menjadi bagian
keluarga besar pengelola karena mereka dilibatkan sejak dalam proses
pembangunannya (h. 135-136). (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar