Puisi-puisi Sulaiman Djaya
(Sumber: Harian Indo
Pos, 1 Maret 2015)
Diari
Januari digambar oleh
senja berwarna ungu
dan di gugusan awan
kuletakkan pikiranku.
Kegembiraanku seperti
susunan pematang
tempat kanak-kanak
menerbangkan layang-layang.
Orang-orang bicara tentang
resolusi ekonomi
yang lain menjadi para
pecandu televisi.
Tetapi semalam,
kuistirahatkan kata-kataku
persis ketika kau sedang
nyenyak tertidur.
Bagaimana aku bisa menulis
puisi
bila aku tak mencintai
hidup ini?
Kertas-kertasku
kuumpamakan tanjung dan hutan
dan bahasa adalah gelegar
ombak dan riuh hujan.
Traktat-traktat politik
acapkali jadi letih
tentang bagaimana
kebahagiaan bisa diraih.
Setiap hari kita
kehilangan akal karena berita
yang telah membunuh
anak-anak bahasa.
Kita ditipu oleh para
analis dan para selebriti
yang menyamar sebagai para
da’i.
Di kanal-kanal yang lain,
para agen finansial
seenaknya saja merekayasa
usia kita.
Hari ini, sayang, dunia
ternyata
pentas-pentas sandiwara
kaum korporat
dan para pemilik senjata.
Dan para politisi
sama lucunya dengan
lidah-lidah kaum akademisi.
(2015)
Cello
Pukul 24.01, ketika waktu
bukan tentang tahun
atau jadwal harian
perusahaan, seorang lelaki
merenungi januari
yang ditinggalkan musim.
Ia bayangkan
senja yang matang
yang sebenarnya agak samar
lewat jendela kaca
seruang kerja.
Ia bayangkan magrib
yang sebentar lagi hilang
ke haribaan semesta
yang dikaguminya.
Di seruang yang dingin itu
teka-teki langit
dan bintang-bintang
direnunginya bersama
sealun musik
Yehudi Menuhin.
Ia bayangkan waktu
seperti sebuah rumus
fisika kuantum
di gugusan rambutmu
yang agak pirang itu.
Tuhan tak melempar dadu,
pikirnya, agak ragu
dan ada yang lebih
mempesona
ketimbang rumus fisika
atau pun misteri
matematika.
Tapi malam itu,
dingin yang terlanjur
menyerbu
tak lagi bisa ia bendung.
Seperti ketika rindu
merimbun sepasang matamu.
(2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar