Pusat Kebudayaan Koesnadi
Hardjasoemantri (PKKH) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 24-25 November 2015
Latar Belakang
“Kritik”, tulis Terry
Eagleton dalam The Ideology of the Aesthetics,
“bukan sekadar ungkapan pesan tekstual kepada pembaca, bukan sekadar
terjemahan-ulang atas apa yang dipahami dari teks. Ia adalah sebentuk usaha
menyingkap apa yang tidak diungkap dalam teks, membongkar prasyarat-prasyarat
ideologis pembuatannya.” Setiap pengetahuan-diri dalam teks hampir selalu
berupa pengabaian-diri atas ideologinya. Untuk mencapai kondisi ini, suatu
kritik (sastra) perlu menyingkap prasejarah ideologis tersebut, menempatkan
diri melampaui apa yang tampak secara tekstual menuju pengetahuan saintifik
tentang ideologi tersebut.
Di Indonesia, kritik
sastra, baik sifatnya akademis dan non-akademis, merupakan suatu praktik.
Setiap praktik mengimplikasikan dampak-dampak politis tertentu terhadap pembacanya
(audiens, publik) dalam bentuk suatu pembentukan opini tertentu, legitimasi
tertentu, relasi kuasa tertentu, dan seterusnya. Kritik sastra di Indonesia
tidak berdiri terpisah dari publiknya (sastrawan dan pembaca luas). Kritik
sastra di Indonesia, langsung atau tak langsung, merupakan ranah politis di
mana kepentingan kritikus, sastrawan, media, pembaca, dan (saat ini) pasar
dikontestasikan.
Sejarah sastra Indonesia
selalu tak lepas dari politik kritik sastra di dalamnya. Politik tersebut
bahkan sudah lahir sebelum Indonesia merdeka. Sejak konflik ideologis Balai
Pustaka dan “batjaan liar” Melayu Tionghoa tahun 1920-an, kritik sastra itu
terus bermunculan tanpa henti, mulai dari soal konflik Pujangga Baru dan
komunisme, Lekra vs Manikebu, Rawamangun vs Ghanzheit, polemik sastrawangi, TUK
vs Boemipoetera, sastra koran dan sastra pedalaman, hingga penolakan terhadap
berbagai festival dan penghargaan sastra, semacam Ubud, KLA, DKJ, dan
sebagainya. Politik itu terus terlihat bahkan di lembaga-lembaga dan/atau
media-media sastra semacam FLP, Horison, Mastera, dan sebagainya. Semuanya
saling berebut, saling umpan ideologi, hingga yang terkini adalah munculnya
berbagai kritik sastra terkait kontroversi 33 Tokoh Sastra Paling
Berpengaruh dan polemik Frankfurt Book Fair 2015.
Dibutuhkan suatu pemetaan
teoretis atas semua peristiwa itu. Meski sejarah selalu berlangsung tak linear,
terputus-putus, dan tak jarang tumpang tindih, upaya pemetaan dirasa masih
dibutuhkan setidaknya untuk para akademisi, peneliti, sastrawan, dan masyarakat
umum agar mereka melek bukan hanya pada politik sastra, melainkan juga pada
politik dalam kritik yang diproduksi di dalam atau tentangnya. Mereka tidak
buta pada sejarah kritik sastranya sendiri. Di sinilah, PKKH mengambil perannya
untuk mengundang mereka, Anda semua, menulis paper dalam seminar bertajuk
“Politik Kritik Sastra di Indonesia.”
Tujuan
- Memetakan praktik
politik dari kritik sastra di Indonesia dari berbagai generasi kritikus atau
penulis kritik sastra.
- Memberikan wacana kritis
terhadap publik mengenai keterlibatan kritikus sastra dalam relasi-relasi
politis dengan pembacanya (sastrawan dan pembaca luas).
Tema dan Subtema
Seminar ini berfokus pada
“Politik Kritik Sastra di Indonesia” dengan menyasar beberapa kemungkinan
subtema:
Kritik Sastra dan
Kolonialisme (1910 - 1945)
Kritik Sastra dan Suasana
Konflik Ideologis (1945 - 1965)
Lembaga-Lembaga Sastra,
Kritik dan Politik
Sastra Bertendens dan
Estetisme
Kelompok Rawamangun vs
Ganzheit
Filsafat, Kritik dan
Politik
Kapitalisme, Media dan
Kritik Sastra
Kecenderungan Mutakhir
Politik Sastra dan Implikasi Politiknya
TOR untuk masing-masing
subtema bisa dilihat selengkapnya berikut ini. TOR ini hanyalah gambaran yang
masih mentah. Pembicara dipersilakan untuk melampaui atau mengeksplorasinya
seluas mungkin.
Kritik Sastra dan
Kolonialisme (1910 - 1945)
- Memperlihatkan
kemunculan kritik sastra sejak 1910 yang diawali salah satunya oleh Tirto Adhi
Surjo dalam Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911).
- Menyajikan model kritik
sastra terhadap terbitan berbahasa Melayu oleh percetakaan Tionghoa, yang
umumnya mengadopsi cerita-cerita dari Barat abad ke-19, seperti dalam Pengalaman Doenia, Penghidoepan, Loekisan
Poedjangga, atau Roman Pergaoelan.
- Menunjukkan kritik
sastra ‘politis’ tahun 1917 melalui Nota over de Volksletuur
(Nota Ringkes) terhadap karya-karya yang diklaimnya sebagai ‘batjaan-batjaan
liar’.
- Memperlihatkan pola-pola
kritik sastra dengan penolakan estetika politis terhadap Belenggu dan Salah Asuhan.
- Menyajikan efek
kegagalan PKI 1926 terhadap kritik sastra Pujangga Baru tahun 1926, yang
melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, J. E. Tatengkeng,
dan Sutan Syahrir.
- Menganalisis
implikasi-implikasi politik dari semua kritik sastra sepanjang kolonialisme
tersebut (1910 - 1945) terhadap publik/audiens saat ini.
Kritik Sastra dan Suasana
Konflik Ideologis (1945 - 1965)
- Menunjukkan kritik sastra
yang lahir detik-detik menjelang kemerdekaan, utamanya pada periode Pendudukan
Jepang melalui Kuimin Bunka Shidaseko (Kantor
Pusat Kebudayaan).
- Memperlihatkan kritik
sastra yang lahir dari modalitas produk kesusastraan, seperti dalam karya-karya
Armijn Pane, Idrus, Bakri Siregar, H.B. Jassin.
- Menyajikan gerakan
estetis dan politis dari Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Heng Ngatung,
dan Baharudin dalam lingkungan kesenian Gelanggang Seniman Merdeka (GSK) pada
1946.
- Menunjukkan kemunculan
seorang kritikus sastra Indonesia, H. B. Jassin, berserta dengan segenap
kontroversi dan kritiknya terhadap sang Paus Sastra itu.
- Memperlihatkan kritik
sastra ‘di luar Jassin’ yang dipelopori, misalnya, oleh Asrul Sani dan
Darmawijaya.
- Menyajikan efek keberhasilan
PKI di Madiun 1948 terhadap kritik sastra Indonesia saat itu, seperti
gesekan-gesekan politik, kemunculan Lekra, terbitnya Surat Kepercayaan
Gelanggang, dan ideologi yang terdapat dalam kritik sastra mereka.
- Menyoroti perang
antarkritikus Lekra dan Manikebu dalam pembentukan ideologi estetisnya hingga
saat ini.
- Menunjukkan kritik
sastra yang lahir dari ‘perpanjangan tangan’ perang ideologis Lekra – Manikebu,
yang diwakili oleh para kritikus semacam Goenawan Mohammad, Arief Budiman,
Subagio Sastrowardoyo, Wiratmo Sukito, dan Bun S. Umaryati, hingga kemunculan
G30 S/PKI.
- Menganalisis
implikasi-implikasi politik dari semua kritik sastra sepanjang konflik
ideologis itu (1945 - 1965) terhadap publik/audiens saat ini.
Lembaga-Lembaga Sastra,
Kritik dan Politik
- Memperlihatkan ideologi
dari praktik atau kebijakan lembaga-lembaga sastra, baik—yang dianggap—akademis
maupun non-akademis, baik di kota maupun desa, baik di pusat maupun pinggiran.
- Menyajikan produk-produk
kritik sastra yang lahir dari lembaga-lembaga sastra tersebut.
- Menunjukkan bagaimana
‘struktur’ kelembagaan berpengaruh terhadap kritik sastra dan sebaliknya
bagaimana ‘praktik’ kritik sastra juga turut memperkuat struktur ideologis
lembaga itu.
- Menunjukkan problem-problem
fundamental, baik sosiologis maupun politis, dalam kritik sastra yang lahir
dari lembaga-lembaga tertentu, seperti DKJ, Fakultas-Fakultas Sastra, Dinas
Kebudayaan, KITLV, Hivos, hingga komunitas-komunitas sastra di daerah.
- Memperlihatkan—jika
ada—strategi-strategi politis yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tersebut
melalui kritik sastra yang dihasilkannya.
- Menganalisis
implikasi-implikasi politis dari kritik sastra yang diproduksi oleh
lembaga-lembaga itu terhadap publik/audiens saat ini.
Sastra Bertendens dan Estetisme
- Menyajikan sejarah
kemunculan karya sastra bertendens dan estetis.
- Menunjukkan kritik
sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan yang dianggap bertendens dan
berestetis.
- Memperlihatkan
perdebatan antarkritikus sastra terhadap karya bertendens dan estetis.
- Memperoblematisasi
kritik sastra yang bertendensi estetis dan kritik sastra yang bertendensi
politis.
- Menganalisis
implikasi-implikasi politis dari kritik sastra bertendens dan kritik sastra
estetis terhadap publik/audiens saat ini.
Kelompok Rawamangun vs
Ganzheit
- Memperlihatkan kritik
sastra yang dihasilkan oleh kelompok Rawamangun (yang diwakili M. S. Hutagalung
dan J. U. Nasution) dan Ganzheit (yang diwakili Goenawan Mohammad dan Arief
Budiman) dalam relasinya dengan sistem produksi tertentu saat ini.
- Menunjukkan genealogi
kritik sastra Rawamangun vs Ganzheit pada 1960an itu sebagai kelanjutan dari
praktik kritik sastra pada masa-masa sebelumnya.
- Menyajikan pembacaan
filosofis terhadap kritik sastra Rawamangun dan Ganzheit, sekaligus menunjukkan
kelemahan-kelemahan fondasional dalam kritik keduanya.
- Memproblematisasi
batas-batas antara kritik sastra Rawamangun vs Ganzheit dan relevansinya
terhadap praktik kritik sastra kontemporer.
- Menelusuri kemungkinan
kritik alternatif yang dapat mengkritik kedua kelompok itu tanpa terjebak pada
keduanya.
- Menganalisis
implikasi-implikasi politis dari kritik sastra yang diproduksi oleh aliran
Rawamangun dan Ganzheit terhadap publik/audiens saat ini.
Filsafat, Kritik dan Politik
- Menunjukkan fondasi
filosofis yang digunakan dalam kritik sastra dan implikasi politiknya terhadap
pembaca.
- Memperlihatkan
kesalahkaprahan, logical fallacy,
dalam fondasi filosofis kritik sastra tertentu dan implikasinya terhadap
pembaca.
- Menyajikan konsistensi
dan inkonsistensi, kontinuitas dan diskontinuitas, dalam berbagai produk kritik
sastra yang dihasilkan oleh kritikus tertentu.
- Menggarisbawahi relevan
dan tidak-relevannya pembacaan tekstual-ideologis dan/atau pembacaan
tekstual-biografis dalam produk kritik sastra.
- Memperlihatkan problem
‘filosofis’ dan/atau ‘praktis’ dalam berbagai metode filosofis kritik sastra
yang diproduksi di Indonesia, seperti strukturalisme, pascakolonialisme,
semiotika, feminisme, pascastrukturalisme, dan seterusnya.
- Menganalisis
implikasi-implikasi politik dari fondasi filosofis dari satu atau beberapa
kritik sastra tersebut terhadap publik/audiens saat ini.
Kapitalisme, Media, dan
Kritik Sastra
- Memperlihatkan relasi
ideologis antara kritik sastra dan media massa.
- Menunjukkan metodologi
yang digunakan dalam berbagai produk kritik sastra seturut dengan kontrol
produksinya di media massa.
- Membongkar jejaring
modal dalam produksi kritik sastra di berbagai “media sastra”, seperti Horison, Mastera, jurnal-jurnal
sastra, maupun “media non-sastra”, seperti Kompas,
Media Indonesia, dan seterusnya.
- Menyajikan genealogi
historis efek kapitalisme terhadap kritik sastra dalam media-media sastra masa
lalu, seperti Pandji Poestaka, Siasat, Poejangga Baru, Medan
Prijaji, dan efek politisnya terhadap produk kritik sastra
kontemporer.
- Menyoroti kemunculan
kritik sastra dalam media-media alternatif, kolektif, atau kooperasi, baik d
dunia cyber maupun cetakan, dan ideologi yang dibawa oleh media-media tersebut.
- Memperlihatkan
kompleksitas hubungan antara kapitalisme dan kritik sastra dalam media-media
tersebut.
- Menganalisis
implikasi-implikasi politis dari kritik sastra yang diproduksi media-media
tersebut dan dipengaruhi oleh relasi kapital di media-media itu sendiri
terhadap publik/audiens saat ini.
Kecenderungan Mutakhir
Politik Sastra dan Implikasi Politiknya
- Menunjukkan beberapa
perkembangan mutakhir dalam politik sastra,seperti
kontroversi 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh
dan polemik Frankfurt Book Fair 2015, serta
produk kritik sastra yang dilahirkannya.
- Memperlihatkan
kemungkinan hubungan genealogis politik sastra kontemporer dengan politik
sastra pada masa lalu, serta apa yang membedakan dan menyamakan kecenderungan
atau praksis kritik sastra masa lalu dan masa kini dalam konteks politik
tersebut.
- Menunjukkan beberapa
kritik sastra yang mendukung dan menolak politik sastra tertentu, serta
ideologi yang dimiliki oleh masing-masing kritikus.
- Menganalisis
implikasi-implikasi politis dari kritik sastra tersebut terhadap publik/audiens
saat ini.
Keynote Speaker
- Goenawan Mohammad
(Jakarta)
- Katrin Bandel
Penyaji Undangan
- AS Laksana (Jakarta)
- Faruk HT
- Linda Christanty
(Jakarta)
- Muhammad Al-Fayyadl
(Probolinggo)
- Muhidin M Dahlan
- Narudin (Subang)
- Tia Setiadi
- Wijaya Herlambang
(Jakarta)
Ketentuan Teknis
Karena setiap makalah yang
lolos seleksi akan dibukukan dalam bentuk prosiding, ada beberapa ketentuan
yang perlu disepakati.
- Min. 10 halaman, Maks.
20 halaman
- 1,5 spasi, margin 3 – 3
– 3 – 3, Times New Roman, 12 pt
- Ditulis lengkap dengan
daftar pustaka dan catatan kaki (jika ada)
- Dilengkapi dengan
abstrak/ringkasan awal (tidak lebih dari 300 kata)
- Gaya tulisan bebas: artikel
jurnal, ilmiah populer, esai
- Mengikuti konvensi tata
bahasa yang baik dan benar
- Biografi mini (sekitar
150 kata) dan email ditulis di bagian terpisah.
- Deadline: 15 Oktober 2015
- Naskah dikirim ke alamat
email: pkkh@ugm.ac.id , di-CC-kan ke:
fawaidachmad@gmail.com,
aisyah.hilal@gmail.com
Seleksi dan Penerimaan
- Kiriman makalah via
email harap menggunakan format Subject: “[Nama]_PAPER SEMINAR POLITIK KRITIK
SASTRA”
- Makalah akan diseleksi
berdasarkan dua kategori: [1] makalah untuk masing-masing subtema yang
diprosidingkan dan dipresentasikan secara panelis bersama penyaji undangan, dan
[2] makalah yang tidak dipresentasikan namun layak dimasukkan ke dalam
prosiding.
- Mereka yang naskahnya
lolos pada kategori pertama (dipresentasikan dan diprosidingkan) akan diberi
fasilitas: honorarium, uang transportasi kereta api pp. kelas bisnis (bagi yang
di luar Yogyakarta), sertifikat, satu eksemplar buku prosiding, gratis biaya
seminar, dan konsumsi (makan siang + tiga kali coffe/snack per hari).
- Mereka yang naskahnya
lolos pada kategori kedua (diprosidingkan) hanya akan mendapat fasilitas satu
eksemplar buku prosiding.
- Mereka yang naskahnya
lolos seleksi akan dihubungi oleh panitia lewat email/telepon.
- Seleksi makalah
dilakukan oleh tim panitia dan mitra bestari yang berkompeten.
Registrasi
- Bagi mereka yang ingin
mengikuti seminar ini dikenakan biaya sebagai berikut:
Dosen/pengajar
= Rp 200.000,-
Umum/non-mahasiswa
= Rp 100.000,-
Mahasiswa
= Rp 80.000,-
- Fasilitas:
Satu eksemplar buku
prosiding
Sertifikat
Makan siang per hari
Tiga kali coffe/tea +
snack (pagi, siang, sore)
- Biaya pendaftaran
dibayarkan melalui transfer ke rekening:
Bank Mandiri
KCP Magister Manajemen UGM
Nomor rekening:
137-00-1124418-9
A.n. PKKH UGM
Setelah melakukan
pembayaran, PKKH akan membuatkan lembar tanda terima kepada Pendaftar.
Pendaftar diharap menyerahkan atau mengirimkan bukti transfer ke salah satu dua
opsi berikut:
Bukti fisik transfer bank
ke Sekretariat PKKH UGM, pada jam kerja (Senin-Kamis, pukul 08.00-15.30 WIB dan
Jumat, pukul 08.00-16.00 WIB);
Dalam bentuk foto dikirim
via email/WA ke narahubung, sebagaimana tercantum di bawah.
- Peserta hanya akan
dibatasi maksimal 200 orang
- Bagi mereka yang tidak
bisa mengikuti acara ini, panitia akan mengupload sebagian dan/atau semua sesi
di sosial media atau Youtube beberapa hari setelah pelaksanaan.
Sekretariat
Gedung Pusat Kebudayaan
Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH)
Jl. Pancasila Kampus Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
Telp/Fax. : (0274) 557317
E: pkkh@ugm.ac.id
t: @PKKH_UGM
Narahubung:
Achmad Fawaid (081215202264 / 087866108281)
Aisyah Hilal (08122731573)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar