"Aku terlambat, aku
terlambat, aku terlambat!" Ketika mengikuti Kelinci Putih masuk ke lubang
kelinci, Alice tahu-tahu sampai di Negeri Ajaib, tempat segala hal yang sangat
tidak biasa. Maka Alice pun mengalami petualangan seru bersama Kucing Cheshire
yang selalu nyengir, Mad Hatter, dan Ratu Hati yang kejam. Alice in Wonderland adalah salah
satu novel klasik untuk anak-anak yang juga menarik dibaca orang dewasa. Novel
tersebut menghadirkan nuansa satir yang jarang ditemui dalam genre children’s literature. Dengan
lihai, Lewis Carroll memberi sentuhan ganjil ke dalam petualangan Alice yang
penuh kejutan. Plot cerita yang di luar akal sehat menjadikan Lewis Carroll
penulis yang unggul dalam kategori nonsense literature.
Alice in Wonderland disusun ke dalam bagian-bagian yang mengurutkan
petualangan Alice di Negeri Ajaib. Yang cukup membuat prosa ini unik adalah cara
penulisnya dalam membangun penokohan diperkuat dengan dialog eksentrik yang
bisa membuat pembaca takjub. Sedangkan hal lain yang membuat Alice in Wonderland istimewa adalah
kritik tersiratnya (kritik implisit atau kritik tak langsung) terhadap masyarakat
yang disampaikan melalui karakter Alice itu sendiri. Tokoh-tokoh yang Alice
temui di negeri ajaib merupakan simbolisasi orang dewasa di dunia nyata; tetap
membingungkan meski Alice telah berusaha memahami mereka. Elemen ini
tentu sangat menarik mengingat Alice in Wonderland
ditulis pada masa Victoria, dimana buku tersebut justru diterbitkan untuk
menginternalisasi nilai moral ke dalam masyarakat.
Hal menarik lainnya adalah
menyangkut penulisnya, Lewis Carroll, yang memiliki latar belakang sains yang
menulis Alice in Wonderland dengan cara
yang tidak biasa. Genre “nonsense literature”
yang ia usung menyajikan permainan kata, rima absurd, dan teka-teki tanpa
jawaban. Ia juga menciptakan kosakata baru, seperti “uglification” dan “muchness”. Sebagai ahli matematika,
sang penulis tak lupa menyematkan konsep matematika dalam Alice in Wonderland. Salah satu
contohnya dapat dilihat pada Bab 7, A Mad Tea-Party.
March Hare, Hatter, dan Dormouse berpendapat bahwa kalimat yang dibalik tidak
pernah berarti sama. Hatter berkata, "Why, you might just as
well say that 'I see what I eat' is the same thing as 'I eat what I see'!"
Dalam ilmu matematika, hal yang mereka bicarakan dikenal dengan konsep hubungan
invers.
Yang penting untuk juga
diketahui adalah bahwa Lewis Carroll adalah nama pena dari Charles Lutwidge
Dodgson, seorang ahli matematika, pendeta, dan fotografer asal Inggris. Dodgson
dibesarkan dari keluarga Kristen yang taat. Ia seringkali terlihat canggung
ketika berinteraksi dengan orang lain. Tubuhnya kurus kering dan tinggi
menjulang. Dodgson kehilangan salah satu indra pendengarannya akibat demam
tinggi sewaktu kecil. Ia juga selalu gugup dan terbata-bata ketika berbicara.
Kelak, kekurangan tersebut ia tuangkan ke dalam karakter Dodo dalam cerita Alice in Wonderland.
Sebagai penulis yang
memiliki latar-belakang sains, karier menulis Dodgson diawali dengan puisi dan
cerita pendek. Karya-karyanya bernuansa humoris, absurd, dan terkadang satir.
Pada tahun 1856, ia menerbitkan karya pertama yang membuatnya terkenal. Karya
tersebut adalah puisi romantis berjudul Solitude yang
diterbitkan di majalah The Train. Pada
saat itu, ia mulai memakai nama “Lewis Carroll”. Pseudonym
tersebut berasal dari namanya yang diutak-atik ke dalam bahasa Anglikan dan
Latin. “Lewis” adalah bentuk anglikan dari “Ludovicus”, yang merupakan bahasa
Latin dari “Lutwidge”. Sedangkan “Carroll” adalah bentuk Irlandia dari Carolus,
adaptasi “Charles” dalam bahasa Latin. “Charles Lutwidge” diubah menjadi
“Carolus Ludovicus” dan diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris menjadi
“Carroll Lewis”. Belum puas bermain kata, Dodgson membalik nama tersebut
menjadi “Lewis Carroll”.
Pertanyaannya adalah siapa
dan seperti apa karakter Alice itu sendiri? Ia adalah seorang gadis cilik yang
tidak menyukai buku (yang hanya berisikan tulisan tanpa gambar atau minus
ilustrasi, dan akhirnya membosankan dan membuat pening kepala ketika membacanya),
yang kemudian melihat hal ganjil ketika sedang menemani kakaknya di bank. Apa hal
ganjil tersebut? Tak lain seekor kelinci yang tidak biasa, seekor kelinci yang
bisa berbicara dan memegang arloji! Rasa ingin tahu atau kuriositas gadis cilik
ini membawanya ke dalam dunia yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya –yah dunia
ajaib alias wonderland.
Singkatnya, hari itu Alice sungguh mengalami hari yang sangat tidak biasa –sebuah hari yang memang aneh (dan absurd). Bayangkan saja oleh kita bila kita menjumpai sebuah botol yang bertuliskan “drink me” (yang dialami Alice tersebut), di mana cairan di dalam botol tersebut membuat tubuh Alice mengecil. Untungnya, ada sebuah kue kecil yang bertuliskan “eat me”, yang membuatnya membesar kembali, namun tidak seperti ukuran tubuh Alice sedia-kala sebelum mengecil, tapi melampaui ukuran asli tubuh Alice.
Singkatnya, hari itu Alice sungguh mengalami hari yang sangat tidak biasa –sebuah hari yang memang aneh (dan absurd). Bayangkan saja oleh kita bila kita menjumpai sebuah botol yang bertuliskan “drink me” (yang dialami Alice tersebut), di mana cairan di dalam botol tersebut membuat tubuh Alice mengecil. Untungnya, ada sebuah kue kecil yang bertuliskan “eat me”, yang membuatnya membesar kembali, namun tidak seperti ukuran tubuh Alice sedia-kala sebelum mengecil, tapi melampaui ukuran asli tubuh Alice.
Inilah awal petualangan Alice di negeri ajaib, di mana ia bertemu dengan berbagai macam hewan-hewan aneh dan unik yang bisa beraktivitas layaknya manusia: seekor tikus yang bisa berbicara, burung dodo, seekor ulat yang sedang menghisap shisha, hingga prajurit-prajurit yang mempunyai tubuh selembar kartu remi. Tentu juga kejadian-kejadian yang tidak terduga yang ia alami, seperti dijamu minum teh dalam perjamuan yang sedikit gila hingga berbalap lari dengan hewan-hewan tadi. Dan yang tak kalah aneh, ada juga ikan dan katak yang berkaki manusia, hingga seekor kucing yang gemar nyengir.
Demikianlah sekilas cerita Alice in Wonderland yang ditulis oleh Lewis Caroll pada tahun 1865, yang dibagi menjadi 12 bab utama, dimana tiap bab-nya berkaitan satu sama lain, tetapi dengan tema-tema utama pada masing-masing bab-nya. Misalnya bab 5, “Advice from Caterpillar”, di mana bab ini berisi cerita tentang Alice yang berhadapan dengan seekor ulat yang merokok alias menghisap shisha. Si ulat ini merupakan seekor ulat yang bisa dikatakan bijak. Dia memberi Alice nasihat tentang bagaimana caranya untuk berubah wujud jadi kecil atau besar.
Tentang hal-hal yang
besar-kecil ini dikatakan bahwa Lewis Carroll menulis bab ini dalam keadaan
sedang migrain dan epilepsi, sehingga disebutkan bahwa dalam imajinasinya,
benda-benda seolah membesar dan mengecil. Kejadian ini bahkan dijadikan nama
penyakit, yaitu sindrom Alice in Wonderland, yang mana sindrom ini terjadi pada
anak kecil yang mengalami gangguan saraf, sehingga seolah-olah benda-benda yang
dilihat oleh seorang anak kecil cenderung membesar dan mengecil. Soal inilah yang
membuat buku ini sebenarnya tidak layak dikategorikan buku anak-anak. Bayangkan
saja, seekor ulat yang sedang menghisap shisha (alias merokok). Sehingga dikatakan
bahwa Alice in Wonderland adalah bacaan lintas usia –meski dianggap secara populer
sebagai bacaan anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar