oleh Sulaiman
Djaya, esais & penyair
(Sumber: Radar Banten 7 November 2014)
Isu tata-kota dan
lingkungan telah menyedot perhatian dan energi kita belakangan ini terkait
hubungannya dengan masalah industri, kapitalisme dan dampak residunya serta
kelangkaan tanah bagi hunian dan kebutuhan yang terkait dengan lainnya. Meski
demikian, tulisan ini hanya sekedar mencoba berbagi sedikit wawasan Islam
tentang isu tata-lingkungan atau konservasi tersebut.
Dalam hal ini,
seperti kita tahu bersama, dalam Islam dikenal istilah “haram” (lingkungan
khusus yang bahkan disucikan) dan ditata sedemikian rupa agar tetap terawat dan
tidak terancam destruksi atau pengrusakan yang disengaja atau tidak disengaja.
Pioneer-nya tak lain adalah Nabi Islam itu sendiri, yaitu Muhammad Rasulullah,
semisal ketika menjadikan Makkah dan Madinah sebagai “kota” khusus alias kota
suci bagi ummat Islam.
Sementara itu,
terkait masalah ekologis sekaligus ekonomi, Syari’ah Islam juga mengenal
perlindungan alam, seperti kehidupan liar yang termasuk dalam kategori “hima”
(perlindungan hak-hak sumberdaya alam asli atau wildlife). Madinah adalah
contoh “hima” semasa kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Secara syari’at, misalnya,
Islam melarang ummat-nya untuk mengkonsumsi (memakan) binatang-binatang yang
diharamkan, yang ternyata mengandung hikmah ekologis bagi kelangsungan fauna yang
dapat menjaga kelangsungan dan keseimbangan ekosistem alam dan lingkungan.
Contoh lain
adalah di Iran, di mana di negeri itu ada sejumlah kota-kota yang dijadikan
“haram”, semisal Mashhad dan Qum, karena kebetulan di kota-kota yang dijadikan
“haram” itu juga merupakan makam-makam figur-figur suci Islam, yaitu beberapa
Imam Ahlubait Muhammad Rasullullah (seperti Imam Ali Ibn Musa Ar-Ridho as) dan
keluarga Muhammad Rasulullah lainnya (seperti Sayyidah Fatimah Ma’shumah) yang
pada saat bersamaan kota-kota yang dijadikan “haram” tersebut menjadi tempat
ziarah orang-orang dari berbagai Negara, yang dengan sendirinya mendatangkan
manfaat ekonomi, selain tempat-tempat tersebut juga menjadi cagar-cagar kota.
Isu
tata-lingkungan dan ekologi ini juga menjadi konsen beberapa kaum arif dan
filsuf muslim, semisal Mulla Sadra. Dalam tulisannya yang bertajuk
“Prinsip-prinsip Ekologis Mulla Sadra” contohnya, Seyyed Mohsen Miri (dengan
meminjam langsung ungkapannya) menegaskan bahwa kita saat ini sedang berjuang
keras menghadapi berbagai krisis ekologis dan lingkungan yang semakin meluas
dan menyebar. Dalam tulisannya itu, Seyyed Mohsen Miri menyatakan:
“Salah satu
prinsip filsafat lingkungan hidup Islam adalah bahwa alam semesta diciptakan
berdasarkan keseimbangan dan harmoni antar anggota alam tersebut. Selain itu,
manusia harus berusaha maksimal untuk menjaga keseimbangan dan berinteraksi
secara benar dengan maujud-maujud lain di alam. Tentang keseimbangan dan
harmoni alam semesta, Allah swt berfirman: “Kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang” (Al-Mulk: 13).
Segala sesuatu tercipta berdasarkan perhitungan dan ukuran dan ditempatkan di
posisi yang tepat: “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapih-rapihnya” (Al-Furqan: 2). “Segala sesuatu pada
sisiNya ada ukurannya”(Ar-Ra’d: 8). “Matahari dan bulan (beredar) menurut
perhitungan, bintang dan pohon tunduk kepadaNya, Allah meninggikan langit dan
Dia meletakkan neraca” (Ar-Rahman: 5-8). “Ciptaan Tuhan Yang telah mengokohkan
segala sesuatu” (An-Naml: 88). Tidak satupun benda tercipta sia-sia: “dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Ya Tuhan Kami tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau” (Ali Imraan: 191)”
Paradigma
holistik ekologis ini, sebagaimana kita tahu bersama, dalam bahasanya Fritjof
Capra diistilahkan dengan jaring-jaring kehidupan atau webs of life, di mana
eksistensi makhluk saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain, sebagaimana
dinyatakan dan ditegaskan Mulla Sadra ratusan tahun sebelum Capra menuliskannya
kembali dan memadukannya dengan perspektif filsafat dan sains Barat. Dalam hal
ini Seyyed Mohsen Miri melanjutkan:
Jika manusia
menjaga keseimbangan alam ini dan tidak merusaknya ia telah memaksimalkan
keuntungannya dari alam, karena sejak semula alam diciptakan untuk digunakan
manusia. “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian”
(Al-Baqarah: 29). “Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah menundukkan
untuk kalian apa yang di langit dan apa yang di bumi dan telah menyempurnakan
untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin” (Luqmaan: 20). “Dan Dialah Allah yang
menundukkan lautan untuk kalian, agar kalian dapat memakan darinya daging yang
segar, dan kalian mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai dan
engkau melihat bahtera berlayar padanya dan agar kalian mencari dari karuniaNya
dan agar kalian bersyukur” (An-Nahl: 14). “Allah lah yang telah menciptakan
langit dan bumi dan menurunkan air dari langit lalu Dia keluarkan darinya dari
buah-buahan rizki bagi kalian dan Dia tundukkan bahtera untuk berlayar di laut
dengan perintahNya dan menjadikan bagi kalian sungai-sungai. Dan menjadikan
bagi kalian matahari dan bulan silih berganti dan menjadikan bagi kalian malam
dan siang. Ia telah berikan bagi kalian dari segala yang kalian minta dan jika
kalian menghitung nikmat Allah maka tidak akan dapat kalian hitung” (Ibrahim:
32-34).
Soalnya adalah
seringkali manusia itu tidak bersyukur, zhalim, dan rakus, hingga
mengeksploitasi alam dan kekayaan lingkungan sekitarnya yang acapkali “hanya”
mengejar keuntungan sesaat semata dan tidak diimbangi dengan memikirkan dampak
kerusakannya bagi masa depan akibat pencemaran dan residu (limbah). Untungnya,
belakangan ini, berkat tekanan sejumlah organisasi dan aktivis lingkungan dan
konservasi –juga kesadaran sejumlah ilmuwan dan lembaga-lembaga dunia lainnya,
berbagai upaya penemuan dan tekhnologi (mesin dan alat produksi) yang ramah
lingkungan mulai diupayakan dan mulai pula mencapai keberhasilan.
Sebenarnya,
secara tradisi, kita memiliki sejumlah kearifan lokal bangsa kita, yang
ternyata mengajarkan kita untuk menjaga dan merawat ekologi dan lingkungan bagi
keberlangsungannya di masa depan bagi generasi mendatang. Sebagai contohnya
adalah “tabu” bagi masyarakat Irian Jaya (sebelum banyak pendatang yang tinggal
di negeri itu) untuk membuang air (kencing) dan membuang sampah di sungai,
karena menurut mereka sungai adalah tempat mandi Dewi Sereregade, sebuah kearifan
lokal-ekologis yang tak jauh berbeda dengan masyarakat Baduy Banten. Alam dan
bumi ini, seperti ditegaskan Mahatma Gandhi, dapat mencukupi kebutuhan ummat
manusia, namun tidak mencukupi untuk memenuhi kerakusan manusia.
Sebagai penutup,
dan sebelum mengakhiri tulisan ini, ada suatu ilustrasi menarik tentang akhlaq
Nabi Muhammad saw sebagaimana dicatat para sejarawan dan para pencatat hadits,
bahwa: Diriwayatkan suatu ketika Nabi Muhammad Saw bepergian bersama para
sahabat, termasuk Ibnu Mas’ud (yang juga meriwayatkan riwayat teladan ini).
Dalam perjalanan itu sahabat-sahabat Nabi melihat seekor burung yang memiliki
dua anak, lalu sahabat tersebut mengambil kedua anaknya, kemudian datanglah
induknya terbang di atas mereka. Ketika menyaksikan hal itu Nabi saw bersabda,
“Siapakah yang menyusahkan burung ini dengan mengambil anaknya? Kembalikan
kepadanya anaknya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar