Oleh
Nara Sambulawa (Elfridus Silman, SMM, SS)
…and what are poets for in a destitute time?[1] Demikian Martin Heidegger[2] (1889-1976) memulai kalimat
awal essay-nya yang berjudul, What are Poets for. Pertanyaan ini, juga diajukan oleh seorang penyair besar
Jerman abad 20, yakni Hölderlin,[3] dalam puisinya yang berjudul Bread and Wine. Sebuah pertanyaan
menukik yang menyentuh persoalan hakekat seorang penyair. Heidegger menyukai
puisi-puisi Hölderlin. Kesukaan tersebut memberi penegasan bahwa ia seorang
penikmat puisi. Essay-nya, tentang What are Poets for, memberi ulasan
mendalam soal “siapakah manusia itu”? Bagi, Martin Heidegger puisi adalah
bahasa tertinggi. Bahasa puisi mampu membawa orang pada pengertian mendalam
tentang otentisitas manusia beserta segala sesuatu yang hadir bersamanya dalam
kehidupan.
Pertanyaan
Heidegger, “untuk apa para penyair”? bukan pertama-tama mempertanyakan tujuan
kehadiran seorang penyair di telinga dan mata para pengagumnya, melainkan
mengantar manusia pada jalan ekspolorasi filosofis tentang keberadaannya.
Apakah yang dapat menciptakan syair-syair? Rembulan, mentari, bintang,
tetumbuhan, angin, ataukah bunga? Tentu tidak. Hanya seorang penyair yang dapat
mengungkapkan bahwa rembulan, mentari, bintang, tetumbuhan, dan bunga, bisa
berkata dan bersyair. Hanya manusia yang dapat menciptakan syair-syair. Bagi
Heidegger, manusia yang dapat menciptakan syair adalah manusia otentik, yang
secara eksisitensial berada dalam Destitute
time. Namun, apakah manusia otentik
itu?
Dalam
karyanya, Sein und Zeit (Ada dan
Waktu), Heidegger mengulas tentang manusia sebagai realitas Ada yang
bereksistensi, dalam kemenduniaan dan kemewaktuan. Heidegger menyebut manusia
dengan terminologi yang khas, yaitu Dasein.
Kata Dasein dalam bahasa Jerman
merupakan bentukan dari kata dasar, Da (secara
harafiah berarti; di sini/di sana) dan
Sein (menjadi/ada)[4]. Problem linguistik ini kerap kali
mengakibatkan inkonsistensi dan ketidaktepatan dalam penerjemahan konsep Dasein Heidegger. Term ini secara tepat dapat diterjemahkan dengan “Ada-di-sana”.
Sebab, bagi Heidegger, manusia bukanlah seperti yang kita lihat “di sini”.
Tetapi manusia adalah dia, yang memiliki segala kekayaan “di sana[5]”. “Di-sana”, tidak merujuk
pada suatu tempat. Tetapi memaksudkan makna kedalaman manusia yang tidak
terlihat.[6] Keistimewaan manusia (Dasein) dari antara benda-benda (seiendes) adalah kemampuannya untuk
mempertanyakan dirinya, dan segala sesuatu yang terlingkup oleh kesadarannya.
Manusia “yang bertanya” mengindikasikan sebuah pencarian makna.
Manusia
paling otentik adalah manusia yang berada dalam destitute time. Destitute merupakan sebuah karakter situasional
ketiadaan uang, makanan, rumah, kepemilikan[7] atau apa pun yang membuat
hidup itu bermukim pada zona nyaman. Dalam destitute
time manusia mengalami situasi naturalnya sebagai manusia. Heidegger
menguraikan destitute time secara
radikal dengan menginterpretasi kata abyss,
sebagaimana yang telah digunakan Hölderlin. Abyss (abyground)
adalah dasar, di mana akar menusuk dan berpijak.[8] Di situlah manusia menemukan
kodrat naturalnya. Manusia mengalami eksistensinya sebagai manusia murni,
dengan kesadaran penuh akan Ada-nya. Ia mengalami dirinya sebagai manusia yang
mencari makna sekaligus lapangan pencarian makna itu[9]. Dan, siapakah seorang
penyair dalam Destitute time? Ia
adalah figur yang menemukan originalitas manusia yang terjalin secara
relasional-eksistensial dengan segala sesuatu yang hadir bersamanya dalam
hidup.
Menjadi
penyair dalam destitute time artinya
menghadirkan/menyingkapkan segala sesuatu untuk menemukan orisinalitasnya[10]. Ia menyingkapkan otentisitas
dirinya dan segala sesuatu yang terjalin secara relasional eksistensial dengan
dirinya. Ia bernyayi tentang makna keberadaan dirinya dan segala sesuatu yang
ada di sekitarnya. Musikalitasnya tereksplorasi dalam keindahan kata. Ia adalah
figur dewa yang menyingkapkan orisinalitas makna dari realitas “menjadi
manusia”. Maka hakekat seorang penyair yakni sebelum dia sungguh-sungguh
menjadi seorang penyair, ia berada dalam situasi destitute time. Dalam situasi itu, ia menciptakan sebuah pertanyaan puitis bagi seluruh keberadaan dan
panggilannya menjadi penyair[11]. Pertanyaan puitis itulah, yang menjadi sarana
penyingkap kebenaran. Dan setiap pertanyaan selalu mengindikasikan adanya
pencarian.
Jalan
penyingkapan itu ditempuh dengan mengalami sendiri ketersembunyian hakekat
segala sesuatu (manusia, benda-benda, peristiwa) dalam bentuk kontemplasi.[12] Dalam kontemplasinya, ia
menyingkap ketersembunyian hakekat segala sesuatu menjadi ketaktersembunyian.
Lain kata, segala yang tersembunyi akan menjadi tampak dalam kontemplasi. Setiap syair, merupakan jawaban atas
manefastasi dari hakekat manusia beserta segala sesuatu yang ada. Dan puisi tidak secara langsung menerangkan
hakekat dari segala sesuatu yang ada[13]. Ia menerangkan sesuatu
melalui simbol, dengan teknik pengunaan diksi yang indah. Namun, hakekat puisi
tidak terutama pada diksi, atau pada pesan yang memukau wilayah rasa,
melainkan dialami sebagai sebuah orgasme akal budi. Sebab, in se seorang pemikir itu adalah seorang
penyair, demikian pun sebaliknya. Teknik merangkai kata-kata indah juga tak
dapat diabaikan. Sebab, menciptakan puisi itu adalah “the work of art.”
Pertanyaannya
adalah bagaimana pesan puisi sampai pada pendengar atau pembacanya?
Sesungguhnya, pesan orisinalitas puisi tidak akan sampai pada pendengar atau
pembacanya, jika pendengar atau pembaca tidak masuk di jalan yang sama dengan
sang penyair dalam destitute time-nya.
Dengan kata lain, pembaca harus masuk dalam kerangka kontemplasi penyairnya.
Lihat
saja, Chairil Anwar tampak menjadi salah satu dari antara beribu tulang
berserak antara Kerawang-Bekasi, dalam puisinya Kerawang Bekasi. Ia dengan
kesadaran penuh bahwa ada satu titik yang mengakhiri eksistensi manusia. Titik
itu mengubah segalanya. Tak ada lagi situasi eksistensial yang menandakan
kehidupan. Kegelapan tanpa suara. Sebagai penyair, Anwar bertanya tentang
hakekat dari tulang-tulang berserakan itu, yang
akhirnya dapat bersuara, seolah ia ada dalam dunia mereka. Hanya orang
sadar sebagai manusia saja yang akan mengalami, menjadi tulang tanpa suara,
yang dapat menangkap pesan kematian. Hanya orang yang peka akan situasi
ketertindasan yang dapat merasakan bias terror. Anwar mampu menggeledah suara
harapan dari beribu tulang yang berserakan antara Kerawang dan Bekasi.
Seorang
penyair seperti Hölderlin, Chairil Anwar, adalah penyingkap kebenaran. Jalan
penyingkapan itu adalah sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan puitis yang
mengitari imaginasinya dalam situasi destitute
time. Panggilan menjadi penyair adalah panggilan untuk mencari jawaban atas
pertanyaan “siapakah manusia?” Dengan sikap kontemplatif atas pengalaman
kemenduniaan dan kemewaktuannya, sang penyair dapat menampakan kebenaran
tentang realitas dirinya sebagai manusia, segala benda dan peristiwa yang
terjalin secara relasional eksistensial dengan dirinya.*** Purakasastra Edisi 2
Tahun 1-November 2014
[1]
Martin Heidegger, What are Poets For?
dalam Poetry, Language, Though, New
York: Harper Perennial Classic, 2001, hlm 89.
[2]
Martin Heidegger, filsuf besar abad 20 asal Jerman. Pada 1923 ia menjadi
professor di Universitas di Marburg. Pada 1927 ia menerbitkan karya besarnya
berjudul Sein und Zeit (Ada dan
Waktu). Gagasan filsafatnya banyak mempengaruhi berbagai bidang penelitian yang
luas. Tradisi filsafat yang digeluti dan diwariskannya: Fenemenologi,
Eksistensialisme, dan Hermeneutika. Dalam bidang Fenomenologi ia banyak berguru
pada Edmund Husserl. Dalam bidang Eksistensialisme ia banyak berguru pada
Nietzche dan Sorren Kierkegaard. Murid-muridnya yang menjadi filsuf terkemuka
antara lain; Hanna Arendt, Hans Gadamer, Hans Jonas, Emanuel Levinas, Jacques
Derrida, Jean-Paull Sartre, Leo Strauss, dll. Selain, karya besar Sein und Zeit, ratusan essay filsafat ditulisnya, termasuk
beberapa diantaranya berkaitan dengan puisi (The Thinker as Poet, What are Poets for?, Language, Poetically Man
Dwells).
[3]
Johann Christian Freiderich Hölderlin
(1770-1843), penyair besar Jerman, kerap dikelompokan dalam aliran Romantisme.
[4]Bdk.
Magda King, Heidegger’s Philosophy: A
Guide To His Basic Thoght, New York:The Macmillan Company, 1964, hlm 66.
[5]Prof.
Dr. Eko Armada Riynto, CM, Berfilsafat
Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm 41.
[6]Ibid.
[7] Bdk.
Cambrige Advanced Learner’s Dictionari, third edition.
[8]
Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 89.
[9]Ibid.
[10] Bdk.
Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 90.
[11] Bdk.
Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 91.
[12] Bdk.
Martin Heidegger, Op. Cit.,hlm 93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar