Oleh Manshur
Zikri
Film yang diambil dari puisi “The Wind Will
Carry Us” ciptaan Forough Farrokhzad ini disutradarai oleh Abbas Kiarostami.
Forough Farrokhzad adalah seorang penyair dan penulis puisi yang jaya pada masa
Iran modern. Sedangkan Abbas Kiarostami adalah seorang sutradara pembuat film
Iran pasca-revolusi, yang mana karyanya banyak
membahas tentang isu hak asasi manusia dan seni.
Untuk melihat dan membongkar film ini, yang
harus diingat adalah “Puisi” yang mejadi bungkus film ini. Jadi setiap
permasalahan yang ditemukan dalam film ini akan dikaitkan dengan puisi. Dalam
film ini akan kita lihat peran dominan oleh tokoh utama (Behzad) dan seorang
anak kecil (Farzad)
Film ini diawali dengan adegan dimana sebuah
mobil memasuki daerah pedesaan yang mungkin dianggap terpencil karena tidak ada
transportasi lain (seperti mobil atau sepeda motor) yang melintas selain mobil
itu. Hal ini menjelaskan bahwa film ini akan bercerita tentang sesuatu yang
berasal dari kota (modern) akan memasuki wilayah pedesaan (tradisional). Dan
selanjutnya akan terdengar percakapan dari dalam mobil tentang alamat desa yang
akan dicari. Dalam dialog tersebut disebut-sebut nama sebuah kota, yaitu
Biston. Biston adalah kota tua di Iran yang dahulunya merupakan pusat
peradaban, yang mana kota ini berasal dari kebudayaan kuno, diproduksi oleh
mitologi Yunani (Situs Iran Kuno). Kota Biston yang disebut-sebut dalam dialog
tersebut menjadi informasi yang dapat ditangkap oleh penonton mengenai tempat
terlaksananya (setting) film tersebut, yaitu cerita dalam film ini terjadi di
dekat kota yang merupakan situs Iran kuno. Nama Biston dan sejarah Biston itu
(dalam film ini) sendiri menegaskan bahwa Iran adalah negara intelektual sejak
zaman dahulu.
Dalam adegan mencari alamat tersebut, suara
salah seorang dalam mobil menanyakan petunjuk yang mereka punya, yaitu desa
yang dituju akan semakin dekat apabila telah melewati sederetan pohon. Kemudian
orang yang berkata tadi mengutip rubayat dari Ommar Kayam, yang kata-katanya
mirip dengan petunjuk tersebut; ”Near the tree is a wooded lone, greener than the dreams of God”.
Kemudian dalam adegan, ada tampilan deretan pohon hijau. Adegan ini memberikan
informasi kepada penonton bahwa cerita ini adalah tentang pencaharian akan
sesuatu yang sangat sulit. Bisa diartikan sebagai pencaharian spiritual. Adegan
selanjutnaya adalah gambar pohon besar di atas bukit, lagi-lagi menegaskan akan
sesuatu yang berkuasa (Tuhan), yang merujuk kepada kata “spiritual”.
Kemudian, adegan berikutnya saat mobil semakin
mendekati tujuan, tampilan gambar berikutnya adalah mobil melewati jalanan di
bawah langit yang sudah berwarna orange kemerah-merahan. Hal ini memiliki arti
bahwa perjalanan yang dilalui oleh mobil tersebut adalah sangat jauh. Jikalau
cerita ini ditulis dalam sebuah novel atau cerpen, makan gambaran langit
berwarna “orange kemerah-merahan” itu bisa diubah menjadi kata “beberapa jam
kemudian”. Hal ini merupakan salah satu bahasa film yang harus disadari.
Adegan-adegan selanjutnya, si sutradara
memperkenalkan lokasi terlebih dahulu daripada tokoh utama. Hal itu dapat
diketahui dari sosok figur yang di-shot oleh kamera subjektif adalah seorang penduduk.
Kemudian suara dari dalam mobil menanyakan alamat yang akan dituju, yaitu
sebuah nama Desa Siah Dareh. Desa ini adalah perkampungan kurdi (kota purba)
yang merupakan tempat asal-usul suku Kurdistan. Desa Siah Dareh ini
disebut-sebut dalam sejarah sebagai jejak pertama orang Arya yang dikenal
sebagai Iran sekarang. Menurut keterangan http://id.wikipedia.org, suku Kurdistan adalah adalah
wilayah otonomi luas di Irak utara. Wilayah ini merupakan sebagian dari tanah air
orang beretnis Kurdi dan beribu negeri di Arbil.
Suku Kurdistan, berarti ”perantau”, dan menganut agama Zoroaster.
Pada adegan saat seorang anak kecil
memberitahukan lokasi si Malek “The Blue Window”[1], ada urutan film yang perlu diperhatikan. Urutan film
itu adalah dari realita lingkungan sekitar (saat semua hiruk pikuk masih
terdengar di sela-sela percakapan Behzad dan Farzad), kemudian ke realita puisi
(diperlihatkan gambar seorang laki-laki tua yang duduk termangu di tangga dekat
rumah berjendela biru, dan suara hiruk pikuk mulai mengecil)[2], dan kembali ke realitas lingkungan sekitar (saat si
Behzad kembali tersadar dengan menoleh ke beberapa penduduk, yang diperlihatkan
dengan kamera subjektif, dan suara kembali ramai). Hal ini bisa dianggap jenius
karena susunan urutan tersebut tidak dibuat begitu saja, tetapi melalui ide
yang cemerlang dan pengaturan yang membutuhkan skill tertentu.
Pada percakapan tokoh utama dengan beberapa
tokoh lain, ada beberapa adegan yang hanya wajah si tokoh utama saja yang
dilihatkan sementara wajah tokoh lain tidak. Hal ini memberikan arti bahwa
adanya unsur komunikasi modern dalam cerita itu, yaitu berbicara tidak harus
melihat wajah, contohnya adalah dengan telepon. Dan dalam film itu bisa kita
lihat bahwa handphone yang digunakan oleh tokoh utama adalah handphone yang
sangat “jadul”, yaitu handphone yang sempat populer pada tahun 1999. Hal ini merujuk
pada modernisasi telekomunikasi yang terjadi pada masa itu. Adegan berikutnya,
ada percakapan antara Behzad dan Farzad mengenai wanita tua yang sakit
tersebut. Percakapan itu memberikan informasi kepada penonton bahwa usia wanita
tua itu adalah 100 atau 150 tahun. Bisa dilihat bahwa tahun 1999 bila dikurangi
100 tahun adalah tahun 1899, yang merupakan masa awal komunikasi global. Disini
dapat kita anggap bahwa si wanita tua yang sakit itu merupakan perwakilan dari
abad yang lalu.
Pada beberapa adegan, selalu diperlihatkan dan
diperdengarkan bahwa saat tokoh utama (Behzad) menanyakan kondisi si wanita tua
yang sakit kepada anak kecil (Farzad), selalu ada hambatan. Hal ini
mengindikasikan bahwa ada hambatan antara komunikasi modern yang harus turun ke
bawah agar bisa berkomunikasi dengan tradisional[3].
Adegan yang lain adalah si Behzad mencari
sinyal untuk menerima telepon dengan pergi ke bukit melewati sawah (yang tak
ada jalurnya). Akan tetapi si Behzad dengan mobilnya dengan seenaknya melintasi
sawah tersebut (setiap kali dia harus menelepon) sehingga terbentuk jalan baru.
Ini meberikan arti bahwa dalam melakukan pendekatan ke komunikasi tradisional,
komunikasi modern harus menemukan jalannya sendiri.
Apel jatuh
Ada adegan yang memperlihatkan jatuhnya apel dari meja
(setelah Behzad mencuci apel tersebut). Apel itu jatuh seakan-akan telah
diskenario oleh alam dan, akhirnya, apel itu jatuh dekat kaki Farzad. Hal ini
mungkin mengandung makna tersendiri, namun belum diketahui lebih lanjut.
Kontradiksi Kebudayaan
Adegan tentang Good and Evil. Dalam adegan tersebut,
si Behzad berbicara kepada si Farzad, yang saat itu seharusnya dia sedang
ujian. Akan tetapi dia tidak bisa menjawabnya, dan bertanya kepada si Behzad
saat dia diizinkan gurunya keluar untuk menemui si Behzad. Waktu Farzad
bertanya kepada si Behzad, apa yang akan terjadi dengan ”Good” dan ”Evil”
dihari akhir nanti? Si Behzad menjawab bahwa Evil akan ke surga, dan Good akan
ke neraka. Farzad begitu saja percaya dengan jawaban tersebut. Akan tetapi
jawaban itu dikoreksi sendiri oleh Behzad (mungkin niatnya hanya bercanda)
bahwa ”Good” yang akan ke surga dan ”Evil” akan ke neraka. Adegan ini bisa kita
artikan: si Behzad sebagai orang dewasa, mewakili golongan modern. Si Farzad
yang merupakan anak kecil, mewakili golongan tradisional. Ada kontrakdiksi
kebudayaan, yaitu dengan adanya infiltrasi keyakinan. Hal ini dilakukan oleh
golongan modern. Biasanya hal itu akan diterima begitu saja oleh golongan
tradisional karena tidak adanya kemampuan dialektika (yang digambarkan dengan
kepolosan anak kecil).[4]
Dalam beberapa adegan juga dapat dilihat bahwa si
Behzad selalu bersikap arogan kepada para penduduk (meski hanya samar-samar).
Sikap Bossy ini mencerminkan perilaku dari orang kota (yang berasal dari
golongan modern) terhadap orang-orang desa (tradisional).
Adegan dalam film itu bisa kita sebut atau istilahkan
sebagai ”guncangan komunikasi”, yang terjadi pada tahun 1999 itu.
Kura-kura
Ada adegan saat Behzad selesai menerima telepon dari
seseorang (mungkin atasannya), yaitu kura-kura yang berjalan dengan pelan dan
tenang dekat batu nisan. Adegan itu cukup lama dan dirasakan sangat penting.
Namun maksud dari adegan itu belum diketahui lebih lanjut. Dan ada juga adegan
yang memperlihatkan seekor kumbang mendorong taik dengan kaki belakangnya.
Di kandang Sapi
Dalam adegan di kandang sapi, saat Behzad meminta susu
kepada seorang gadis, dia mendeklamasikan dua puisi karya Forough Farrokhzad.[5]
Yang pertama adalah ”Hadiah” dan yang kedua adalah ”The Wind Will Carry Us”
yang juga merupakan judul dari film ini. Dalam adegan tersebut menggambarkan
keadaan wanita yang terkungkung pada masa tradisional. Behzad dari golongan
modern membawa wanita modern (puisi Forough) dan meletakkan puisi itu pada tempatnya
(yaitu daerah tradisional). Ide adegan ini diakui sangat menarik, tetapi
tampilan visual yang disajikan sangatlah buruk, atau terlalu gamblang. Karena
sangat jelas saat Behzad mulai masuk ke gua (kandang) itu, dia berkata ”Sungguh
sangat gelap disini!”, yang sangat jelas memberikan informasi bahwa adegan
tersebut akan berbicara tentang masa-masa kelam di Iran (terhadap wanita),
kemudian dengan kentara pula puisi itu dibacakan teruntuk si gadis. Adegan ini
tidak memberi ruang kepada penonton untuk berimajinasi lebih jauh karena dengan
mudahnya mereka mendapat maksud dari sang sturadara. Bisa dikatakan mungkin
adegan ini adalah adegan yang paling sulit dalam pembuatan film, kemugnkinan
sang sutradara suah habis akal dan mengalami kebuntuan dalam meracik adegan
yang kreatif dan imajinatif. Namun begitu, dalam adegan ini bisa dikatakan
bahwa adanya penyampaian yang menegaskan: di Iran (pada masa kelamnya, atau
bahkan sampai sekarang) terjadi dampak politik gender[6]
dari sebuah negara yang menganut hukum Islam.
Dalam film ini, wajah si Malek tidak pernah
diperlihatkan (sosoknya tidak diperlihatkan), hanya diberitahu saja lokasinya
yang berada di balik jendela biru (the blue window). Hal ini juga merujuk
kepada puisi Forough yang isinya tentang bayang-bayang kematian.
Melempar tulang
Adegan film (mendekati akhir) yang paling menarik
adalah saat Behzad yang sudah jenuh[7]
berada di desa tersebut, memutuskan untuk pulang ke kota, namun sebelum pulang
itu dia melempar tulang yang didapatnya dari seorang penggali tanah untuk
pembuatan tiang listrik (atau sejenisnya). Tulang itu dilempar ke sungai,
kemudian gambar-gambar berikutnya memperlihatkan tulang yang dibawa aliran
sungai itu melewati tanaman-tanaman hijau, kambing/domba, dan makhluk hidup
lainnya. Hal ini memberikan arti bahwa semuanya akan kembali ke alam.
Dan adegan yang terakhir adalah saat Behzad akan
mengendarai mobil. Ada segerombolan wanita di pedesaan itu menuju rumah si
Malek yang sudah mati[8].
Sebelum pulang ke kota, Behzad menyempatkan diri mengambil beberapa foto
segerombolan wanita tersebut. Ini mempunyai arti bahwa semuanya kembali ke
dasar. Seharusnya Behzad mengambil gambar itu dengan kamera (mungkin video)
yang lebih canggih, tetapi tidak bisa karena barang-barang perlengkapannya
sudah dibawa lari oleh temannya sehingga dia hanya bisa mengambil gambar foto
dengan kamera sederhana (kembali ke dasar, atau sesuatu yang tradisional).
Catatan:
[1]
Malek adalah perempuan yang sedang sekarat, atau rumah yang disebut dengan “The
Blue Window” oleh anak kecil itu adalah rumah perempuan tua yang sedang sakit
itu (si Malek), yang mana selalu ditanya oleh si Behzad (tokoh utama) kepada si
anak kecil, Farzad
[2]
Laki-laki tua itu adalah anak dari si wanita tua yang sakit tersebut. Saat si
Farzad memberitahukan hal itu kepada Behzad, ekspresi wajah Behzad
memberitahukan kepada penonton betapa terkejutnya dia, “Anaknya saja sudah
setua itu, bagaimana tuanya si wanita tua yang sakit itu?” Tapi dalam bahasa
film, kata-kata tersebut tidak perlu diucapkan, cukup dengan ekspresi wajah si
Behzad saja.
[3]
Kembali ke adegan awal saat mobil memasuki desa. Itu memberitahukan penonton
bahwa akan adanya interaksi antara item yang berasal dari kota (modern)
dengan item yang ada di desa (tradisional).
[4]
Semakin jelas bahwa inti dari cerita dalam film ini adalah tentang interaksi
antara modern dan tradisional, namun disajikan dengan bungkus puisi. Dimana
dapat dikatakan bahwa suatu komunikasi modern akan berjaya di atas kematian
komunikasi tradisional. Hal ini merujuk kepada kata”kematian” yang merupakan
ciri khas dari puisi Forough.
[5]
Forough Farrokhzad berasal dari masa Iran modern (wanita). Ommar Kayam bersal
dari masa tradisional (laki-laki).
[6]
Di mana perempuan dianggap lebih rendah derajatnya dari laki-laki.
[7]
Saat menonton film tersebut, dari ceritanya akan diketahui bahwa sebenarnya
Behzad yang datang dari kota adalah seorang Jurnalis (atau sejenisnya) yang
memiliki tujuan tertentu terhadap si Malek. Dari dialog-dialognya dengan si
Farzad (juga ekspresinya), terlihat jelas dia menginginkan si Malek segera
mati. Dan saat dia berbicara melalui telepon ataupun berbicara dengan teman
dari kota juga (yang wajahnya tidak pernah diperlihatkan), mereka menyebut
kata-kata ”mengambil gambar”, yang bisa diartikan bahwa mungkin saja mereka
adalah orang kota yang ingin meliput tentang upacara kematian di desa itu
(untuk keperluan antropologi, misalnya)
[8]
Saat Malek yang diketahui membaik kondisi kesehatannya, teman-teman Behzad merasa
muak dan pergi meninggalkan Behzad sendiri di desa tersebut karena mereka yakin
Malek tidak akan mati, dan tidak ada gunanya mereka berlama-lama di desa karena
tidak ada gambar yang akan diambil. Akan tetapi beberapa saat setelah itu,
terdengar kabar bahwa si Malek meninggal dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar