Lima Puisi Sulaiman Djaya
(Sumber: Jurnal Sajak Nomor 8, Tahun 4, 2014)
SUNDAKALA
“Pun, sapun! Kula
ngahaturkeun
mantra gunung, ka para
karuhun
nu aya di hilir, nu aya di
pucuk:
jadilah limbung, jadilah
rimbun”.
Ini adalah negeri para
Hyang
yang menghuni
gunung-gunung.
Dengan mantra paling sakti
bagi Nhay Larasati, bagi
Dewi Pohaci.
“Jadilah limbung, jadilah
rimbun
sebab air adalah jiwa bumi
dan batang-batang hutan
adalah tiang-tiang penyangga”.
Dahulu kala, di hilir Kali
Pandan,
Sri Jayabupati mendirikan
kota
Banten Girang. Dari
kenangan
Tarumanagara yang kalah,
Sunda nan resah dan gundah
selepas prahara karena
asmara para raja.
Nun jauh di timur Jawa, di
negeri Daha,
lelaki bernama Airlangga
meregang nyawa penuh iba
karena serangan Sriwijaya
nan tiba-tiba.
Dan Darmawangsa pun hijrah
ke negeri Niskala Wastu
Kencana
di hilir Kali Pandan, di
Banten Girang.
Tak ada kekuasaan yang
kekal
melebihi usia di negeri
Sunda.
Inilah negeri Banten yang
tua
muasal para raja dan
punggawa
yang kelak bertahta di
Pakuwuan
di nagari pusaka
Pajajaran,
di negeri kelahiran Raden
Kian Santang.
“Pun, sapun! Kami para puun
menabuh angklung-angklung
buhun
agar gunung-gunung tetap
kukuh
bagi segenap anak-cucu”.
Dan di negeri Galuh,
Rahyang Niskala
pun masygul, setelah
Banten Girang
hancur-luluh oleh para
perusuh,
tetangga yang cemburu pada
paras ayu.
“Pun, sapun! Kami para anak
cucu
ngahaturkeun putih sangu
ka para puun, ka para karuhun
ka para Hyang di
gunung-gunung”.
(2013)
FUR L….
“Sejak aku mencintaimu,
kau tak mirip siapa pun” (Pablo Neruda)
Dan bagiku kau tak mirip
apa pun,
bukan pula umpama,
bukan juga milik bahasa.
Rambutmu yang hitam kental
bukan juga kiasan gelap
hutan
atau malam tanpa
bintang-bintang
selepas hujan.
Bagiku kau datang dari
hal-hal purba
yang sebelumnya tak
kupikirkan.
Kuhisap rokok kretekku
dengan damai.
Dan kutulis sajakku ini
setelah secangkir kopi
hitamku
hanya tinggal dedaknya
saja
barangkali seperti
buku-buku
penuh debu di perpustakaan
yang tak dibaca.
Di luar, dengan
jejak-jejak cahaya
yang samar, juga kabut,
dingin pun jadi terasa
rabun.
Seakan segala di sekitarku
jadi dungu: meja, jendela,
pintu,
dinding, jam, almanak
juga barisan buku-buku.
Segala tentangmu,
sebenarnya, begitu
sederhana,
bahkan teramat sederhana
hingga tak ada sajak
karenanya.
Sebab kau memang purba
semula adanya. Sejak aku
mencintaimu,
kau kubayangkan seperti
angin senja
yang bercanda. Dua matamu,
barangkali,
sekembar dingin cakrawala
tempat gairah dan petaka
senantiasa saling menduga
tanpa memberi
aba-aba.
(2013)
LUKISAN
Singgah sebentar pada
sepotong senja
selepas hujan, rambutmu
dikerumuni
kunang-kunang. Pada bunga
cuaca
di kaca beranda. Pada
mimpi
yang terjaga karena
bohlam.
Hanya udara yang nyata,
udara
yang segaib dingin
pancaroba.
Tapi aku bukan Theseus
yang dikutuk
setelah meninggalkan
teluk,
setelah diterjang rabun
karena asmara. Di belakang
pintu,
waktu terkantuk pada
selembar sajak
yang tak rampung.
Sementara maut
tertidur bersama
daun-daun.
Seperti iklim di negeri
yang letih,
tahun-tahun di sepasang
matamu
menjadi usia yang
terhentak langit marun.
Barangkali aku adalah
Odisius
yang mengarung laut dan
tanjung
bertahun-tahun. Tapi sajak
mungkin hanya kelakar bisu
ketika aku jatuh cinta
padamu.
ketika seberkas cahaya
yang lampus
seperti nasib yang
tersungkur
dan enggan berkebun.
(2013)
DEMI MALAM DI LIANG TUNGKU
Demi malam yang selembut
dua matamu,
aku jadikan kata sebagai
senjata
untuk menyatakan rasa
cinta.
Angin dan musim seperti
sepi yang saling
berbisik. Aku hitung subuh
seperti ketika jari-jemari
lampu
mencumbui rambutmu.
Demi malam yang selalu
membuatku
senantiasa cemburu,
aku hisap rokok kretekku
sementara hatiku menjelma laut
bagi Odisius yang digempur
jalan buntu.
Demi malam yang mencuri
warna
gugusan rambutmu yang
kanak-kanak itu,
di atas meja dan di sudut
dapur
maut senantiasa mengendus
kau dan aku
selepas mereka puas
membaca buku-buku
yang tak pernah
menceritakan
nasibku-nasibmu.
Demi malam di mana kau dan
aku
bermain usia antara rindu
dan padamnya api di liang
tungku
peninggalan ibuku, kita
sama-sama berpacu
menabung umur yang uzur
sebagai para pecatur.
(2013)
KARANGANTU
Di kanal ini sejumlah
arkeolog menemukan sosok Nandi
dengan sepasang mata penuh
lumpur merindu permaisuri.
Raja-raja Sunda dan para
sultan menyebutmu Surosowan,
negeri muasal para empu,
ksatria, punggawa
dan para pangeran. Para
pedagang dari Malaka
berdagang kapur. Para Khan
sibuk di timbangan
dan lalulalang bandar,
seakan tak hirau
sengatan panas zuhur.
Beberapa meter dari arah mesjid
dan puri, para panday
mengukir golok, pedang,
klewang, busur, dan keris,
yang ternyata tak sepadan
dengan meriam dan senapan
di medan perang.
Kini, hanya kucium aroma
menyengat
tubuh dan keringat para
nelayan selepas hujan.
Tak ada lagi armada
Tiongkok atau Persia
yang datang kepadamu
dengan sumringah dan bangga
selain sampah dan warna
kumuh kali dan comberan.
(2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar