Label

Selasa, 24 Desember 2013

MPU Ke-8 Banten, Kesusastraan dan Kearifan Bangsa



(Foto oleh Kidung Purnama) 

Oleh Sulaiman Djaya (Salah seorang Kurator)

Pada 15-18 November lalu Temu Sastra Mitra Praja Utama Ke-8 digelar di Kota Serang dan di kawasan masyarakat Kanekes (Baduy) Banten. Sebagai provinsi muda, Banten kembali dipercaya sebagai tuan rumah perhelatan sastra dan kebudayaan Mitra Praja Utama (MPU), setelah MPU sebelumnya diadakan di Jogjakarta. Ini merupakan kali keduanya Banten kembali menjadi tuan rumah penyelenggaraan perhelatan Kesusastraan Mitra Praja Utama setelah sebelumnya menjadi tuan rumah di penyelenggaraan MPU perdana. Pada penyelenggaran MPU kali ini, tema umum yang dipilih adalah “Mistisisme dalam Kesusastraan”. Tentu saja, dipilihnya tema tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan, yang meski tak terhindar dari subjektivitas, namun tidak terlepas dari upaya untuk mengangkat wacana dan khasanah yang paling dekat dengan “kultur” Banten sebagai tuan rumah. Martin van Bruinessen, misalnya, menyebut Banten secara kultural dan mistis dengan julukan “surga-nya khazanah dan praktek magis di Nusantara”. Yang dimaksud Bruinessen dengan pernyataannya tersebut adalah budaya-budaya masyarakat Banten semisal Silat dan Debus atau praktik-praktik kesaktian, kedigdayaan, dan “ngehikmah” ala orang Banten yang memang sudah populer di Nusantara.

Apa yang dikemukakan Bruinessen tersebut hanya sekeping contoh kecil tentang khazanah mistis dan magis di Banten, meski tentu saja Bruinessen belum menyebut keseluruhan secara utuh kultur mistis dan magis masyarakat Banten yang mewujud dalam ragam khazanah dan living culture, semisal kesastraan magis yang hidup di Banten Selatan, seperti tradisi pantun dan mantra magis Sunda-Baduy yang telah banyak dikaji itu, namun masih menyimpan potensi untuk terus dikaji ulang. Dan juga Seni Dodod Banten Selatan di Pandeglang yang merupakan seni ritual pantun Sunda Banten yang telah berakulturasi dengan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam prakteknya. Dalam dua contoh seni tradisi tersebut, yang tentu saja menarik dan tak bisa diabaikan, adalah adanya unsur kesastraan puitik yang dalam hal ini pantun dan mantra yang dibacakan dalam ritual dan upacara adat dan tradisional tersebut.

Hal lain yang menarik adalah, meski secara linguistis dan geografis Banten terbagi menjadi Banten Utara yang didominasi penggunaan bahasa Jawa Banten dalam keseharian dan Banten Selatan yang didominasi penggunaan Bahasa Sunda, namun memiliki kekhasan umum yang sama dalam kecendrungan kulturalnya, baik dari sisi budaya, adat, dan sastra. Khusus di Banten Utara, misalnya, kita bisa mengkaji khazanah penulisan dan kesusastraan yang menggunakan Bahasa Jawa Banten, semisal kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren-pesantren dan sastra lokal pantun dolanan dan sindiran yang menggunakan Bahasa Jawa Banten yang juga akrab dengan khazanah mistis dan magis dalam konteks lanskap umum kultur Banten. Kekayaan itu akan semakin bertambah bila kita mengkajinya secara historis. Di sini kita dapat mencontohkan warisan-warisan penulisan dan kesastraan Banten masa silam di era Kesultanan Banten dan di era Banten pra-Islam.

Begitulah “Mistisisme dalam Kesusastraan” dipilih sebagai tema penyelenggaraan MPU VIII di Banten, yang selain ingin menggali bahan-bahan dan pengkajian baru khazanah sastra yang belum maksimal dieksplorasi, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menimba dan menggali kearifan lokal atau local wisdom yang diharapkan akan memberi wawasan, pintu, dan khazanah baru bagi kreativitas dalam dunia sastra dan penulisan, dan kebudayaan pada umumnya. Dan seperti kita tahu, kearifan lokal ini menyebar di seluruh negeri, etnik, dan provinsi di seluruh Indonesia. Hingga, dapat dikatakan, pemilihan tema ini sebenarnya lebih merupakan “covering” semata dalam rangka menjadi semacam “cermin” dan “contoh” yang ditawarkan dan disajikan Banten sebagai tuan rumah. Berkat kerja semua pihak, termasuk para peserta anggota MPU itu sendiri, perhelatan ini berhasil dilaksanakan dengan sukses dan baik. Semoga menjadi cermin bagi komitmen dan kepedulian kita dalam rangka melakukan pembangunan intelektual dan kekuatan kultural bangsa kita. [*] 

(Sulaiman Djaya. Photographed by Wahyu Arya)

Minggu, 15 Desember 2013

Writing Camp dan Pelatihan Jurnalistik Kubah Budaya 2013




Open Rekruitmen, Pelatihan menulis puisi, esai, prosa, interpretasi film, dan penerjemahan.

Sabtu-Minggu, 28-29 Desember 2013, Pukul 09.00 WIB-Selesai. Cheking Peserta: Sekretariat Kubah Budaya, Komplek Bumi Mutiara Serang, Blok.O no.16, Pakupatan, Serang-Banten. 42100. Tempat Acara: Villa Lontar, Pontang-Banten.

Agenda acara:
1. Pelatihan menulis prosa
Pembicara: Niduparas Erlang (Pemimpin Redaksi tabloid Banten Muda, Cerpenis), Qizink La Aziva (Jurnalis di Harian Radar Banten). Moderator: Arza Azka Abhipraya (Cerpenis, Pengajar Bahasa Indonesia).

2. Pelatihan Menulis Puisi. Pembicara: Herwan Fr (Penyair, dosen sastra Universitas Sultan Ageng Tirtayasa). Moderator: Irwan Sofwan (Penyair).

3.Pelatihan Menulis Essai. Pembicara: Sulaiman Djaya (Penyair, Esais, Budayawan). Moderator: Uthera Kalimaya (Cerpenis, penerjemah).

4. Pelatihan Jurnalistik. Pembicara: H. Lutfi (Jurnalis di Harian Radar Banten). Moderator: Wahyu Arya Wiyata (Jurnalis, Penyair).

5. Sudut Hening, Orasi Budaya (Kekubahbudayaan). Orator: Ahmad S Rumi (Penasihat Kubah Budaya, Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa).

6. Deklamasi Puisi oleh All Artis

7. Musikalisasi Puisi oleh Solitude, Rock Mini, Alfa.  

Pendaftaran: Rp.50.000;
Narahubung: Dhee Lintang Wengi (087772704211), Wahyu Arya Wiyata (087882060332) 



Senin, 09 Desember 2013

Sundakala, Hikayat Dewa Kaladri



(Foto: Baduy-Kanekes, Banten oleh Andre Arment)

Syahdan, sebagaimana telah diceritakan banyak orang di Tatar Banten dan Kerajaan Sunda yang mulanya beribukota di Banten Girang dan kemudian pindah ke Pakuan, sejak Sanghyang sampai ribuan tahun ke belakang, waktu itu ada seorang Sanghyang yang bernama Sanghyang Sakti yang mempunyai seorang anak laki-laki. Namun rupa anak ini sangat jelek alias buruk sekali, badannya hitam dan perutnya buncit. Oleh ayahnya anak ini diturukan ke bumi, disuruh bertapa dan mengelilingi dunia. Demikianlah si anak buncit itu turun ke bumi. Kala itu ia sampai pusat kota Cipaitan, yaitu desa Cihandam yang telah lama ditinggalkan, dan ia terus bertapa di Gunung Kujang. Saat ia sedang bertapa, ia pun ditemukan oleh Daleum Sangkan sedang telentang bertapa di atas sebuah batu yang besar. Persis ketika itulah, oleh Daleum Sangkan ia dibawa pulang dan diambil sebagai anak, serta diurus dengan baik sekali dan disayangi sampai besar kira-kira teguh samping (berumur delapan atau sepuluh tahun, menurut perhitungan sekarang).

Apakah yang menjadi menjadi kesukaan anak buncit ini? Tak lain memasang bubu setiap hari. Dan lama-kelamaan istri Daleum Sangkan membenci anak buncit ini karena parasnya yang jelek hitam, perutnya makin lama makin buncit dan matanya besar membelalak. Hanya saja Nyi Sangkan tidak berani mengusirnya karena takut terhadap Daleum Sangkan. Pada suatu hari, waktu itu, Daleum Sangkan mengajak si anak buncit untuk memasang bubu di sungai, tetapi tidak diperkenankan memasangnya di tempat yang baik dan dalam, ia harus memasangnya di tempat yang jelek dan diangkat saja, agar tidak mendapat ikannya. Ketika itu Nyi Sangkan berkata: “Kalau tempat yang baik adalah untukku memasang bubu, jangan oleh kamu”. Lalu mereka masing-masing menempatkan bubunya.

Diceritakan, si anak buncit itu memasang bubunya di tempat-tempat yang telah ditunjukan oleh Nyi Sangkan, yaitu di tempat-tempat yang jelek dengan arus airnya yang deras. Sedangkan Nyi Sangkan menempatkannya di tempat-tempat yang baik dengan airnya yang tenang. Waktu keesokan harinya, saat mereka sama-sama melihat, bubunya Nyi Sangkan tidak berisi ikan sama sekali, meski dipasang di tempat yang baik. Sementara ketika bubunya si buncit diangkat, ternyata banyak ikan di dalamnya, bahkan ada seekor ikan yang besar yang disebut ikan lubang, lalu ikannya dibawalah pulang. Dengan kejadian itu, Nyi Sangkan bertambah benci terhadap anak buncit itu. Ikan yang besar tadi, tidaklah diberikan kepada Nyi Sangkan oleh anak itu, bahkan ia pelihara dan dismpan dalam tong yang terbuat dari batang pohon kawung. Nyi Sangkan menjadi sangat marah, lalu memaki-maki, tetapi si anak buncit ini tidaklah menghiraukannya.

Tak lama kemudian, Nyi Sangkan mengajak menanam talas di humanya. Tetapi seperti biasa saja, yaitu Nyi Sangkan menanam talasnya di tempat yang tanahnya bagus, sedangkan si buncit disuruh menanamnya ditempat yang jelek yang tanahnya merah bercampur pasir. Lalu mereka menanam talas. Nyi Sangkan berkata kepada anak buncit: “Wah, kamu menanam talas juga tak akan ada umbinya, sebab tanahnya jelek, berwarna merah dan bercampur pasir pula, walau pun nantinya ada juga berumbi, paling besar juga hanya sebesar kelentitku”. “Kalau tanamanku sudah pasti bagusnya dan banyak umbinya, sebab tanahnya bagus.” Anak buncit tidak menjawab apa-apa, hanya dalam hatinya ia berkata, barangkali saja nanti umbinya banyak. Setelah lama, di saat talas mereka sudah masanya berumbi, mereka pun menengok dan mencabut talas mereka masing-masing.saat itulah, ternyata, tanaman talas Nyi Sangkan tidak ada umbinya. Sementara ketika si anak buncit mencabut talasnya, umbinya besar sekali, meski hanya sebuah, di mana besar umbinya itu sebesar tempayan tempat beras. Si anak buncit itu pun berbicara kepada Nyi Sangkan sambil memperlihatkan talasnya dengan diayun-ayunkan: “Ini lihatlah, Uwa, tanaman talasku ada umbinya sampai sebesar burut Uwa.” Setelah itu, dengan mendadak terbukti terkena oleh sapaan, alat kelamin Nyi Sangkan menjadi burut sebesar talas si anak buncit, sama dengan tempayan beras. Nyi Sangkan menjadi kalang kabut, hatinya makin marah kepada si anak buncit itu, yang karena ia terkena sapaannya si anak buncit itu menjadi burut alat kelaminnya, hingga ia susah berjalan, hampir-hampir tak dapat pulang ke rumah.

Sejak saat itu, Nyi Sangkan terus menangis, dan tentu saja, makin lama makin membenci anak buncit itu. Karena Nyi Sangkan merasa malu, maka ia pun bermaksud untuk membunuh si buncit, hanya saja, lagi-lagi, ia merasa takut oleh suaminya, Daleum Sangkan. Pada suatu waktu, di sebuah hari yang mungkin biasa, ketika si buncit sedang bepergian, ketika itulah ikan lubang kesayangan si buncit dicuri oleh Nyi Sangkan dari tong kawung, dibawa ke rumah Nyi Sangkan dan dimasak layaknya ikan, sementara kepala ikan tersebut tidak dimasaknya, melainkan dimasukkan ke dalam mangkuk dan disimpan di rak piring dengan ditutup oleh periuk. Tidak lama kemudian si buncit datang sambil membawa makanan ikan, terus ia mencari ikannya untuk diberi makan. Ketika dilihat ternyata ikannya sudah tidak ada lagi, si buncit terus menanyakan, dan berkata: “Ua, ikan saya di mana gerangan ikan kesayanganku? Jika ia tidak ada di tempatnya, sudah tentu dicuri olehmu.”

Namun, ketika si buncit tengah berbicara itu, ayam jantan tiba-tiba berkokok: “Kiplip-kiplip (suara tiruan tepukan sayap, sebelum ayam berkokok) Kongkorongok (suara kokok ayam) // Kepala lubang disembuyikan, // ditutup oleh periuk, // ditempatkan di dalam mangkuk, // disimpan di rak piring, // cepat-cepat, // segera harus dicari, // jangan percaya kepada Nyi Sangkan, // sebab dia buruk hati, // dan ia bermaksud membunuhmu.” Setelah mendengar kokok ayam yang demikian bunyinya tersebut, maka si buncit segera mencarinya ke rak piring. Dan ketika ditengoknya, ternyata kepala lubang itu memang ada seperti dikatakan si ayam jalu yang cerdas itu, persis ditutup oleh periuk. Sejak itu si buncit tidak bicara lagi, dan ia terus melarikan diri karena marahnya dan benci yang teramat sangat kepada Nyi Sangkan. Ia pun langsung pergi ke Negara Pakuan Barat dan bertempat tinggal di sana sebagai pertapa di pegunungannya, di sekitar Gunung Halimun dan Gunung Salak. (Disadur Oleh Sulaiman Djaya)