Oleh Nurel Javissyarqi
Tak Pernah Kulihat
Padang
Puisi Emily Dickinson
Tak pernah kulihat
padang,
Tak pernah kulihat
lautan,
Namun kukenal pucuk
gelinggang
Dan tahu makna
gelombang.
Tak pernah kusapa
Tuhan,
Maupun berkunjung ke
surga
Namun tempatnya
kudapat pastikan,
Seakan tertera di
peta.
Emily Elizabeth
Dickinson (10 Des 1830 – 15 Mei 1886) dikenal Emily Dickinson, penyair Amerika
berpendidikan sekolah menengah yang mengutamakan ajaran Kristen. Bapaknya
bendahara sekolah menengah Amherst. Lima tahun mencampuri hidup bermasyarakat
di Amherst. Di usia 23, bersama bapaknya ke Washington menghadiri sidang
Kongres.
Percintaannya tidak
membuahkan bahagia yang menyebabkan balik ke Amherst dan menetap di sana.
Mencari hiburan dengan menggubah sajak-sajak hingga menjadi salah seorang
pelopor dari penyair-penyair abad 20. Sajak-sajaknya menunjukkan sifat
sederhana dalam ucapan, keluar dari menuang hati membongkar intisari peristiwa.
Sampai menjulangnya terkemuka di dunia kesusastraan Amerika. Himpunan
sajak-sajaknya pertama terbit tahun 1890 (dari buku Puisi Dunia, julid II,
disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka 1953).
Percintaan tak
berujung bahagia serupa kebocoran lapisan ozon menghisap sumber mata air
bathin, mengeringkan ladang jiwa, embun pun malas membukakan mata terindah.
Seperti ketinggian tanjung karang kesadaran, terik matahari menyengat,
gelombang laut sampai ke kaki secepatnya menjelma garam, kepiting terbakar
sebelum diserang bala pasukan semut berduyun-duyun dari idep mata Emily.
Dipilihnya hidup
sederhana hingga terpantul dalam sajak-sajaknya, selepas kerontangnya sukma, putus
asa lenyap tak tersisa, harapannya hanya mengeja mimpi entah dimengerti
terperih. Atau padang rumput diserang musim kemarau terlupa rasanya air hujan,
kaki-kaki gembalaan. Kesederhanaan seimbang menerima keadaan, menginsyafi mimpi
selain dirinya merajut artian hayati, bunga berwarna-warni semerbak di hati
mengikuti senyum belia tenangkan segala pedih.
Di Amherst, Emily
berketetapan hati mengubah sajak-sajak kalbunya sebagai nyanyian tersisa,
memaklumatkan alam rasa menyetubuhi semesta bumi, jiwanya disayat-sayat
sembilu, kekasih menampik sayang cinta kesucian. Dikuburnya dalam-dalam
menjelma niatan bulat; selamanya kasih tak ternoda, meski getir pilu melebihi
sambaran petir merontokkan daun purba. Emily selalu melagukan dalam dendang
pahit kesendirian, sunyi suwong tanpa penggali hati kayungyung.
Tatkala insan
menandaskan segala sesuatu berteguh bathin melafalkan puja, hujan tak terkira
datang tiba-tiba hadirkan dirinya ternama. Memperinding bulu-bulu silam,
sebunga kumis kucing menusuk tebalan daging mengoyak isi jantung buyarkan
teka-teki. Melantak keharuman menyengat hidung masuki tenggorokan, bibir-bibir
mengering yang dulunya mencibir tanpa salam.
Kini izinkan kumulai
menafsirkan puisinya, semoga berkenan dalam nafas-nafasku kadang tak teratur
bergoyangan, umpama pepohonan rindang diterpa badai hujan kesiangan: Tatkala
kalbu Emily berkeping-keping kecewa, menafikan segala pandang pula degup
luaran. Tersebab dalamnya tengah saksikan panorama melebihi ketelanjangan,
kesaksian melampaui dirasakan. Atau bukan menampik tetapi keunggulan
menolaknya, semisal lubernya air dalam gelas penuh terisi menerus.
Luapan rasa membuntu
telinga, selain yang bergemuruh menggejolak dalam jiwa. Serasa bahasa alam
betapa mengesankan tak mampu mewakili, sentuhan melebihi pucuk gelombang
tajamnya ombak, sebilah karang meruncing kelembutan pusaran. Ada keleluasaan
santun mencipta pelangi di mata, deburan mengganas memantul ribuan makna. Tiada
yang hendak diraih pun dipasang, ketika kehendak berdamai setelah tanak
peperangan. Sudah jenak pilu, tiada sejenak pun menuruti selain kalbu dalam
kesatuan setubuh.
Kefahaman Emily
menantang yang pernah dirasai, perasaan bertumpuk-tumpuk setandan pisang
matang. Barang siapa mengupas kehati-hatian peroleh kegenapan, ketenangan di
atas kekecewaan, kesantausaan berwajah tentram bukan dari kekalahan. Pula
betapa misteriusnya tuhan tak membuat penasaran; hati tertekan menelisik
menyusup seperti akar-akar menujah tanah kedalaman, menghisap air mata air
sumber kehidupan. Betapa lembut perasaan Emily mengkilat sebenang sutra dari
ulat tak sempat muksa menjelma kekupu.
Namun benang-benangnya
bercahaya memancarkan sinar terang, ditarik laba-laba yang bertapa dalam goa
renungan. Meskipun rapuh, senandungnya terngiang-ngiang di telinga mereka.
Serupa tafsiran ini,
mempurna bathin terjajah atau ketenangan dari penindasan suara-suara membising
petaka. Saat gelisah, jangan bertanya pula membuka lembaran peta, sebab itu
tiada guna. Olehnya tenangkan dulu sebelum melangkah menyapa. Emily, ketabahan
mempererat ruh kata-kata tak membeletat sia-sia pun berbelok arah tiada makna.
Kesabaran mendiami sunyi sebatu kelang ditetesi air, lama-lama cekung pantulkan
bunyi mengalung, bertanda adanya penunggu yang memikirkan sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar