Label

Sabtu, 28 Februari 2015

Cello & Diari




Puisi-puisi Sulaiman Djaya
(Sumber: Harian Indo Pos, 1 Maret 2015)

Diari

Januari digambar oleh senja berwarna ungu
dan di gugusan awan kuletakkan pikiranku.
Kegembiraanku seperti susunan pematang
tempat kanak-kanak menerbangkan layang-layang.

Orang-orang bicara tentang resolusi ekonomi
yang lain menjadi para pecandu televisi.
Tetapi semalam, kuistirahatkan kata-kataku
persis ketika kau sedang nyenyak tertidur.

Bagaimana aku bisa menulis puisi
bila aku tak mencintai hidup ini?
Kertas-kertasku kuumpamakan tanjung dan hutan
dan bahasa adalah gelegar ombak dan riuh hujan.

Traktat-traktat politik acapkali jadi letih
tentang bagaimana kebahagiaan bisa diraih.
Setiap hari kita kehilangan akal karena berita
yang telah membunuh anak-anak bahasa.

Kita ditipu oleh para analis dan para selebriti
yang menyamar sebagai para da’i.
Di kanal-kanal yang lain, para agen finansial
seenaknya saja merekayasa usia kita.  

Hari ini, sayang, dunia ternyata
pentas-pentas sandiwara kaum korporat
dan para pemilik senjata. Dan para politisi
sama lucunya dengan lidah-lidah kaum akademisi.

(2015)


Cello

Pukul 24.01, ketika waktu
bukan tentang tahun
atau jadwal harian
perusahaan, seorang lelaki
merenungi januari

yang ditinggalkan musim.
Ia bayangkan
senja yang matang
yang sebenarnya agak samar
lewat jendela kaca

seruang kerja.
Ia bayangkan magrib
yang sebentar lagi hilang
ke haribaan semesta
yang dikaguminya.  

Di seruang yang dingin itu
teka-teki langit
dan bintang-bintang
direnunginya bersama sealun musik
Yehudi Menuhin.

Ia bayangkan waktu
seperti sebuah rumus
fisika kuantum
di gugusan rambutmu
yang agak pirang itu.

Tuhan tak melempar dadu,
pikirnya, agak ragu
dan ada yang lebih mempesona
ketimbang rumus fisika
atau pun misteri matematika.

Tapi malam itu,
dingin yang terlanjur menyerbu
tak lagi bisa ia bendung.
Seperti ketika rindu
merimbun sepasang matamu.  

(2015) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar