Label

Selasa, 25 Desember 2018

Perjuangan untuk Industri yang Melayani Rakyat


oleh Federico Fuentes

Pada 27 Agustus 2008, Presiden Venezuela Hugo Chavez mengumumkan berakhirnya negosiasi dengan mantan pemilik Ternium atas nasionalisasi pabrik baja Sidor, dengan menyatakan bahwa pemerintahnya akan "mengambil alih semua perusahaan yang dimiliki [perusahaan tersebut] di sini", menegaskan bahwa Ternium "bisa angkat kaki".

Berbicara saat siaran televisi, ia berargumen bahwa yang menjadi alasan di balik keputusannya adalah kenyataan bahwa Ternium "tidak mengakui kedaulatan kita".

"Batas waktu yang ditentukan untuk mencapai kesepakatan telah habis, kita akan melangkah maju dan membayar mereka sesuai harga yang sebenarnya, lebih lagi itu tidak akan dilakukan semuanya sekaligus sebagaimana yang mereka inginkan. Tidak, kita akan membayar mereka sesuai tahapan yang kita mampu."

Hingga 9 April keputusan untuk menasionalisasi Sidor, konsorsium Ternium, yang pemegang saham terbesarnya adalah perusahaan transnasional Italia-Argentina Techint, memiliki 60% kontrol terhadap salah satu pabrik baja terbesar di Amerika Latin, yang berlokasi di negara bagian Bolivar yang merupakan pusat industri.

Setelah tampak mencapai kesepakatan dengan harga yang disepakati dalam minggu lalu, Chavez menyatakan bahwa Ternium telah mencoba memberlakukan persyaratan yang tak dapat diterima - termasuk mengeluarkan undang-undang yang memberikan Ternium kekebalan hukum dari kemungkinan gugatan di masa depan dikarenakan pelanggaran yang dilakukan Ternium terhadap tenaga pekerja Sidor.

Keputusan untuk menasionalisasi Sidor dijatuhkan setelah perseteruan selama 15 bulan antara pekerja dan perusahaan transnasional terkait kontrak kolektif.

Setelah mengintervensi untuk membantu tercapainya resolusi, Wakil-Presiden Venezuela Ramon Carrizzalez menyatakan bahwa negosiasi dengan pihak manajemen Sidor tidak lagi dimungkinkan, karena "sikap kolonial" dan "eksploitasi barbar" perusahaan tersebut.

"Ini adalah pemerintahan yang melindungi pekerja dan tidak akan pernah berpihak pada perusahaan transnasional", Carrizalez menekankan ketika mengumumkan tentang keputusan pemerintah untuk mengambil alih Sidor.

DESAKAN NASIONALISASI
Saat siaran langsung tanggal 27 Agustus, Chavez berdiri bersama para pemilik perusahaan dari industri semen, yang juga telah bernegosiasi dengan pemerintah sejak pengumuman tanggal 3 April yang menyatakan kehendak pemerintah untuk menasionalisasi tiga perusahaan semen terbesar yang mengontrol 90% sektor tersebut.

Sementara pemerintah telah mencapai kesepakatan dalam pembelian mayoritas saham perusahaan Perancis, Lafarge, dan perusahaan Swiss, Holcim; negosiasi dengan perusahaan terbesar Cemex yang berkepemilikan Mexiko menemui kegagalan.

Pada 18 Agustus, dengan berakhirnya masa negosiasi, pemerintah mengumumkan akan menyita Cemex dan memerintahkan pengambil-alihan instalasi-instalasinya.

Menurut hukum yang berlaku, tersedia masa 60 hari di mana kedua pihak dapat mencapai kesepakatan, dimulai dari sejak dideklrasikannya kehendak untuk menyita. Sementara Cemex meminta US$ 1.3 milyar, pemerintah menyatakan tidak akan membayar lebih dari $650 juta.

Walau demikian, kata Chavez, tidak seperti kasus Ternium, terdapat tanda-tanda positif bahwa kesepakatan dapat dicapai.

Chavez juga menggunakan siaran tersebut untuk menjelaskan tentang sebuah undang-undang yang baru disahkan dalam putaran pertama diskusi Majelis Nasional yang memberikan negara 60% kontrol terhadap distribusi petrol dari perusahaan minyak negara, PDVSA, ke SPBU (service stations) milik umum dan swasta.

Negosiasi kini akan dimulai dari tujuh perusahaan terbesar, diantaranya Texaco dan BP, dan 650 firma transportasi lainnya. Sisa 40% -nya akan berada di tangan koperasi dan pemilik usaha swasta kecil.

Menteri energi Rafael Ramirez juga mengumumkan bahwa pemerintah sedang mengupayakan langkah serupa terkait distribusi silinder gas LPG (elpiji).

Bulan lalu, Chavez mengumumkan rencananya untuk menasionalisasi Banco de Venezuela yang berkepemilikan Spanyol, yang hampir menggandakan kontrol negara dalam sektor keuangan yang persentase sebelumnya hanya 10%.

MEMBALIKKAN NEOLIBERALISME
Bersama dengan pengumuman yang dibuat sebelumnya pada tahun ini untuk mengembalikan kontrol lebih dari 30% produksi susu dan distribusi pangan, dan keputusan tahun lalu untuk meraih kontrol mayoritas di ladang minyak Sabuk Orinoco, langkah-langkah ini adalah bagian dari gelombang kedua nasionalisasi yang difokuskan kepada industri-industri yang berhubungan dengan produksi.

Gelombang pertama, yang dimulai pada awal 2007, diarahkan kepada layanan dasar - telekomunikasi dan listrik - untuk menjamin akses bagi seluruh rakyat Venezuela.

Menurut El Universal pada 25 Agustus, sejak awal tahun lalu 11 industri telah diserahkan ke tangan negara.

Meskipun pemerintah pro-kapitalis sebelumnya memprivatisasi sejumlah industri penting selama tahun 1990an (termasuk Sidor, sebagian sektor listrik dan perusahaan telekomunikasi CANTV), mata mereka selalu mengincar hadiah besarnya - PDVSA.

Namun, terpilihnya Chavez pada 1998 menghentikan rencana privatisasi semacam itu.

Sejak saat itu pemerintah, dengan dukungan mayoritas penduduk, telah berupaya membalikkan neoliberalisme.

Tidaklah mengherankan, kehebohan besar yang pertama diakibatkan oleh upaya pemerintah untuk mengambil kendali penuh terhadap perusahaan yang secara nominal dimiliki negara, PDVSA.

Perlawanan gigih dari kelas kapitalis yang parasitik, terbiasa menjadi lintah yang menghisap rente produksi PDVSA, memimpin kudeta militer singkat untuk menjatuhkan Chavez pada April 2002 dan mendalangi penutupan industri minyak oleh manajemen pro-kapitalis pada Desember 2002.

Kedua percobaan kelas kapitalis untuk menurunkan Chavez dijalankan dengan beraliansi dengan birokrasi serikat buruh yang korup dari Konfederasi Pekerja Venezuela (CTV).

Dalam perjuangan intens selama lebih dari dua bulan akibat penutupan tersebut, para pekerja minyak berdampingan dengan komunitas miskin dan angkatan bersenjata, membuka kembali PDVSA dan menjalankannya kembali di bawah kendali pekerja.

Kemenangan ini krusial untuk menjamin bahwa pemerintah dapat mulai menyalurkan keuntungan PDVSA untuk menjauhi para kapitalis dan menuju pendanaan misi-misi sosial yang menyediakan, antara lain, pendidikan dan kesehatan gratis. Misi-misi tersebut juga membantu pengorganisiran akar-rumput para Chavista.

Secara publik ia mendeklarasikan pada Januari 2005 bahwa dirinya telah dibuat yakin bahwa proyeknya untuk pembebasan nasional dan pemberantasan kemiskinan tidak akan dapat dicapai dalam batas-batas kapitalisme, Chavez memberikan argumen tentang kebutuhan melangkah maju menuju suatu "sosialisme baru abad ke-21".

Pada bulan yang sama, ia mengumunkan nasionalisasi pabrik kertas Venepal, yang para buruhnya telah berjuang untuk membukanya kembali setelah bos mereka menutup operasinya dalam aksi tutup pabrik pada Desember 2002.

Dengan merubah nama menjadi Invepal, pabrik tersebut diserah-terimakan kepada para pekerjanya sebagai perusahaan patungan antara negara dan koperasi buruh. Sejak saat itu, sejumlah pabrik-pabrik lebih kecil lainnya yang ditutup dan diambil-alih pekerja telah dinasionalisasi.

Namun, langkah-langkah nasionalisasi yang mengawali tahun 2007 menandakan lompatan kualitatif dalam proses pengembalian kontrol negara atas sektor strategis.

PERENCANAAN NEGARA
Langkah-langkah nasionalisasi ini dilakukan sejalan dengan rencana ekonomi pemerintah secara keseluruhan, yang mengupayakan kontrol negara terhadap industri-industri strategis untuk mengarahkan produksi demi kebutuhan bangsa Venezuela.

Kini di bawah kontrol negara, tiga perusahaan semen akan dimerger menjadi Korporasi Semen Nasional dan akan mengintegrasikan perencanaan produksinya dengan PDVSA dan Sidor - dengan berfokus pada pengembangan infrastruktur, penciptaan pusat-pusat industrial baru dan mendorong maju rencana pemerintah yang amat sangat dibutuhkan yakni pembangunan perumahan.

Yang juga sedang didirikan adalah Korporasi Baja Venezuela, yang akan mengelola seluruh rantai produksi baja yang kini 80% berada dalam kontrol negara - dari bahan dasar menjadi produk jadi. Produksi akan diarahkan menuju pembangunan perusahaan-perusahaan kecil dan menengah, industri minyak dan sektor perumahan.

Dan meskipun tidak dibuat pernyataan umum secara khusus, sepertinya tampak bahwa dengan nasionalisasi Banco de Venezuela, sektor perbankan publik akan diorganisasikan kembali menjadi satu bank publik nasional.

Undang-undang Administrasi Publik, yang ditetapkan pada 29 Juli sebagai bagian dari paket 26 UU yang dikeluarkan Chavez, menyatakan bahwa dalam bidang-bidang di mana terdapat perusahaan negara, mereka harus dikelompokkan menjadi satu. Ini dapat menyertakan perusahaan dalam beragam sektor industri yang, dikarenakan karakternya, bekerja bersama-sama.

Dengan nasionalisasi baru-baru ini, jumlah pekerja sektor negara akan meningkat menjadi 41.400, sedikit menyentuh di atas angka 2 juta menurut Institut Statistik Nasional. Ini belum termasuk perusahaan distribusi bahan bakar dan sektor distribusi silinder LPG, yang ada dalam daftar perusahaan yang akan dikontrol negara.

Ini menunjukkan peningkatan 53,5% dalam jumlah pekerja sektor publik dalam sembilan tahun terakhir. Yang juga penting, Chavez telah mengangkat perlunya memberantas praktek mengontrakkan tenaga kerja dalam sektor negara, yang akan meningkatkan angka ini lebih jauh lagi.

Dalam periode yang sama, jumlah pekerja (formal dan informal) dalam sektor swasta bertambah dari 7,3 juta menjadi 9,4 juta.

PEKERJA DAN PARTISIPASI KOMUNITAS
Hampir tidak ada langkah nasionalisasi belakangan ini yang secara langsung disebabkan oleh perjuangan pekerja dalam mendesak langkah tersebut, walaupun dalam banyak kasus terdapat konflik perburuhan (labour dispute). Inilah yang terjadi dalam kasus distribusi bahan bakar, di mana serikat buruh telah memperingatkan bahwa para bos mencoba untuk merekayasa kelangkaan dan memprovokasi pemogokan untuk melumpuhkan pemerintahan.

Walaupun sebagian besar nasionalisasi terhadap pabrik-pabrik kecil menunjukkan hal tersebut, hanyalah di Sidor yang dapat dikatakan bahwa tuntutan nasionalisasi datang dari pekerja.

Walaupun demikian, tuntutan tersebut diangkat hanya dalam periode akhir perjuangan setelah kampanye yang gigih oleh sekumpulan inti (nucleus) kecil pekerja Sidor.

Tetap saja, masa depan perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi bergantung pada kapasitas politik dan organisasional kelas pekerja yang menjalankan industri tersebut - dan kelas pekerja tersebut saat ini sedang berada dalam keadaan tercerai-berai dan fragmentasi.

Secara tak resmi, menurut Ultimas Noticias pada 27 April, terdapat tak kurang dari 3600 serikat buruh di Venezuela.

Keadaan cerai-berai ini dikarenakan oleh sejumlah faktor, tapi dua hal secara khusus terlihat menyolok. Pertama, dengan naiknya Chavez ke kekuasaan dan meluasnya hak-hak pekerja dan kebebasan berserikat; tempat kerja di penjuru negeri mengalami ledakan dalam jumlah pengorganisiran serikat buruh.

Seusai kekalahan para bos dalam aksi tutup pabrik, mayoritas serikat buruh yang pro-revolusi berdiri di belakang Serikat Pekerja Nasional (UNT), yang dengan cepat menggantikan CTV sebagai konfederasi serikat buruh utama.

Walau demikian UNT dijangkiti perseteruan internal yang sengit. Perpecahan ini semakin diperdalam dengan keputusan dua aliran serikat buruh untuk meninggalkan UNT dan membentuk sebuah konfederasi serikat buruh baru.

Ditambah pula pengalaman negatif dalam beberapa pabrik yang dijalankan oleh negara - seperti mengeksploitasi buruh kontrak dan memperkaya diri sendiri.

Kedua, tindakan beberapa seksi pemerintahan dan birokrasi negara juga telah merugikan pengorganisiran-diri para buruh dan partisipasi mereka dalam menjalankan industri milik negara.

Di bawah menteri perburuhan sebelumnya, Jose Ramon Rivero (yang secara aktif bekerja menentang para pekerja Sidor), unionisme paralel digalakkan untuk menguntungkan aliran serikat buruh tempat berasalnya menteri tersebut dan bertujuan meredam konflik perburuhan.

Dalam PDVSA dan perusahaan listrik negara, buruh menghadapi serangan oleh para birokrat yang takut kehilangan kekuasaannya bila buruh mengambil peran lebih besar dalam pengelolaannya.

Penting dicatat bahwa berbagai nasionalisasi baru-baru ini terjadi sejalan dengan diluncurkannya misi sosial 13 April, yang bertujuan meningkatkan kekuasaan rakyat.

Chavez telah menyatakan bahwa sebagian dari tujuan misi tersebut adalah untuk mentransfer kontrol atas berbagai layanan kepada komunitas-komunitas terorganisir, dalam bentuk dewan-dewan komunal dan komune, dan pembentukan unit-unit produksi dan pabrik yang akan dimiliki dan dijalankan secara sosial.

Tanpa partisipasi pekerja dan komunitas terorganisir dalam menjalankan industri dan dalam melakukan perencanaan demokratik, kontrol terhadap perusahaan negara akan berakhir di tangan kaum birokrat yang lebih berkepentingan dalam mempertahankan jatah kekuasaan dan hak-hak istimewa mereka.

Lebih jauh lagi, mereka membatasi kemampuan buruh agar tidak dapat sepenuhnya mengembangkan potensi kreatif mereka, justru mengkotak-kotakkan mereka ke dalam peran sebagai sekedar penyedia tenaga kerja.

Ini telah menciptakan situasi seperti yang terjadi dalam pabrik katup yang dinasionalisasi, Inveval, yang dijalankan di bawah kontrol pekerja, yang memiliki kapasitas untuk memproduksi katup untuk PDVSA.

Namun, Inveval telah dipinggirkan oleh birokrat PDVSA yang lebih memilih untuk melanjutkan kontraknya dengan perusahaan swasta.

Secara signifikan, dilaporkan pada 28 Agustus bahwa Inveval kini menjadi perusahaan campuran, yang dimiliki secara patungan dengan PDVSA dan akan secara langsung memasok katup bagi perusahaan minyak negara tersebut.

Dalam sektor listrik, meskipun telah berulang-kali diperingatkan oleh para pekerjanya, terdapat krisis yang mengancam industri tersebut akibat rencana pembangkit dan distribusi listrik yang tidak memperhitungkan peningkatan permintaan yang disebabkan oleh pertambahan pesat proyek-proyek industrial dan perumahan.

Berpidato pada awal demonstrasi Hari Buruh Sedunia (May Day) tahun ini, Chavez sekali lagi mengulangi seruannya kepada kelas pekerja untuk mengambil kepemimpinan dalam perjuangan untuk sosialisme. "Tak ada revolusi tanpa pekerja, dan saya tambahkan, tidak ada sosialisme tanpa kelas pekerja", tegasnya.

"Inilah mengapa kelas pekerja yang dibutuhkan revolusi haruslah berkesadaran tinggi, sangat bersatu", katanya.

"Revolusi Bolivarian ... perlu "diproletariatkan" ... ideologi proletariat harus mendominasi segala bidang, sebuah ideologi yang transformasional, sungguh-sungguh revolusioner, dan mengalahkan aliran borjuasi kecil yang selalu berakhir menjadi ... kontra-revolusioner."

Pertama kali diterbitkan dalam Green Left Weekly pada 29 Agustus 2008. Diterjemahkan oleh NEFOS.org 


Krisis Wall Street: Ketika Orang Miskin Talangi Orang Kaya


oleh Peter Boyle*

“Enak jadi orang kaya di negeri ini”, demikian ucapan seorang komedian Wanda Sykes, dalam Acara Malam bersama Jay Leno pada 24 September 2008 lalu. “Kita tidak membolehkan mereka berhenti jadi orang kaya. Coba bayangkan. Rakyat yang kantungnya kempis menalangi orang-orang kaya. Inilah yang saat ini sedang terjadi.”

Dan mereka menolak pengawasan. 700 Milyar dolar AS dan bebas pengawasan! Bebas pengawasan? Kenapa harus begitu? Saya mau bukti tanda terimanya, keparat! Apa maksudnya tanpa pengawasan? Karena…oh, kalian menggunakan uang sebelumnya dengan sangat baik?"

Inilah kebusukan terbesar yang pernah ada. Anda tahu? Ini tunjangan sosial buat orang-orang kaya....

Karena ini, setiap pembayar pajak akan dikenai biaya 7000 dolar AS. Bayangkan, seseorang harus banting tulang melakukan dua pekerjaan dan hanya memperoleh penghasilan 12.000 dolar AS per tahun dan ia masih harus menyisihkannya agar segelintir orang di Wall Street bisa tetap memiliki kolam renangnya! Bung, itu benar-benar busuk!

'PENIPUAN BERSEJARAH'
Malam itu, pemunculan Sykes mendahului pidato Presiden AS George W. Bush di televisi, ketika ia menuntut Kongres untuk menyetujui dana talangan (bailout) sebesar 700 Milyar AS atau bila tidak harus menghadapi 'resesi yang berkepanjangan dan menyakitkan". Bush memanggil para kandidat presiden Barack Obama dan John McCain untuk menghadiri rapat darurat di Gedung Putih.

Kongres mendapat tekanan untuk menyetujui dana talangan itu, tapi para politisi melaporkan bahwa anggota mereka semakin banyak yang menolak dana talangan tersebut. Tidak heran, dalam jangka waktu lebih dari 2 tahun terakhir ini jutaan orang di AS kehilangan rumahnya dan pendapatannya merosot, sementara keuntungan korporasi melambung tinggi. Setidaknya dalam 2 dekade, 1% penduduk terkaya di AS mendapat jatah terbesar dari pemasukan negeri itu, sementara rata-rata tingkat pajak mereka turun ke titik terendah dalam delapan-belas tahun terakhir atau lebih (Wall Street Journal, 23 Juli 2008).

Sebagaimana dijelaskan oleh penulis progresif asal AS, Rick Wolf, dalam MR-zine:

"Pertumbuhan upah riil di AS telah berhenti sejak tahun 70-an, namun kejiwaan dan kepribadian rakyat Amerika, yang menjadi bulan-bulanan periklanan, tetap saja terikat oleh konsumsi yang semakin meningkat. Untuk memungkinkan itu, para pekerja dengan upah minimum harus mencari pinjaman agar dapat mencukupi konsumsi yang membumbung tinggi. Dalam 30 tahun terakhir, pinjaman telah melebihi upah, dan peningkatan utang konsumen menimbulkan resiko dan ancaman baru. Bila politisi secara simultan menggunakan pinjaman dari negara untuk menghindari pengenaan pajak bagi kaum kaya, sementara menyediakan subsidi yang besar bagi korporasi dan menjalankan peperangan yang tak berkesudahan, maka masalah utang pun menjamur. Perusahaan-perusahaan finansial yang tak diregulasi dan agresif merebut "kesempatan pasar" yang tercipta dengan menggunakan cara-cara yang kompleks, tersembunyi, dan begitu membahayakan resikonya untuk mengambil keuntungan besar dari gelembung utang sosial.

"Ekonomi yang berada di bawah tingkat prima (sub-prima) menghasilkan upah sub-prima, peminjam sub-prima, kreditor sub-prima dan regulasi pemerintahan yang sub-prima..."

Dilihat dari sudut pandang mayoritas luas rakyat, elit korporasi yang sudah sewenang-wenang memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan mayoritas rakyat pekerja, kini - setelah tersandung akibat berpesta-pora dalam spekulasi pasar finansial yang tak diregulasi - mengemis-ngemis ke khalayak umum agar diberikan dana talangan sebesar $700 milyar dolar AS. Sesungguhnya itu dua kali lipat lebih besar. Tahun lalu, Wall Street telah mendapatkan dana talangan sejumlah $900 milyar. Jadi apa yang kita saksikan sekarang ini adalah dana talangan sebesar lebih dari satu setengah trilyun untuk para korporasi.

Lalu siapa yang bisa bilang kalau ini akan berhenti di sini? Partai Konservatif mengestimasikan jumlah utang buruk (bad debt) dalam sistem keuangan AS sebesar $1-2 trilyun. Tapi bisa saja lebih dari itu. Tidak seorang pun yang tahu, bahkan bank-bank tidak membuka buku agar bisa diketahui oleh publik.

Proposal dana talangan dari administrasi milik Bush pada dasarnya bertujuan agar publik terus membeli utang-utang yang buruk dari bank-bank ini dengan harga yang telah ditinggikan. William Greider menulis dalam Nation (September 19, 2008) edisi AS: “Jika Wall Street bisa melakukan ini dengan leluasa, maka ini merupakan penipuan bersejarah terhadap publik Amerika -- manis bagi para penjahatnya, derita dan kerusakan berkepanjangan bagi para korbannya."

TERANTAI DENGAN PEREKONOMIAN AS
Bila publik di AS merasa diperas dan dikelabui, mereka tidak sendirian.

Walden Bello, dalam tulisannya di Nation edisi Manila pada 24 September 2008, mendapati adanya kegelisahan di Dunia Ketiga, dimana krisis Wall Street saat ini seperti sebuah “pengulangan, hanya dalam skala yang jauh lebih besar dibandingkan krisis keuangan Asia pada 1997, yang sempat meruntuhkan ‘Macan Ekonomi’ Timur yang sedang panas-panasnya”.

Ketiadaan regulasi di Wall Street yang mengejutkan itu telah mengembalikan memori buruk terhadap penghapusan kontrol modal oleh pemerintahan di Asia Timur, yang dilakukan di bawah tekanan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund - IMF) dan Departemen Bendahara AS (US Treasury Department). Langkah ini memicu tsunami kapital spekulatif yang melanda pasar Asia dan segera surut setelah berjatuhannya harga-harga tanah dan saham yang sebelumnya menjulang tinggi.

Pengajuan dana talangan yang sangat besar oleh Sekretaris Bendahara, Paulson, kepada para raksasa Wall Street yang telah tercoreng statusnya, mengingatkan orang di sini pada milyaran dolar dana yang disodorkan oleh IMF setelah '97 dengan alasan untuk membantu mereka -- padahal uang tersebut justru digunakan untuk menyelamatkan investor asing.

Bello menambahkan: “ Trilyunan dolar uang publik dan swasta di Asia telah diinvestasikan dalam berbagai perusahaan dan kepemilikan (property) di AS, dengan lima pemegang saham terbesar dari Asia menguasai lebih dari setengah total investasi asing dalam bentuk instrumen utang pemerintah AS. Dana dari Asia telah menjadi penyokong utama pembelanjaan pemerintah AS dan konsumsi kelas-menengah yang telah mengendalikan ekonomi Amerika. Dengan begitu banyaknya kekayaan Asia yang bergantung pada kestabilan ekonomi AS, sepertinya tidak akan ada langkah mendadak untuk meninggalkan sekuritas Wall Street dan surat berharga Bendahara AS...

"Lebih jauh lagi, di Asia terdapat kerelaan untuk menerima tak terhindarkannya lagi resesi yang mendalam di AS berikut dampaknya yang sepertinya akan massif di Timur: Amerika Serikat adalah tujuan ekspor utama Tiongkok, sementara Tiongkok mengimpor bahan baku dan bahan setengah jadi dari Jepang, Korea dan Asia Tenggara untuk dibentuk menjadi produk yang dikirimkan ke Amerika Serikat. Meskipun terdapat beberapa pembicaraan beberapa bulan lalu tentang kemungkinan bahwa nasib ekonomi Asia bisa 'dipisahkan' dari Amerika Serikat, kebanyakan pengamat kini melihat ekonomi-ekonomi ini sebagai anggota suatu gerombolan berantai yang saling terbelenggu satu sama lainnya, setidaknya dalam jangka pendek dan menengah."

TRILYUNAN DOLAR DAPAT DIBELANJAKAN UNTUK KEBUTUHAN RIIL
Ratusan milyar dolar yang telah disia-siakan dalam serangkaian dana talangan korporasi ini telah mengambil alih setidaknya $750 milyar uang yang dibelanjakan AS dalam perang pendudukan Irak dan Afganistan. Dan dalam waktu dekat pembelanjaan senjata secara global akan mencapai angka $3 trilyun.

Pada 24 September lalu, Wakil Presiden Kuba, Jose Ramon Machado, dalam sesi ke-63 Sidang Umum PBB merinci sebuah program untuk penggunaan alternatif bagi jumlah uang yang besar itu.

"Sementara satu trilyun dollar dibelanjakan untuk persenjataan di dunia, lebih dari 850 juta manusia hidup kelaparan; 1,1 milyar tak memiliki akses terhadap air minum; 2,6 milyar tidak memiliki sistem sanitasi dan lebih dari 800 juta orang buta huruf.

Lebih dari 640 juta anak tidak mendapatkan perumahan yang layak, 115 juta tidak mengikuti sekolah dasar dan 10 juta meninggal sebelum usia 5 tahun, dalam kebanyakan kasus disebabkan oleh penyakit yang dapat disembuhkan.”

Machado menambahkan: ”Formulanya tidak sulit dan tidak membutuhkan pengorbanan besar. Yang kita butuhkan hanyalah niat politik yang baik, tidak egois dan pemahaman obyektif bahwa bila kita tidak segera bertindak hari ini juga, konsekuensinya adalah kehancuran total yang akan dirasakan baik oleh yang kaya maupun yang miskin. Demi alasan inilah, sekali lagi, Kuba menghimbau kepada pemerintahan negeri-negeri maju, atas nama negeri-negeri Gerakan Non-Blok, untuk menghormati komitmennya; dan secara khusus Kuba mendesak mereka untuk:

[1] Mengakhiri perang pendudukan dan penjarahan sumber daya alam negeri-negeri Dunia Ketiga, serta menyisihkan setidaknya sebagian dari dana perang mereka sebagai bantuan internasional untuk mendukung pembangunan yang berkesinambungan.

[2] Menghapuskan utang luar negeri Negara-negara berkembang karena itu telah dilunasi lebih dari sekali dan dengan begitu, memberikan sumber daya tambahan yang bisa disalurkan untuk program pembangunan ekonomi dan sosial.

[3] Menghormati komitmen untuk mengalokasikan setidaknya 0,7% dari produk domestik bruto untuk Bantuan Pengembangan Resmi, dengan tanpa syarat, agar negara-negara Selatan dapat mempergunakan sumber daya tersebut untuk kebutuhan prioritas nasional dan ini juga memperbaiki akses negeri-negeri miskin terhadap pendanaan segar yang jumlahnya substansial.

[4] Alokasikan seperempat uang yang tiap tahunnya dihamburkan untuk iklan komersial produksi pangan; ini akan menyisihkan tambahan dolar berjumlah hampir sebesar 250 milyar untuk memerangi kelaparan dan kekurangan gizi.

[5] Alihkan uang yang digunakan oleh Utara untuk subsidi pertanian, kepada pembangunan pertanian di Selatan. Dengan melakukan ini, negeri-negeri kami akan memiliki sekitar satu milyar dolar per hari yang tersedia untuk diinvestasikan dalam produksi pangan.

[6] Mematuhi komitmen Kyoto Protocol dan rangkaian komitmen untuk pengurangan (gas rumah kaca) emisi yang diharapkan dapat dimulai pada tahun 2012, tanpa menambah pelarangan bagi negara-negara, yang bahkan sampai hari ini, telah menjaga level emisi per kapitanya jauh lebih rendah dibandingkan yang ada di negara2 bagian Utara.

[7] Meningkatkan akses negeri dunia ketiga terhadap teknologi dan membantu pelatihan sumber daya manusianya. Saat ini begitu kontras keadaannya karena personil berkualifiasi dari Selatan berada dalam iklim kompetisi dan insentif yang tak adil akibat kebijakan diskriminatoris dan selektif yang diterapkan oleh AS dan Eropa.

[8] Dan sesuatu yang sampai saat ini merupakan hal mendesak adalah penegakan tatanan internasional yang demokratik dan adil, dan sebuah sistem perdagangan yang adil dan transparan di mana semua negara akan berpartisipasi secara berdaulat dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka."

KEMBALI KE NEGERI BANTENG NEO-LIBERAL
Wanda Sykes bukan satu-satunya orang yang menyadari bahwa baterai alat pengukur bualan yang digunakannya telah habis setelah digunakan beberapa minggu terakhir ini. Ia telah menyatakan sentimen kemarahan mayoritas rakyat di AS dan mungkin juga di seluruh dunia. Ketika Presiden AS Bush tampil pada 24 September 2008 dalam pidatonya di televisi untuk mendagangkan rencana penalangan korporasi yang terbesar sejak The Great Depression, baterai mereka berubah dari yang tadinya penuh menjadi kosong.

"Saya seorang yang mempercayai penuh usaha yang bebas, jadi insting alamiah saya adalah menentang intervensi pemerintah", tekan Bush kepada para pendengar yang skeptis. "Saya percaya bahwa perusahaan yang mengambil keputusan buruk harus dibiarkan untuk keluar dari bisnis."

Lalu datanglah kata yang dinantikan, "TAPI".

"Dalam keadaan normal, saya akan menempuh jalan ini. Tapi saat ini keadaan tidaklah normal. Pasar tidak berfungsi dengan baik. Terdapat ketidak-percayaan yang meluas, dan sektor-sektor utama sistem finansial Amerika beresiko harus dihentikan.

Pakar ekonomi top pemerintah memperingatkan bahwa bila Kongres tidak segera mengambil langkah mendesak, Amerika dapat terpelincir menuju kepanikan finansial dan akan berlakulah skenario darurat.”

Tapi pengalihan kerugian korporasi yang milyaran dolar besarnya kepada masyarakat (sosialisasi) bukanlah di luar praktek kapitalis "normal", melainkan salah satu sifat penting dari kapitalisme abad ke-21. Meskipun seluruh ocehan sayap-kanan yang berideologikan neoliberal menghendaki pengurangan intervensi pemerintah, di rumah kapitalisme "pasar-bebas" sendiri proporsi pengeluaran negara terhadap produk domestik bruto (PDB) telah meningkat dari 8.6% pada 1937 menjadi rata-rata 20% dalam dekade terakhir. Proporsi pemasukan pajak terhadap PDB pun juga meningkat.

Kapitalisme modern benar-benar bersandar pada sokongan dana publik - dan tidak hanya saat berada dalam krisis. Lihat saja bagian yang didapat korporasi dari trilyunan dolar pembelanjaan publik untuk persenjataan, pembuatan jalan raya dan infrastruktur lainnya. Lihatlah subsidi-subsidi gemuk untuk perusahaan asuransi kesehatan swasta dan agrobisnis. Omongan "pasar bebas" menutupi kenyataan bahwa telah banyak dibelanjakan uang dari saku publik untuk memberikan potongan pajak bagi perusahaan kaya dan tunjangan perusahaan, dana talangan hanyalah bagian dari ini.

Kini, korporasi raksasa bahkan bergantung pada semacam pajak atas upah untuk mengumpulkan kapital yang besar yang digunakan untuk mengambil alih korporasi lainnya dan untuk menjadikan perusahaan itu semakin raksasa. Mereka menggunakan dana pensiun kita untuk kepentingan ini maupun untuk turut serta dalam spekulasi yang tak masuk akal yang kini menyapu sebagian besar dana-dana tersebut. Anda pikir itu uang Anda, tapi mereka selalu melihatnya sebagai milik mereka yang dapat dimainkan untuk menimbun lebih banyak uang kotor.

Langkah yang rasional adalah mengakhiri keserakahan yang menciptakan mimpi buruk ini. Bila kerugian bank harus dialihkan ke publik (sosialisasi) maka keuntungannya pun harus dialihkan ke publik dan trilyunan dolar uang tersebut harus digunakan untuk mengatasi kebutuhan sosial dan lingkungan hidup yang mendesak. Ini bukan sekedar ide yang indah, ini adalah hal yang harus dilakukan agar manusia dapat bertahan hidup.

*Sekretaris Nasional dari Perspektif Sosialis Demokratik (DSP) dari Australia.

Diambil dari Links; International Journal of Socialist Renewal. Diterjemahkan oleh NEFOS.org 


Senin, 24 Desember 2018

Dagelan Freeport


oleh Farid Gaban

“Rekaman kasak-kusuk saham Freeport hanya menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia, baik eksekutif maupun legislatif, masih membuka peluang kemungkinan perpanjangan kontrak. Atau membuka peluang jual-beli saham Freeport yang akan mereka tinggalkan.”

Sebuah pagi, lima tahun lalu. Kapal yang saya tumpangi bersandar di Pelabuhan Amamapare, Papua. Ini pelabuhan kecil pada sebuah selat dengan air laut yang teduh. Pelabuhan itu milik PT Freeport Indonesia dan berjarak hanya 30 kilometer dari Timika, lokasi tambang emas terkenal itu.

Di kejauhan tampak hutan bakau yang hijau dan rimbun. Perahu-perahu kecil lalu-lalang membawa penumpang dari dan ke seberang selat. Tiga anak kecil, salah satunya telanjang, mendayung sampan kayu di dekat dermaga.

Di pantai yang tengah surut tampak deretan rumah panggung. Tiang dan dindingnya dari kayu, atapnya rumbia. Rapuh dan kumuh. Seorang perempuan dan anak kecil membawa ember mengambil air laut yang kotor untuk mencuci baju dan barang pecah belah.

Kondisi sosial ekonomi warga Papua di sekitar Amamapare sama sekali berkebalikan dengan fakta bahwa mereka hidup tak jauh dari salah satu tambang emas terkaya di dunia.

Saya mengingat mereka ketika mendengar diskusi yang gaduh di Jakarta tentang Freeport. Saya juga mengingat orang-orang di Boven Digoel, dekat Merauke, tempat pengasingan para pejuang kemerdekaan, yang listriknya bisa mati beberapa hari, biaya hidupnya lebih mahal dari Jawa akibat jalanan yang mirip sungai berlumpur.

Sidang majelis etik parlemen (Mahkamah Kehormatan Dewan), yang membahas rekaman kasak-kusuk negosiasi perpanjangan kontrak karya Freeport, punya aspek bagus sebagai bahan renungan mendalam. Sidang terbuka itu membongkar borok ketamakan, kerakusan, dan inkompetensi para elite politik kita, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Sidang itu membuka mata kita bahwa selama ini, meski ada pemilihan umum yang rutin, Indonesia sebenarnya dikuasai oleh segelintir elite oligarki yang mengaveling kekayaan alam negeri ini untuk kepentingan egoistis mereka. Dalam memenuhi hasrat ketamakan pribadi, mereka rela menjual negeri ini ke tangan orang asing. Dan, rakyat tak berdaya. Khususnya rakyat Papua, yang tak berdaya dan diabaikan.

Rekaman kasak-kusuk Freeport hanya menunjukkan betapa egois elite nasional dan wakil perusahaan multinasional itu. Reaksi umum orang Indonesia juga sama egoisnya. Mereka peduli Papua hanya emasnya. Bukan kesejahteraan manusianya.

Rekaman itu mempertontonkan bagaimana elite Jakarta, baik menteri, pengusaha, maupun mantan pejabat intelijen yang mewakili kepentingan asing Freeport, tak ubahnya seperti kompeni (VOC) dulu mengaveling dan menjarah kekayaan alam Hindia Belanda.

Kita akan terkecoh jika cuma sibuk menuding dan memaki siapa setan dalam kasus ini; atau sebaliknya, memuja siapa pahlawan di situ. Kita akan gigit jari juga jika hanya sibuk mendiskusikan hal remeh-temeh tentang sikap, kelakuan, dan kekonyolan dewan etik parlemen.

Semua pihak yang terlibat, termasuk Freeport, punya kepentingan untuk membuat publik hanya melihat kabut asap. Tapi, bukan menemukan pertanyaan-pertanyaan terpenting dari kasus ini.

Baik Sudirman Said, Setya Novanto, Luhut Panjaitan, maupun Maroef Sjamsoeddin hanya aktor. Kita perlu tahu persis jalan cerita yang sedang dimainkan. Mereka hanya penyanyi. Kita perlu tahu persis apa musik dan syair terselubung yang mereka nyanyikan.

Semua kontroversi itu bermula dari satu pertanyaan terpenting: apakah Indonesia akan memperpanjang kontrak karya dengan Freeport yang habis pada 2021?

Rekaman kasak-kusuk saham Freeport hanya menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia, baik eksekutif maupun legislatif, masih membuka peluang kemungkinan perpanjangan kontrak. Atau membuka peluang jual-beli saham Freeport yang akan mereka tinggalkan.

Itu patut disayangkan. Jika Presiden dan parlemen tegas memberi sinyal tidak memperpanjang kontrak karya, kasak-kusuk seperti itu tidak perlu terjadi. Tambang akan otomatis kembali menjadi milik negara dan saham Freeport tak lagi relevan dibicarakan.

Kontroversi di parlemen, meski positif dalam membongkar topeng kerakusan elite Indonesia, memberi Freeport argumen kuat untuk meneruskan kontrak atau menegosiasikan saham: “Lihat, betapa korup pejabat Indonesia dan betapa inkompeten penyelenggara negeri Indonesia? Jika begitu, bukankah sebaiknya tambang emas ini tetap dikelola perusahaan asing dan/atau perusahaan swasta kroni lokal?”


Saya tak mau menelan kabut kontroversi. Saya hanya akan menunggu akhir (ending) drama komedi ini. Apakah kontrak Freeport akhirnya diperpanjang? Semoga tidak. Apakah ada mekanisme rakyat Papua, termasuk warga Amamapare, bisa lebih berdaulat memanfaatkan kekayaan alam mereka secara berkelanjutan? Semoga ada.

Jumatan di Hisbullah


oleh Dahlan Iskan

MACET di mana-mana. Juga di Beirut. Kunjungan saya baru saja selesai: ke gedung pusat agama Druze. Pun ke makam Druze.


Waktu Jumatan sudah dekat.

“Saya mau salat Jumat,” kata saya pada sopir.

“Aina,” tanya sopir.

“Masjid mana saja,” jawab saya.

Macet sekali hari ini. Juga kemarin sore. Saat hujan turun sepanjang hari. Waktu saya habis di jalan.

“Hunaka,” kata sopir. Sambil menudingkan jari. Ke arah bangunan masjid bermenara tinggi. Saya setuju.

“Itu masjid apa? Sunni atau Syiah?,” tanya saya.

“Syiah,” jawabnya.

“Di daerah sini Syiah semua. Ini kawasan Hisbullah. Sunni sedikit di kawasan ini,” tambahnya.

Azan sudah berkumandang. Terdengar dari jauh. Saya pun siap-siap turun dari mobil.

“Anda tidak Jumatan?” tanya saya.

“Tidak,” jawabnya.

“Saya tunggu di tempat parkir ini. Baju saya kotor,” tambahnya.

Kalau mau salat, katanya, harus bersih, harus pakai parfum.

Saya pun menuju masjid besar itu. Yang di sekelilingnya dipagari kawat berduri. Tinggi sekali. Pertanda tidak aman.

Pun jalan menuju ke kawasan Hisbullah ini. Ada barikade. Ada pos keamanan. Yang dijaga tentara-tentara bersenjata. Tapi tidak sampai melakukan pemeriksaan. Mobil lewat begitu saja. Dengan kaca jendela di buka. Dan menyapa si tentara.

Kawasan pengikut Hisbullah ini besar sekali. Hampir seperempat Kota Beirut. Dengan penduduk amat padat. Rumah susun empat, lima, enam, delapan, 12 berhimpitan. Agak kurang terpelihara.

Kawasan ini sering jadi sasaran senjata berat. Jembatan itu pernah runtuh. Rumah-rumah itu hancur.

Belakangan ini banyak orang Hisbullah pergi ke Syiria. Berperang. Melawan ISIS. Banyak pula yang mati di sana. Termasuk kakak kandung sopir saya tadi.

Saya sudah tahu bagaimana memasuki masjid Syiah. Tidak ada bedanya dengan masuk masjid Sunni. Saya juga sudah biasa berwudu dengan cara tidak basuh kaki. Cukup mengoleskan jari tangan yang basah. Ke punggung telapak kaki.

Masjid ini penuh sekali. Kira-kira seribu orang. Tidak ada yang pakai tutup kepala. Tidak ada yang pakai sorban.

Semua jamaah pakai baju biasa. Banyak yang pakai celana jean. Kaus dan jaket. Tapi hanya saya yang tidak pakai kaus kaki.

Di seperempat ruang ini seperti di dalam gereja. Ada barisan meja. Dan kursi. Lima baris. Untuk jamaah yang sudah tua. Yang tidak bisa salat di lantai.

Tepat jam 11.45 seseorang masuk dari pintu sebelah mihrab. Dengan pakaian seperti ayatullah. Langsung menuju mimbar. Berkhotbah. Dalam bahasa Arab. Tentu saja. Tanpa ‘assalamu’alaikum’.

Setelah beberapa kalimat khotbah jemaah mengucapkan salawat nabi. Tiga kali. Serentak. Dengan suara keras.

Khotbah dilanjutkan. Temanya tentang lahirnya Nabi Isa. Mungkin agar aktual. Jumatan kali ini sudah dekat dengan hari Natal.

Di awal khotbah, dua kali jemaah tertawa hampir serentak. Ada bagian yang lucu dalam khotbah itu. Lalu tertawa sekali lagi. Ada yang lucu lagi.

Saya tidak ikut tertawa. Tidak paham lucunya di mana. Bahasa Arab saya tidak cukup untuk menangkap kalimat yang lucu-lucu.

Di Indonesia tidak begitu. Tidak pernah ada jemaah salat Jumat yang sampai tertawa. Pengkhotbahnya umumnya serius. Atau serius sekali.

Khotbah masih berlangsung. Anak muda di sebelah saya berdiri. Salat. Beberapa rakaat. Ia didatangi seorang tua. Yang melarang ia salat. Ini saatnya mendengarkan khotbah.

Yang dilarang tetap saja salat. Yang melarang tidak ngotot. Kembali duduk ke tempatnya semula. Rupanya orang tua itu ingin meluruskan logika: mendengarkan khotbah itu wajib. Salat sunnah itu tidak wajib.

Di Lebanon ini khotbahnya panjang sekali. Hampir 45 menit. Tanpa henti. Tidak ada khotbah pertama atau kedua. Sesekali jamaah melantunkan salawat nabi. Serentak. Di sela-sela khotbah. Di setiap ujung kalimat yang menarik.

Khotbah selesai. Terdengar suara azan. Yang diselipi syahadat ketiga: bahwa Ali itu wali Allah. Yang diselipkan setelah dua syahadat. Lalu iqamat.

Salat dimulai. Saya tidak mau berbeda sendiri. Saya keluarkan juga turbah. Dari kantong saya. Bentuknya seperti kue bakpia. Yang terbuat dari tanah. Yang diambil dari Karbala. Iraq Selatan. Tempat dibunuhnya Sayidina Husein. Salah satu dari 12 imam Syiah.

Turbah itu saya ambil dari tempatnya. Di dekat pintu masuk masjid. Banyak tersedia di situ. Saya ambil satu.

Saya taruh turbah itu di atas sajadah. Di posisi dahi saya nanti. Saat saya sujud nanti. Semua jamaah melakukan seperti itu. Turbah itu terbawa ke hotel. Akan saya bawa pulang. Turbah lama saya hilang. Atau diminta orang. Yang saya ambil dari masjid di kota Qom dulu. Di pusatnya Syiah. Di Iran.

Saya ikut saja. Bagaimana gerakan salat kanan-kiri saya. Termasuk tidak sedakep tangan di dada. Bacaan rukuk dan sujud pun ikut imam. Toh suara imam cukup keras. Di saat rukuk dan sujud sekali pun.

Salat itu empat rakaat. Tidak seperti di Indonesia: dua rakaat. Saya masih berpikir: salat apakah tadi itu?

Jangan-jangan salat duhur empat rakaat. Tidak ada salat Jumat. Atau dua rakaat salat duhur dan dua rakaat salat asar. Orang Syiah kan biasa menggabungkan dua salat itu?

Selesai salat empat rakaat itu saya pun berdiri. Jemaah lain tidak. Masih tetap di tempat duduk mereka. Semua. Melantunkan kalimat-kalimat pujian. Pada Nabi Muhammad SAW.

Saya meninggalkan saf di depan. Menuju pintu keluar. Sendirian. Mencari sepatu. Dan kaus kaki. Yang terserak. Campur sepatu lainnya.

Di depan pintu itu ada anak remaja. Berdiri. Membawa nampan. Umurnya sekitar 10 tahun. Pakaiannya seperti pramuka. Ada foto Ayatullah Khomaini. Menggantung di dadanya.

Nampan itu berisi permen. Siapa saja boleh ambil permen itu. Sambil meninggalkan uang kecil. Ia lagi mencari dana.

Pramuka itu menyapa saya. Dengan bahasa Inggris yang sangat lancar. Saya menjawabnya: dari Indonesia. Ia tampak sangat gembira.

“Tadi itu salatnya empat rakaat. Apakah itu salat duhur dan asar sekaligus?” tanya saya.

“Bukan,” jawabnya. “Salat asarnya sebentar lagi. Tiga menit lagi,” tambahnya.

“Kok tadi itu empat rakaat. Mengapa empat rakaat?,” tanya saya lagi.

“Ya begitulah. Harus begitu,” jawabnya.

Saya bergegas balik ke dalam masjid. Copot sepatu lagi. Takut ketinggalan salat asar. Saya pun ikut salat empat rakaat lagi. Saya kan musafir.

Saya tidak sempat ngobrol-ngobrol setelah Jumatan. Acara lain sudah menunggu. Macet lagi. Parah.

Ternyata mobil diberhentikan di suatu tempat. Sekitar 1 Km dari masjid. Sopir minta ijin turun. Masuk makam. Saya mengikutinya. Ingin tahu.

Ia berdoa di depan salah satu batu nisan. Saya ikut berdoa.

“Ini nisan kakak saya. Meninggal di Syiria. Ia syahid. Melawan ISIS. Itu fotonya,” katanya.

Semua nisan di situ dilengkapi foto berwarna. Dalam pakaian militer Hisbullah. Dalam posisi bersenjata.

Di seberang makam kakaknya itu ada makam lain. Yang lebih penting. Makamnya anak Hassan Nasrullah. Pemimpin tertinggi Hisbullah. Namanya: Hadi Nasrullah. Umur: 19 tahun. Meninggal dibom Israel. Namanya diabadikan. Menjadi nama jalan utama di kawasan ini.

Juga ada makam Imad Mughni. Panglima tentara Hisbullah. Dan ratusan pahlawan Hisbullah lainnya.

Selama di Lebanon ini saya tidak mendengar satu pun bom meledak. Atau senjata meletup. Tapi suara peluru begitu bising di otak saya.  

Naskah Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta10 Nopember 2010


Memelihara Republik, Mengaktifkan Akal Sehat oleh Rocky Gerung

I
Indonesia hari-hari ini…


Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral. Ada anak muda memetik dawai mengelilingi dunia mengukir prestasi.


Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci tubuh. Ada pelajar menggondol medali biologi di pentas dunia berkali-kali.


Ada lumpur pebisnis dibersihkan negara dengan pajak rakyat. Ada perempuan desa menembus bukit menyalurkan air bersih dengan tangannya sendiri.


Ada koruptor diusung partai jadi pahlawan. Ada relawan bergegas ke medan bencana tanpa menyewa wartawan.

Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of Fear dan Republic of Hope. Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan Republic of Hope itu, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tetapi nampaknya, penguasa politik lebih memilih memelihara Republic of Fear, karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan. Kemajemukan hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker. Hak Asasi Manusia dipromosikan ke mancanegara, tetapi kejahatan kemanusiaan di dalam negeri, diputihkan untuk modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh rakyat, tetapi ketegasan tidak hendak dilaksanakan. Mengapung diatas bara sosial itu, sambil membayangkan siasat politik suksesi, adalah agenda harian elit politik hari-hari ini.

Politik tidak diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual. Di layar nasional, politik elit tampil dalam bentuknya yang paling dangkal: jual-beli di tempat! Tidak ada sedikitpun upaya “sofistikasi” untuk sekedar memperlihatkan sifat “elitis” dari percaloan politik itu. Dengan wajah standar, para koruptor menatap kamera, karena yakin bahwa putusan hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan, bila menolak ditukar saham. Dan sang hakim (juga jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional. Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan.

Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan sebagai urusan “uang tunai”. Seorang calon kepala daerah sudah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia mencalonkan diri dalam Pilkada. Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Maka sangat mudah memahami bahwa “human development index” kita tetap rendah karena biaya renovasi kamar mandi bupati lebih didahulukan ketimbang membangun puskesmas. Bahkan antisipasi terhadap kemungkinan sang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, juga sudah dipikirkan. Maka berbondong-bondonglah para kepala daerah bermasalah itu hijrah dari partai asalnya, masuk ke partai penguasa. Tentu itu bukan transfer politik gratisan. Tadah-menadah politik sudah menjadi subkultur politik nasional. Sekali lagi: kepentingan bertemu kepentingan, kemauan bersua kebutuhan.

Dalam perjanjian konstitusional negara dengan warganegara, keadilan dan keamanan dijadikan agunan untuk menetapkan kewajiban timbal balik. Karena itu, bila saudara membayar pajak, maka saudara berhak memperoleh sistem politik yang memungkinkan keadilan itu diwujudkan. Bila saya patuh pada hukum, maka saya berhak menerima rasa aman dari negara. Tetapi urusan inilah yang kini amat jauh dari harapan publik. Para perusak hukum justeru dilindungi negara. Para pengemplang pajak, justeru dirangkul negara. Dan dalam urusan sistem politik, kita berhadapan dengan persekongkolan politik kartel yang memonopoli distribusi sumber daya politik dan ekonomi. Bahkan oligarki kekuasaan yang sesungguhnya, hanya melibatkan dua-tiga tokoh kunci yang saling menyogok, saling tergantung, dan saling mengintai. Politik menjadi kegiatan personal dari segelintir elit yang terjebak dalam skenario yang saling mengunci, karena masing-masing terlibat dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan pada waktu Pemilu.

Ketergantungan politik pada uang-lah yang menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan ideologi. Relasi itu tumbuh karena pelembagaan politik tidak berlangsung. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik parlemen. Bahwa seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat, itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat, tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular. Tanpa gagasan, minim pengetahuan, parlemen terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi tanpa peduli, minim etika, parlemen terus menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi dan arogansi.

Defisit akal di parlemen adalah sebab dari defisit etika. Arogansi kepejabatan digunakan untuk menutupi defisit akal. Maka berlangsunglah fenomena ini: sang politisi yang sebelumnya menjadi pengemis suara rakyat pada waktu Pemilu, kini menyatakan diri sebagai pemilik kedaulatan. Seperti anjing yang menggonggongi tuannya, politisi memutus hubungan historisnya dengan rakyat, dan mulai berpikir menjadi pengemis baru. Kali ini, bukan pada rakyat, tetapi pada kekuasaan eksekutif. Faktor inilah yang menerangkan mengapa oposisi tidak dapat bekerja dalam sistem politik kita. Tukar tambah kepentingan antara eksekutif dan legislatif bahkan berlangsung sampai urusan “titik dan koma” suatu rancangan undang-undang. Transaksi itu sering tidak ada kaitannya dengan soal-soal ideologis, karena memang motif koruptiflah yang bekerja di bawah meja-meja sidang.

Asal-usul politik koruptif ini terkait dengan tidak adanya kurikulum “kewarganegaraan” dalam semua jenjang pendidikan nasional. Sistem pendidikan kita tidak mengorientasikan murid pada kehidupan publik. Konsep “masyarakat” di dalam kurikulum sekolah tidak diajarkan sebagai “tanggung jawab merawat hidup bersama”, tetapi lebih sebagai kumpulan ajaran moral komunal yang pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat. Konsep “etika publik” tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan “bermasyarakat”.

Memang, amandemen konstitusi tentang tujuan pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan “akhlak” ketimbang “akal”. Konsekwensinya terhadap kehidupan Republik sangatlah berbahaya, karena warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen. Sangatlah bertentangan misi pendidikan itu dengan imperatif konstitusi kita yang mewajibkan kita “melihat dunia” melalui “kecerdasan” dan “perdamaian”. Sesungguhnya filsafat publik kita semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik, karena pertarungan kecerdasan di parlemen di dalam membela ide masyarakat bebas tidak dapat berlangsung. Pengetahuan dan pemahaman konseptual tentang ide Republik lebih banyak diucapkan dalam retorika “nasionalisme”, dan karena itu kedudukan primer konsep “warganegara” tidak cukup dipahami.

“Kewarganegaraan” adalah ide tentang tanggung jawab warganegara lintas politik, lintas komunal. Realisasinya memerlukan pemahaman fundamental tentang etika parlementarian, yaitu bahwa “kedaulatan rakyat” tidak pernah diberikan pada “wakil rakyat”. Yang diberikan hanyalah kepentingan rakyat tentang satu isu yang secara spesifik didelegasikan pada “si wakil”, dan karena itu dapat ditarik kembali setiap lima tahun. Juga dalam tema ini kita pahami bahwa “kedaulatan rakyat” tidak sama dengan “mayoritarianisme”. Kedaulatan rakyat justeru difungsikan untuk mencegah demokrasi menjadi permainan politik golongan mayoritas. Itulah sebabnya kedaulatan rakyat tidak boleh dikuantifikasi dalam statistik atau dalam hasil Pemilu.

Defisit politik warganegara juga adalah akibat dari surplus politik feodal. Hari-hari ini hegemoni kultur politik feodal itu masuk dalam politik publik melalui langgam perpolitikan istana, ketika “kesantunan” menyisihkan “kritisisme”. Dan kultur itu terpancar penuh dari bahasa tubuh Presiden. Prinsip yang berlaku adalah: kritik politik tidak boleh membuat kuping Presiden menjadi merah.

Feodalisme adalah sistem kekuasaan. Kita tentu tidak menemukannya lagi dalam masyarakat modern. Tetapi seorang penguasa dapat terus mengimajinasikan dirinya sebagai “raja”, “tuan”, “pembesar” dan sejenisnya, dan dengan kekuasaan itu ia menyelenggarakan pemerintahan. Kita justeru merasakan itu dalam kepemimpinan politik hari-hari ini, dalam diskursus bahasa tubuh, dalam idiom-idiom tatakrama, dalam simbol-simbol mistik, bahkan dalam politik angka keramat.

Di dalam kultur feodalistik, percakapan politik tidak mungkin berlangsung demokratis. Bukan saja karena ada hirarki kebenaran di dalam diskursus, tetapi bahkan diskursus itu sendiri harus menyesuaikan diri dengan “aturan politik feodal”, aturan yang tak terlihat namun berkekuasaan. Sangatlah aneh bila kita berupaya menyelenggarakan sebuah birokrasi yang rasional dan impersonal, tetapi mental politik yang mengalir dalam instalasi birokrasi kita masih mental feodal.

Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal oleh akumulasi kekuasaan. Enersi yang pernah kita himpun untuk menghentikan otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk menggerakkan perubahan. Sebagian disebabkan oleh sifat politik reformasi yang amat “toleran”, sehingga memungkinkan seorang jenderal pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan seorang aktivis HAM, mengevaluasi kondisi demokrasi. Juga tidak aneh menyaksikan seorang tokoh terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah talkshow yang membahas arah pembangunan nasional. Transisi yang amat toleran itu telah meloloskan juga obsesi-obsesi politik komunalistik yang hendak mengatur ruang politik publik dengan hukum-hukum teokrasi. Di dalam keserbabolehan itulah kekuasaan politik hari-hari ini menarik keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi berdiri di atas politik uang dan politik ayat, kekuasaan itu kini tampak mulai kehilangan keseimbangan. Antara tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu tampak kelelahan untuk bertahan.

II
Tetapi Republik harus tetap berdiri…


Republik adalah ide minimal untuk menyelenggarakan keadilan, kesetaraan dan kemajemukan. Normativitas ini menuntut pekerjaan politik, pada dua lapis. PERTAMA, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep “publik” pada kondisi sekulernya. KEDUA, suatu perlawanan politik terhadap teokratisasi institusi-institusi publik. Artinya, ide republik hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik pada dataran duniawi, sosiologis dan historis. Usaha ini bukan dimaksudkan untuk meyakinkan kaum absolutis, melainkan untuk membantu mereka yang ragu-ragu karena kekurangan alat kalkulasi logis. Mereka yang “ragu-ragu” inilah sesungguhnya yang dapat “membiarkan” demokrasi dikuasai dan dikendalikan oleh politik absolutis. Golongan “ragu-ragu” ini bukan saja mengalami kecemasan di dalam membayangkan suatu masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda membayangkan suatu “keuntungan moral” di dalam suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat semacam inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh politik fundamentalisme untuk menebar hegemoni moral mayoritas.

Menerangkan politik sebagai urusan warganegara, sekaligus berarti mempertahankan argumen masyarakat sekuler. Di dalam Republik, status primer seseorang adalah sebagai warganegara (citizen). Ia tentu memiliki sejumlah status privat: agama, etnis, dll. Tetapi status privat tidak mungkin diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara misalnya, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan moral agama bukan urusan negara. Tetapi bila kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka negara menghukum atas dasar hukum publik, dan bukan melarang isi keyakinan itu. Batas itu harus dipegang secara teguh sebagai prinsip pendidikan politik publik. Dan prinsip itu harus diterangkan sejak dini pada murid sekolah, dipastikan dipahami oleh anggota partai politik, dan dijadikan diktum pejabat publik. Dengan cara itu kita tidak perlu lagi mendengar pejabat publik mengucapkan kebodohan karena memaksakan pandangan moral pribadinya terhadap soal publik. Di sini sekaligus perlu kita ingatkan bahwa para menteri adalah pembantu Presiden, dan bukan asisten Tuhan.

Keragu-raguan untuk menerima dan menjalankan konsekwensi politik dari ide Republik, terutama disebabkan oleh kepentingan politisasi kekuasaan terhadap kondisi antropologis bangsa ini. Bagaimanapun, simbol-simbol primordial tidak mungkin punah hanya oleh gerak ekonomi global, modernisasi dan kosmopolitanisme. Politik identitas telah menjadi reaksi logis dari kosmopolitanisme, tetapi pemanfaatan politiknyalah yang menjadi isu utama di negeri ini. Artinya, kondisi atropologis kita yang masih kuat berbasis pada paham-paham komunal, juteru dieksploitasi oleh kekuasaan untuk diperjualbelikan di dalam pasar politik. Maka sangatlah ironis ketika kita mengucapkan demokrasi sebagai pilihan sistem politik, pada saat yang sama kita sudah berencana memenangkan pemilu dengan peralatan-peralatan primordial, terutama agama.

Di dalam Republik, kita menyelenggarakan pluralisme. Artinya, kita bukan sekedar mengakui perbedaan pandangan hidup, tapi kita sendiri juga dapat berobah pandangan hidup. Dalam pluralisme, kita tidak menyebut kebenaran itu “relatif”, melainkan “tentatif”. Karena itu selalu terbuka kesempatan untuk berselisih pendapat, agar kita bisa bercakap-cakap.

Kewarganegaraan adalah percakapan diantara mereka yang tidak fanatik. Republik adalah lokasi politik yang menampung semua proposal sekuler. Di sini kita harus pahami ide Republik bukan semata-mata sebagai instalasi politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan etis. Di dalam Republik, “suasana” percakapan publiklah yang lebih utama ketimbang fasilitas-fasilitas politiknya (partai, pengadilan, birokrasi). Di dalam Republik-lah manusia menyelenggarakan dirinya sebagai “zoon politicon”, merundingkan kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar. Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan. Itulah sifat publik dari politik. Dengan kata lain, intervensi nilai-nilai personal ke dalam ruang publik tidak boleh terjadi. Nilai personal, pandangan moral komunal, harus dikonversi ke dalam tata bahasa politik publik bila ingin diajukan sebagai proposal publik. Artinya, keterbukaan dan kesetaraan di dalam Republik hanya mengandalkan diskursus rasio publik. Dan sifat diskursus itu adalah falibilis, bukan absolutis.

Kemajemukan dan “suasana Republik”, sesungguhnya telah kita miliki jauh sebelum Proklamasi diucapkan. Sumpah Pemuda adalah sumber enersi kemajemukan yang sesungguhnya. Pikiran politik di tahun 1928 itu menyadari sepenuhnya kondisi ideologis bangsa ini, kondisi yang potensial bagi konflik horisontal, dan karena itu para pemuda hanya bersepakat untuk tiga hal: satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Sumpah Pemuda tidak bersepakat demi soal-soal akhirat, tetapi demi urusan antar manusia di bumi, manusia yang beragam. Mereka bersumpah untuk sesuatu “yang sosiologis” (tanah, bangsa dan bahasa), karena paham bahwa “yang teologis” tidak mungkin dijadikan tali pengikat politik. Politik 1928, tidak terobsesi pada “sumpah keempat”: beragama satu. Kecerdasan itulah yang sesungguhnya hilang dari percakapan politik kita hari-hari ini. Sumpah Pemuda kini hanya diingat dalam tema “kebangsaan” yang bahkan disempitkan menjadi “keberagaman dan keberagamaan” (dan karena itu perayaannya cuma diisi oleh petuah dan pesan-pesan agamis). Padahal moral dan filsafat politiknya telah mendahului menyelesaikan pertikaian politik agama dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.

Argumen ini harus kita ajukan untuk memastikan bahwa sumber kebudayaan modern dari ide republikanisme, sudah disediakan 17 tahun sebelum republik diproklamasikan. Artinya, ide republikanisme sudah dipelihara oleh “masyarakat sipil”, jauh sebelum diformalkan oleh “masyarakat politik” melalui konstitusi 1945. Bahkan obsesi untuk memberi warna “agamis” pada penyelenggaraan negara (melalui debat panjang di Konstituante), juga dibatalkan oleh kecerdasan kebangsaan modern, yaitu bahwa di dalam Republik, rakyatlah yang berdaulat, bukan Tuhan atau Raja. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan itu: “Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat” .

Ide Kedaulatan Rakyat ini memberi kita batas yang tegas tentang wilayah politik. Yaitu bahwa politik adalah transaksi sekuler dengan ukuran-ukuran rasional, empiris, dan historis. Bahwa bahasa politik adalah bahasa yang dapat diperlihatkan konsekwensinya “di sini dan sekarang”, bukan “nanti dan di sana”. Bahwa ukuran-ukuran moral harus tumbuh dari pertarungan gagasan-gagasan historis, bukan dari doktrin-doktrin metafisis. Bahwa warga negara hanya terikat pada ayat-ayat konstitusi, dan bukan pada ayat-ayat suci. Bahwa fakta adanya golongan mayoritas (dalam agama misalnya), hanyalah petunjuk demografis, yaitu untuk keperluan administrasi kependudukan dan bukan untuk keunggulan kedudukan suatu kelompok terhadap yang lain. Di dalam demokrasi, identitas individu (agama, kelamin, pekerjaan), hanya dicatat sebagai data statistik, dan bukan alasan pembedaan warganegara.

Sangatlah berbahaya bila seseorang didefinisikan sebagai minoritas dalam agama atau preferensi seksual misalnya, karena sekaligus ia akan menjadi warganegara kelas dua. Diskriminasi inilah yang harus kita perangi, karena ia menyebabkan permusuhan sosial atas alasan-alasan irasional. Misalnya, apakah karena seseorang tidak beragama, maka ia akan dikucilkan dan dilecehkan, atau bahkan dianiaya? Di dalam demokrasi, agama adalah hak. Artinya, ia boleh dipakai, boleh tidak. Negara tidak berhak memaksakan kewajiban beragama, karena hal itu melanggar kebebasan hati nurani. Agama adalah wilayah hati nurani. Kesucian keyakinan dan kejujuran ketakwaan seseorang hanya menjadi rahasia antara dia dan Tuhannya. Kemuliaan itulah yang harus dipisahkan dari kehidupan politik sehari-hari, karena di dalam demokrasi kita tidak mungkin menghakimi seseorang berdasarkan ukuran moral orang lain. Sejauh preferensi moral dan religi seseorang tidak diterjemahkan menjadi tindakan kriminal, maka negara harus bertindak imparsial didalam melayani hak-hak sipil dan politiknya. Atas dasar itulah negara berkewajiban mengedarkan etika publik, yaitu pendidikan kewarganegaraan yang membiasakan warganegara hidup dalam politik kemajemukan.

Kedaulatan Rakyat berarti bahwa keputusan politik dipertengkarkan atas kebutuhan keadilan dan kesetaraan sosial warganegara, dan bukan atas ukuran-ukuran hirarki kesolehan dan kesucian sebuah umat. Asumsi kedaulatan rakyat adalah bahwa semua orang setara dalam kecerdasan dan kebebasan, dan karena itu keputusan politik harus diambil dalam ruang antisipasi kesalahan, dan bukan dalam ruang kebenaran doktrinal.

Di dalam republik, “kebenaran” disirkulasikan dengan pikiran, dan bukan dengan keyakinan. Itulah sebabnya “kebenaran” dapat dibatalkan dengan argumen, dan bukan dipertahankan dengan kekerasan. Spekulasi epistemologis bahwa “kebenaran” itu harus satu, dan karena itu politik harus menjadi absolut, pernah membawa politik kita ke dalam sistem otoriterisme. Dan bila sekarang “kebenaran” itu hendak dipaksakan kembali atas dasar spekulasi teologis, maka kita sungguh-sungguh sedang mengumpankan diri pada otoriterisme teokratis. Inilah cara pandang monolitik yang kini semakin meluas dalam kehidupan politik kita akhir-akhir ini, suatu paradoks di dalam sistem demokrasi yang kita pilih.

Cara pandang politik semacam itu sesungguhnya berakar di dalam antropologi komunalisme yang kian tumbuh justeru dalam kondisi globalisasi. Komunalisme adalah alam pikiran konservatif yang memandang individu sebagai subyek tanpa eksistensi, yang identitasnya tergantung pada identitas komunitas. Komunalisme hendak menetapkan bahwa di luar komunitas, tidak ada identitas. Tetapi hal yang paling konservatif dari alam pikiran ini adalah keyakinan bahwa keutuhan komunitas memerlukan pengaturan doktrinal. Konsekwensinya adalah: tidak boleh ada pikiran bebas individu. Pandangan kebudayaan inilah yang kini sedang diedarkan melalui bawah-sadar politik rakyat oleh partai-partai berbasis agama, yang mengeksklusifkan kehidupan publik mengikuti parameter-parameter komunal. Secara kongkrit, pandangan itu berwujud dalam perda-perda agama.

Secara gradual kita merasakan infiltrasi pikiran itu dalam berbagai aturan publik dengan memanfaatkan fasilitas demokrasi, yaitu kekuasaan parlemen membuat undang-undang. Politik adalah upaya menguasai ruang publik. Demokrasi memang toleran terhadap kontestasi pikiran. Tetapi politik komunalisme hendak menutup ruang publik itu dengan suatu diktum ontologi absolutis: hanya boleh ada satu Ada, dan karena itu, ada yang lain tidak boleh ada!

Dalam versi sekulernya, pandangan komunalisme ini pernah memayungi praktek penyelenggaraan konstitusi kita, yaitu melalui doktrin “negara integralistik”, suatu pandangan feodalistik yang dijalankan dengan dukungan militer di masa Orde Baru, dalam konspirasinya dengan kekuatan kapital. Praktek politik ini hanya mungkin berlangsung karena akar-akar budaya feodal itu memang ada di dalam masyarakat kita.

Tetapi bentuk komunalisme hari-hari ini adalah suatu sikap eksklusivisme religius yang memanfaatkan keterbukaan demokrasi, sambil mengeksploitasi simbol-simbol agama yang memang kuat tertanam dalam antropologi politik bangsa ini. Anda mungkin terkejut mendengar seorang murid SD menunjukkan jalan kepada sopir taksi, sambil mengingatkan: “itu rumah orang kafir lho!” Dalam kasus semacam ini, kita tahu ada problem serius tentang kewarganegaraan, kemajemukan, dan pikiran terbuka. Ada problem serius tentang kehidupan di sekolah-sekolah, di dalam kurikulum dan organisasi-organisasi masyarakat. Acuan konsep-konsep publik yang seharusnya menimbulkan toleransi horisontal, telah diajarkan justeru dengan doktrinasi diskriminatif pada generasi yang baru tumbuh.

Politik kita hari-hari ini sedang menjalankan “crypto-politics”. Elit menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal, untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Sekarang ini, memimpin atau sekedar menjadi bagian dari suatu komunitas religius merupakan kebutuhan politis elit untuk mencapai status-status publik. Kesolehan menjadi simbol kewarganegaraan. Tatakrama menjadi pembatas kritisisme. Diskursus demokrasi menjadi tempat nyaman untuk mengorganisir kekuasaan dengan memanfaatkan peralatan agama. Simbol-simbol privat kini merajai kehidupan publik. Mayoritarianisme mendikte paham kedaulatan rakyat. Bahkan Mahkamah Konstitusi bersikap sangat adaptif terhadap logika “mayoritarianisme” itu, dengan menerima argumen-argumen privat dalam memutuskan urusan publik.

Benar bahwa sistem demokrasi membuka ruang kebebasan bagi berbagai aspirasi. Tetapi apakah aspirasi kebencian, misoginis, intoleran dan bahkan kriminal harus dinilai sama dengan aspirasi keadilan, otonomi tubuh, dan kebebasan berpendapat?

Di dalam demokrasi, realitas selalu berarti “realitas sosial”. Yaitu kondisi kehidupan yang selalu memungkinkan kebenaran dikoreksi melalui bahasa manusia. Dan koreksi itu adalah pekerjaan duniawi yang harus terus diaktifkan, karena apa yang ada di akhirat tidak mungkin dikoreksi. Inilah realitas yang harus disimulasikan terus menerus, untuk menggantikan psikologi obsesif yang menghendaki pemenuhan kebenaran akhirat di Republik manusia.

Ide Republik memberi kita pelajaran moral yang sangat mendasar, yaitu etika publik harus menjadi satu-satunya ikatan kultural di antara warganegara. Etika publik adalah hasil negosiasi keadilan, didalam upaya memelihara kehidupan bersama berdasarkan apa yang bisa didistribusikan di dunia, dan bukan apa yang akan diperoleh di akhirat.

Misalnya, obsesi untuk menyempurnakan keadilan harus kita hasilkan melalui sistem pajak, karena melalui pajaklah relasi warga negara disetarakan. Karena itu, sangatlah janggal bila pajak saudara untuk keadilan sosial di bumi, digunakan negara mensubsidi mereka yang ingin masuk surga.

III
Dan kita adalah warganegara Dunia…


Soal yang juga terus menimbulkan kemenduaan mental politik kita hari-hari ini adalah masalah globalisasi. Ketakutan untuk masuk dalam percakapan politik global telah menghasilkan reaksi atavistik yang memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik koruptif dan mental feodal bangsa ini. Nasionalisme menjadi semacam “mantra penangkal bala” setiap kali kita membaca laporan-laporan dunia tentang index korupsi kita yang masih tinggi. Nasionalisme kita pasang sebagai tameng setiap kali diperlukan evaluasi hak asasi manusia dan kebebasan pers oleh masyarakat internasional. Kita tidak memberi isi nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis, “in-the-making”, tetapi kita menyimpannya sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat politik.

Nasionalisme adalah identitas publik yang seharusnya kita olah dengan akal untuk ditampilkan sebagai modal diplomasi politik dan ekonomi. Nasionalisme masa kini ada pada keunggulan “national brand”, dan bukan ditampilkan sebagai psikosis pasca-kolonial.

Dan khusus menyangkut isu neoliberalisme, reaksi kita bahkan nyaris mistik. Kita memakai tameng-tameng tradisi untuk memusuhi suatu alam pikiran yang tidak pernah berwujud di belahan bumi manapun. Kita mengorganisir kemarahan publik untuk memusuhi sesuatu yang adanya hanya di buku-buku filsafat. Tetapi seandainya pun perlawanan itu harus diberikan, kita justeru menolak mengajukan marxisme sebagai lawan filosofi yang sepadan, dan malah menyiapkan ayat-ayat agama sebagai kontra moral baginya. Agaknya, hanya di negeri ini dua ideologi yang bermusuhan, kita musuhi sekaligus. Kita menolak dua-duanya dengan akibat kita tidak pernah paham logika sesungguhnya dari susunan-susunan pikiran itu. Karena itu, retorika dan hiruk-pikuk seputar isu “neolib” terasa lebih sebagai hasil refleks psikologi poskolonial yang dangkal ketimbang hasil refleksi intelektual yang dalam. Akibatnya, slogan neoliberal menjadi stempel politik baru bagi siapa saja yang dianggap mengedarkan kebebasan individu atau mengucapkan dalil-dalil ekonomi pasar. Kita tidak merasa perlu untuk mendalami filsafat itu karena kita lebih mengandalkan emosi yang panas ketimbang analisa yang dingin. Politik stigmatisasi semacam ini tidak mendidik rakyat untuk mengucapkan argumen, karena memang hanya dimaksudkan untuk meneriakkan sentimen.

Di sinilah kita perlu kembali pada akal sehat, yaitu memeriksa konsekwensi politik dari suatu debat palsu tentang ideologi ekonomi. Pada tingkat kebijakan, urgensi untuk memenuhi kebutuhan rakyat tidak lagi diukur berdasarkan sistem-sistem abstrak ideologi, melainkan oleh tuntutan keadilan di dalam politik distribusi. Pemerintah yang korup, di dalam sistem ideologi apapun, pasti menyengsarakan rakyat. Demikian juga, pasar yang efisien tidak dirancang dengan variabel nepotisme di dalamnya. Jadi, mendahului berbagai perselisihan ideologi, kita harus memastikan bahwa korupsi dan arogansi politik tidak boleh dipelihara dalam sistem politik kita. Dari sana, baru kita dapat menyusun kombinasi paling rasional antara peran pasar dan negara dalam melayani warganegara.

Obsesi kita tentang “ke-Indonesia-an” hari-hari ini, tidak cukup lagi merujuk pada dokumen-dokumen historis di masa lalu (Sumpah Pemuda, Proklamasi, dll), tetapi kita perlu memperluasnya pada kebutuhan politik masakini untuk mewadahi “kemajemukan baru”, yaitu kemajemukan yang timbul oleh percakapan kebudayaan dan teknologi global. Percakapan kebudayaan itu lebih sering berlangsung di dalam ruang maya, dan nampaknya demokratisasi pikiran dan ide lebih dihargai di dalam kondisi digitalnya, ketimbang dalam pergaulan sosial nyata.

Perkembangan “ruang politik digital” itu, menandai suatu transisi peradaban politik baru. Imajinasi misalnya, akan meloloskan diri dari sensor institusi-institusi formal negara, dan karena itu, ukuran-ukuran moral lama sesungguhnya sudah memasuki masa kadaluwarsa. Kini, sangat mungkin juga orang mendirikan rumah-rumah ibadah digital, bukan sekedar untuk menghindar dari lemparan batu kaum fundamentalis, tapi untuk sungguh-sungguh memberi tahu mereka bahwa surga juga dapat dibayangkan secara teknologis, dan diselenggarakan secara ekonomis.

Tetapi politik adalah penyelenggaraan keadilan di dalam ruang sosial nyata. Ruang digital tidak boleh berubah menjadi tempat mencari suaka. Ruang digital hanya boleh menjadi ruang konsolidasi subversif, untuk membebaskan ruang sosial nyata dari hegemoni politik konservatif-fundamentalis.

Sesungguhnya, sama seperti ruang demokrasi, ruang digital itu juga dimanfaatkan oleh politik fundamentalis untuk menimbun dan menyebar kebencian, intoleransi dan permusuhan. Jelas bahwa ruang digital hanyalah sarana operasi politik, sementara markasnya tetap berada di dalam ruang sosial nyata: di ruang rapat partai, di kelas-kelas sekolah, di rumah-rumah ibadah.

Dalam konteks solidaritas global itu, kondisi kemanusiaan tidak mungkin lagi dipahami dalam definisi-definisi primordial. Kita tidak menjadi “manusia” hanya karena terikat pada kesamaan etnis dan keyakinan. Kita menjadi manusia karena kita terikat pada problem sosial yang sama, yaitu kemiskinan dan krisis energi global. Kita tidak mencari rasa aman pada aturan-aturan komunal, bila kita paham bahwa hukum hak asasi manusia telah menyelamatkan peradaban dari politik genosida di berbagai penjuru dunia. Kemanusiaan kita hari ini lebih diikat oleh kewajiban global untuk mengatasi bencana alam dan memberi perlindungan pada para pencari suaka. Kemanusiaan adalah solidaritas etis terhadap masalah masa kini, dan bukan perkelahian ideologis di jalan buntu.

Mengucapkan kemanusiaan sebagai “solidaritas etis” harus memungkinkan setiap orang keluar dari koordinat mentalitas komunalnya. Pertemuan di dalam ruang politik adalah pertemuan untuk mempercakapkan kemungkinan-kemungkinan sosiologis, dan bukan kepastian-kepastian teologis. Menerima politik sebagai “ruang antagonisme”, berarti memahami peluang untuk suatu konfrontasi etis demi alasan-alasan keadilan. Karena itu politik mengandaikan resipkrokasi percakapan, dan itu berarti wacana publik hanya dapat diselenggarakan bila keadilan dikonsepsikan secara sekuler. Anda tentu tidak membayar pajak untuk memperoleh “pahala akhirat”, melainkan untuk menjamin keadilan di bumi. Artinya, solidaritas etis harus dapat diukurkan langsung pada kesosialan manusia hari ini, agar kita tidak menunda keadilan sampai tibanya hari kiamat.

Tentu saja kita masih masih perlu memandang diri sendiri melalui cermin-cermin identitas yang dipasang mengelilingi hidup komunal kita. Cermin-cermin itu seperti memberi rasa aman primitif kepada identitas seseorang. Kita bahkan perlu menggosok cermin itu agar kilaunya menimbulkan rasa unggul primitif pada kelompok. Tetapi sekali kita melangkah ke luar rumah, narsisisme itu tidak lagi banyak gunanya. Di dunia nyata, yang kita temukan adalah berbagai masalah sosial yang tidak mungkin sekedar diatasi dengan doa, sesajen dan mantra. Politik kelas tidak dapat ditunggu penyelesaiannya di akhirat. Demikian juga kerusakan lingkungan tidak dapat ditangkal oleh komat-kamit sejumlah dukun. Kesetaraan gender, bahkan menuntut cermin-cermin itu dipecahkan!

So, do you speak Pluralism? Do you speak Environmentalism? Feminism?, Queer? Kita sedang berbicara tentang “politics of recognition”. Dan itu berarti pemihakan pada mereka yang tersisih oleh kekuatan-kekuatan kekuasaan, kapital dan kebudayaan. Dasar etis dari “politik pengakuan” ini adalah bahwa suatu kelompok yang tersisih hanya karena kedudukannya yang “minoritas” dalam masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan istimewa dari negara. Itulah alasan misalnya bagi pengakuan atas hak “affirmative action” bagi politik perempuan. Itu juga alasannya keperluan kita membela hak-hak “queer”, karena orientasi seksual adalah kondisi yang sangat individual. Negara tidak dapat diperalat untuk menjalankan moral mayoritas.

Didalam diktum yang paling keras, negara justeru diadakan untuk melindungi kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok mayoritas yang masih menuntut pengakuan, adalah kelompok yang sebetulnya bermental minoritas.

IV
Di Republic of Hope


Kita menyelenggarakan Republik bukan karena keunggulan teoretis dari konsep itu. Kita menyelenggarakan Republik juga bukan karena asal-usul kebudayaannya. Kita memilih Republik karena hanya sistem itu yang mampu memelihara kemajemukan kita. Kita menyebutnya Republik Indonesia, tanpa predikat tambahan, karena hanya itu bentuk maksimal dari persaudaraan warganegara. Indonesia hanya bersatu dalam nusa, bangsa dan bahasa. Kita tidak ingin bersatu dalam urusan agama, tatakrama dan busana. Kita menyelenggarakan Republik agar kita bisa berselisih dalam soal-soal dunia, dan bukan bertengkar untuk soal-soal akhirat.

Sesungguhnya, negara ini tidak berlokasi di dalam situs-situs purbakala. Dengan mengucapkan proklamasi kemerdekaan, kita sekaligus memutuskan untuk bergaul dalam peradaban dunia modern yang dinamis. Dalam pergaulan global itulah kita melatih akal sehat kita, agar kita tidak cuma sanggup mencerca tanpa arah, atau marah ke segala arah. Reaksi-reaksi primitif itu hanya akan menguras enersi mental kita, untuk akhirnya menyerah pada kecepatan pikiran dunia.

Di situlah suatu bangsa memerlukan kepemimpinan politik visioner. Kepemimpinan yang cerdas, yang mampu membangkitkan imajinasi rakyat. Kecanduan pada kekuasaan adalah hal yang biasa bagi seorang pemimpin. Tetapi kecanduan yang tidak menimbulkan imajinasi pada rakyat, adalah kecanduan seorang pemimpin medioker. Kekuasaan memerlukan kecerdasan agar arah peradaban bangsa dapat dibayangkan dalam suatu psikologi harapan. Tetapi kesempatan untuk memperoleh psikologi itu kini tidak lagi tersedia, karena dari kepemimpinan serba-tanggung tidak mungkin terbit gagasan serba agung. Bangsa ini sekarang kehilangan imajinasi tentang sebuah Republic of Hope, dan kekosongan itulah yang kini diisi oleh para ahli akhirat.

Pepatah Itali mengingatkan: “Bila akal sehat tertidur, maka para monsterlah yang menguasai malam”. Kepemimpinan yang gagal mengaktifkan akal sehat, bertanggung jawab terhadap munculnya Republic of Fear. Ekonomi dapat bertumbuh tanpa kebijakan pemerintah, tetapi keamanan warganegara dan keadilan sosial menghendaki pemihakan negara. Tanpa pemihakan itu, Republic of Fear akan tumbuh melampaui Republic of Hope.

Kita memelihara Republik, karena hanya dalam ruang politik itulah pikiran individu memperoleh kesempatan untuk diperiksa secara publik. Pikiran yang tidak dapat diperiksa di depan publik, adalah pikiran yang membahayakan Republik. Kita memelihara Republik karena kita ingin hidup dalam kesetaraan, kemajemukan dan keadilan. Marilah merawat Republik dengan akal sehat, agar para monster tidak menguasai malam, agar kita dapat nyenyak sepanjang malam. Karena besok, ada tugas menanti di Republic of Hope.


Terima kasih.