Oleh Bagja
Hidayat (Sumber: Ruang Baca Koran Tempo, 28 Mei 2006)
Sekumpulan tulisan yang menyerang sanjung-puji para kritikus terhadap para penulis perempuan Indonesia mutakhir. Argumentasinya mantap.
Dalam beberapa tahun terakhir ladang sastra kita ramai oleh gunjingan telah terjadi krisis kritik sastra. Mutu kritik dituding tak bisa mengimbangi membanjirnya karya sastra sebagai objek kritik dengan tumbuhnya media massa dan penerbitan. Pendeknya, kritik sastra kita, sebagai sebuah ranah sastra tersendiri, sudah mati.
Ada yang menuding krisis itu berpangkal karena adanya “politik sastra”. “Politik” itu berupa kuatnya jaringan personal antara komunitas-komunitas sastra terkemuka (yang di dalamnya ada kritikus terkemuka juga) dengan para penulis. Penulis yang bisa masuk ke dalam jaringan-jaringan kritikus arus utama itu akan mendapat tempat dalam ranah sastra kita.
Aktivis sastra siber, Saut Situmorang, gencar menyuarakan tudingan dan asumsi ini. Bukan tanpa kebetulan jika istrinya, Katrin Bandel, penulis buku ini, juga punya asumsi yang sama. “Buku ini lahir dari rasa kecewa terhadap permainan politik sastra semacam itu,” tulis Katrin. Penulis asal Jerman ini menuding para kritikus dalam jaringan itu telah tidak adil dalam menilai sebuah karya.
Katrin menunjukkan pilih kasih para kritikus itu. Karya yang mendapat tempat dan sanjungpuji itu secara kualitas, dalam penilaian Katrin, ternyata biasa-biasa saja. Sementara itu, banyak karya lain yang punya kualitas lebih terlewat dari gunjingan para kritikus di media massa hanya karena dia tak punya kontak ke jaringan kritikus arus utama itu.
Dan sepanjang delapan tahun ini, sastra kita (terutama novel dan cerita pendek) ramai oleh tema seputar seks yang ditulis perempuan. Para kritikus arus utama menilai hadirnya perempuan mengangkat dan membongkar seks dari kotak tabu selama ini sebagai bentuk pemberontakan perempuan terhadap budaya patriarki—sebuah budaya yang makin kentara dalam gunjingan yang riuh itu bahwa perempuan memang baru dihargai karena dia perempuan.
Sebab, belum pernah terdengar ada penulis laki-laki dipuji karena dia terlahir sebagai laki-laki. Inilah fokus yang mengambil sebagian besar sorotan Katrin terhadap karya sastra kita dewasa ini. Dia, misalnya, menyoroti dua novel Ayu Utami, Saman dan Larung, yang dianggap “novel terbaik sependek sejarah sastra Indonesia modern”.
Lalu kemunculan tiba-tiba Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, dan penulis perempuan lainnya yang menggarap tema tak jauh-jauh dari selangkangan secara telanjang. Para penulis yang dipuji-puji telah mengenalkan teknik bercerita yang baru ini, di mata Katrin, tak lebih hanya merumitkan narasi belaka.
Ia menyiapkan argumentasi, merujuk teori, membongkar kelemahan sorotan atas karyakarya mereka, lalu ia sendiri menunjukkan fakta lain yang mendukung ulasannya. Ada terasa argumentasi yang mantap, memang, sehingga segala bangunan kritik puja-puji itu goyah bahkan ambruk.
Yang tampak segera dari tulisan-tulisannya ini adalah usaha menyampaikan argumentasi sendiri dengan meminimalkan kutipan pemikir-pemikir sebelumnya yang seringkali dipakai bermegah diri oleh para kritikus lokal generasi terbaru. Penilaian Katrin semacam ini sah dan wajar saja.
Sebuah karya sastra serupa raksasa tak akan habis sungguh pun dicincang dari pelbagai sudut. Karya yang berhasil malah akan terus merangsang daya kritis para pembaca. Tetralogi Bumi Manusia yang ditulis Pramoedya Ananta Toer sudah banyak diulas dari pelbagai segi: politik, nasionalisme, teori komunisme, kejiwaan, sejarah, cerita yang biasa saja, dan seterusnya.
Alih-alih habis, tetralogi makin mengukuhkan kepengarangan Pramoedya. Ini juga menunjukkan bahwa baik-buruk mutu sebuah karya ditentukan oleh lompatan waktu, bukan oleh kritikus yang memuji atau mencacinya. Seorang kritikus adalah seorang pembaca yang bertanya. Ia mengungkap segala aspek yang tak terlihat oleh penikmat sastra biasa.
Ia menyampaikan perspektif dengan, kalau perlu, mencari pijakan teorinya. Menurut Budi Darma, kritik yang baik adalah kritik yang memberi wawasan. Kritik yang baik adalah kritik yang bisa membangkitkan siklus mencipta: karya sastra bisa melahirkan kritik, dan kritik bisa merangsang sebuah karya baru. Dalam perkembangan sastra Indonesia yang belum menunjukkan keunikannya ini, rangsangan semacam itu sangat perlu.
Budi Darma sendiri sudah mempraktekannya ketika menulis novel Olenka (dan mungkin cerita-cerita Orang-orang Bloomington). Secara jujur ia mengaku terinspirasi oleh satu kritik sastra yang ditulis pengarang Inggris, EM Forster. Kita tidak tahu bagaimana Budi Darma mendapat ilham menulis cerita sepulang dari Amerika.
Cerita-cerita mutakhirnya lebih tertib dan terarah, tak ada lanturan dan tokoh-tokoh yang kesurupan lagi. Karena berangkat dari “rasa kecewa” itu, tulisan-tulisan Katrin yang menyerang kritik sebelumnya terasa garang dan berapi-api, lalu melupakan sorotan terhadap nilai sebuah karya sebagai suatu kesatuan.
Sebaliknya, tulisan lepas yang membahas novel atau fenomena jauh lebih subtil dan memberikan perspektif baru. Karena itu, tulisan yang paling menarik dari buku ini adalah ulasannya soal dukun dan obat dalam sastra Indonesia, tema-tema pascakolonial, dan sastra siber. Soal dukun dan obat agaknya ringkasan dari disertasi Katrin di jurusan sastra Indonesia Universitas Hamburg, Jerman.
Menarik karena sorotan semacam ini jarang disentuh oleh kritikus lokal. Lagipula, perdebatan kritik sudah terjadi sejak zaman kuda bertukar tanduk dengan rusa. Persoalan rendahnya mutu kritik dan kewibawaan kritik selalu berulang dari generasi ke generasi. Perulangan debat semacam ini, bukankah menunjukkan bahwa memang ada fenomena dan tren tertentu dalam sastra Indonesia?
Barangkali karena buku ini bukan sekumpulan tulisan dengan kepaduan tema. Katrin telah meniru tabiat “intelektual publik” Indonesia yang membuat buku dengan mengumpulkan serpihan-serpihan ide lewat tulisan yang terserak dalam pelbagai berkala. Karena itu setiap ulasan tentang sebuah tema dalam buku ini terasa tak bebas ruang geraknya karena terbatas oleh jumlah halaman dan karakter di media massa tempat asalnya.
Seandainya Katrin mau menambah jelas tiap argumentasi, menyelipkan teori yang lebih ajeg untuk mendukungnya, atau memperluas tema sorotan sebelum dibukukan, ke-11 tulisannya ini bisa jauh lebih berbobot. Kemungkinan lain, sebuah tulisan dalam buku ini ditulis untuk sebuah tema pada suatu waktu tertentu dengan mempertimbangkan aktualitas.
Meski begitu, buku ini tetap menarik sebagai sebuah bahan otokritik terhadap arus utama kritik sastra mutakhir kita, semacam suara lain dalam menimbang sebuah karya. Sebuah otokritik dari seberang, yang mengingatkan, memberi tempat pada karya yang luput dari pengamatan para kritikus arus utama itu.
Sekumpulan tulisan yang menyerang sanjung-puji para kritikus terhadap para penulis perempuan Indonesia mutakhir. Argumentasinya mantap.
Dalam beberapa tahun terakhir ladang sastra kita ramai oleh gunjingan telah terjadi krisis kritik sastra. Mutu kritik dituding tak bisa mengimbangi membanjirnya karya sastra sebagai objek kritik dengan tumbuhnya media massa dan penerbitan. Pendeknya, kritik sastra kita, sebagai sebuah ranah sastra tersendiri, sudah mati.
Ada yang menuding krisis itu berpangkal karena adanya “politik sastra”. “Politik” itu berupa kuatnya jaringan personal antara komunitas-komunitas sastra terkemuka (yang di dalamnya ada kritikus terkemuka juga) dengan para penulis. Penulis yang bisa masuk ke dalam jaringan-jaringan kritikus arus utama itu akan mendapat tempat dalam ranah sastra kita.
Aktivis sastra siber, Saut Situmorang, gencar menyuarakan tudingan dan asumsi ini. Bukan tanpa kebetulan jika istrinya, Katrin Bandel, penulis buku ini, juga punya asumsi yang sama. “Buku ini lahir dari rasa kecewa terhadap permainan politik sastra semacam itu,” tulis Katrin. Penulis asal Jerman ini menuding para kritikus dalam jaringan itu telah tidak adil dalam menilai sebuah karya.
Katrin menunjukkan pilih kasih para kritikus itu. Karya yang mendapat tempat dan sanjungpuji itu secara kualitas, dalam penilaian Katrin, ternyata biasa-biasa saja. Sementara itu, banyak karya lain yang punya kualitas lebih terlewat dari gunjingan para kritikus di media massa hanya karena dia tak punya kontak ke jaringan kritikus arus utama itu.
Dan sepanjang delapan tahun ini, sastra kita (terutama novel dan cerita pendek) ramai oleh tema seputar seks yang ditulis perempuan. Para kritikus arus utama menilai hadirnya perempuan mengangkat dan membongkar seks dari kotak tabu selama ini sebagai bentuk pemberontakan perempuan terhadap budaya patriarki—sebuah budaya yang makin kentara dalam gunjingan yang riuh itu bahwa perempuan memang baru dihargai karena dia perempuan.
Sebab, belum pernah terdengar ada penulis laki-laki dipuji karena dia terlahir sebagai laki-laki. Inilah fokus yang mengambil sebagian besar sorotan Katrin terhadap karya sastra kita dewasa ini. Dia, misalnya, menyoroti dua novel Ayu Utami, Saman dan Larung, yang dianggap “novel terbaik sependek sejarah sastra Indonesia modern”.
Lalu kemunculan tiba-tiba Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, dan penulis perempuan lainnya yang menggarap tema tak jauh-jauh dari selangkangan secara telanjang. Para penulis yang dipuji-puji telah mengenalkan teknik bercerita yang baru ini, di mata Katrin, tak lebih hanya merumitkan narasi belaka.
Ia menyiapkan argumentasi, merujuk teori, membongkar kelemahan sorotan atas karyakarya mereka, lalu ia sendiri menunjukkan fakta lain yang mendukung ulasannya. Ada terasa argumentasi yang mantap, memang, sehingga segala bangunan kritik puja-puji itu goyah bahkan ambruk.
Yang tampak segera dari tulisan-tulisannya ini adalah usaha menyampaikan argumentasi sendiri dengan meminimalkan kutipan pemikir-pemikir sebelumnya yang seringkali dipakai bermegah diri oleh para kritikus lokal generasi terbaru. Penilaian Katrin semacam ini sah dan wajar saja.
Sebuah karya sastra serupa raksasa tak akan habis sungguh pun dicincang dari pelbagai sudut. Karya yang berhasil malah akan terus merangsang daya kritis para pembaca. Tetralogi Bumi Manusia yang ditulis Pramoedya Ananta Toer sudah banyak diulas dari pelbagai segi: politik, nasionalisme, teori komunisme, kejiwaan, sejarah, cerita yang biasa saja, dan seterusnya.
Alih-alih habis, tetralogi makin mengukuhkan kepengarangan Pramoedya. Ini juga menunjukkan bahwa baik-buruk mutu sebuah karya ditentukan oleh lompatan waktu, bukan oleh kritikus yang memuji atau mencacinya. Seorang kritikus adalah seorang pembaca yang bertanya. Ia mengungkap segala aspek yang tak terlihat oleh penikmat sastra biasa.
Ia menyampaikan perspektif dengan, kalau perlu, mencari pijakan teorinya. Menurut Budi Darma, kritik yang baik adalah kritik yang memberi wawasan. Kritik yang baik adalah kritik yang bisa membangkitkan siklus mencipta: karya sastra bisa melahirkan kritik, dan kritik bisa merangsang sebuah karya baru. Dalam perkembangan sastra Indonesia yang belum menunjukkan keunikannya ini, rangsangan semacam itu sangat perlu.
Budi Darma sendiri sudah mempraktekannya ketika menulis novel Olenka (dan mungkin cerita-cerita Orang-orang Bloomington). Secara jujur ia mengaku terinspirasi oleh satu kritik sastra yang ditulis pengarang Inggris, EM Forster. Kita tidak tahu bagaimana Budi Darma mendapat ilham menulis cerita sepulang dari Amerika.
Cerita-cerita mutakhirnya lebih tertib dan terarah, tak ada lanturan dan tokoh-tokoh yang kesurupan lagi. Karena berangkat dari “rasa kecewa” itu, tulisan-tulisan Katrin yang menyerang kritik sebelumnya terasa garang dan berapi-api, lalu melupakan sorotan terhadap nilai sebuah karya sebagai suatu kesatuan.
Sebaliknya, tulisan lepas yang membahas novel atau fenomena jauh lebih subtil dan memberikan perspektif baru. Karena itu, tulisan yang paling menarik dari buku ini adalah ulasannya soal dukun dan obat dalam sastra Indonesia, tema-tema pascakolonial, dan sastra siber. Soal dukun dan obat agaknya ringkasan dari disertasi Katrin di jurusan sastra Indonesia Universitas Hamburg, Jerman.
Menarik karena sorotan semacam ini jarang disentuh oleh kritikus lokal. Lagipula, perdebatan kritik sudah terjadi sejak zaman kuda bertukar tanduk dengan rusa. Persoalan rendahnya mutu kritik dan kewibawaan kritik selalu berulang dari generasi ke generasi. Perulangan debat semacam ini, bukankah menunjukkan bahwa memang ada fenomena dan tren tertentu dalam sastra Indonesia?
Barangkali karena buku ini bukan sekumpulan tulisan dengan kepaduan tema. Katrin telah meniru tabiat “intelektual publik” Indonesia yang membuat buku dengan mengumpulkan serpihan-serpihan ide lewat tulisan yang terserak dalam pelbagai berkala. Karena itu setiap ulasan tentang sebuah tema dalam buku ini terasa tak bebas ruang geraknya karena terbatas oleh jumlah halaman dan karakter di media massa tempat asalnya.
Seandainya Katrin mau menambah jelas tiap argumentasi, menyelipkan teori yang lebih ajeg untuk mendukungnya, atau memperluas tema sorotan sebelum dibukukan, ke-11 tulisannya ini bisa jauh lebih berbobot. Kemungkinan lain, sebuah tulisan dalam buku ini ditulis untuk sebuah tema pada suatu waktu tertentu dengan mempertimbangkan aktualitas.
Meski begitu, buku ini tetap menarik sebagai sebuah bahan otokritik terhadap arus utama kritik sastra mutakhir kita, semacam suara lain dalam menimbang sebuah karya. Sebuah otokritik dari seberang, yang mengingatkan, memberi tempat pada karya yang luput dari pengamatan para kritikus arus utama itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar