Dua Puisi
Sulaiman Djaya
Stanza
Subuh
Cintaku, matamu adalah
wadah waktu
seperti ketika subuh dan lampu
bacaku
saling termenung.
Yang paling indah tentangmu
adalah ketika aku
tak lagi sanggup
mengatakannya.
Aku tahu cinta tak sekedar
sajak,
tapi tak ada hal lain
yang bagiku paling jujur
dan sederhana.
Tak kumiliki selainnya
sebagai kiasan dan ungkapan
yang paling ikhlas.
Rambutmu seperti tumpukan sepi
malam yang rimbun.
Sungguh aku bosan
dengan iklan-iklan di
televisi,
juga berita-berita politik
yang semakin membuatku
tak dapat memahami.
Mengingatmu, duh cintaku,
adalah kebahagiaan terampuh.
Persis ketika sunyiku
seperti dedak kopi
di ujung subuh.
(2014)
Gitanjali
Han, negeriku terbuat dari
Maret yang tua.
Tak ada salju. Tapi kesiur
sesekali menggempur.
Bila redup tiba, aku pun
segera
menyalakan mataku.
Ada mimpi di telaga kecil
dengan beberapa angsa
dan itik. Belalang di
batang-batang
dan capung-capung
yang mengambang dan
bertaburan.
Kusimpan segala yang tak
dicatat sejarah
dan deru mesin-mesin
pabrik
adakalanya saling bertabuh
dengan hembus jendela
dan tiap kata menerka
takdir mereka
meski kadang malas dan
bosan.
Han, negeriku begitu sabar
bercanda
dengan rintik yang sepi
di pagi dan sorehari.
Dan setiap kali kubuka
mataku
aku takkan lupa apa yang
ditinggalkan hujan
dan gerak rembang
pepohonan.
Seperti sebuah munajat
yang didaraskan
bersama ayat-ayat kauniyah
di antara kaf dan nun.
Aku nyalakan lampu-lampu
kecil
di hatiku, bila aku
terbangun
dari tidurku. Kutafsir
matahari
sebagai obor agung
dan berharap mautku
bahagia
sebagai perumpamaan
sajadah sujudku
di hadapan waktu, di
hadapan matamu.
(2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar