Ayu Cipta (Banten)
Airmata Ciwidey
Kebun teh itu luruh sudah
bersama hujan dan longsor tanah
berpuluh petani tertimbun
bersama cinta mereka terkoyak
lima mati berselubung
mimpi tebing bukit Tilu
Pemerintah
lambat-tersendat mengirim bantuan
Ciwidey jejakmu indah
terantuk
oh dukaku wahai petani
kini tiada kutemukan
keranjang di punggungmu
sungging senyummu hilang
tak berbekas
kekar jemarimu tak bersisa
kesegaran dedaunan teh
hanya kenangan laut
berasama airmata
kepedihan tertuang dalam
secangkir teh
yang kurasa tak lagi manis
Anggrek 24022010
Muhammad Rois Rinaldi (Banten)
Menemui Mei
Mei, akankah kubawa 25
waktu lalu di hadapanku?
sedang kedewasaan belum
sempat kumamah tanah
Ah mei, aku belum ingin
lari lagi. Ingin tetap di sini
di bibir pematang
menyaksikan layang-layang terbang
juga kaki-kaki kecil
berlari begitu riang mencuri mimpi.
Dan senja mejemput—langit
merah saga gegas berpaut
beriring doa-doa sepuluh
malaikat berwajah bunda
dentingkan senyap semesta
mengantarku lelap
tanpa tanda Tanya.
Cilegon, 08 Mei 2013
Fitri Yani (Lampung)
Penggali Sumur
Ia menggali sumur, katanya
ia ingin meminum air murni itu. Aku senang sekaligus berduka. Karena musim
sedang kemarau. Ia percaya bahwa sumur di mata tak lebih dalam dari tanah yang
tengah ia gali. Maka ia terus menggali. Hingga tubuhnya hilang di dalam gelap,
hingga suaranya hanya berupa gema. Berminggu-minggu. Aku berprasangka
baik—seorang penggali tak akan mati di dalam lubang yang ia gali dan kedalaman
mesti melahirkan gaungnya sendiri. Aku menantinya di pinggir sumur yang hampir
menyerupai jurang. Tapi gema suaranya tak terdengar lagi, hanya gemericik yang
menyerupai suara air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar