Label

Minggu, 05 Oktober 2014

Epistemologi Keraguan dan Keimanan


Oleh Ahmad Fadhil, M. Hum (Pengajar Filsafat di IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten)

Mahmud  adalah teman lama saya. Saya sudah mengenalnya sejak kira-kira 17 tahun lalu, yakni sejak saya belajar di Kairo pada tahun 1993-1998. Sedangkan Mughniyyah boleh dibilang teman baru. Saya mulai mengenalnya sejak akhir tahun 2007 seiring pengenalan saya pada literatur Shiah. Tapi, ini dia asal muasal tulisan ini. Seolah-olah Mughniyyah-lah orang pertama yang memberitahu saya bahwa Mahmud pernah sedemikian meragukan Allah.

Malam ini (Sabtu, 25 Desember 2010, jam sembilan) saya membaca buku Mughniyyah, ‘Aqliyyat Islam. Di awal bab pertama buku ini Mughniyyah mengatakan bahwa dai muslim berhadapan dengan dua fron, yaitu fron orang “reliji yang fanatis dan jumud” dan fron “kaum Permisifis yang melontarkan kontroversi dan keragu-raguan sekitar akidah, syariat, dan ajaran Islam.” Terhadap kedua kubu itu doi harus bersikap adil. Doi harus mengajak kaum mukmin yang fanatis dan jumud untuk menyelaraskan imannya dengan tujuan-tujuan kehidupan dan menyeru kaum Permisifis untuk beriman dan menerima apa yang diniscayakan oleh akal dan realitas, serta tidak mengikuti hawa nafsu dan mimpi.

Karakter kaum permisivis adalah mengabaikan agama dan pura-pura tidak mengetahuinya. Kepada mereka, sikap doi adalah “murshid mudafi‘”. Pembimbing yang defensif. Doi harus menyeru mereka dengan lemah lembut serta bujuk rayu.

Sedangkan karakter kaum reliji yang fanatis dan stagnan adalah melihat agama pada salah satu aspeknya saja dan memalingkan pandangan dari aspek-aspek lain. Yang mereka mau hanya fanatis pada adat dan kebiasaan buruk yang tidak berhubungan dengan agama sedikit pun. Kepada mereka, doi boleh bersikap ofensif dan keras karena fanatisme menghalangi kebenaran dari pikiran dan membangun dinding yang tebal antara kebenaran dengan pencarinya.

Sikap seperti ini akan mendatangkan musuh bagi doi dari kedua belah kubu tersebut. Mereka akan melontarkan perkataan-perkataan yang menyakitkan karena ketidaktahuan atau hawa nafsu. Dalam kondisi ini, doi harus mengabaikan omong kosong orang-orang tersebut dan fokus pada pekerjaan dan tugasnya. Mughniyyah pun mengutip perkataan Imam Ali:

ليس بعاقل من انزعج بقول الزور فيه ولا بحكيم من رضي بثناء الجاهل عليه

“Bukan orang pintar orang yang gelisah karena kesaksian dusta atas dirinya. Bukan orang bijaksana orang yang senang dengan pujian palsu bagi dirinya.”

Sampai titik ini, semua langsam-langsam saja. Lalu, sebagai contoh kubu pertama, kubu kaum Permisifis yang melontarkan keragu-raguan atas akidah dan ajaran Islam, Mughniyyah mengatakan bahwa Mahmud, seorang pemuda dari Mesir, menulis buku yang menyebarkan aroma ateisme dengan judul Allah wa al-Insan . Ada sesuatu yang bergerak di dalam kepalaku. Apakah Mahmud yang dimaksud oleh Mughniyyah adalah Mustafa Mahmud teman lama saya dulu di Mesir? Saya koq belum pernah membaca buku Allah wa al-Insan itu. Adakah buku itu? Lamat-lamat saya memang pernah mendengar kabar tentang Mahmud ini, tapi sampai saat ini saya hampir tidak memedulikannya.

Maka, saya pun berhenti membaca buku Mughniyyah dan beralih mencari buku Mahmud. Ada banyak buku Mahmud di internet. Di antara buku-buku itu, selain buku yang saya cari, buku yang paling menarik perhatianku adalah Rihlati Min al-Shakk Ila al-Iman. Ini dia. Benar Mahmud pernah ragu, tapi dia telah tobat.

Setelah mengunduh kedua buku tersebut, sambil mengunduh buku-buku Mahmud yang lain, saya mulai membaca Rihlati Min al-Shakk Ila al-Iman yang—seperti nampak dari judulnya—menceritakan kisah pertobatannya.

Di dalam buku ini Mahmud menceritakan bahwa sejak awal remaja, umur 13 atau 14, atau bahkan sebelumnya, dia mulai mempertanyakan dan membangkang terhadap doktrin-doktrin keagamaan yang dia terima. Misalnya, doktrin tentang Allah sebagai Pencipta. Kepada orang-orang di sekitarnya dia berkata, “Kata kalian, dunia ini diciptakan Tuhan karena setiap makhluk harus ada penciptanya, setiap barang harus ada pembuatnya, dan setiap yang ada harus ada pengadanya. Kita menerima dalil ini. Karena itu, katakan kepadaku, siapakah yang menciptakan Allah ataukah Dia ada dengan sendiri-Nya. Jika Dia ada dengan sendiri-Nya—kalian dapat membayangkan hal ini—mengapa kalian tidak dapat membayangkan bahwa dunia juga ada dengan sendirinya tanpa Pencipta?”

Tentu saja kata-kata itu membuat pucat orang-orang di sekitar Mahmud remaja. Sebagian dari mereka memarahinya, sebagian lagi bahkan memukulinya. Orang-orang yang berhati lembut dan beragama baik memohon ampunan dan hidayah dari Allah baginya. Orang-orang yang berpikiran kaku dan berdada sempit mencuci tangan dan berlepas diri dari dirinya di hadapan Allah. Para pemberontak seperti dirinya berkumpul mengerubungi dirinya.

Dia mengaku bahwa pada saat itu dia tidak mengerti fakta-fakta mendasar di balik bantahannya. Dia juga mengaku bahwa rasa bangga pada akalnya yang mulai kritis serta kemampuan beretorika dan berargumen, itulah yang mendorong dirinya untuk melontarkan bantahan-bantahan seperti itu, dan bukannya kajian atau pencarian kebenaran. Itulah “kondisi psikologis” di balik perdebatan-perdebatan yang terulang-ulang setiap hari.

Dia tidak mau menyembah Allah karena dia tenggelam dalam penyembahan pada dirinya sendiri, pada ketakjuban pada percikan sinar yang memancar di pikirannya seiring dengan keterbukaan kesadarannya dan awal keterjagaannya pada usia yang masih sangat muda.

Pada saat itu, cerita Mahmud, dia belum mengerti prinsip-prinsip logika dan tidak menyadari bahwa dirinya terjebak di dalam kontradiksi saat mengakui adanya Pencipta lalu menanyakan siapa yang menciptakan-Nya? Sebab, dengan demikian dia telah menjadikan Pencipta itu sebagai  makhluk padahal dia masih menyebut-Nya sebagai Pencipta. Ini adalah pernyataan sofistis.

Pengakuan akan adanya sebab pertama bagi wujud meniscayakan sebab itu adalah wujud yang niscaya ada karena dirinya sendiri, tidak bersandar dan tidak butuh kepada selain dirinya untuk ada. Jika sebab pertama itu butuh kepada sebab lain, maka dia menjadi bagian dari rangkaian sebab-sebab dan tidak menjadi sebab yang pertama. Ini adalah salah satu aspek dari topik filosofis yang menyebabkan Aristoteles menyatakan adanya Prima Causa dan Penggerak Pertama. Tapi, Mahmud mengatakan bahwa aspek ini belum dia mengerti pada saat itu. Bahkan, dia belum mengetahui siapa itu Aristoteles dan aturan-aturan dasar logika dan debat.

Mahmud mengatakan selama 30 tahun dia tenggelam di dalam buku, kontemplasi, dialog dengan jiwa, rekontemplasi, lalu kontemplasi atas rekontemplasi, dan melakukan akrobat pemikiran mulai dari buku Allah wa al-Insan, Lughz al-Hayah, Lughz al-Mawt, hingga ia menulis lembaran-lembaran bukunya ar-Rihlah min al-Shakk Ila al-Iman dengan penuh keyakinan.

Dia mengatakan bahwa seandainya dulu dia mendengar suara fitrah dan membiarkan kegamblangan menuntun dirinya, maka dia tidak perlu bersusah payah dengan semua perdebatan tersebut. Fitrah akan menuntun pada Allah. Tapi, dulu dia tidak menghendaki itu. Dia memilih untuk menempuh perjalanan yang tidak mudah. Dia memilih untuk tidak menjadikan perjalanan dari keraguan menuju keimanannya itu sebagai perjalanan yang mudah. Di samping itu, menurutnya, zaman pun tidak menghendaki perjalanannya itu menjadi perjalanan yang mudah.

Penjelasan Mahmud ini mungkin ada benarnya. Dia bukan orang biasa dan dia juga anak zamannya.

Orang seperti Mahmud susah mencari bandingannya. Sejak kecil dia sudah “tenggelam” di Perpustakaan di daerahnya, yaitu di Tanta, Mesir, untuk membaca buku intelektual Mesir saat itu seperti Shibli Shamil dan Salamah Musa, berkenalan dengan Freud dan Darwin. Mahmud kecil jatuh cinta pada kimia, fisika, dan biologi. Dia punya lab kecil di kamarnya, melakukan percobaan membuat pembunuh kecoak, juga membedah kodok.

Dunia saat itu, menurut Mahmud, hanya meneriakkan satu kata. Ilmu. Ilmu. Ilmu. Tidak ada yang lain, hanya ilmu. Objektivisme adalah satu-satunya metodologi. Kegaiban harus ditolak. Membakar menyan dan membaca mantra harus dihentikan.

Dari Barat, Timur mengambil segalanya. Buku, obat, pakaian, kain, kereta, mobil, makanan kaleng, pulpen, stepress, jarum, sistem pendidikan, bingkai penulisan sastra baik berupa cerpen, drama, maupun novel, bahkan kertas koran juga diambil Timur dari Barat.

Pahlawan-pahlawan dari Barat menyusun mimpi-mimpi dan menjadi teladan orang Timur. Barat sama dengan kemajuan. Timur adalah ketertinggalan, kelemahan, kehinaan, dan kehancuran di tapak kaki penjajahan. Apa yang datang dari Barat adalah cahaya dan kebenaran, jalan untuk memperoleh kekuatan dan keselamatan.

Barat memang demikian. Barat memang tidak berisi kesesatan semata. Karena itu, benar kata Mughniyyah, ahli agama harus menyediakan penjelasan tentang keimanan kepada Allah yang rasional, yang terus diperbarui dari waktu ke waktu, karena gelombang ateisme sangat deras menerpa dunia. Ahli agama harus kasihan pada Barat, seperti dia kasihan pada Timur.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Para Pelacur Intelektual


Kekerasan lewat kebudayaan jauh lebih mengerikan ketimbang tindakan fisik. Sebagaimana telah dilakukan para seniman maupun budayawan Indonesia yang secara tidak langsung melacurkan diri untuk kepentingan Amerika Serikat.  Pasca pembantaian 1965-1966, kebudayaan menjadi produk yang efektif untuk melanggengkan ideologi anti-komunis. Itu sebabnya bagi sebagian masyarakat, membunuh orang komunis merupakan suatu kewajaran bahkan telah menjadi keharusan. Karena anggapan itu pula, masyarakat kini mengidap penyakit ketakutan yang parah soal komunisme.

Inilah bukti bahwa kekerasan lewat kebudayaan jauh lebih mengerikan ketimbang tindakan fisik. Karena telah membekas hingga berpuluh tahun dan tidak tahu kapan akan berakhir. Seperti yang dilakukan sekelompok orang yang mengatasnamakan Manifesto Kebudayaan.
Melalui buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang, kita bisa mengetahui sesungguhnya pendirian Manifesto Kebudayaan  tidaklah murni untuk kebudayaan, melainkan dibentuk untuk memberangus paham komunisme di Indonesia. Tanpa disadari hadirnya Manifesto Kebudayaan pun telah menjadi bagian politik Amerika Serikat. 

Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan suatu lembaga bernama Congress for Cultural Freedom (CCF) yang merupakan hasil bentukan CIA pada tahun 1950 dengan maksud sebagai aksi rahasia untuk menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan kapitalisme Barat dan anti-komunisme.
CCF sendiri sebenarnya ditempatkan di bawah kendali Office of Policy Coordination (OPC) yang diketuai oleh Frank Wisner, seorang pejabat CIA yang terlibat dalam perencaaan pemberontakan Perdjoeangan Rakjat Semesta  tahun 1957-1958. Dari CCF itulah dibentuk yayasan Obor internasional yang diketuai Ivan Kats, seorang perwakilan CCF untuk Program Asia. 

Yayasan Obor internasional (Obor Incorporated) yang berkedudukan di New York inilah yang menjadi induk dari yayasan Obor Indonesia yang diketuai Mochtar Lubis. Melalui yayasan tersebut, ide-ide yang ‘secara filosofis’ mempromosikan kapitalisme Barat dan sikap anti-komunisme pun disemai.
Lewat Ivan Kats juga, Mochtar Lubis memperoleh banyak karya yang disponsori CCF dengan gagasan liberalisme seperti majalah, pamflet, dan karya sastra. Misalnya karya-karya penulis anti-komunis seperti Albert Camus dan Miguel de Unamuno. 

Bahkan, Wijaya menuturkan, kedekatan hubungan tersebut berlanjut hingga generasi setelahnya, yakni ‘Goenawan Mohamad’ yang  pada saa itu kelak menjadi salah seorang tokoh paling berpengaruh dalam mengokohkan liberalisme barat dalam kebudayaan kontemporer Indonesia. Penulis Catatan Pinggir Majalah Tempo tersebut mengakui bahwa pada masa itu mereka sangat antusias untuk mencari, mengumpulkan dan membaca buku-buku CCF dan juga menjualnya ke kalangan yang lebih luas.


Wijaya juga memaparkan hasil penelitiannya bahwa tak dapat diragukan CCF melalui program kebudayaan dan pandangan Ideologinya berperan penting dalam membangun dan mensponsori pandangan anti-komunisme di arena kebudayaan Indonesia. CCF menawarkan program beasiswa kepada para Intelektual muda seperti Goenawan Muhammad dan Arief Budiman, untuk belajar di Eropa. 


Menariknya, program ini secara kebetulan dilaksanakan ditengah-tengah kemelut politik yang memuncak pada saat tragedi pembantaian komunis di Indonesia tahun 1965-1966. Program beasiswa tersebut menurut Arief Budiman adalah bagian dari upaya CCF untuk mengasosiasikan intelektual muda dengan organisasi anti-komunis. Sedangkan Goenawan Mohamad alasan dirinya pergi belajar ke Eropa karena mengungsi dari situasi politik di Indonesia di tahun 1965.


Dengan demikian, ada catatan penting untuk diingat bahwa deklarasi Manifesto Kebudayaan 1963 merupakan hasil konspirasi antara para penulis sayap kanan dengan para pendukung asing yakni CCF yang didukung oleh CIA. 


Hasilnya bisa kita lihat pasca dihancurkannya PKI beserta organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Goenawan Mohamad hingga hari ini tidak pernah merubah pandangan kebudayaannya. Ia juga sukses dalam memelihara pandangan liberalism Baratnya dengan cara memperkuat jaringan jaringan kebudayaan dan filantrofinya dengan institusi-institusi Barat. 


Aktivis boemipoetra Saut Situmorang dkk dan Taufiq Ismail menganggap Goenawan Mohammad dan Komunitas Utan Kayu sebagai satu ‘broker’ imperialisme kebudayaan Barat yang paling berpengaruh di Indonesia. Pada saat yang sama, boemipoetra juga menjadikan sosok Taufiq Ismail sebagai sasaran kritiknya, karena seperti halnya Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail juga adalah salah satu penerima bantuan keuangan terbesar dari barat dan salah satu agen kebudayaan terpenting dalam Orde Baru. Selaindari Ford Foundation, Taufiq Ismail juga menerima dukungan dana dari pemerintah Orde Baru bagi kegiatan kebudayaannya di Horison.


Karya Wijaya Herlambang ini sangat menarik dibaca untuk menambah pengetahuan kita tentang kekerasan budaya yang terjadi pasca 1965. Buku berdasarkan tesis doktoral di Universitas Quensland Australia ini memaparkan bagaimana kebudayaan dijadikan sebagai alat untuk membenarkan pembantaian kemanusiaan yang digagas orang-orang yang menamakan diri pendukung humanisme universal. 


Kita bisa banyak belajar dari buku ini, bagaimana kekerasan tak melulu soal fisik dan pembunuhan. Kekerasan bisa lebih mengerikan lewat kebudayaan karena membenarkan pembantaian berjuta umat manusia menjadi lumrah dan lazim.  


Buku ini menganalisis upaya pemerintahan Orde Baru beserta agen-agen kebudayaannya dalam memanfaatkan produk-produk budaya untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966. Dengan bukti-bukti empiris ditujukkan bahwa intervensi langsung CIA kepada para penulis dan budayawan liberal Indonesia untuk membentuk ideologi anti-komunisme bukanlah isapan jempol belaka.


Buku ini juga memuat kritik kepada para pegiat seni dan sastra soal kekerasan kebudayaan itu. Apakah mereka yang mengaku seniman atau sastrawan tersebut melakukan perlawanan untuk menghapus ideologi anti-komunis yang sudah ditanamkan penguasa Orde Baru berpuluh tahun itu atau malah sebaliknya?


[Judul Buku: Kekerasan Budaya Pasca 1965 –Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Penulis: Wijaya Herlambang. Penerbit: Marjin Kiri. Tahun Terbit: November 2013. Tebal: 334 halaman].