Label

Senin, 10 Februari 2014

Setan Kober, Pedang Zulfikar, Wali Songo


Pada masa Brawijaya I dari Majapahit hingga turun ke empat tahta penerusnya, yaitu ketika “sir wingit” telah merasuki tubuh makhluk hidup, dan kala keseimbangan bathin sudah di ambang keumuman, saat itulah kesaktian merupakan bentuk ilmu yang menjadi bagian dari kehidupan manusia hingga suatu keterbatasan tidak lagi menjadi penghalang. Terciptalah zaman di mana manusia dan makhluk tak kasat mata saling berkomunikasi secara bebas. Wahyu ning zaman para Dewa, menjadikan masa kala itu disebut Kejawen Jawi, yang mengedepankan makna keluhuran bagi umat manusia. Sementara itu, perjalanan pulau Jawa, sejak zaman Sanghyang Bangau (atau sebelum masa Wali Songo), seluruh peradaban manusia pada masa itu terbagi menjadi tiga golongan: Manusia, Lelembut, dan Siluman dari bangsa Seleman. Dari seluruh golongan ini akhirnya terpecah menjadi dua bagian, yaitu  aliran putih dan hitam. Sedangkan kisah terbaginya golongan ini pada akhirnya mendatangkan peperangan hingga turun sampai ke zaman di mana Wali Songo dilahirkan.

Syahdan, tersebutlah nama dari sekian banyak para tokoh sakti beraliran hitam kala itu yang bernama dan bergelar "Setan Kober", yang tak lain sosok setengah siluman yang banyak membawa risalah pertumpahan darah bagi seluruh umat manusia. Setan Kober, yang bak Dajjal, memang nama yang sangat melegenda bagi seluruh aliran hitam sejak kerajaan Majapahit pertama didirikan. Konon, ia belum pernah terkalahkan oleh jawara dan pendekar mana pun pada masa kejayaannya. Setidak-tidaknya, Setan Kober telah menunjukkan pada dunia bahwa dirinya pernah menjabat sebagai guru besar tujuh aliran sekaligus selama 473 tahun lamanya. Di antara tujuh aliran yang dimaksud adalah bangsa manusia, lelembut dari alam laut, bangsa jin segala penjuru alam, bangsa togog dari zaman purwacarita, bangsa siluman seleman, bangsa perkayang bumi lapis tiga dan bangsa ngahyang.

Dari sini dapatlah diceritakan bahwa asal-usul Setan Kober terlahir dari seorang Banaspati Agung di zaman purwacarita sepuluh bernama Raja Lautan, yang berasal dari keturunan siluman seleman / bangsa api. Berdasarkan hikayat Raja Lautan sebenarnya pernah dikalahkan satu kali dalam hidupnya oleh Nabi Khidir AS, tepatnya di masa kejayaan Raja Dzulkarnain (Cyrus Agung dari Persia) yang masyhur itu. Sementara itu, berdasarkan penerawangan dan kotemplasi, Setan Kober mempunyai tempat tinggal selayaknya manusia pada umumnya, yaitu di dalam Hutan Panji, di daerah perbatasan antara Cibogo dan Benda Kerep, dan hal ini juga tersirat dalam bukunya RA Suladiningrat yang berjudul "Babad Tanah Cirebon".  Begitulah, rumah Setan Kober hampir keseluruhan bangunannya terbuat dari tulang belulang binatang dan manusia. Dan di belakang rumahnya berdiri kokoh satu pendopo yang terbuat dari beraneka tulang macan, kijang, kerbau, dan singa. Sedangkan kesehariannya lebih banyak ia habiskan di pendopo untuk mengajarkan beragam ilmu kepada muridnya yang berasal dari beragam golongan, dan bila ia memiliki waktu senggang, ia banyak mengarahkan waktunya untuk menciptakan bilahan keris sakti mandraguna.

Konon, keris buatan asli tangan Setan Kober ia berikan pada Pangeran Arya Panangsang, sebelum terbunuh oleh Jaka Tingkir. Tak diragukan lagi, di masa raja-raja di tanah Jawa, nama Setan Kober selalu disebut-sebut sebagai orang nomor satu di dunia persilatan yang banyak dimanfaatkan oleh para raja Jawa sebagai pembunuh bayaran. Bahkan, di masa Brawijaya Ke V, ia juga seringkali menjadi ahli strategi perang istana Majapahit demi mengalahkan ratusan panglima pilihan seluruh kerajaan yang ada di belahan dunia. Namun namanya mulai surut dan akhirnya ngahyang selamanya karena didera perasaan malu yang tak tertahankan setelah ia dikalahkan oleh jawara sakti yang tak lain Pangeran Suta Wijaya Gebang. Dan inilah kisahnya.

Di masa perang antara Majapahit dan Demak Bintoro, yang pada saat itu dipimpin Raden Fatah, dengan dibantukan 101 Waliyullah di bawah komando panglima besar Sunan Kudus, selama tujuh belas tahun, dua kerajaan ini pernah terlibat perang sengit, yang juga melibatkan Sultan Maulana Hasanuddin Banten sebagai panglima perang Demak yang saat itu baru saja dinikahkan dengan Ratu Ayu Kirana di Demak. Sebanyak 24 kali mereka bertemu dalam peperangan hebat, di mana 18 kali Majapahit menyerang Demak, dan 6 kali Demak balik menyerang Majapahit. Dalam puluhan peperangan antara Demak dan Majapahit itu, wilayah yang pernah menjadi medan pertempuran itu di antaranya adalah Magelang, Sragen, Banyuwangi, Kudus, Klaten, Tidar, Madura, Lasem, Purworejo, Yogya, Batang, Semarang dan Surabaya. Dengan strategi yang matang, Setan Kober yang kala itu menjadi bagian kerajaan Majapahit mulai menyebar aksinya di beberapa pelosok desa terpencil dengan cara membunuh satu persatu para jawara Islam yang dianggapnya telah berkomplot dengan kerajaan Demak Bintoro.

Setan Kober pun mulai menyusun kekuatan dengan mendatangi para dedengkot aliran hitam di penjuru pelosok desa. Di antara nama-nama aliran hitam yang pernah bergabung dengannya adalah Pangeran Tepak Palimanan, Pangeran Telaga Herang, Pangeran Pucuk Umun Banten, Pangeran Lodaya Indramayu sebelum masuk Islam, Pangeran Samber Nyawa dari daerah Cuci Manah, Pangeran Kebo Kinabrang dari gunung Tangkuban Perahu, Ki Gede Jalu dari Brebes, Ki Gede Kapetakan, Ki Gede Lewimunding, Ki Gede Tegal Gubug sebelum masuk Islam, Ki Gede Purba Lanang, Siluman Air daerah Gunung Tidar Jawa Tengah, Ki Janggala Wesi dari siluman seleman, dan yang lainnya. Begitulah, pada pertempuran ketujuhbelas, kerajaan Islam Jawa pernah dikalahkan dengan terbunuhnya beberapa Waliyullah, yang di antaranya adalah Sunan Udung, Sunan Pajang, Sunan Beling, Sunan Persik, Sunan Odong, Sunan Rohmat, Sunan Qoyyim dan Sunan Menjangan atau Pangeran Samber Nyawa. Namun, dalam sejarah lain menyebutkan bahwa kekalahan kerajaan Islam pada waktu itu adalah tak lain karena bangsa Waliyullah, tidak semuanya turun ke medan laga dikarenakan mereka sedang berkabung atas wafatnya Sunan Ampel, salah satu Wali Songo, hingga para Waliyullah lebih banyak ta’ziah datang ke daerah Ampel ketimbang turut perang.

Sementara itu, di lain pihak, setelah kekalahan Kerajaan Islam tersebut mulai menjadi buah bibir di kalangan masyarakat luas. Mendengar hal tersebut, Sunan Gunung Djati, Pangeran Walangsungsang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan Sultan Maulana Hasanuddin Banten, mulai merapatkan barisan, dengan jalan memilih di antaranya untuk mencari beberapa tokoh aliran hitam.  Persis, pada saat itu, yang diutus untuk menandingi kesaktian para jawara dan pendekar aliran hitam di antaranya adalah Pangeran Walangsungsang atau Mbah Kuwu Cakrabuana, Sunan Kalijaga, Pangeran Arya Kemuning, Syeikh Muhyi Muda Tasik, Nyimas Gandasari Cirebon, Panguragan, Syeikh Suta Wijaya Gebang, Maulana Hasanuddin Banten alias Pangeran Sabakinking, Syeikh Sapu Jagat dan Syeikh Magelung Sakti. Atas mandat Sunan Gunung Djati, mereka bergerak dengan cara terpisah, dan lewat perjalanan panjang selama tujuh tahun lamanya, mereka akhirnya bisa menaklukkan seluruh bangsa aliran hitam. Namun hal semacam itu bukan berarti mereka mudah menandingi ilmu dedengkot para aliran hitam, melainkan butuh perjuangan dan kesiapan matang, sebab dalam menjalankan tugas ini mereka juga pernah dikalahkan sewaktu duel kesaktian dengan para dedengkot aliran hitam.

Pangeran Arya Kemuning, misalnya, pernah berhadapan dengan dedengkot aliran hitam yang bernama Pangeran Telaga Herang, dan Pangeran Arya Kemuning pun dapat dikalahkan dengan mudah. Barulah, saat perang tanding dengan Syeikh Muhyi Muda Tasik, Pangeran Telaga Herang kalah telak, dan akhirnya ngahyang sampai sekarang. Begitu pun Nyimas Gandasari, yang kala itu ditugaskan untuk menangkap Pangeran Pucuk Umun Banten, mengalami kekalahan dalam adu kesaktian. Dan barulah, kala Mbah Kuwu Cakrabuana turun ke medan laga, Pangeran Pucuk Umun Banten bisa dikalahkan, dan akhirnya ngahyang selamanya. Adu kesaktian ini terjadi di pantai Karang Bolong, di mana Karang Bolong itu sendiri pada mulanya adalah sebuah bukit yang akhirnya berlubang karena ajian dan kesaktiannya Pangeran Pucuk Umun Banten.

Begitu pula, Sunan Kalijaga pernah dikalahkan oleh pangeran Tepak Palimanan dalam penaklukkan wilayah Cirebon. Kekalahan Sunan Kalijaga, akibat campur tangan Prabu Siliwangi yang merupakan leluhurnya orang-orang sakti di Banten dan Pajajaran. Dan barulah, setelah kedatangan pangeran Arya Kemuning dan Mbah Kuwu Cakrabuana, Pangeran Tepak Palimanan, bisa terbunuh dengan kepala terpotong dari raganya. Adu kesaktian dan kekuatan ini terjadi di puncak bukit Palimanan, yang bernama Gunung Tugel.

Sekarang kita kembali ke cerita pertempuran antara Pangeran Suto Wijaya Gebang dengan Setan Kober, di daerah Hutan Panji, yang tidak bisa dihindarkan lagi, di mana kedua musuh bebuyutan ini saling mengerahkan kesaktiannya hingga sampai 40 hari lamanya. Dan perkelahian panjang ini akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Suta Wijaya, hingga Setan Kober akhirnya ngahyang selamanya di Hutan Panji. Kisah terkalahkannya Setan Kober ini akhirnya jadi perbincangan banyak orang, sehingga Mbah Kuwu Cakrabuana, selaku gurunya sangat khawatir. Alasannya tak lain adalah karena sejak kejadian itu, Pangeran Suta Wijaya diangkat menjadi seorang pemimpin oleh seluruh bangsa gaibiah, yang membuat Mbah Kuwu Cakrabuana merasa khawatir bila ilmu yang beliau berikan selama ini disalah gunakan oleh murid-muridnya. Dalam Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa ilmu Pangeran Suta Wijaya Gebang dapat dikatakan sebagai salah-satu ilmu yang juga paling ditakuti oleh seluruh bangsa siluman atau gaibiyah, selain ilmu yang juga dimiliki segelintir orang di Banten. Ilmu yang dimilikinya itu tak lain adalah "Syahadat Majmal", di mana ilmu ini bila dibacakan maka seluruh gaibiyah yang ada akan mengikuti ucapan kita. Demikianlah, dalam perang tanding melawan Setan Kober, ilmu inilah yang menjadi andalannya, hingga Setan Kober sendiri harus menerima kekalahannya dengan tubuh terbakar.

Sementara itu, dalam kisah lain diceritakan, setelah satu tahun Setan Kober dikalahkan, Pangeran Suta Wijaya Gebang akhirnya dipanggil menghadap Mbah Kuwu Cakrabuana: “Ananda, bagaimanapun  juga dirimu telah menjadi orang yang ditakuti seluruh makhluk tak kasat mata. Namun menurutku jauhkan ilmu itu, sehingga antara manusia dengan bangsa gaib ini tetap lestari selamanya. Sebab kasihan bagi yang lain, dengan adanya ilmu yang ananda miliki sekarang, maka seluruh bangsa gaib akan punya batasan tertentu yang menjadikan mereka percaya hanya pada Ananda".  Mendengar hal itu, dengan patuh Pangeran Suta Wijaya mengiyakannya, tanda ia setuju dengan ucapan gurunya. Namun lain sifat, lain pula kenyataannya. Meski Pangeran Suta Wijaya sudah menerima mandat gurunya itu, tetapi para muridnya yang berasal dari bangsa siluman dan alam gaib lainnya hanya tunduk pada majikannya, bukan pada orang lain, hingga meski Mbah Kuwu Cakrabuana adalah gurunya pangeran Suta Wijaya, dengan cara sembunyi tangan akhirnya mereka tidak menerima pengakuan Mbah Kuwu Cakrabuana, dengan cara menyerang seluruh keraton Pakung Wati Cirebon. Tentu saja, Mbah Kuwu Cakra Buana tidak tinggal diam. Beliau langsung menghadapinya dengan pusaka "Golok Cawang" (Pedang Zulfikar), dan akhirnya seluruh bangsa gaib bisa dikalahkan dengan mudah. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar