Label

Sabtu, 04 Oktober 2014

Para Pelacur Intelektual


Kekerasan lewat kebudayaan jauh lebih mengerikan ketimbang tindakan fisik. Sebagaimana telah dilakukan para seniman maupun budayawan Indonesia yang secara tidak langsung melacurkan diri untuk kepentingan Amerika Serikat.  Pasca pembantaian 1965-1966, kebudayaan menjadi produk yang efektif untuk melanggengkan ideologi anti-komunis. Itu sebabnya bagi sebagian masyarakat, membunuh orang komunis merupakan suatu kewajaran bahkan telah menjadi keharusan. Karena anggapan itu pula, masyarakat kini mengidap penyakit ketakutan yang parah soal komunisme.

Inilah bukti bahwa kekerasan lewat kebudayaan jauh lebih mengerikan ketimbang tindakan fisik. Karena telah membekas hingga berpuluh tahun dan tidak tahu kapan akan berakhir. Seperti yang dilakukan sekelompok orang yang mengatasnamakan Manifesto Kebudayaan.
Melalui buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang, kita bisa mengetahui sesungguhnya pendirian Manifesto Kebudayaan  tidaklah murni untuk kebudayaan, melainkan dibentuk untuk memberangus paham komunisme di Indonesia. Tanpa disadari hadirnya Manifesto Kebudayaan pun telah menjadi bagian politik Amerika Serikat. 

Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan suatu lembaga bernama Congress for Cultural Freedom (CCF) yang merupakan hasil bentukan CIA pada tahun 1950 dengan maksud sebagai aksi rahasia untuk menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan kapitalisme Barat dan anti-komunisme.
CCF sendiri sebenarnya ditempatkan di bawah kendali Office of Policy Coordination (OPC) yang diketuai oleh Frank Wisner, seorang pejabat CIA yang terlibat dalam perencaaan pemberontakan Perdjoeangan Rakjat Semesta  tahun 1957-1958. Dari CCF itulah dibentuk yayasan Obor internasional yang diketuai Ivan Kats, seorang perwakilan CCF untuk Program Asia. 

Yayasan Obor internasional (Obor Incorporated) yang berkedudukan di New York inilah yang menjadi induk dari yayasan Obor Indonesia yang diketuai Mochtar Lubis. Melalui yayasan tersebut, ide-ide yang ‘secara filosofis’ mempromosikan kapitalisme Barat dan sikap anti-komunisme pun disemai.
Lewat Ivan Kats juga, Mochtar Lubis memperoleh banyak karya yang disponsori CCF dengan gagasan liberalisme seperti majalah, pamflet, dan karya sastra. Misalnya karya-karya penulis anti-komunis seperti Albert Camus dan Miguel de Unamuno. 

Bahkan, Wijaya menuturkan, kedekatan hubungan tersebut berlanjut hingga generasi setelahnya, yakni ‘Goenawan Mohamad’ yang  pada saa itu kelak menjadi salah seorang tokoh paling berpengaruh dalam mengokohkan liberalisme barat dalam kebudayaan kontemporer Indonesia. Penulis Catatan Pinggir Majalah Tempo tersebut mengakui bahwa pada masa itu mereka sangat antusias untuk mencari, mengumpulkan dan membaca buku-buku CCF dan juga menjualnya ke kalangan yang lebih luas.


Wijaya juga memaparkan hasil penelitiannya bahwa tak dapat diragukan CCF melalui program kebudayaan dan pandangan Ideologinya berperan penting dalam membangun dan mensponsori pandangan anti-komunisme di arena kebudayaan Indonesia. CCF menawarkan program beasiswa kepada para Intelektual muda seperti Goenawan Muhammad dan Arief Budiman, untuk belajar di Eropa. 


Menariknya, program ini secara kebetulan dilaksanakan ditengah-tengah kemelut politik yang memuncak pada saat tragedi pembantaian komunis di Indonesia tahun 1965-1966. Program beasiswa tersebut menurut Arief Budiman adalah bagian dari upaya CCF untuk mengasosiasikan intelektual muda dengan organisasi anti-komunis. Sedangkan Goenawan Mohamad alasan dirinya pergi belajar ke Eropa karena mengungsi dari situasi politik di Indonesia di tahun 1965.


Dengan demikian, ada catatan penting untuk diingat bahwa deklarasi Manifesto Kebudayaan 1963 merupakan hasil konspirasi antara para penulis sayap kanan dengan para pendukung asing yakni CCF yang didukung oleh CIA. 


Hasilnya bisa kita lihat pasca dihancurkannya PKI beserta organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Goenawan Mohamad hingga hari ini tidak pernah merubah pandangan kebudayaannya. Ia juga sukses dalam memelihara pandangan liberalism Baratnya dengan cara memperkuat jaringan jaringan kebudayaan dan filantrofinya dengan institusi-institusi Barat. 


Aktivis boemipoetra Saut Situmorang dkk dan Taufiq Ismail menganggap Goenawan Mohammad dan Komunitas Utan Kayu sebagai satu ‘broker’ imperialisme kebudayaan Barat yang paling berpengaruh di Indonesia. Pada saat yang sama, boemipoetra juga menjadikan sosok Taufiq Ismail sebagai sasaran kritiknya, karena seperti halnya Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail juga adalah salah satu penerima bantuan keuangan terbesar dari barat dan salah satu agen kebudayaan terpenting dalam Orde Baru. Selaindari Ford Foundation, Taufiq Ismail juga menerima dukungan dana dari pemerintah Orde Baru bagi kegiatan kebudayaannya di Horison.


Karya Wijaya Herlambang ini sangat menarik dibaca untuk menambah pengetahuan kita tentang kekerasan budaya yang terjadi pasca 1965. Buku berdasarkan tesis doktoral di Universitas Quensland Australia ini memaparkan bagaimana kebudayaan dijadikan sebagai alat untuk membenarkan pembantaian kemanusiaan yang digagas orang-orang yang menamakan diri pendukung humanisme universal. 


Kita bisa banyak belajar dari buku ini, bagaimana kekerasan tak melulu soal fisik dan pembunuhan. Kekerasan bisa lebih mengerikan lewat kebudayaan karena membenarkan pembantaian berjuta umat manusia menjadi lumrah dan lazim.  


Buku ini menganalisis upaya pemerintahan Orde Baru beserta agen-agen kebudayaannya dalam memanfaatkan produk-produk budaya untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966. Dengan bukti-bukti empiris ditujukkan bahwa intervensi langsung CIA kepada para penulis dan budayawan liberal Indonesia untuk membentuk ideologi anti-komunisme bukanlah isapan jempol belaka.


Buku ini juga memuat kritik kepada para pegiat seni dan sastra soal kekerasan kebudayaan itu. Apakah mereka yang mengaku seniman atau sastrawan tersebut melakukan perlawanan untuk menghapus ideologi anti-komunis yang sudah ditanamkan penguasa Orde Baru berpuluh tahun itu atau malah sebaliknya?


[Judul Buku: Kekerasan Budaya Pasca 1965 –Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Penulis: Wijaya Herlambang. Penerbit: Marjin Kiri. Tahun Terbit: November 2013. Tebal: 334 halaman].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar