Label

Rabu, 22 Juli 2015

Sundakala





Lima Puisi Sulaiman Djaya
(Sumber: Jurnal Sajak Nomor 8, Tahun 4, 2014)

SUNDAKALA
  
“Pun, sapun! Kula ngahaturkeun
mantra gunung, ka para karuhun
nu aya di hilir, nu aya di pucuk:
jadilah limbung, jadilah rimbun”.

Ini adalah negeri para Hyang
yang menghuni gunung-gunung.
Dengan mantra paling sakti
bagi Nhay Larasati, bagi Dewi Pohaci.

“Jadilah limbung, jadilah rimbun
sebab air adalah jiwa bumi
dan batang-batang hutan
adalah tiang-tiang penyangga”.

Dahulu kala, di hilir Kali Pandan,
Sri Jayabupati mendirikan kota
Banten Girang. Dari kenangan
Tarumanagara yang kalah,

Sunda nan resah dan gundah
selepas prahara karena asmara para raja.
Nun jauh di timur Jawa, di negeri Daha,
lelaki bernama Airlangga

meregang nyawa penuh iba
karena serangan Sriwijaya nan tiba-tiba.
Dan Darmawangsa pun hijrah
ke negeri Niskala Wastu Kencana

di hilir Kali Pandan, di Banten Girang.
Tak ada kekuasaan yang kekal
melebihi usia di negeri Sunda.
Inilah negeri Banten yang tua

muasal para raja dan punggawa
yang kelak bertahta di Pakuwuan
di nagari pusaka Pajajaran,
di negeri kelahiran Raden Kian Santang.

“Pun, sapun! Kami para puun
menabuh angklung-angklung buhun
agar gunung-gunung tetap kukuh
bagi segenap anak-cucu”.

Dan di negeri Galuh, Rahyang Niskala
pun masygul, setelah Banten Girang
hancur-luluh oleh para perusuh,
tetangga yang cemburu pada paras ayu.

“Pun, sapun! Kami para anak cucu
ngahaturkeun putih sangu
ka para puun, ka para karuhun
ka para Hyang di gunung-gunung”.

(2013)


FUR L….

“Sejak aku mencintaimu,
kau tak mirip siapa pun” (Pablo Neruda)

Dan bagiku kau tak mirip apa pun,
bukan pula umpama,
bukan juga milik bahasa.
Rambutmu yang hitam kental
bukan juga kiasan gelap hutan
atau malam tanpa bintang-bintang
selepas hujan.

Bagiku kau datang dari hal-hal purba
yang sebelumnya tak kupikirkan.
Kuhisap rokok kretekku
dengan damai.
Dan kutulis sajakku ini
setelah secangkir kopi hitamku
hanya tinggal dedaknya saja

barangkali seperti buku-buku
penuh debu di perpustakaan
yang tak dibaca.
Di luar, dengan jejak-jejak cahaya
yang samar, juga kabut,
dingin pun jadi terasa rabun.
Seakan segala di sekitarku

jadi dungu: meja, jendela, pintu,
dinding, jam, almanak
juga barisan buku-buku. Segala tentangmu,
sebenarnya, begitu sederhana,
bahkan teramat sederhana
hingga tak ada sajak karenanya.
Sebab kau memang purba
semula adanya. Sejak aku mencintaimu,
kau kubayangkan seperti angin senja
yang bercanda. Dua matamu, barangkali,
sekembar dingin cakrawala
tempat gairah dan petaka
senantiasa saling menduga
tanpa memberi aba-aba.           

(2013)


LUKISAN

Singgah sebentar pada sepotong senja
selepas hujan, rambutmu dikerumuni
kunang-kunang. Pada bunga cuaca
di kaca beranda. Pada mimpi
yang terjaga karena bohlam.

Hanya udara yang nyata, udara
yang segaib dingin pancaroba.
Tapi aku bukan Theseus yang dikutuk
setelah meninggalkan teluk,
setelah diterjang rabun

karena asmara. Di belakang pintu,
waktu terkantuk pada selembar sajak
yang tak rampung. Sementara maut
tertidur bersama daun-daun.
Seperti iklim di negeri yang letih,

tahun-tahun di sepasang matamu
menjadi usia yang terhentak langit marun.
Barangkali aku adalah Odisius
yang mengarung laut dan tanjung
bertahun-tahun. Tapi sajak

mungkin hanya kelakar bisu
ketika aku jatuh cinta padamu.
ketika seberkas cahaya yang lampus
seperti nasib yang tersungkur
dan enggan berkebun.

(2013)


DEMI MALAM DI LIANG TUNGKU

Demi malam yang selembut dua matamu,
aku jadikan kata sebagai senjata
untuk menyatakan rasa cinta.
Angin dan musim seperti sepi yang saling
berbisik. Aku hitung subuh
seperti ketika jari-jemari lampu
mencumbui rambutmu.

Demi malam yang selalu membuatku
senantiasa cemburu,
aku hisap rokok kretekku
sementara hatiku menjelma laut
bagi Odisius yang digempur jalan buntu.

Demi malam yang mencuri warna
gugusan rambutmu yang kanak-kanak itu,
di atas meja dan di sudut dapur
maut senantiasa mengendus kau dan aku
selepas mereka puas membaca buku-buku
yang tak pernah menceritakan
nasibku-nasibmu.

Demi malam di mana kau dan aku
bermain usia antara rindu
dan padamnya api di liang tungku
peninggalan ibuku, kita sama-sama berpacu
menabung umur yang uzur sebagai para pecatur.

(2013)


KARANGANTU

Di kanal ini sejumlah arkeolog menemukan sosok Nandi
dengan sepasang mata penuh lumpur merindu permaisuri.
Raja-raja Sunda dan para sultan menyebutmu Surosowan,
negeri muasal para empu, ksatria, punggawa

dan para pangeran. Para pedagang dari Malaka
berdagang kapur. Para Khan sibuk di timbangan
dan lalulalang bandar, seakan tak hirau
sengatan panas zuhur. Beberapa meter dari arah mesjid
  
dan puri, para panday mengukir golok, pedang,
klewang, busur, dan keris, yang ternyata tak sepadan
dengan meriam dan senapan di medan perang.
Kini, hanya kucium aroma menyengat

tubuh dan keringat para nelayan selepas hujan.
Tak ada lagi armada Tiongkok atau Persia
yang datang kepadamu dengan sumringah dan bangga
selain sampah dan warna kumuh kali dan comberan.

(2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar