Label

Jumat, 12 Desember 2014

Gitanjali



Dua Puisi Sulaiman Djaya

Stanza Subuh

Cintaku, matamu adalah wadah waktu
seperti ketika subuh dan lampu bacaku
saling termenung.
Yang paling indah tentangmu
adalah ketika aku

tak lagi sanggup mengatakannya.
Aku tahu cinta tak sekedar sajak,
tapi tak ada hal lain
yang bagiku paling jujur
dan sederhana.

Tak kumiliki selainnya
sebagai kiasan dan ungkapan
yang paling ikhlas.
Rambutmu seperti tumpukan sepi
malam yang rimbun.

Sungguh aku bosan
dengan iklan-iklan di televisi,
juga berita-berita politik
yang semakin membuatku
tak dapat memahami.

Mengingatmu, duh cintaku,
adalah kebahagiaan terampuh.
Persis ketika sunyiku
seperti dedak kopi
di ujung subuh.

(2014)


Gitanjali

Han, negeriku terbuat dari Maret yang tua.
Tak ada salju. Tapi kesiur
sesekali menggempur.
Bila redup tiba, aku pun segera

menyalakan mataku.
Ada mimpi di telaga kecil
dengan beberapa angsa
dan itik. Belalang di batang-batang

dan capung-capung
yang mengambang dan bertaburan.
Kusimpan segala yang tak dicatat sejarah
dan deru mesin-mesin pabrik

adakalanya saling bertabuh
dengan hembus jendela
dan tiap kata menerka takdir mereka
meski kadang malas dan bosan.

Han, negeriku begitu sabar bercanda
dengan rintik yang sepi
di pagi dan sorehari.
Dan setiap kali kubuka mataku

aku takkan lupa apa yang ditinggalkan hujan
dan gerak rembang pepohonan.
Seperti sebuah munajat yang didaraskan
bersama ayat-ayat kauniyah

di antara kaf dan nun.
Aku nyalakan lampu-lampu kecil
di hatiku, bila aku terbangun
dari tidurku. Kutafsir matahari

sebagai obor agung
dan berharap mautku bahagia
sebagai perumpamaan sajadah sujudku
di hadapan waktu, di hadapan matamu.

(2014)

Sumber: Harian “Rakyat Sumbar” (Jawa Pos Group) Edisi Sabtu, 13 Desember 2014 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar