Label

Jumat, 07 Mei 2021

Sulaiman Djaya | Elegi Kirmizi | Asep S Bahri & Mayang Santika

 

Pembacaan dan musikalisasi puisi berjudul 'Elegi Kirmizi' karya penyair Sulaiman Djaya oleh Mayang Santika dan Asep S Bahri

Rabu, 17 Maret 2021

Sastra Malam di Udara | SAMARA | Serang Gawe FM (2)

 

Pembacaan puisi berjudul Gambar Senja Sang Pelukis karya Sulaiman Djaya oleh penyairnya dan puisi berjudul Kita Seperti Kata karya penyair Sulaiman Djaya oleh pegiat dan pengajar teater Rony M Khalid di acara Sastra Malam di Udara Radio Serang Gawe FM edisi 4 Maret 2021.






Jumat, 12 Maret 2021

Sulaiman Djaya | SAMARA | M Rois Rinaldi (2)

 

Program Sastra Malam di Udara (SAMARA) Radio Serang Gawe FM bersama penyair Sulaiman Djaya dan redaktur sastra Biem M Rois Rinaldi yang dipandu Kang Martin dan Bubud Santosha, 11 Maret 2021. 






Rabu, 10 Maret 2021

Sulaiman Djaya | Sundakala | Novia Fitria

 

Pentas Musik Etnik Sundakala: Puisi karya Sulaiman Djaya, Vokal dan Saron: Novia Fitria, Musik Arransemen oleh Kaum Pedestrian. House of Salbai 34 Venue Kota Serang, Banten. SUNDAKALA “Pun, sapun! Kula ngahaturkeun mantra gunung, ka para karuhun nu aya di hilir, nu aya di pucuk: jadilah limbung, jadilah rimbun”. Ini adalah negeri para Hyang yang menghuni gunung-gunung. Dengan mantra paling sakti bagi Nhay Larasati, bagi Dewi Pohaci. “Jadilah limbung, jadilah rimbun sebab air adalah jiwa bumi dan batang-batang hutan adalah tiang-tiang penyangga”. Dahulu kala, di hilir Kali Pandan, Sri Jayabupati mendirikan kota Banten Girang. Dari kenangan Tarumanagara yang kalah, Sunda nan resah dan gundah selepas prahara karena asmara para raja. Nun jauh di timur Jawa, di negeri Daha, lelaki bernama Airlangga meregang nyawa penuh iba karena serangan Sriwijaya nan tiba-tiba. Dan Darmawangsa pun hijrah ke negeri Niskala Wastu Kencana di hilir Kali Pandan, di Banten Girang. Tak ada kekuasaan yang kekal melebihi usia di negeri Sunda. Inilah negeri Banten yang tua muasal para raja dan punggawa yang kelak bertahta di Pakuwuan di nagari pusaka Pajajaran, di negeri kelahiran Raden Kian Santang. “Pun, sapun! Kami para puun menabuh angklung-angklung buhun agar gunung-gunung tetap kukuh bagi segenap anak-cucu”. Dan di negeri Galuh, Rahyang Niskala pun masygul, setelah Banten Girang hancur-luluh oleh para perusuh, tetangga yang cemburu pada paras ayu. “Pun, sapun! Kami para anak cucu ngahaturkeun putih sangu ka para puun, ka para karuhun ka para Hyang di gunung-gunung”. (2013) Sumber: Jurnal Sajak Nomor 8 Tahun 4 (2014)







Minggu, 07 Maret 2021

Sulaiman Djaya | SAMARA | Rony M Khalid (3)

 

Program Sastra Malam di Udara Radio Serang Gawe FM bersama penyair Sulaiman Djaya dan pegiat teater dan guru seni Rony M. Khalid yang dipandu Kang Martin ngobrolin kreativitas di masa pandemi sembari membaca puisi, 4 Maret 2021. 









Selasa, 09 Februari 2021

Teater dan Tubuh Menurut Sulaiman Djaya

 
Pandangan penyair Sulaiman Djaya tentang pementasan Tebah, Tabah, Tabuh karya Imaf M. Liwa. 








Selasa, 26 Januari 2021

Puisi-puisi Sulaiman Djaya tentang Jakarta

 

DI HALTE

 

Di halte aku memandangi ragam rupa

Lalulalang, orang-orang yang menunggu, juga rasa bosan.

Hujan yang reda tak membuat kaca-kaca

Jadi gambar senja. Lampu-lampu jalan mulai menyala

Tapi kota-kota dibangun dari lupa.

 

Tak kudapatkan burung-burung di cakrawala

Diantara gedung-gedung bertingkat

Yang kubayangkan seperti mainan masa kanak.

Hanya langit yang tampak gelap

Dan aroma karbondioksida.

 

Ke seberang jalan kulihat penyanyi jalanan

Asik berdendang di barisan kemacetan.

Hanya samar-samar kudengar

Ia memainkan senar-senar gitar

Dengan riang, dan lalu menghilang.

 

(Jakarta 2002)

 

DI SEBUAH SORE

 

Lewat sebuah kaca,

senja kulihat duduk menatapmu.

Orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka,

sebagian telah beranjak pulang

dengan keresahan yang tak mereka ungkapkan.

 

Sayangku, katakan apa yang ingin kaukatakan

sebelum malam datang

dan kau jadi lupa

pada semua yang kelak tinggal.

 

Kota masih menyisakan sudut-sudut yang sama,

dan tepikir sejenak

kulangkahkan kakiku ke tempat

di mana kau pernah teramat jatuh cinta

pada selembar garis cahaya

antara langit sore hari

dan atap gedung-gedung bertingkat.

 

Seakan aku membayangkan

ingatan menuju menuju rumahmu dipenuhi burung-burung senja

dengan keheningan yang menggoda

seperti sebelum-sebelumnya.

 

Terduduk sendiri di ruang ini

di antara kertas-kertas

dan sebaris detak jam dinding,

aku memikirkan sebuah kalimat puisi

seperti sepasukan gerimisku tadi malam.

 

(Jakarta 2011)

 

Sumber: Tuah Tara No Ate: Bunga Rampai Cerpen dan Puisi Temu Sastrawan Indonesia Ke-4 di Ternate 25-29 Ontober 2011, Ummu Press h. 458.

 

DI KOTA TUA JAKARTA

 

Kota ini sebuah riwayat

Para saudagar dan syahbandar

Di hiruk-pikuk dan lalu-lalang bandar

Dari sejak Taruma

Hingga masa Hindia Belanda.

 

Tugu dan gedung-gedung tua

Adalah kisah penaklukan

Juga pemberontakan

Atas nama agama

Dan komoditas dagang.

 

Aku dan perempuan Eropa-ku

Singgah di Café Batavia

Dan aku hanya bisa tertawa

Saat ia melantunkan selagu jazz lama

Tentang kesepian dan cinta.

 

“Fly me to the moon……

Let me play among the stars…..”

Tapi yang kubayangkan

Adalah kepak para unggas

Di atas gugusan ranca

 

Sebelum noni-noni Belanda

Menyebutnya Batavia.

Di Sunda Kelapa,

Orang-orang dari ragam suku dan bangsa

Sibuk dengan pekerjaan mereka

 

Dan tentu saja tak ada lagi Fatahillah

Atau Pengeran Jayakarta

Meski nama mereka masih terbaca

Sekedar artefak di museum tua

Sebagaimana halnya benda-benda

 

Dan bangunan-bangunan lama

Yang kusam dan berkarat

Oleh waktu. Kota ini adalah riwayat

Banyak bangsa. Seperti perempuan Eropa-ku

Yang datang karena kisahnya.

 

(Jakarta 2011-Serang 2019)

 

Sumber: Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, halaman 159.

 

KWATRIN JAKARTA

 

Dari titik sebuah trotoar, ketika warna hitam

sudah sedemikian akrab, setiang lampu di taman jalan

memang lebih indah dibanding tugu.

Tak ada ujung atau tanjung

 

ketika hatiku ingin sejenak berlabuh.

Atau langkah-langkah hijrah sepasukan kijang

ketika aku hanya ingin sekedar membayangkan

kau asyik menerka tokoh utama sebuah cerita

 

yang hanya ada dalam lipatan sampul anggun.

Tetapi dulu, barangkali, di kota ini,

ada saat ketika bebek-bebek liar

tak sanggup menawan arah pancaroba

 

di kubangan-kubangan ranca, antara Krukut

dan langit berkabut Kebayoran Lama.

Barangkali dulu, di kota ini, nasib pun

serupa gerimis, atau semisal cahaya matahari

 

yang menjelma seperti api senjahari.

Lumut, juga daun-daun, mungkin bertafakkur,

dihembuskan mulut-mulut tahun

semisal mendung yang cemburu pada rambutmu.

 

(2011)

 

Sumber: Koran Tempo, 17 Maret 2013

 


Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak,  Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, Banten News, Majalah Sastra Kalimas, basabasi.co, langgar.co, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan lain-lain.